Aku Terlena Lagi

1190 Words
11 Hai, Geno, orang yang saat ini sedang tidak ada di dalam jangkauanku. Aku ingin memposisikan diri, memutar kembali ingatan saat kita akhirnya hilang komunikasi untuk kedua kalinya. Memang, pertama kali komunikasi kita terputus karena kau yang tiba-tiba menghilang, tetapi berpisahnya kita untuk yang kedua kalinya adalah karena kita berseteru. Permasalahan awalnya adalah sesuatu yang sederhana, namun tidak bisa dianggap sepele. Saat ini, aku bisa benar-benar menyalahkanmu akan sesuatu yang terjadi saat itu. Sekarang aku sudah memiliki keberanian, berbeda dengan masa lalu di mana aku takut membuatmu marah dan sakit hati. Di masa itu, aku selalu memikirkan perasaanmu saat ingin menegur kesalahan yang kau perbuat, karena aku tahu jika kau selalu ada dalam posisi bersalah saat berada di depan Ayah dan Ibumu. Maka dari itu, aku berusaha memberikan tempat di mana kau bisa merasa benar dan tidak khawatir dituduh bersalah. Namun saat aku mengingat kembali masa itu, aku akhirnya sadar jika diriku sedang memupuk benih manusia paling b******k yang pernah aku kenal. Aku salah, salah besar! Aku salah telah memberikan wadah di mana kau bisa bersikap sesuka hati, aku salah karena membiarkanmu bermain dengan pikiranmu sendiri dan terlena akan penderitaan yang sedang kau derita. Ya, di masa kini aku akhirnya sadar, sikapmu kala itu bukanlah sikap seorang lelaki yang patut dijadikan pemimpin, kau hanya seorang anak kecil payah yang selalu merengek kepada orang lain, namun tetap berusaha bersikap sok keras karena ingin dianggap sebagai orang. Saat akhirnya kita berkonflik sebelum putus hubungan pun, kau bersikap seakan kau tidak bersalah sama sekali. Padahal, baik di masa lalu maupun di masa sekarang, aku pikir apa yang kau lakukan saat itu memang salah, di mana kau membiarkan temanmu membuka ponsel dan bahkan membalas pesan dariku yang seharusnya hal itu adalah urusan pribadi antara kau dan aku. Saat itu aku sangat kecewa kepadamu, Geno, kau memperlihatkan obrolan kita kepada orang lain, bahkan aku tanpa sadar sedang berbalas pesan dengan orang lain yang berpura-pura menjadi dirimu! Ah… mengingat hal itu membuat kepalaku sakit. Rasa trauma yang terpendam sedikit demi sedikit terpantik. Aku payah, sangat payah, seharusnya aku berhenti di titik ini, tetapi aku terus melangkah ke depan meski tahu jika jalanan di depan sangat mungkin membuatku terjatuh. Kemarahanku akhirnya membuat kita bertengkar dan membuat kita putus hubungan. Selama tidak ada komunikasi denganmu, aku tidak pernah mencoba untuk mencari keberadaanmu ataupun mencari sosok pengganti di luar sana. Aku lebih fokus untuk membantu pekerjaan orang tuaku di sawah dan menyelesaikan tulisan-tulisanku yang sudah ditunggu oleh para pembaca yang jumlahnya tidak seberapa itu. Selama beberapa bulan aku tenang, sangat tenang. Kehidupanku terasa sangat lurus, tidak ada orang yang menemaniku setiap hari, tidak ada juga orang yang menghiburku setiap saat seperti ketika masih berhubungan denganmu. Apakah aku merasa kesepian? Sudah jelas. Tapi bagaimana lagi? Aku memutuskan untuk tidak lagi berhubungan denganmu karena rasa kecewa yang sudah tidak terbendung lagi dan sepertinya kau pun melakukan hal yang sama. Terkadang, aku merasa rindu padamu. Ada keinginan untuk kembali kau temani setiap hari seperti sebelumnya. Tapi aku berusaha dengan keras untuk menahan keinginan itu, aku tidak ingin hatiku goyah hanya karena sesuatu yang sepele. Tidak, aku harus lebih kuat, aku tidak boleh merasa ketergantungan dengan kabar darimu. Sebelum kau hadir di dalam kehidupanku, aku sudah terbiasa menghabiskan waktu sendiri, ditemani ponsel yang sekaligus menjadi ladang penghasilanku setiap hari. Geno, tahukah kau ketika aku mengingat lagi masa itu hari ini, aku tertawa getir? Ya, aku ingin berteriak menertawai kebodohan yang aku lakukan di masa lalu. Kebodohan yang membuat hatiku goyah, kebodohan yang membuatku kembali jatuh ke dalam lubang hitam yang terasa nyaman namun perlahan menyiksa. Hanya butuh satu kata "hai" darimu sudah mampu membuat dinding yang aku bangun selama beberapa bulan roboh. Pondasi kuat yang aku tanamkan di dalam pikiran di mana aku merasa yakin jika kau sama sekali tidak membutuhkanmu, seketika hancur ketika kau memberikan kabar lagi kepadaku. Aku benci, Geno, aku benci! Aku sudah bersusah payah menghapuskan keberadaanmu dari pikiranku, tetapi kau dengan mudah merusak semua yang aku bangun! Saat kembali melihat pemberitahuan dari pesanmu yang tampil di layar ponsel, tanganku bergetar hebat. Aku tidak menyangka jika kau kembali hadir setelah sekian lama. Untuk apa? Untuk apa kau kembali muncul? Apa tujuanmu? Apa kau ingin mengungkit kembali rasa kecewa yang ada di dalam hatiku karena tingkahmu di masa lalu? Atau kau sudah menyadari kesalahan yang kau perbuat dan berniat minta maaf? Jujur, Geno, ketika mengetahui bahwa kau kembali mencariku, perasaanku menjadi tidak menentu. Ada rasa senang seakan ada kembang api yang meledak di dalam hatiku saat itu, namun ada juga rasa marah seakan jantungku tersayat-sayat karena ingat dengan apa yang kau lakukan di masa lalu. Aku bingung harus bersikap seperti apa terhadapmu. Jujur saja, saat melihat pemberitahuan darimu, aku langsung melempar ponsel agar menjauh dariku, lalu aku memeluk bantal sambil tertunduk lesu di ujung tempat tidur. Ada rasa ingin membuatmu menjauh agar tidak terganggu lagi dengan kehadiranmu, tapi ada rasa penasaran juga yang membuatku ingin membalas pesan darimu. Aku bergulat di dalam pikiranku sendiri, bergulat antara sisi hitam dan putih. Sisi hitam yang ingin menyingkirkanmu dari kehidupanku dan sisi putih yang menyuruhku untuk membalas pesan darimu. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku membalas pesan darimu? Atau cukup hanya dengan membiarkan pikiranmu menerka-nerka dengan apa yang ingin aku lakukan terhadapmu? Cukup lama aku termenung sambil memeluk bantal, detik jam dinding di kamarku terdengar nyaring memecah keheningan seakan menyuruhku agar cepat mengambil keputusan. Aku tidak ingin tergesa-gesa memutuskan harus berbuat apa terhadapmu, tapi aku juga tidak ingin berlama-lama terjebak dalam perasaan tidak menentu seperti ini. Akhirnya setelah mengumpat dengan kencang, aku mengambil ponsel yang aku lempar ke sudut lain tempat tidur lalu membalas pesan darimu meski tanganku gemetar hebat dan jantungku berdegup kencang. Sangat sulit merangkai kata hanya untuk menjawab pertanyaan "apa kabar?" yang tertulis di layar ponselku. Berkali-kali aku harus menghapus tulisan yang sudah susah payah aku rangkai hanya karena merasa tidak pas dengan pertanyaan yang kau lontarkan. Ketika aku merasa bersikap dingin terhadapmu dan membuatmu tidak nyaman, aku segera menghapus dan mengganti tulisan itu dengan kosakata yang terkesan lebih ramah. Tapi ketika aku membaca ulang tulisan yang sudah aku ganti, aku merasa terlalu hangat seakan berharap akan kehadiranmu kembali di kehidupanku sehingga membuatku kembali menghapusnya. Hingga aku menemukan kalimat yang menurutku cocok, baru aku mengirimkan kepadamu. Ada rasa grogi sekaligus penasaran dengan jawaban yang akan kau berikan. Apakah kau akan meminta maaf kepadaku atau bagaimana? Tapi sayangnya apa yang terjadi ketika itu benar-benar jauh dari angan-anganku. Jika aku yang sekarang mengingat lagi kalimat yang kau lontarkan kepadaku, ingin kupukul kepalamu dengan ekor beracun ikan pari. Tapi saat itu, saat aku masih naif dan egois, aku justru suka dengan jawaban yang kau berikan. Jawaban yang menurutku saat itu menggambarkan sosok lelaki idaman, di mana kau kembali dengan kata-kata lembut yang mampu meluluhkan hatiku, kata-kata yang mampu membuatku membuka diri kembali padahal aku sudah berusaha membangun tembok tinggi agar kau tidak masuk lagi ke dalam pikiranku. Kalimat-kalimat manis yang kau berikan padaku, seakan menyiram ladang bunga yang kering dengan air sejuk yang sangat menyegarkan, membuat bunga-bunga yang tadinya layu menjadi mekar kembali. Saat itu, aku yang masih naif ini terlena dengan kalimat lembut dari pesan yang kau kirim kepadaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD