Bab 16

1818 Words
Keadaan Javier sudah membaik, pun dengan Kara. Kara mengetahui keadaan Javier dari Nio sengaja dia tidak mencari tahu langsung, karena dia tahu jika dia menghubungi Javier. Dapat dipastikan anak itu akan kembali menempel padanya. Dia tidak mau kejadian lagi, cukup lah kemarin. Dia tidak mau dituduh seperti itu oleh Bara, memangnya tidak sakit hati apa dituduh seperti itu? Maka dari itu dia benar-benar tidak mau berurusan dengan keluarga Bara. Sekalipun si duda itu kembali menerornya, setiap hari ada saja yang dilakukan pria itu. Seperti menyuap ibunya, misalnya; Bara membawakan makanan kesukaan ibu, namun tentu saja ibu tidak dapat membantunya, karena kekeras kepalaannya. Terkadang pria itu menyuruh asistennya untuk kemari, pekarangan rumahnya bahkan sudah seperti toko bunga. Karena Bara juga selalu membawakan bunga untuknya, dengan ucapan permintaan maaf yang tentu saja tidak dia baca sekalipun. Kartu ucapan itu selalu berakhir di tong sampah, ibunya jelas terkadang menegurnya karena aksinya. Tapi, sekali lagi Kara tidak peduli. Dia tetap pada pendiriannya. Jika dirinya sedang merindukan Javier dia cukup menanyakan saja pada Nio mengenai bungsu Bara itu. Yang terkadang membuatnya sedih, karena Javier selalu menanyakannya. Untung saja Nio percaya jika dirinya sibuk di mal lain, jadinya Javier tidak berhasil menemuinya. Sudah satu bulan rupanya dia terbebas dari Bara dan keluarganya. Bara tidak lagi menerornya setiap hari, hanya sesekali. Namun ia sekali lagi tidak peduli, toh untuk apa? Dia mulai terbiasa tanpa Bara dan anaknya. Ingatkan dia jika mantannya itu kembali dijodohkan oleh Bianca. Dan ingatkan juga jika hatinya harus bisa menerima, benar-benar menerima. Hari ini Kara kembali off dia membantu sang ibu yang sedang membuat snack box. Tadinya jika dirinya tidak libur, ibunya sendiri yang akan mengantarkan ke sekolah, untung saja ada dirinya yang bisa mengantarkan. "Sisa berapa lagi, Bu?" Kara bertanya sambil menyomot pastel sisa buatan ibunya. "Lima lagi, tunggu yah." Kara mengangguk sambil memakan lagi pastelnya. Begitu snack box yang telah selesai dibuat oleh ibunya, ia lantas kembali menghitungnya takut salah. Bisa berabe kalau salah menghitung kan? "Oke, udah sesuai. Yaudah aku packing dulu yah, Bu." Lastri mengangguk, Kara mulai memasukan snack box tersebut ke dalam dus. Setelah itu mereka membawanya untuk dinaikan ke atas motor. Setelah siap, Kara kembali ke kamarnya untuk berpakaian. Ibunya itu menggeleng melihat pakaian Kara yang hanya memakai kaos putih polos, dipadukan dengan cardigan jeans, bawahannya dia memakai celana jeans juga sepatu kets putih. Benar-benar anaknya itu terlalu simpel. "Yaudah, aku anterin dulu ini yah, Bu." Pamitnya sambil mencium tangan sang ibu. Lastri mengangguk, membiarkan anaknya itu pergi mengantarkan pesanannya. *** Lima belas menit, Kara sampai di SMA bergengsi di kotanya. Sekolah yang menjadi incaran banyak remaja di kotanya. Kara masuk ke dalam gerbang sekolah sambil membawa dus besar yang berisi snack box. Matanya memindai satu persatu ruangan yang ada di sekolah itu, seharunya dia tadi menunggu si satpam bukannya main masuk saja ke dalam sekolah. Tapi, dia juga tidak mau menunggu karena box yang dipesan itu untuk siang ini. Jadi, dari pada dirinya terlambat karena menunggu lebih baik dirinya mencari saja. Kara yang sudah mulai keberatan dengan dus yang dibawanya mulai mengeluh, ruang guru yang di maksud oleh ibunya pun dia belum menemukan. Sekolah ini terlalu besar menurutnya, sampai kemudian ada yang menegurnya. "Hallo Kak, ada yang bisa kami bantu?" Kara membalikkan tubuhnya dengan pelan, ia tersenyum kepada remaja tampan yang menegurnya namun seketika kaget melihat Melvin yang berdiri di samping remaja yang menegurnya. "Eh, iya. Ruang guru, di mana yah?" Kara melirik ke arah Melvin. Berpura-pura jika dirinya tidak mengenal, karena dia tidak yakin Melvin mau mengenalnya. Apalagi ini lingkungan sekolahnya. "Kakak mau ke ruang guru?" Kara mengangguk sambil tersenyum. "Sini aku anter, Kak. Sekalian aku mau ke ruang guru," sahut remaja disamping Melvin lagi yang berambut jabrik. Melvin seketika melirik kedua temannya itu, bukan kah niatnya mereka berdua mau ke kantin? Mengapa tiba-tiba ke ruang guru? Seolah mengetahui jika Melvin mempertanyakan ucapannya, kedua temannya itu hanya cengengesan. Membuat Melvin mendengus sebal, tau jika kedua temannya itu hanya modus. "Kak sini, dus nya biar saya aja yang bawa." Remaja bernama Reza itu mencoba untuk mengambil alih tugas Kara. Namun, teman Melvin yang berambut jabrik bernama Samuel ikut-ikutan juga. "Biar aku aja, Kak yang bantu bawa." Kara jelas saja kaget dengan dua remaja itu, namun dia jelas menolaknya. "Nggak apa-apa, Mbak. Dua temen saya ini emang tenaganya kayak hulk, kasihin aja." Melvin bersuara pada akhirnya. Dia sengaja menjahili kedua temannya itu, karena begitu Melvin berbicara Reza dan Samuel langsung memandangnya. "Nggak usah kok, nggak apa-apa. Saya bisa bawa sendiri," Kara jelas tidak mau merepotkan remaja-remaja itu. Melvin langsung mengangkut dus yang dibawa oleh Kara kemudian berjalan begitu saja, Reza dan Samuel langsung mengikutinya dibelakang pun dengan Kara yang menyusul. Sayangnya, Reza dan Samuel malah terus berdebat meminta Melvin untuk menyerahkan pada mereka namun Melvin tidak mengubrisnya. "Berisik lo berdua!" Melvin malah membentak kedua temannya itu. Alhasil Reza dan Samuel malah memilih berjalan bersama Kara. "Kak, kakak kuliah di mana?" Pertanyaan Reza mendapat dengusan dari Melvin yang berjalan di depannya. Sedangkan Kara sendiri kembali kaget karena ditanya seperti itu oleh Reza. Dia tidak enak pada Melvin yang mengambil alih tugasnya. Belum juga menjawab, Samuel malah yang bertanya lagi. "Semester berapa, Kak? Aku nanti mau coba masuk kampus yang sama kayak Kakak." Melvin kembali mendengus, tidak habis pikir dengan kedua temannya itu. "Kakak udah punya pacar belum?" Kara yang belum menjawab pertanyaam dari keduanya, malah kembali mendapat pertanyaan. Namun, sebelum dia menjawab. Mereka telah sampai di ruang guru. Pintu di depan di ketuk, kemudian mereka berempat masuk ke dalam. "Loh kalian ngapain ke sini?" Bu Tiwi bertanya heran pada ketiga muridnya itu. "Maaf Ibu, mereka bantu saya bawakan snack box." Kara langsung menjawabnya. "Oh, kamu anaknya Bu Lastri?" Kara mengangguk sambil tersenyum tipis. "Pesanannya sudah sesuai 'kan?" "Sudah, Bu." "Oke, oke. Ini yah uangnya, kamu bisa hitung dulu." Kara mengambil uang yang dikasih guru di depannya itu, lalu menghitungnya. "Sudah sesuai, Bu. Terima kasih yah." Bu Tiwi tersenyum. "Sama-sama, saya juga terima kasih yah sudah diantarkan tepat waktu," Kara mengangguk, ia lalu pamit untuk kembali pulang. Pun ketika remaja itu ikut pamit juga. "Terima kasih yah, sudah mengantar saya. Saya pulang dulu, terima kasih sekali lagi, yah." Ucap Kara ketika berada di koridor sekolah, Kara menatap satu-satu ketiga remaja itu. "Ah Kak, santai aja." "Iya Kak, santai aja. Kapan-kapan boleh kali main Kak ke sini," Kara tertawa mendengar perkataan Reza. "Sudah yah, saya pulag dulu sekali lagi terima kasih," Kara kembali berterima kasih, dia agak lama menatap Melvin. Setelah itu ia mulai berjalan meninggalkan lingkungan sekolah. "Kak, kita anterin ke depan yah." Seru Samuel yang sepertinya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Reza ikut menyusul, sedangkan Melvin yang berada di belakangnya hanya bisa mendengus. Melvin membuka ponselnya lalu mengetikan sesuatu.   "Lo berdua, dipanggil Pak Danang." "Hah, yang bener?!" "Iya, buruan sana samperin." Samuel dan Reza langsung mengangguk, dia lalu berpamitan pada Kara. Setelah itu kedua teman Melvin lantas pergi, mereka tidak mau membuat masalah dengan guru BK itu. "Makasih Melvin udah bantuin, Mbak." Melvin diam saja, dia masih memperhatikan Kara yang tengah menggunakan helm. Begitu Kara tengah menyalakan motornya, Melvin berujar. "Aku belum restuin hubungan kalian, tapi aku gak mau liat Javier sedih terus karena Mbak. Jadi aku izinin Mbak Kara buat deket sama Javier." Kara tertegun mendengar perkataan Melvin. Sekalipun nada remaja puber itu terkesan datar dan tidak peduli. "Maaf Melvin, kayaknya itu bukan urusan saya lagi. Saya berterima kasih karena kamu repot-repot ke sini, tapi saya udah janji. Saya nggak akan berurusan lagi sama keluarga kalian, permisi." Kara lalu menjalankan motornya meninggalkan Melvin yang terdiam di tempatnya. Dia masih kaget, akan jawaban Kara padanya. Karena rupanya Kara perempuan yang teguh pada pendiriannya, selama ini rupanya dia telah berpikir salah akan perempuan itu. *** "Abang ..." seru Bara ketika dirinya baru sampai rumah. Melvin menatap aneh ayahnya itu, sedangkan Javier sendiri bingung. Dia tidak tahu apa-apa. "Coba jelasin tadi di sekolah gimana?" "Nggak gimana-gimana," balasnya cuek. Dia kembali memainkan ps nya. "Ayok, Dek main lagi." Bara berdecak, melihat si sulung yang enggan menceritakan kejadian di sekolah. "Ayolah, Bang. Tadi gimana lagi di sekolah?" Bara tetap kekeuh bertanya. "Iya gak gimana-gimana," "Ck, Kara kasih nomornya sama temen-temen kamu?" Kali ini Javier ikutan memandang abangnya. "Abang ketemu, mbak Kara?" "Hm." "Kok nggak cerita ke Adek?" "Nggak kenapa-kenapa," masih cuek dan sibuk dengan stick ps-nya. "Abang mahhh ...." "Jadi gimana, Abang. Jawab pertanyaan, Ayah." "Nggak, Ayah harusnya tahu kalau Kara itu perempuan kayak gimana, kok ini ngeraguin mantannya sih, eh lupa kan Ayah sama Kara udah mantanan, ya. Pasti lupa tuh sifat mantannya kayak gimana." Balas Melvin enteng yang diakhiri ejekan pada ayahnya itu. Bara kembali berdecak, tak menyangka jika dirinya bisa di ejek oleh anaknya itu. "Makan yuk, Ayah udah laper nih," Bara mengajak kedua anaknya itu untuk makan malam bersama. "Eh, nggak makan malam di rumah, oma?" Javier bertanya bingung, dia lantas mengikuti abangnya yang sudah menghentikan permainannya. Melvin juga sama bingungnya dengan sang adik, pasalnya malam ini malam yang selalu mereka hadiri untuk acara makan malam rutinan di rumah omanya. "Nggak usah, kita nggak usah lagi makan malam di sana." "Bagus deh, Melvin juga males." Javier menyetujui, meskipun dia juga tidak mengerti. Karena yang tahu hanya Melvin saja, itu pun karena dia tidak sengaja mendengar ucapan ayahnya. Bara mendatangi rumah keluarganya, dia menceritakan kejadian yang menimpa Javier pada keluarga besarnya. Amira tak percaya, namun dengan desakan Bara pada Bianca akhirnya mengaku lah kakaknya itu. Amira jelas marah besar, karena telah mencelakai cucu kesayangannya itu. Dan dengan ultimatum Bara, Amira pasrah. Dia tidak akan mengganggu hubungan Bara dan Kara lagi, pun dengan Bianca yang menurut. Karena jika mami dan kakaknya itu kembali mengganggunya, Bara akan benar-benar meninggalkan keluarga besarnya itu. Bara bahkan tidak takut untuk melepaskan nama besar Wicjaksono dibelakang namanya. Ayahnya jelas tidak terima, dan dia mengikuti keinginan Bara untuk melakukan apapun yang dimau putra satu-satunya itu. *** "Ra," Bara tersenyum cerah melihat Kara yang membukakan pintu rumahnya. Karena biasanya ibu Kara lah yang selalu membukakan pintu. "Boleh kita bicara?" "Nggak!" "Tolong, aku kangen sama kamu, Ra." Kara mendengus sambil tersenyum sinis. "Apa yang harus aku lakuin biar kamu mau kasih aku kesempatan?" Kara mendelik mendengarnya. "Mending kamu pulang deh, terus lanjutin ngedate nya sama cewek kenalan kakak-mu itu," "Nggak, dari awal aku ketemu dia. Aku udah nolak perjodohan itu," "Kalau gitu cari perempuan lain aja, yang mau sama kamu, atau mantan istrimu juga boleh." Balas Kara sambil memandang ke arah lain enggan bertatapan mata dengan Bara. "Stop, Ra. Nggak ada cewek lain, aku cuman mau kamu!" "Tapi aku gak mau," "Sayang, tolong. Aku bener-bener minta maaf sama kamu, aku butuh kamu di hidup aku." Kara masih diam tidak membalas perkataan Bara. "Kalau kamu takut sama keluargaku, kamu tenang aja. Aku udah urusin semuanya, gak ada yang bisa halangin kita lagi, Ra. Bahkan Melvin pun sepertinya pelan-pelan udah nerima kamu." Kalimat Bara jelas membuat Kara terdiam, mencerna semuanya. "Jadi, tolong kasih aku kesempatan untuk deketin kamu lagi. Aku bener-bener cinta sama kamu, Ra." *** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD