Perjalanan mereka tak terasa sudah sampai di tempat tujuan. Mereka bertiga keluar dari dalam mobil, Javier dan Nio mengeluarkan barang bawaan mereka dari bagasi.
Javier menatap ke depan, villa yang akan ditempatinya itu sederhana terbuat dari kayu dan bambu. Membuat dia membatin, apakah jika dirinya tidur di sana tidak akan roboh? Bagaimana jika ada angin atau gempa? Apakah akan kuat menahannya, batinnya lagi yang mulai terlihat kurang nyaman.
"Ayok kita masuk ke dalam,"
Nio mengangguk semangat, sedangkan Javier hanya mengikuti di belakang.
Begitu mereka di depan ada seorang wanita tua yang sudah menunggunya.
"Neng, ini kuncinya yah. Kalau ada apa-apa saya dan suami saya ada di rumah belakang, belakang kandang sapi,"
Kara menerima kunci tersebut sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
"Iya, Bu terima kasih banyak yah,"
Wanita tua itu mengangguk, kemudian
pergi dari hadapan mereka bertiga.
"Ayok masuk," ajak Kara setelah membuka villa tersebut.
Villa yang akan di tempati itu lumayan luas untuk mereka tempati. Terdapat 3 kamar, dua di atas satu di bawah. Javier meminta Nio untuk satu kamar dia tidak berani tidur sendirian. Nio sih tidak masalah dia mau tidur sendiri atau berdua tidak ada masalah. Hanya saja, Javier harus ingat jika dirinya tidur tidak bisa diam. Tubuhnya akan memutar tidak pada tempatnya ketika tidur. Javier yang mendengarnya tidak bisa berkata apa-apa, yah dari pada dirinya ketakutan.
"Kamu beneran mau tidur berdua sama Nio, Javier?"
Javier mengangguk keras.
"Kalau mau tidur sendiri nggak apa-apa kok, Mbak Kara bisa tidur di bawah."
Lihat, dalam rangka liburan untuk dirinya sendiri saja wanita di depannya itu masih memikirkan perasaannya. Mbak Kara tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk dari bang Melvin.
"Nggak apa-apa Mbak, ini kan Mbak yang sengaja sewa villa di sini, aku malah yang ganggu waktunya, Mbak."
"Aduh-aduh, udah gak usah dipikirin yah, Mbak seneng kok kalian ikut jadi rame."
"Ya udah, Mbak ke kamar dulu yah mau beres-beres, kamu istirahat lagi aja, Javier. Di jalan nggak tidur kan?"
Javier mengangguk ia lalu pamit ke kamarnya, kemudian mereka berdua masuk ke dalam kamar masing-masing.
Remaja tanggung itu mengambil ponsel pintarnya. Ia segera membuka grup keluarganya memberitahu.
Wijcaksono familly
Ayah
Adek udah sampai?
Bang Melvin
Kayaknya belum, Yah. Apa dia tidur ya.
Javier
Adek udah sampe, tadi abis liat-liat dulu Villa.
Bang Melvin
Kasih tahu kalau kamu gak betah yah, biar abang jemput.
Javier
Apaan sih Abang, orang baru nyampe juga. Jangan ngeselin deh!!!
Ayah
Udah jangan dengerin Abang kamu, kamu udah makan lagi? Tadi Ayah liat kamu sarapan sedikit, Dek.
Bang Melvin
Ayah, Javier jangan disuruh makan terus. Badan dia nanti tumbuhnya ke samping loh, bukan ke atas.
Ayah
Mulai yah kamu, ngisengin adeknya mulu.
Javier
Tau ih Abang emang ngeselin banget.
Aku tadi nggak makan cuman ngemil aja di rumah Nio.
Ayah
Jangan kebanyakan makan chiki sama cokelat, adek.
Javier
Nggak kok, orang adek makan pastel sama kue sus sama pastel kok, ih enak ayah. Adek suka makanannya, ini yang suka dibeli sama bi Tuti kalau ke pasar.
Bang Melvin
Ck, jangan aneh-aneh kenapa, Dek. Gimana kalau kamu sakit perut?
Javier
Enggak lah, orang ini buat sendiri kok. Lebih aman.
Bang Melvin.
Tetep aja gak boleh, kita nggak tau dia buatnya higiens atau nggak.
Javier
Abang sumpah yah, males ah adek.
Udah lah adek mau tidur aja, males sama abang 😌 bye ayah.
Javier langsung menyudahi acara chit-chat di grupnya itu. Ia melirik ke samping melihat Nio yang tengah memainkan game di ponselnya.
"Nio, kok elo bisa deket gitu sama mbak Kara?"
Pertanyaan yang selama beberapa hari ini membuatnya penasaran.
"Yah kan kita tetanggaan, sering ngajar les juga."
"Maksud gue, lo kok nggak sungkan sih sama dia. Mana pake acara godain mulu biar jadian sama abang-abang elo lagi,"
Nio mendengar penjelasan Javier terkekeh dibuatnya, mata dan tangannya masih fokus pada ponselnya.
"Iya gak tau yah, dari awal mbak Kada udah wellcome sih. Gue becandain juga gak pernah marah, jadi yah gue biasa aja, udah anggap juga jadi kakak gue."
"Dia kesemua anak emang kayak gitu? Cepet akrab?"
"Emm setau gue sih, iya. Apalagi murid-murid les nya. Cuman yah gak sedeket gue kali yah,"
"Ck, iya tau gue."
Nio malah kembali tertawa. "Kenapa emangnya, Vier?"
"Nggak apa-apa sih, cuman pengen tau aja."
Nio diam saja dan masih anteng dengan game-nya, sedangkan Javier diam saja menatap langit-langit kamarnya.
"Ngomong-ngomong mbak Kara nggak punya pacar yah? Kok lo ngebet banget nyuruh mbak Kara jadi mbak lo, Nio?"
Pancing Javier yang penasaran, siapa tahu Nio tahu sesuatu kan? Jangan salah meskipun Nio laki-laki dia itu serba tahu gosip yang ada di sekolahnya. Maka dari itu, dia mencobanya mencari tahu lewat temannya itu.
"Kata nyokap gue sih punya, cuman gak ada yang tahu pacarnya siapa."
"Oh gitu, memangnya nggak pernah dibawa ke rumah-nya mbak Kara? Sampe nyokap lo gak tau?" Jiwa penasaran Javier mulai meronta-ronta.
"Nggak tau sih yah, kita kan beda beberapa komplek, Vier. Terus juga kan mbak Kara pulang kerjanya gak tentu, yah mungkin pernah aja sih. Soalnya gak ada yang tau cowoknya kaya gimana, cuman--"
Nio menghentikan kalimatnya begitu permainan yang dirinya mainkan kalah membuatnya berteriak kesal. Nio lantas menghentikan permainannya, dia menaruh ponselnya dan mengikuti sikap Javier yang tidur telentang menatap langit kamar. Javier sendiri dengan setia menunggu, takut dirinya kena omel oleh Nio karena permainannya kalah.
"Cuman ada yang bilang kalau pacarnya mbak Kara itu, duda."
Seketika saja jantung Javier berdetak tidak karuan.
"Emangnya salah yah mbak Kara pacaran sama duda?" Tanyanya mencoba biasa-biasa saja.
"Yah kata nyokap gue sih sayang aja, mana duda punya anak dua lagi. Kan mbak Kara masih muda, singel lagi belum nikah. Harusnya kan bisa nyari cowok yang masih singel, masih muda juga toh mbak Kara juga cantik."
Sebisa Javier mencoba untuk tidak melempar bantal di sampingnya pada Nio. Dia berusaha untuk bersikap normal, meskipun di dalam hatinya ingin sekali mengatakan jika pria yang di omongkannya itu ayahnya. Namun, dia cukup sadar diri untuk tidak kelewat batas.
"Oh gitu, yah mungkin udah cinta."
"Mungkin, tapi awalnya ibu-nya mbak Kara itu nggak setuju, tau Vier. Ibunya mbak Kara keceplosan waktu itu bilang sama nyokap gue, gara-gara nya yah itu karena duda punya anak."
Dan kali ini Javier hanya bisa diam, enggan menimpali dan perasaannya tiba-tiba semakin tidak karuan.
"Terus sekarang kata nyokap lo, mbak Kara masih pacaran nggak?"
Nio mengangkat bahunya, pertanda tidak tahu.
"Nggak tau sih, gue gak nanya lagi."
Setelah itu mereka kembali diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai kemudian Javier tertidur, pun dengan Nio yang tidur juga. Sepertinya mereka kelelahan setelah perjalanan panjang tadi, di tambah mereka berada di Lembang dengan cuaca yang pas untuk beristirahat.
***
Karena villa yang disewa oleh Kara sudah satu paket dengan makan, membuat Kara tidak usah repot-repot untuk memasak. Yah dia juga tidak jago-jago amat masak sih, kalau untuk urusan per-dessert'an sih dia bisa. Tapi untuk masak-memasak sih, dia tidak ahli. Sekedar masak telor atau mie sih dia bisa tapi untuk yang lain dia tidak bisa. Maka dari itu dia sengaja memesan villa yang sudah satu paket dengan makanannya.
Kara turun dari lantai dua, melihat meja yang berisi makanan ringan yang sudah disiapkan oleh penjaga villa di sini. Ia kemudian berjalan menuju dapur, dan melihat sudah ada makanan berat yang masih panas berada di atas meja. Langit sudah sore, mungkin itu sebabnya makanan sudah disiapkan.
Di atas meja sudah ada berbagai macam lauk, seperti gurame goreng, capcay, ayam bakar, perkedel kentang dan juga sambal. Sangat menggugah selera, sepertinya dia akan menunggu dua remaja di atas untuk makan bersama.
Kara membuka kulkas yang ada di sana, ia tersenyum puas melihatnya. Ia mengambil beberapa buah untuk dirinya jadikan smoothie, pencuci mulut yang pas setelah makan.
Begitu smoothie yang dibuatnya selesai, kedua remaja itu menghampirinya.
"Gimana istirahatnya? Puas nggak?"
Dua remaja itu hanya berdehem, sepertinya masih mengumpulkan nyawa mereka.
"Makan yuk, mumpung masih anget nih. Mbak juga udah buatin smoothie buat cuci mulut,"
Kara menaruh 3 gelas smoothie di atas meja. Kemudian duduk di samping Javier.
"Wah seger nih, Mbak Kara yang masak?"
"Nggak, Mbak emang pesen paketan makan juga di sini. Biar enjoy aja kita liburannya,"
"Oh bener, Mbak. Aku setuju, ayok deh makan. Aku juga udah laper,"
Nio lantas turun dari kursi menuju wastafel, untuk mencuci tangannya. Sedangkan Javier dia masih diam saja enggan beranjak, toh dia akan makan dengan sendok dan garpu untuk apa mencuci tangan. Pikirnya.
"Ayok mulai, ambil aja sendiri-sendiri yah."
Kara mengikuti Nio yang mencuci tangan, dia membiarkan kedua remaja duluan yang mengambil nasi dan lauk pauknya, setelah itu barulah dirinya.
Nio mengambil capcay, ayam bakar dan juga gurame goreng. Sedangkan Javier hanya ayam bakar saja, dan itu semua dilihat oleh Kara.
"Kamu nggak suka makanannya Javier?"
Javier bingung menjawabnya.
"Aku nggak suka sayuran, Mbak. Aku juga belum pernah makan yang bulet-bulet itu, kalau ikan aku gak bisa makan karena ada durinya." Jelas Javier diiringi dengan raut malunya.
"Ah gitu, kamu mau coba perkedel kentangnya? Ini enak loh, coba dikit aja yah. Ikannya kamu mau? Mbak pilihin dari durinya yah, sayang banget kalau gak makan ikan ini. Ayam mulu kan bosen, hehe."
Kara memotongkan perkedel kentang untuk Javier, ia juga memisahkan daging ikan dari durinya. Ia begitu telaten, sampai tak menyadari jika Javier terus menatapnya. Remaja itu kembali terharu karena perlakuan Kara yang perhatian padanya. Bahkan ayahnya saja tidak seperti ini, boleh kah dia berharapa jika wanita di sampingnya itu menjadi bagian dari keluarganya? Dia tidak ingin ketergantungan dengan Kara tanpa status wanita itu bukan siapa-siapa dikeluarganya. Jadi, dia akan mencoba untuk menerima Kara sebagai ibu kedua dihidupnya. Yah dia sudah memutuskan untuk menerima Kara sebagai kekasih ayahnya.
"Nah sudah, ayo makan, Javier. Kamu juga Nio, nih ikan guramenya. Makan juga yah, kalau perlu tambah."
Nio tersenyum lebar sedangkan Javier mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
"Habis ini mbak mau ke Bukit Bintang, kalian mau ikut apa tunggu di sini?"
"Ikut/ikut." Seru Javier dan Nio bersamaan.
"Oke, ayo habisin dulu makanannya,"
Mereka berdua mengangguk semangat, mulai menghabiskan makanannya.
***
Seperti yang dijanjikan oleh Kara mereka bertiga pergi menuju Bukit Bintang, tempat yang sudah lama ingin Kara kunjungi. Dan dia tidak menyangka bisa pergi ke sini dengan dua remaja, sulit dipercaya.
Mereka benar-benar menikmati suasana di sini, dari atas sini mereka bisa melihat kota Bandung dengan vibes malam yang begitu indah.

Gambar by pinterest=> (wisataoke.com)
"Keren banget!" Seru Nio yang disetujui oleh Javier.
Javier mulai memotret, Nio juga ikut-ikutan. Sedangkan Kara memilih untuk melihat-lihat sekitaran, perasaannya begitu tenang melihat keindanhan ini. Dia tidak menyesal untuk mengeluarkan budget yang lumayan menguras gajinya itu.
"Mbak Kara," Javier kini berada di samping Kara.
"Iya?"
"Nanti kita ke sini lagi yah, sama ayah, Javier dan juga abang,"
"Eh?"
"Iya kita ke sini lagi yah nanti,"
Kara manggut-manggut saja meskipun bingung dengan perkataan Javier.
Setelah puas bermain di Bukit Bintang mereka kemudian turun, dan kembali untuk pulang ke villa. Untung saja villa yang dia pesan memiliki mobil sewaan, mereka jadi tidak perlu bingung lagi untuk pulang.
Karena daerah Lembang itu naik turun membuat mereka terkadang was-was, karena jarang mereka berpergian melewati jalanan seperti ini apalagi di malam hari. Sampai ketika jalanan menuju villa mereka yang menanjak, mobil yang ditumpangi Kara tiba-tiba berhenti, membuat mereka semua panik.
"Eh, Pak ini kenapa? Kok berhenti?"
"Tunggu sebentar yah, Neng. Mobilnya emang suka mogok, maklum mobil tua," jawab supir tersebut kalem.
Supir villa itu kembali menyalakan mobilnya, namun tetap saja tidak mau menyala.
Seketika pikiran horor mulai memenuhi pikiran Javier dan Nio.
"Stop lo jangan ngomong yang aneh-aneh," peringat Javier ketika tahu Nio akan membuka suara.
"Hehe,"
"Pak ini masih lama gak sih? Dingin nih, Pak!" Seru Nio yang mulai protes karena sejak lima menit lalu mobil mereka stuck di tempat, tidak mau menyala.
"Tunggu sebentar yah, sedang di usahakan."
Kara sudah mulai khawatir, pasalnya posisi mereka tidak lah bagus, bayangkan saja mereka berada ditengah-tengah jalan, dengan jalanan menanjak, disekitaran mereka hanya pohon dan rerumputan bagaimana tidak panik mereka?
Setelah lima belas menit mereka tetap diam di sana, akhirnya mobil mereka bisa menyala. Membuat mereka semua lega, dengan cepat supir itu menjalankan kembali mobilnya menuju villa.
"Sumpah gue nggak mau ngerasain lagi kayak tadi, horor banget!" Nio berseru ketika mereka sudah masuk kamar.
"Gue juga, bener-bener bikin kapok. Besok kasih tau mbak Kara kalau mau ngajak main jangan malem-malem deh,"
"Setuju, tapi pasti mbak Kara juga kapok deh, apalagi mbak Kara diem di depan kan?"
"Yaudah deh, gue duluan ke air abis itu elo yah."
Nio mengangguk saja, dia masih lelah dengan kejadian hari ini yang diluar prediksinya.
***
Selama lima hari mereka berlibur, banyak sekali hal yang dilakukan Kara, Javier dan Nio. Seperti menanam, memetik strawberry, bahkan memeras s**u! Benar mereka memeras s**u, pada awalnya Javier tidak mau, dia merasa aneh. Namun karena Nio yang terus saja mengejeknya membuat Javier tertantang dia mengikuti juga.
Sampai ada sebuah insiden di mana wajah Javier terkena ekor sapi membuat wajah remaja itu memerah. Bahkan Javier hampir menangis, karena terasa perih. Kara yang melihat itu merasa bersalah, dan mengobati wajah Javier. Javier yang memang anaknya sensitif jelas saja semakin tersentuh dengan sikap Kara padanya. Sampai Javier tidak sadar memeluk Kara dengan mata yang berkaca-kaca, seolah dia mengatakan pada Kara bahwa dirinya merindukan sosok ibu yang sudah lama tak ia rasakan lagi.
Kara sendiri membiarkan saja Javier memeluknya, malah dirinya pun membalas pelukan remaja itu. Kara juga merasakan hal yang sama, jika dirinya mulai menyayangi bocah ini. Seolah-olah dirinya sudah kenal lama dengan Javier, dan dari sana lah mereka semakin akrab saja sama seperti Nio kepada Kara.
"Bye Javier makasih yah mbak Kara. Sering-sering aja aku yah kalau mau liburan lagi, hehe." Seru Nio setelah keluar dari dalam mobil.
"Haha oke deh, siap. Istirahat yah, Nio daaahh ..."
"Bye Nio," Javier melambaikan tangannya di ikuti Kara yang melambaikan tangannya juga.
Sedangkan mobil yang ditumpangi Javier dan Kara kini mulai berjalan menuju rumah Kara. Karena Javier ingin istirahat dulu sebentar di rumah Kara setelah itu barulah dirinya akan pulang, toh keluarganya tahu jika dirinya akan berlibur seminggu. Jadi pasti di rumah pun tidak ada siapa-siapa batinnya.
"Kalau di rumah ayah sama abang belum pulang, Javier bisa tidur kok di rumah Mbak Kara, nggak apa-apa kok."
"Beneran, Mbak nggak apa-apa?"
"Iya dong, kan Javier sekarang udah jadi adek, Mbak." Sahut Kara sambil menjawil hidungnya.
Javier tersenyum tipis, dalam hatinya dia tidak mau dianggap adik oleh Kara.
"Oke dah sampe, ayok turun."
Mereka turun dari dalam mobil sambil membawa barang mereka. Tak lupa beberapa kantong oleh-oleh untuk orang rumah, Javier juga membelikan oleh-oleh kok untuk ayah dan abangnya tenang saja.
Alis Kara naik ke atas melihat pintu rumahnya yang terbuka lebar, dia berpikir pasti ada tamu ibunya.
"Ayo masuk, kayaknya ada tamu ibu deh." Sahut Kara pada Javier.
Mereka berdua masuk ke dalam rumah, niat hati ingin mengejutkan ibunya. Justru Kara lah yang terkejut, dan Javiee juga tentunya.
"Javier?!"
"A-ayah?"
Barang bawaan yang ada di dalam genggaman Kara terlepas. Kara masih mencerna dengan ini semua, satu yang pasti. Dia tidak ingin bertemu dengan ayah dan ini untuk sekarang.
"Kara, sayang, tunggu, Kara!"
Bara mengejar Kara sambil memanggil sang kekasih yang langsung masuk begitu saja ke dalam kamar, tanpa mempedulikan ibu, dan juga Javier.
Javier yang melihat situasi buruk ini hanya diam membisu, perasaannya mendadak sedih.
"Ayo pulang,"
"A-ayah?" Mata Javier berkaca-kaca memandang ayahnya yang berdiri di hadapannya.
"Ibu, maaf kenalkan ini Javier anak bungsu saya, saya pulang dulu. Maaf jika membuat ibu dan Kara kaget."
Lastri hanya bisa mengangguk dan mempersilakan ayah dan anak itu pergi dari rumahnya. Karena jujur saja, Lastri pun masih mencerna dengan kejadian ini.
***
Tbc