Saat Itu Aku Masih Naif

1367 Words
Cerita tentang Mawar dan Kumbamg yang terputus, menyadarkanku akan sesuatu. Sesuatu yang tidak seharusnya ada di pikiranku, tetapi otak egoisku menuntun untuk memasukkan hal ini ke dalamnya. Berawal dari aku yang tidak sadar atas jawaban berbeda yang kau berikan, membuatku melanjutkan kisah tentang Mawar dan Kumbang. Kisah yang berawal dari rasa patah hati, lalu berganti menjadi rasa yang belum mati. Ah, aku tahu jika apa yang aku tulis memang tidak pernah jelas, Geno. Seperti yang kau kenal, aku adalah gadis paling tidak jelas yang ada di hidupmu. Mungkin karena itulah, kisah percintaanku semasa sekolah tidak berjalan mulus. Dibanding menjadi idaman lelaki, masa sekolah lebih banyak aku habiskan untuk menjadi bayangan bagi Mawar yang memang mudah tertarik dengan lawan jenis. Meski begitu, Mawar bukan orang yang suka bergonta-ganti pasangan, ia cenderung setia kepada satu orang yang membuatnya jatuh hati. Kisah Mawar memang menarik, membuatku bersemangat ketika menceritakan kisah itu kepadamu. Ada satu hal yang masih belum berubah tentangku dari dulu dan sekarang, yaitu sifat tidak jelas yang aku miliki. Seperti ketika aku menceritakan kisah Mawar kepadamu dahulu, begitu juga dengan ketika aku menceritakan kembali kisah Mawar di dalam surat ini. Saat menceritakan kisah kita pun, aku cenderung tidak jelas. Alur yang aku tulis sering melebar ke sana kemari, tidak selalu sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di antara kita. Aku memiliki alasan kenapa melakukan hal itu. Itu karena, aku hanya menulis apa yang terlintas di kepalaku. Jika saat menulis hal-hal bahagia tentangmu tiba-tiba ada bayangan kesedihan yang muncul, aku pun segera menuliskan hal itu agar kau tahu betapa hancurnya aku ketika mengulang kembali ingatan yang tidak ingin kuulang. Ketika merasa kuat menghadapi hidup pun, aku segera menulis hal itu kepadamu. Beginilah aku sekarang, sifatku yang cenderung spontan aku curahkan juga ke dalam tulisan. Apa yang kubilang, Geno? Kisah ini sudah melebar ke mana-mana. Baiklah, aku akan mencoba kembali ke jalur. Aku ingat, ketika sebenarnya tulisanmu dalam pesan singkat mulai menunjukkan keanehan, aku masih tetap melanjutkan cerita tentang Mawar yang kecewa karena tidak bisa satu seksi dengan Kumbang yang ada di seksi acara pada pentas seni tahunan sekolahku. Aku dan Mawar ditempatkan pada seksi dekorasi yang memiliki pekerjaan menumpuk saat sebelum acara dimulai. Aku, Mawar, dan beberapa anggota seksi yang lain harus menyusun latar belakang panggung menggunakan prakarya yang terbuat dari kertas dan pernak pernik lain. Aku sempat kesal dengan pekerjaan ini, bukankah zaman sekarang kita bisa membuat spanduk cetak berukuran besar yang digambar menggunakan komputer? Kenapa kita kita harus bersusah payah membuat latar belakang menggunakan kertas? Sayangnya, meskipun aku menggerutu di belakang, tidak ada yang bisa dilakukan karena aku sudah memutuskan untuk ikut ke dalam kepanitiaan. Meskipun kesal, aku tetap melakukan pekerjaanku dengan baik. Menggunting, menyusun huruf-huruf yang telah digunting ke atas kain yang menjadi latar belakang, lalu menambahkan beberapa aksesoris untuk mempercantik latar belakang yang dibuat. Setelah selesai, ketua seksi menyerahkan latar belakang itu kepada tukang yang menata panggung agar dipasang di bagian belakang. Sebenarnya, hanya sebatas inilah kegiatan kepanitiaan sekolah. Bagaimanapun, aku dan para siswa yang lain masih hanya sebatas siswa biasa yang memiliki banyak keterbatasan serta minim pengalaman. Kita masih harus melibatkan peran orang dewasa untuk mengatasi hal-hal lain. Kepanitiaan seperti ini pun, hanya sebatas latihan untuk membiasakan diri bekerja secara tim, meski apa yang dilakukan hanya hal sepele. Namun saat itu, ada rasa bangga di dalam kepalaku karena berhasil menyelesaikan satu misi dan hasil karya seksiku bisa dinikmati oleh banyak orang meski hanya sekadar latar belakang. Keseruan berlanjut ketika panitia melakukan rapat pembubaran. Kala itu semua panitia berkumpul, saling memberikan evaluasi dan apresiasi satu sama lain karena acara pentas seni berlangsung dengan baik dan meriah. Semua orang bersuka ria di dalam salah satu ruang kelas yang dijadikan "markas" untuk para panitia selepas acara. Mawar pun tidak membuang waktu untuk berkenalan dengan Kumbang. Aku memuji keberanian Mawar untuk mengajak Kumbang berkenalan terlebih dahulu, tidak hanya memberikan kode atau meminta orang lain untuk mengenalkan mereka. Sebagai sesama perempuan, aku tidak memiliki keberanian sebesar Mawar, bahkan ketika berdiri berdekatan dengan laki-laki saja, kakiku sudah gemetar karena grogi. Perkenalan itu akhirnya mengantar mereka menjadi jauh lebih dekat dari sebelumnya. Perlahan, Mawar mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama Kumbang dan aku merasa sedikit dilupakan. Meskipun ketika berada di kelas aku masih duduk satu bangku dengan Mawar, tapi rasanya sudah tidak sama lagi. Di sela-sela waktu luang, Mawar lebih suka menghabiskan waktu dengan berkirim pesan dengan Kumbang daripada berbincang denganku. Sekalinya berbicara basa basi denganku pun, obrolan tidak lepas dari sosok Kumbang yang seakan menjadi pangeran berkuda putih bagi putri tidur bernama Mawar ini. Sebal? Jelas. Kesal? Sudah pasti. Tapi sebagai teman yang baik, tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain mendengarkan cerita darinya. Sebenarnya aku tidak mendoakan hal buruk kepada Mawar, tetapi entah kenapa, apa yang aku pikirkan menjadi kenyataan. Ketika sedang berbincang dengan Mawar, aku sempat berpikir jika Mawar saat ini sedang berada pada fase b***k cinta. Suatu saat, ketika Mawar sedang berkonflik dengan Kumbang, ia pasti akan mendatangiku dengan air mata yang sudah menggenang di kelopak matanya. Tidak salah memang yang aku katakan, beberapa minggu setelah aku memikirkan hal itu, Mawar mendatangiku dengan mata berkaca-kaca. Tampak ingusnya juga hampir terjun, namun masih berpegangan pada lubang hidungnya, menahan diri agar tidak jatuh. Astaga, jika mengingat kembali momen itu, aku menjadi tertawa geli. Rasanya sangat jahat apabila aku menertawakan sahabatku yang sedang dirundung masalah. Tapi bagaimana lagi? Aku tidak bisa menahan diri jika ada kejadian lucu di depan mata. Tapi saat hal itu terjadi dulu, aku berusaha menahan diri agar tidak tertawa karena kasihan melihat keadaan Mawar yang sedang sedih. Mawar bercerita jika Kumbang membentaknya. Hal itu membuatnya sakit hati, ia berlari sari salah satu sudut sekolah dan menemuiku. Aku sudah menduga jika Mawar akan berlari kepadaku jika ada masalah, aku pun tidak tega jika harus tertawa di atas penderitaan Mawar, sehingga aku hanya mendengarkan cerita Mawar dan memberikan pelukan hangat kepadanya. Beberapa saat setelah itu, Mawar dan Kumbang kembali berdamai dan aku kembali dilupakan. Hahhh! Beginilah nasib roda ketiga, selalu dilupakan ketika damai dan selalu dicari ketika dalam masalah. Saat aku yang sudah berada di titik berbeda mengingat kembali hal itu, aku jadi merasa bodoh. Bagaimana tidak? Aku bersedia menjadi tempat sampah bagi sahabatku yang sedang dimabuk asmara. Sayangnya kisah tentang Mawar dan Kumbang lagi-lagi harus terputus karena aku menangkap sesuatu yang berbeda dari tulisanmu di ruang obrolan kita, Geno. Kau seakan memiliki dua kepribadian, satu orang yang sangat aku kenal, dan seseorang lagi yang entah seperti apa wujudnya. Kau yang hangat, ramah, dan menyenangkan, tiba-tiba berubah menjadi biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Apa yang aku katakan ini benar adanya. Bukan, bukannya kau tidak ramah terhadapku ketika dalam kondisi berbeda, kau hanya… hanya berbeda, seakan tidak ada yang istimewa darimu. Perdebatan panjang di antara kita membuatmu mengakui jika seorang teman sempat mengambil ponselmu dan membalas pesan yang aku kirim. Aku marah, aku marah kepadamu saat itu! Aku merasa tidak kau hargai! Bagaimana bisa ruang obrolan yang seharusnya hanya menjadi konsumsi pribadi kita karena ada banyak perbincangan rahasia yang kita lakukan yang seharusnya tidak diketahui oleh orang lain, dengan ringan kau bagikan kepada temanmu?! Aku marah! Aku marah! Tapi kau ingat apa yang kau katakan padaku saat itu? Kau ingat?! Atau kau lupa?! Ah, aku tahu, kau pasti akan berdalih bahwa kau tidak bisa mengandalkan ingatan jangka pendekmu bukan? Aku sudah hafal dengan alasanmu, Geno! Aku masih ingat dengan jelas, apa yang kau ucapkan padaku setelah kau berkata jika ponselmu sempat diambil oleh salah satu temanmu. Saat aku marah padamu, kau justru balik memarahiku! Kau bilang bahwa aku terlalu ikut campur dalam urusan pribadimu! Kau bilang, aku harus tahu posisiku sebagai apa dan sebagai siapa! Apa kau pikir aku tidak sakit hati kau perlakukan seperti itu, Geno?! Perdebatan panjang dan tidak ada satupun yang mengalah akhirnya membuat kita harus berbeda jalan. komunikasi kita sempat terputus, tapi itu hanya sementara. meski memang kita berpisah dalam waktu yang tidak sebentar, tetapi pada akhirnya kita kembali berkomunikasi seperti biasa lagi. Andai saja, andai saja saat itu aku bisa berpikir lebih jernih, aku yakin pasti aku tidak akan terjebak pada pria busuk sepertimu! Namun saat itu aku masih naif, aku tidak menangkap tanda bahaya dari sikapmu yang suka membolak-balikkan keadaan. Maaf, diriku sendiri, saat itu aku masih naif!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD