"Udah 'kan ngomongnya?"
Bukannya menjawab pertanyaan Bara, Kara malah balik bertanya. Membuat Bara benar-benar tak percaya dengan apa yang ia dengar. Baru kali ini Bara kesulitan menghadapi seorang wanita, boleh lah umur lebih muda dengannya, tapi tekadnya yang kuat dan kekeras kepalaannya melebihi dirinya sendiri. Bara sampai dibuat kewalahan menghadapi sifat Kara yang satu ini.
"Ra,"
"Aku gak akan ngomong dua kali, seharusnya kamu tahu apa yang mesti kamu lakuin, Mas."
Dan setelah itu, Kara berbalik lalu menutup pintu rumahnya tepat di depan wajah Bara. Ia masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan sang ibu yang kembali menghela napasnya.
Lastri yang melihat anak tunggalnya itu mengunci kamarnya, lantas berjalan keluar hendak menemui Bara.
Pintu rumah terbuka, dan Bara masih ada di luar rumahnya dengan menundukkan wajahnya. Terlihat kuyu.
"Nak, Bara." Sapa Lastri pelan.
Bara mendongak menatap ibu dari Kara, sambil tersenyum tipis.
"Bu," Bara menyalami wanita paru baya itu.
Lastri lantas duduk di kursi rotan yang tersedia di teras rumahnya, Bara sendiri masih berdiri.
"Duduk, Nak."
Bara mengangguk lalu mengambil tempat sebelah Lastri.
"Kara itu keras kepala, keras banget. Ibu juga kadang susah kalau bujuk dia," buka Lastri.
"Ibu nggak tahu, permasalahan kalian berdua. Terakhir Kara kasih tahu, kalau kalian berdua udah selesai,"
"Maaf, Bu. Ini salah, Saya. Perkataan Saya melukai Kara,"
Lastri hanya mengangguk-anggukan kepalanya, meskipun dia tidak tahu perkataan seperti apa yang Bara katakan pada anaknya itu, yang dia percayai jika kalimat itu sangatlah menyakiti Kara. Karena dia percaya, Kara tidak akan bertindak seperti itu jika tidak kelewat batas.
"Kalau, Nak Bara masih mau dengan Kara. Perjuangin lagi, mungkin selama ini perjuangan kamu kurang di matanya. Kalau cuman mau main-main sebaiknya nggak usah. Ibu tahu, perbedaan usia dan ekonomi kalian jelas lah sangatlah berbeda. Tapi, kalau sudah takdir dan jodohnya, mau bagaimana pun masalah yang kalian hadapi akan berakhir bersama juga." Jelas Lastri panjang lebar.
Bara mengangguk, membenarkan perkataan ibu Kara.
"Terima kasih, Bu masih mau menerima, Saya."
Bara bangkit dari duduknya sambil menunduk. Lastri ikutan bangkit juga.
"Ibu cuman mau anak Ibu satu-satunya bahagia, karena Ibu lihat. Kara masih mencintai kamu, hanya saja perkataan kamu melukai perasaannya."
Bara mengangguk mengerti.
"Saya tidak akan berjanji, Bu. Tapi, Saya akan mencoba untuk tidak melukai Kara lagi. Saya akan belajar untuk terus membahagiakan Kara. Karena, Saya merasa Kara wanita yang tepat untuk Saya,"
Lastri tersenyum tipis mendengarnya.
"Kalau begitu, Saya permisi Bu. Maaf sudah membuat Ibu terganggu."
Wanita paru baya itu menggeleng.
"Ibu seneng sampai saat ini kamu masih mengejar, Kara."
"Sudah seharusnya,"
"Tolong Ibu terima, ini ada sedikit makanan untuk Ibu."
Menurut Bara sedikit, tapi menurut Lastri sih tidak yah. Itu kresek besar dengan nama brand makanan mahal.
Lastri mengambilnya sambil mengucapkan terima kasih. Setelah itu, Bara pamit dan benar-benar pergi meninggalkan rumah Kara dengan perasaan yang sedikit tenang.
***
Rupanya Bara tidak menyerah, pria itu benar-benar ingin memperjuangkan Kara kembali. Sekalipun Kara tetap menolaknya, setiap hari ketika dirinya pulang bekerja dia selalu menyempatkan waktunya ke rumah Kara. Mau hujan sekalipun pria itu tetap ke rumah Kara. Badannya sudah mulai tidak enak, namun dia tetap memaksakan. Mungkin dia masuk angin? Belum lagi dia yang semakin gila kerja, tak jarang makan siang pun dia lewat.
Javier dan Melvin yang melihat ayahnya seperti itu merasa sedih, mereka tahu ayahnya sering kali pulang malam untuk menemui Kara. Bahkan mereka juga mendengar ayahnya jarang fokus di kantor, selalu ada saja yang membuat ayahnya itu marah padahal kesalahan pada ayahnya.
"Abang, kasihan Ayah."
Melvin menyetujui namun dia juga bingung harus bagaimana. Dia belum menerima Kara sebagai calon ibunya, belum. Namun, melihat ayahnya yang seperti ini membuat dirinya kasihan juga. Ayahnya selalu menyempatkan makan malam dengan mereka, dan kembali menemui Kara meskipun rasanya percuma saja karena hubungan mereka tetap seperti itu.
"Apa Adek bujuk, Mbak Kara?"
"Jangan, Adek. Biarin mereka urusin masalahnya sendiri,"
"Tapi Adek kasian sama, ayah."
Javier mengintip ayahnya itu yang tengah menatap laptop, dengan wajah yang terlihat kuyu. Ayahnya itu terlihat menyedihkan, wajahnya saja tidak terawat. Biasanya ayahnya paling rajin untuk mencukur kumis, tapi kali ini dibiarkan.
"Kita tunggu aja yah, kita lihat perkembangan nanti. Mbak Kara masih diemin ayah, atau sebaliknya."
Javier mau tak mau menyetujuinya, namun dia seketika tersadar. "Abang udah setuju ayah sama mbak Kara?"
Melvin menatap malas adiknya itu.
"Yah kalau pacaran sih, yah yaudah. Toh dari kemaren-kemaren juga mereka pacaran 'kan?"
Balas Melvin datar, sambil berjalan meninggalkan ruangan sang ayah menuju kamarnya.
"Hah, jadi kalau nikah Abang gak izinin?"
Tak ada balasan dari Melvin karena kakaknya itu masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Javier yang mendengus sebal pada abangnya itu.
***
"Jadwal selanjutnya apa?" Bara bertanya pada asisten pribadinya itu.
"Kosong, Pak."
Bara mengangguk, perutnya terasa tidak enak. Dia ingin mengistirahatkan sejenak tubuhnya, dia lupa terakhir kapan dia makan siang? Selama ini dia selalu skip makan siang, karena pekerjaannya lebih membutuhkannya.
"Kamu sudah belikan makan siang untuk Kara?"
Pria yang seumuran Bara itu mengangguk. "Sudah,"
"Bagus, kembali ke ruanganmu."
Asisten Bara bernama Jodi itu mengangguk, lalu pergi meninggalkan ruangan sang bos.
Waktu terus berlalu, Bara pulang ke rumah dengan perut yang masih perih. Apakah magh-ya kambuh? Yah mungkin saja, mengingat dirinya yang tidak memperhatikan pola makannya belakangan ini.
"Ayah, oke?"
Melvin bertanya pada ayahnya itu tatkala ayahnya meringis ketika makan.
Bara tersenyum sambil mengangguk.
"Ayah, bisa libur dulu ke rumah mbak Kara, Adek sedih liat ayah kayak gini."
Javier menatap khawatir sang ayah, namun lagi-lagi ayahnya itu malah tersenyum.
"Ayah nggak apa-apa kok, kalau Ayah nggak ke sana. Nanti mbak Kara gak mau ketemu Ayah lagi gimana?"
Melvin menghela napasnya, memang sih perkataan ayahnya itu sangatlah menyakitkan. Tapi, dia juga tidak tega melihat ayahnya yang seperti ini.
"Tapi, janji yah jangan lama-lama di sana, ayah langsung pulang lagi. Aku tahu dari om Jodi kalau Ayah kurang istirahat."
Kembali Bara mengangguk sambil tersenyum.
Makan malam kali ini terasa berbeda dari sebelumnya, karena Bara lebih banyak diam tidak seperti biasanya yang selalu bertanya kepada kedua anaknya. Dan kedua anaknya pun mengerti.
Setelah makan malam itu selesai, Bara seperti biasanya mengunjungi rumah Kara. Namun, kali ini berbeda dia meminta Jodi untuk mengantarnya sekaligus untuk membelikan makanan kesukaan Kara.
"Masih lama nggak Jod?"
"10 menit lagi, tidur aja dulu nanti saya bangunin."
Bara mengangguk, hari ini cukup menguras tenaganya memang. Rapat dengan beberapa investor, menghadiri pembukaan mal, belum lagi dirinya harus melihat beberapa proyek lainnya.
Sudah 5 menita mobil yang ditumpangi Bara sampai di rumah Kara. Namun, Jodi belum berniat untuk membangunkan Bara. Karena dia melihat Kara diantar oleh seorang pria, pria yang dia duga sebagai teman sesama spb di malnya. Kara tertawa-tawa mendengar lelucon yang pria itu lontrkan, Jodi yang melihatnya sedikit tidak suka. Apalagi dia melihat bagaimana Bara berusaha selama ini untuk memperjuangkan kembali cintanya.
Jujur saja dia ingin memutar kembali mobilnya, dan membatalkan niatnya. Namun, dia juga tidak mau mendapat amukan dari Bara karena tidak membangunkan dirinya bangun, hanya gara-gara ini. Dia pasti akan habis oleh atasannya itu, dengan perasaan yang bimbang dia mencoba membangunkan Bara.
"Hm, udah sampai, Jod?"
"Iya,"
Bara mengumpulkan seluruh kesadarannya, ia lantas membawa beberapa kantong kresek yang berisi kesukaan Kara. Wanitanya menyukai dimsum, bakso, dan makanan pedas lainnya. Jika wanita diluar sana menyukai hal yang manis-manis, berbeda dengan Kara. Wanita itu pecinta micin sejati, tapi dia juga bingung mengapa dia menyukai membuat makanan manis.
Ketika Bara turun dari mobilnya, wajah pria itu berubah datar tatkala melihat Kara yang sedang duduk di teras dengan Remon.
"Mas Bara,"
Kara kaget, melihat mantannya itu yang masih getol menghampirinya. Namun, kali ini dia sedikit aneh melihat Bara yang terlihat kuyu, tidak seperti biasanya.
"Makanan buat kamu,"
Bara menaruhnya di atas meja, meja yang menghalangi Kara dan Remon.
Remon jelas kaget, dia tidak percaya dengan pria di depannya itu. Siapa juga yang tidak mengenal Bara? Atasannya saja menghormati beliau, yah gimana yah Bara pemilik mal dan butik Kara bekerja sih.
"Nggak usah, Mas. Aku udah makan,"
Kara si keras kepala tetap pada pendiriannya.
Bara diam, dia kembali ditolak oleh wanitanya.
"Nggak apa-apa kalau kamu gak mau, kamu bisa kasihin ke Ibu atau siapapun itu. Itu dimsum langganan kamu, bakso juga yang suka kamu makan."
Bibir Kara terkatup rapat mendengarnya, makanan kesukaannya kan lumayan jauh jaraknya. Apalagi dari rumah Bara butuh waktu satu jam ke sana.
"Yaudah, aku duluan pulang yah, Ra." Remon pamit karena merasa tatapan intimidasi dari Bara padanya begitu menusuk. Dia cukup tau diri untuk pergi dari sini, sekalipun dia penasaran tentang hubungan diantara mereka berdua itu seperti apa.
Kara beranjak dari duduknya, mengantar kepergian Remon. Bara sendiri memilih untuk duduk di tempat Remon tadi. Matanya terpejam, perutnya kembali perih dan itu membuatnya tidak nyaman.
Begitu Kara kembali, dia melihat Bara yang sedang terpejam. Ia masih berpikir jika Bara akting dan itu membuatnya tidak suka. Bukannya menghampiri Bara, Kara malah masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Bara sendirian duduk di teras. Tanpa membawa makanan yang sudah repot-repot Bara bawa.
Jodi yang melihat itu semua menghela napasnya, tidak habis pikir dengan Kara yang bisa-bisanya tidak simpati pada bos-nya itu. Jodi masih diam, menunggu Bara untuk kembali ke mobil, namun rupanya setelah lima menit berlalu Bara masih diam saja. Dia berpikir apakah bos-nya itu tertidur, dilihat Bara yang diam saja sedari tadi.
Asisten Bara itu lantas keluar dari mobil dan menghampiri Bara.
"Bar, ayok pulang. Udah malem,"
Namun sepertinya Bara masih tertidur, begitu dia kembali mencoba membangunkan Bara. Pintu rumah Kara terbuka menampilkan wanita paru baya.
"Maaf, Bu. Saya mau bawa Bara pulang. Ini tolong makanannya di bawa yah, Bu."
Jodi berkata sambil memberikan kresek-kresek tersebut pada Lastri.
"Oh iya terima kasih, Bara kenapa?"
"Magh-nya kambuh, Bu."
Lastri seketika merasa iba pada pria itu, sedang seperti ini saja dia masih mau menemui anaknya. Wajanya terlihat lelah, jelas sekali jika Bara kekurangan istirahat.
"Bar, ayo pulang."
Jodi membangunkan Bara dengan suara yang lumayan keras, tubuhnya saja dia goyangkan.
"Hm,"
Tak lama Bara bangun, dia mendapati wajah Lastri yang menatapnya dengan tatapan sedih dan khawatir.
"Saya pulang dulu yah, Bu. Maaf mengganggu,"
Bara berdiri kemudian menundukkan sedikit tubuhnya, di ikuti oleh Jodi yang pamit juga dari sana. Mata Lastri mengikuti langkah kedua pria muda itu.
Begitu Bara pergi dari rumahnya, Lastri lantas menghampiri anaknya yang berada di dalam kamar tengah memainkan ponselnya. Ia menaruh beberapa makanan yang dibawa Bara dan menaruhnya di meja kamar anaknya itu.
"Kamu emang gak bisa lihat dia beneran nyesel karena kesalahannya, atau kamu suka lihat dia kayak gitu? Mohon-mohon sama kamu?!"
Gerakan Kara pada ponselnya seketika terhenti.
"Kalau beneran kamu udah gak mau sama dia, yaudah. Kamu bilang baik-baik sama dia, kalau kamu udah gak punya perasaan sama dia. Jangan gantungin perasaan orang lain, Ra. Bara juga punya batasannya, dia gak akan terus nunggu kamu kalau kamu ngedorong dia kayak gitu terus."
"Pikirin baik-baik, Ibu bukan bela Bara. Ibu cuman gak mau kamu nyesel,"
Setelah mengatakan hal itu, Lastri keluar dari kamar anaknya tersebut.
***
Tbc