"Mba Kara jadi ambil cuti?" Tanya Uti pada Kara ketika seniornya itu selesai membereskan gudang.
"Jadi dong, aku udah di izinin juga sama Nyonyah,"
"Ah syukur deh, aku takut nggak di acc,"
Kara tersenyum mendengarnya.
"Mbak udah ada rencana belum mau healing ke mana?"
Kara mengangguk.
"Lembang, mau ke sana."
"Ih asyik dong, itu mah bener-bener healing, Mbak."
"Ntar Mbak kasih s**u asli sana yah,"
"Iiii asyiikkk ..."
Dan setelah itu mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Kara diam di depan kasir dia sibuk memasukan data-data barang keluar dan barang masuk. Selama beberapa hari ini dia juga tidak memikirkan Bara yang sepertinya menghilang di telan bumi. Fyi mungkin dirinya melupakan jika nomornya sudah dia ganti, jadi dia tidak tahu jika selama beberapa hari ini Bara juga mulai mempertanyakan keberadaan Kara. Kara sendiri memilih tidak mempedulikan duda dua anak itu, jika pria itu tidak mau dengannya ya sudah dia juga tidak akan mengejar pria itu. Untuk apa? Toh dia tidak mau berjuang sendirian, buang-buang waktu saja. Umurnya bukan lagi umur anak remaja yang dimabuk cinta, umurnya sekarang sudah pantas untuk memiliki suami dan anak. Jika Bara tidak dapat memberikannya, dia akan mencari dari pria lain, toh dirinya tidak jelek-jelek amat untuk ukuran seorang wanita. Bukti nyatanya Bara sendiri, jadi dia cukup pede untuk mencari pria lain di luaran sana.
Remon? Dia baik sih namun dalam segi ekonomi dia tidak bisa menikah dengan pria itu. Bukan dia matre, dia hanya realisitis saja. Dia tidak mau seumur hidupnya seperti ini, akan sangat melelahkan baginya jika sampai tua dia terus bekerja. Haah tidak dia tidak mau.
Yah kalau bisa sih setara managernya? Gajinya cukup besar untuk menghidupi kebutuhannya kelak.
Kara bepikir mengenai teman Nio yang bernama Javier. Remaja tampan itu seolah mengingatkannya pada seseorang, namun dia juga lupa orang itu siapa. Hanya terasa familiar baginya, diam-diam dia memperhatikan Javier. Karena remaja itu terkadang selalu mencuri tatapan padanya, membuat dia bingung dan juga grogi disaat bersamaan. Untunglah les terakhir mereka sudah selesai, karena hari ini mereka selesai ulangan semester dia merasa lega juga cemas. Jujur saja dia sudah menganggap kedua bocah itu sebagai adiknya, perbedaan umur yang mereka miliki lumayan jauh, dia merasa seperti memiliki adik.
Wanita berumur 27 tahun itu berpikir hadiah apa yang akan dia berikan pada dua remaja itu. Dia ingin memberikan hadiah pada Nio dan Javier setelah mereka menyelesaikan ulangan. Bukan untuk mengambil hati mereka, bukan. Tapi, dia melakukannya karena teringat akan dirinya dulu. Ibunya selalu memberikannya hadiah kecil ketika dirinya selesai ulangan. Pertama untuk membuatnya semangat belajar, kedua karena ada seseorang yang bangga padanya. Sekalipun nilai ulangannya tidak selalu bagus, setidaknya ada yang memperhatikannya itu lebih dari cukup. Jadi dia ingin memberikan tradisi itu untuk anak-anaknya kelak, meskipun sekarang dia belum memiliki anak. Tapi, ada Javier dan Nio yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri. Mungkin dia akan berbicara pada Uti meminta pendapat padanya, hadiah apa yang pantas untuk remaja tanggung seperti mereka.
***
"Kak Naya," seru Javier begitu melihat Naya yang berjalan ke arahnya.
Javier sudah meminta kakak sepupunya, anak dari paman dan tante nya itu untuk membantunya mencari kado untuk Kara. Karena wanita itu telah membantunya memperoleh nilai paling tinggi untuk ulangan semester ini. Jadi sebagai ucapan balas budi, dia ingin memberikan wanita dewasa itu hadiah.
"Hi Javier udah lama nunggu kakak?"
Javier menggeleng.
"Kakak mau makan dulu?"
"Nggak usah, nanti aja. Ayok, mau sekarang cari hadiahnya?"
Javier mengangguk semangat, mereka berdua memutuskan untuk mencari kado di mal lain. Karena jika di mal biasa, dia takut akan bertemu dengan Kara plus dirinya juga takut kakak sepupunya itu mencurigai dirinya.
"Kamu udah ada pilihan mau beliin guru les kamu apa, Vier?"
"Tas, sepatu mungkin." Balasnya bingung. Karena yang ada dipikirannya hanya dua itu saja yang pasti akan disukai semua wanita.
"Kalau sepatu, kamu tahu ukurannya?"
"Jangan sepatu kalau gitu, kita cari tas aja?"
Usul Naya yang sepertinya tahu jika Javier tidak mengetahui mengenai ukuran sepatu wanita itu.
"Kalau tas, tas kayak gimana?"
Javier diam kembali dia juga bingung.
"Prada? Chanel? Ferragamo? Fendi? Versace? Atau kamu ada kepikiran merk lain?"
Nama yang disebutkan tentu lah tidak asing bagi Javier. Keluarganya pengguna barang-barang yang disebutkan di atas. Namun, dia masih belum memutuskan.
"Ntah lah, aku bingung Kak. Kata Kak Naya apa yang cocok untuk guru les aku?"
"Hm, coba kamu sebutin kepribadian dia kayak gimana?"
"Memangnya ngaruh, Kak?"
"Yah coba aja,"
"Emm, dia sederhana, mandiri, dan aku gak tau dia bakalan suka sama barang yang aku beliin atau nggak kalau liat dari dia yang nolak bayaran les aku."
"Hem, menarik. Ayok kita cari dulu di toko sana," tunjuk Naya pada sebuah toko tas branded.
Javier dan Naya berjalan menuju toko tersebut, toko yang menjual berbagai tas wanita hingga pria. Namun menurutnya tak ada yang membuatnya menarik.
"Gimana? Tas yang ini cocok nggak?"
Javier menggeleng.
"Yaudah cari ke tempat lain,"
Mereka berdua kembali masuk keluar toko tas, namun sampai satu jam lamanya tak ada yang membuat Javier puas.
"Yah gimana dong, susah banget carinya." Keluh Javier yang sudah berjalan ke sana-kemari mencari tas.
Naya pun bingung harus mencari kemana lagi, beberapa toko tas yang bagus di mal sini sudah mereka datangi, namun tak ada yang menarik perhatian Javier.
"Gimana kalau tas-nya diganti aja sama yang lain? Misalnya jam tangan? Kayaknya kalau jam guru les-mu gak bakalan tau deh harganya berapa, Vier kalau kamu kasih. Kalau tas sih, Kak Naya yakin guru les kamu sadar,"
Javier termenung, mencerna ucapan kakak sepupunya itu yang masuk akal.
"Oke deh kalau gitu, ayok kak kita cari lagi."
Naya tersenyum dan kembali bangkit dari duduknya.
"Ayok, abis ini kamu traktir kakak makan yah."
"Siap deh, mau Kakak ke salon juga aku bayarin."
"Haha asyiik, nanti Kakak tagih,"
Mereka berdua kembali melangkah menuju toko jam, yang tentunya bukan toko jam biasa.

Javier memilih ini sudah satu paket, dan disetujui oleh kakak sepupunya. Dia yakin kekasih ayahnya itu akan menyukainya.
"Kapan kamu akan memberikannya Javier?"
Mereka keluar dari toko jam dan kini mereka akan pergi ke restoran sushi, makanan yang diinginkan oleh Naya.
"Emm besok, aku mau minta izin juga sama Ayah."
"Hah izin kemana?"
"Ada deh, Kak Naya gak boleh tau."
"Ck awas kalau aneh-aneh yah kamu,"
Dan Javier hanya tertawa mendengarnya.
***
Nio
Javier gue udah tahu Mbak Kara mau pergi ke mana.
Javier
Hah kemana?
Nio
Lembang
Fyi Javier sebelumnya berbicara pada Nio perihal dirinya yang ingin dekat dengan Kara sebagai adik. Dia tidak menceritakan alasan aslinya ingin dekat dengan wanita itu, hanya saja untuk saat ini dia menceritakan kebohongan itu. Nio yang tahu jika dirinya anak dari keluarga broken home pun mau membantunya. Dan karena mereka sekarang sudah libur sekolah, dan juga rencana liburan Kara memiliki waktu yang sama. Jadilah ia mengusulkan untuk ikut berlibur dengan Kara. Nio sih mau-mau saja, orangtua Nio pun tidak masalah asalkan di izinkan oleh Kara. Namun, masalahnya di sini Kara tidak mengetahuinya. Nah usul Javier adalah mereka akan ke rumah Kara secara dadakan, dan minta wanita itu untuk mengajaknya juga. Karena Kara tipe wanita yang sensitif dan selalu tidak tegaan, menurut Nio. Jadilah dia akan menggunakan rasa empati Kara padanya.
Javier
Oke, terus mbak Kara bakalan pergi jam berapa?
Nio
Katanya nyokap gue sih, kemungkinan jam 10 soalnya mau bantu" dulu catering di kelurahan.
Javier
Oke, kalau gitu gue besok pagi-pagi ke rumah elo nya.
Nio
Siippp. Jangan lupa bawa cemilan buat di jalan yah Javier.
Javier
Ck, oke-oke. Thanks yah.
Nio
👍
Setelah mendapatkan informasi dari Nio. Javier lari keluar dari kamarnya, ia menemui ayah dan abangnya yang berada di ruang baca.
"Aaayaahhh ..." seru Javier sambil membuka pintu ruangan tersebut.
Javier si bontot keluarga Bara memang manja pada keluarganya, tapi jika dengan orang lain dia berbeda. Entah mungkin karena selalu dimanjakan oleh abang dan ayahnya sejak dulu, sehingga dia tidak menyembunyikan jati dirinya yang masih bocah pada keluarganya.
Di dapatinya wajah ayahnya yang mulai suntuk tengah menghadap laptop, sedangkan Melvin tengah membaca komik.
"Kenapa, Dek?"
"Hehe, aku mau izin boleh?"
Kini keduanya mulai serius memperhatikan Javier. Komik dan laptop sudah tak dihiraukan lagi.
"Izin kemana?" Suara Bara terlihat berbeda.
"Puncak, aku mau liburan bareng keluarga Nio."
Melvin menyipit, curiga dengan adiknya itu yang tidak seperti biasanya. Dia memang tahu Nio teman masa orientasi Javier dan dia sudah hafal juga keluarga Nio. Namun, yang membuatnya curiga adalah, adiknya itu mau pergi dengan keluarga Nio. Karena biasanya Javier sendiri, memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah dengan menyusun lego, atau bermain ps. Maka dari itu Melvin sedikit curiga dengan sang adik.
"Tumben kamu mau ikut? Kamu gak rencain aneh-aneh kan, Dek?"
"Iya, biasanya juga kamu mau ikut ayah dinas kalau liburan gini, kok tumben?"
"Aku tuh bosen, Abang pasti latihan band juga, belum Ayah yang suka lama kalau dinas. Terus aku? Masa aku sendiri diem di rumah?"
Ayah dan abangnya itu membatin, menyetujui perkataan Javier.
"Berapa lama?"
"Emm aku gak tau sih, ikut mereka aja. Boleh ya Ayah? Nilai raportku juga bagus, kan? Ayah udah liat kan?"
Yang dikatakan Javier benar adanya, nilai raport si bungsu begitu mengesankan. Jadi tidak ada masalah sepertinya jika dirinya mengizinkan.
"Dek, nggak usah lah. Abang nggak ada temennya nanti,"
"Alah, Abang aja kadang suka tidur di basecamp," cibir Javier.
"Nggak akan, Dek."
"Udah-udah, nggak apa-apa Bang, Adeknya kan mau liburan, kamu juga suka liburan sendiri."
"Tapi Ayah, Javier kan gak pernah pergi sendiri. Gimana kalau dia nanti gak bisa tidur di tempat baru? Dia pasti bakalan minta pulang,"
"Ih ngeselin, emangnya aku masih anak kecil apa!"
"Iya kan kamu Adek, Abang. Kamu masih kecil,"
"Ayaaahhhh ...."
"Melvin, kamu yah ngisengin mulu adeknya."
"Yaudah gini aja, aku ikut aja gimana."
Wajah Javier langsung berubah.
"Sumpah yah, Abang ngselin. Terserah lah, emang kalian tuh gak sayang sama Javier."
Pundung remaja tanggung itu, dia langsung pergi begitu saja dari ruang baca.
"Abang, kamu tuh ngisengin mulu si Adek, deh."
"Yah lagian kayak bukan dia aja, tapi tenang aja Ayah aku gak bakalan ikut. Aku mau jaga Ayah aja, aku nggak akan biarin Ayah pacaran dengan Tante matre itu," ucap Melvin enteng yang membuat Bara menggelengkan kepalanya.
***
Javier sudah siap dia membawa koper yang berisi pakaian serta camilan, kebanyakan camilan sih yang sudah disiapkan oleh abangnya. Untung saja abangnya tidak jadi ikut, kalau tetap memaksa sudah lah dia tidak akan jadi pergi.
"Kabarin Ayah kalau udah sampe,"
"Kabarin Abang juga,"
"Ck, iya-iya. Aku tahu nanti aku telepon. Sudah yah, Pak Tomi kasian udah nungguin Adek."
Bara dan Melvin pun melepaskan si bontot pergi, mau tak mau dari pada bocah itu rewel.
Di dalam perjalanan, Javier sudah mengirimkan pesan pada Nio jika dirinya sudah pergi. Lima belas menit lagi dia akan sampai di rumahnya, dan Nio membalas oke sebagai jawaban.
Javier sudah tidak sabar, dia membuka tas ranselnya melihat jika hadiah untuk Kara ada di tasnya tidak tertinggal. Membuatnya merasa lega, karena doa takut jika kado yang susah-sudah dia cari itu malah tak dirinya bawa.
Lima belas menit berlalu, Javier sampai di depan rumah Nio. Temannya itu sudah menunggu di depan pagar.
Nio mengerutkan keningnya bingung melihat Javier keluar dari dalam mobil menyeret koper.
"Lo mau minggat, Vier? Bawaan lo banyak banget,"
"Abang Melvin nih, dia yang siapin bawaanya."
"Dasar, yaudah lo mau diem di sini dulu atau mau langsung ke rumah Mbak Kara?"
Tanpa pikir panjang Javier mengusulkan untuk langsung ke rumah guru les nya itu. Nio menyetujui dan langsung lapor pada ibunya jika dia akan pergi ke Lembang, ibunya yang percaya-percaya saja pun langsung mengizinkan.
Untung saja rumah Kara dengan Nio tidak terlalu jauh, jadi Javier tidak begitu lama mengeret koper yang dibawanya. Mereka tiba disebuah rumah sederhana dengan lantai satu, rumah itu berada di paling ujung komplek.
Nio mengetuk kunci pagar rumah Kara sambil berteriak.
"Mbak Kara ... spadaaa ...."
Bukan Kara yang keluar melainkan wanita paruh baya, yang dipastikan ibunya Kara.
"Eh Nio,"
Lastri segera membukakan pagar rumahnya, membiarkan kedua remaja itu untuk masuk.
"Hehe hallo Ibu,"
"Hallo ganteng, ini siapa, temen Nio?" Tanya Lastri pada Javier.
Javier mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Ayok, ayok masuk ke dalam. Mbak Kara lagi bantu Ibu nyusun box."
Lastri lebih dulu masuk ke dalam rumahnya yang memang belum terkunci. Javier dan Nio mengikuti dari belakang.
"Hallo Mbak-ku yang cantik," sapa Nio yang membuat Kara membalikan tubuhnya ke belakang.
Kara tampil dengan pakaian sederhana, yaitu memakai daster dengan rambut yang di ikat ekor kuda.
"Eh Nio, Javier. Tumben kalian ke sini, mau ngapain?"
Javier segera menyikut Nio yang berada disampingnya, dia tidak berani untuk berbicara, masih segan.
"Loh, kok kamu malah nanya, katanya kamu yang ngajakin Nio sama temennya buat liburan, Ra."
Seru Lastri pada anak semata wayangnya itu yang kini kembali datang membawa box. Setelah dirinya tadi pamit ke dapur.
Kara mengangkat alisnya tinggi, matanya menatap kedua remaja itu dengan pandangan menuntut. Nio malah cengengesan tidak merasa takut, berbeda dengan Javier yang degup jantungnya berdetak tidak karuan.
Lastri kembali ke dapur untuk mengambil beberapa risol, kesempataam itu digunakan oleh Nio.
"Gini, Mbak Kara. Orangtua Javier udah pisah, Ayahnya sering dinas terus abangnya jarang ada di rumah, aku kasihan sama dia kalau liburan diem di rumah sendiri jadinya aku--"
"Aku yang usul buat ikut sama Mbak Kara. Aku juga yang minta ke Nio, maafin aku yah Mbak, kalau Mbak keberatan nggak apa-apa kok aku pulang lagi aja."
Jelas Javier dengan wajah yang menunduk ke bawah. Kara yang melihat Javier seperti itu jelas saja tidak tega, anak remaja itu sudah prepare dengan barang bawaannya, masa dia tega membiarkan remaja itu kembali ke rumah? Yah meskipun rencana liburannya nanti tidak sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Tak apalah, itung-itung dia mengasuh adiknya.
"Oke deh kalau gitu Mbak izinin kalian ikut sama Mbak, tapi kalian sudah izin kan?"
Javier yang mendengar perkataan Kara segera mengangkat wajahnya, wajahnya berubah ceria. Dia langsung mengangguk begitu pun dengan Nio.
"Mbak Kara beneran? Kita nggak apa-apa ikut?" Javier memastikan takut di prank, seperti yang abangnya selalu lakukan padanya.
"Iya dong, yaudah kalian taro dulu tas sama kopernya di pojok yah. Abis itu kalian duduk aja di depan, ada camilan kok itu di depan kalian makan aja yah. Mbak mau bantuin dulu ibu,"
Mereka berdua mengangguk, menuruti perkataan Kara. Namun, mereka tidak menurut untuk diam saja melainkan mereka kembali pada Kara.
"Aku bantuin boleh nggak, Mbak?"
"Nio mau bantuin?"
Nio mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Boleh, ini yah kamu masukin risol ke dalam box ini."
"Siap, Mbak."
Sedangkan Javier dia hanya duduk disamping Nio dan memperhatikan Kara dan temannya itu. Ingin membantu namun takut merusak, karena kata abangnya, tangan dirinya itu ajaib ada saja yang membuat rusak. Maka dari itu dia memilih diam saja memperhatikan.
"Kalian udah makan?"
Nio dan Javier mengangguk.
"Oke, itu ada kue sus sama pastel di makan aja yah. Mbak kebanyakan buat tadi,"
Mereka berdua mengangguk, Nio langsung memakannya, Javier pun ikut-ikutan dia ingin merasakannya juga.
Tak berapa lama pekerjaan mereka selesai. Box untuk acara di kelurahan pun sudah diangkut, tinggal Kara saja yang kini harus bersiap-siap. Untung saja di sudah packing, jadi dia tinggal mandi saja.
Sepuluh menit kemudian, mereka pamit pada ibu Kara. Karena mobil yang akan membawa mereka ke lembang sudah ada di depan rumahnya, jika Kara pergi sendirian dia akan naik motor, tapi yah rencananya tidak seperti itu.
Kara, Javier dan Nio masuk ke dalam mobil. Kara di depan, sedangkan kedua remaja itu duduk di depan. Untung saja mobil sewaannya ini masih temannya jadi dia tidak masalah duduk di depan.
"Ayah, abang, adek mau liburan dulu yaa sama calon Buna," bisik Javier pelan sambil melirik kaca jendela disampingnya dengan senyuman yang mengiringi perjalanan mereka.
***
Cuplikan part berikutnya.
"Javier?!"
Bara menatap kaget Javier yang baru saja turun dari mobil pun dengan sang anak.
"A-ayah?"
Bukan hanya anak dan ayah saja yang kaget, melainkan Kara juga. Dia masih mencerna dengan kejadian di depannya ini.
***
Tbc