Di dalam mobil Bara si bungsu masih menunjukkan wajah sedihnya, ia memandang keluar jendela enggan menatap ayahnya. Seharusnya dia takut kan, yah karena berbohong pada ayahnya. Tapi, di sini Javier tenang marah, sedih, kecewa entah pada siapa. Maka dari itu yang dia lakukan hanya memandang keluar jendela.
Pun Bara yang masih terkaget-kaget bahwa selama ini rupanya Javier sudah tahu Kara. Mengapa dirinya tidak tahu akan perkembangan ini? Jika melihat interaksi Kara dan Javier tidak ada yang perlu dirinya takutkan, tapi sepertinya Kara tidak tahu jika Javier adalah anaknya. Haaahhh dirinya memang salah dari awal, tidak berani untuk memperkenalkan mereka. Niatnya ingin memperbaiki hubungannya dengan Kara hari ini sepertinya pupus sudah. Dipastikan Kara akan semakin marah dan menjauhinya, haaaa peer sekali. Batinnya.
"Adek,"
Javier diam saja, masih bete dia.
"Ayah mau tanya, kamu kenapa bisa kenal dengan Tante Kara?"
"Mbak Kara guru les Nio."
Javier masih merajuk, dia tidak mau melihat ayahnya. Padahal ayahnya di sini tidak salah, namun Javier tetap tidak mau menatap ayahnya.
Mbak Kara bukan Tante Kara. Oke ini bagus?
"Oh, jadi kemaren Adek les juga sama, mbak Kara?"
Dan Javier hanya menjawabnya dengan anggukan saja.
"Terus kemarin juga Adek izin sama Ayah itu liburan bareng sama mbak Kara? Bukan keluarga Nio?"
Kembali Javier mengangguk.
"Oke, kata Adek gimana mbak Kara. Baik?"
Lagi, lagi dia mengangguk.
"Apa mbak Kara tahu Adek anak Ayah?"
Nah kali ini pertanyaan Bara membuat Javier mau menatap ayahnya.
"Nggak Ayah, Adek juga nggak kasih tau, mbak Kara."
"Hm, oke ayah percaya."
"Kenapa Adek bohongin Ayah soal ini?"
Javier menundukkan kepalanya.
"Maaf Ayah, Adek awalnya mau bilang. Tapi, Adek pengen tau dulu mbak Kara orangnya seperti apa, karena selama ini Adek sama abang berpikir kalau mbak Kara orang yang jahat, yang mau misahin kita aja,"
"Nah sekarang, setelah Adek tau. Mbak Kara gimana? Masih anggap mbak Kara jahat?"
Bungsu Bara itu menggelengkan kepalanya kuat "nggak Ayah, mbak Kara baik. Dia perhatian sama Adek, dia selalu tanya Adek. Adek suka mbak Kara, Ayah. Tapi sekarang, mbak Kara pasti benci Adek." Ucap Javier yang kembali sedih mengingat Kara yang pergi begitu saja meninggalkan dirinya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Nanti Ayah bicara sama mbak Kara yah, Adek tenang aja. Mbak Kara nggak akan benci, Adek kok."
"Janji?"
"Iya, jadi sekarang Adek nggak masalah kalau Ayah pacaran sama mbak Kara?"
"Nggak Ayah, Adek suka mbak Kara."
"Bagus, makasih ya, Adek. Tapi, tolong nanti jangan kasih tahu ke abang soal ini yah, biar Ayah yang bicara pelan-pelan ke abang, oke?"
Lagi Javier mengangguk.
"Oke deh, ayo ceritain kemarin waktu liburan ke Adek ngapain aja di sana? Ayah pengen tahu, sampe Adek nggak mau angkat vidio call kita."
Dan mengalirlah cerita Javier mengenai apa saja yang terjadi saat dirinya liburan. Kini perjalanan mereka di dalam mobil dipenuhi oleh celotehan Javier. Bungsu Bara itu menceritakan semuanya, termasuk mobil mereka yang mogok, wajah dirinya yang terkena ekor sapi. Bara sendiri mendengarkan dengan baik, dia tersenyum melihat anaknya yang antusias. Terlebih setiap nama Kara keluar dari mulut Javier membuat hatinya menghangat. Tanpa Kara bersusah payah untuk menarik perhatian Javier anaknya itu ternyata sudah tertarik kepada calon ibu sambungnya tersebut.
Apakah ini pertanda bagus untuk hubungannya dengan Kara?
Namun, yang harus Bara ingat. Jika masih ada Melvin-putra sulungnya itu yang menentang keras hubungannya dengan Kara.
***
Sesampainya di rumah besar Bara. Melvin sepertinya sedang menunggu adiknya itu, namun dia bingung melihat ayahnya yang ikut pulang.
"Loh kok Ayah sama Adek bareng?"
"Iya tadi Adek minta jemput,"
"Tau kalau Ayah jemput Javier aku ikut deh."
"Nih Adek kasih oleh-oleh aja sama Abang."
Javier memberikan beberapa paper bag yang berisi oleh-oleh yang telah dibawanya.
"Loh kok bolu s**u Lembang, kamu dari Lembang? Bukannya kemaren bilangnya ke puncak?"
"Hehe nggak jadi, Abang."
"Ayah, oma telfon--"
Bara hanya menganggukan kepalanya, sudah tahu apa yang di ucapkan ibunya itu. Satu bulan sekali sudah biasa bagi mereka untuk kumpul bersama, Bara adalah anak bungsu dari orangtuanya. Dia memiliki seorang kakak wanita yang sudah menikah dan dikaruania seorang anak perempuan yang sudah kuliah bernama Naya.
"Adek males, masih capek juga. Bisa nggak, kalau Adek nggak usah ikut aja?"
Melvin mencibir.
"Yah nggak apa-apa sih, palingan ntar oma ribet, teleponin mulu cucu kesayangannya,"
"Ck, males."
"Yaudah lah mau gimana lagi,"
Mereka berdua pasrah, karena jika tidak datang dapat dipastikan oma mereka akan ke rumah dan mengomelinya. Hal yang tidak mau Melvin dan Javier dengar.
"Ayah mau ke mana?"
Melvin bertanya begitu sang kepala keluarga beranjak dari duduknya.
"Mau keluar sebentar,"
Melvin menyipitkan matanya curiga.
"Pacaran lagi? Ayah mau pacaran lagi? Apa nggak bosen seminggu ini pacaran mulu!"
Javier langsung menatap ayahnya dengan pandangan bertanya.
"Ngawur kamu, siapa yang bilang Ayah pacaran dari kemarin, hah?!"
"Ck bohong, jangan bohong ya Ayah. Melvin tau dari sekertaris Ayah yah. Tante Mona sendiri yang bilang, kalau Ayah jalan keluar mulu sama cewek!"
"Astaga! Itu klien Ayah."
"Nggak, Melvin nggak percaya! Lagian kenapa sih nggak balikan lagi aja sama Mami!"
"Kita udah bahas ini Melvin!" Bara berujar tegas, yang artinya dia tidak ingin membahasnya lagi.
Setelah itu Bara pergi meninggalkan kedua anaknya, tapi dia tidak pergi keluar rumah. Melainkan masuk ke ruang kerjanya.
Melvin dan Javier hanya bisa diam membatu, mereka berdua benar-benar tidak berani membalas ucapan ayahnya itu jika sudah mode menyeramkan seperti tadi. Pasalnya ayahnya itu juga melemparkan tatapan yang datar, benar-benar datar. Jika sudah seperti itu, mereka berdua pasti hanya bisa menurut.
"Adek mau mandi dulu, Abang."
Melvin mengangguk membiarkan adiknya itu naik ke lantai atas, tempat di mana kamarnya berada. Melvin sendiri? Yah dia membuka oleh-oleh dari adiknya itu, dia malas untuk ke kamar. Bermain ponsel pun dia sudah bosan, ya lebih baik dia membuka oleh-oleh yang dibawakan Javier kan?
Oleh-oleh yang dibawakan Javier lumayan banyak, bukan hanya bolu saja. Tapi, ada permen s**u, bolen pisang, youghurt, bahkan sampai tahu s**u lembang? Dia sampai beberapa kali melihatnya takut salah. Apa adiknya itu yang membeli ini sendiri? Bukan dipilihkan oleh orang lain? Karena mengapa random sekali oleh-olehnya ini. Tak ingin ambil pusing, Melvin mengambil bolen pisang dan memakannya sambil membuka ponselnya guna membuang waktu.
Beberapa jam kemudian, keluarga besar Bara tiba di rumah oma mereka. Wajah mereka tidak dapat terbaca, karena kejadian siang tadi yang membuat Melvin maupun Javier enggan untuk bersuara.
"Aduh gantengnya cucu-cucu, Oma." Amara memeluk kedua cucunya bahkan menciumi pipi mereka berdua. Ketika mereka berdua masuk ke dalam rumah.
Melvin sih sudah ingin menghindar namun tetap saja tidak bisa, Javier lebih ke pasrah.
Bara sendiri hanya memeluk tubuh tua ibunya itu.
"Kamu ini loh, susah banget kalau di suruh ke sini. Kalau kamu sibuk, mbok yah anak-anakmu saja toh yang ke sini, apa-apa harus terus bertiga."
Mulai Amara mengomeli Bara. Bara langsung memandang kedua anaknya, yang langsung saja kakak dan adik itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Karena bukan hal umum lagi, mereka berdua malas jika harus kemari tanpa ayahnya.
"Ayok-ayok ke ruang makan, opa sama tante udah ada di sana."
Mereka kembali menuju ruang makan, kemudian menyapa keluarga mereka yang lain di sana. Acara makan malam itu berjalan seperti biasanya, setelah itu mereka keruang keluarga. Mereka masih mengobrol santai, seperti kegiatan sekolah cucu-cucu mereka. Sampai kemudian pertanyaan Amara pada Bara membuat suasana berbeda.
"Sampai kapan kamu main-main terus, Bara?!"
Bara mengangkat alisnya memandang ibunya.
"Udah kamu terima aja anak temen, Mami. Umurnya gak jauh beda sama kamu, dia juga single parent. Tapi, wajah sama tubuhnya masih bagus kayak gadis perawan."
Bara memutar bola matanya bosan.
"Lagian kamu, selama ini pacarin bocah. Ck, umur kalian aja udah beda, belum pola pikirnya. Kamu yang ada malah jadi bapaknya, bukan suaminya," itu Bianca kakak Bara.
Memang Bianca dari dulu selalu mencampuri urusannya, apalagi semenjak dia dan mantan istrinya itu bercerai.
"Bara nggak main-main sama dia, Mii. Bara serius sama Kara,"
Amara mendengus sedangkan Ben sang suami sedari tadi hanya memperhatikan, belum waktunya untuk berkomentar.
Melvin dan Javier tidak ikut-ikutan, mereka lebih memilih untuk memaikan ponselnya, namun tetap telinganya ikut mendengarkan.
"Mending kamu balik lagi sama Wina, dia juga pasti belum nikah 'kan?" Bianca kembali mengompori.
"Yah Mami setuju, lagian sampai sekarang Mami nggak tahu alasan kalian cerai itu kenapa,"
Benar, memang benar tidak ada yang mengetahui alasan perceraian Bara dengan Wina. Mungkin hanya ayahnya saja yang tahu lewat anak buahnya, namun ayahnya juga hanya diam. Karena Bara sudah dewasa, tahu yang terbaik untuk masa depannya, maka dari itu Ben membiarkannya saja.
"Cukup sekali aku mengatakannya, aku tidak akan kembali pada Wina apapun alasannya!" Final Bara.
***
Tbc