Bab 6

2252 Words
Hari ini hari yang di nantikan oleh Javier. Remaja tanggung itu begitu bersemangat sekali, sampai dia susah tidur. Untung saja ayahnya baru kembali malam nanti dari dinas, dia bisa puas diluar seharian. Toh dia juga sudah izin pada abangnya-Melvin. "Lo udah izin sama bang Melvin?" Javier mengangguk, mereka turun dari grab dan sampai di depan rumah Nio. Rumah Nio tidak kecil namun tidak sebesar rumahnya, tapi membuat Javier selalu betah jika dia berkunjung kemari. Ketika mereka berdua masuk, mama Nio menyapanya. Dan menyuruh mereka makan dahulu, mama Nio juga tahu jika mereka akan les di sini. Javier yang awalnya menolak namun tidak kuasa juga menerima, di depan meja makan sana ada ikan goreng, ayam goreng, kangkung dan juga tahu tempe. Rasanya sudah lama sekali dirinya tidak makan masakan rumah seperti ini. Asisten rumah tangganya jarang memasakan makanan rumahan, karena mereka yang jarang makan di rumah. Sarapan saja terkadang sereal atau roti, untuk makan siang mereka jarang makan di rumah, malam hari pun biasanya mereka selalu dibawakan oleh ayahnya dan itu bukan makanan rumahan seperti ini. Javier mengambil ayam goreng saja, dia jarang makan tahu dan juga tempe, ingin sekali dia makan ikan goreng namun dia tidak bisa memakannya. Takut jika duri dalam ikannya tertelan, karena dulu dia pernah merasakannya. "Kok makannya cuman ayam aja, Vier. Masakan Tante gak enak yah?" Javier menggeleng "Makanan Tante enak kok, cuman Javier emang masih kenyang aja," "Ah Tante kira, kamu gak suka makanannya. Yaudah kalau gitu lanjutin aja yah, Tante mau ke belakang." Javier mengangguk, kemudian mereka makan kembali. "Rumah Mbak Kara jauh dari rumah lo, Nio?" "Nggak kok, beda dua blok aja sih dari rumah gue." Javier kembali mengangguk. Tak lama kemudian terdengar suara bel pintu rumahnya berbunyi. "Itu pasti mbak Kara," ujar Nio yang segera menyelesaikan makanannya. Berhubung Javier sudah selesai dengan makannya, dia berinisiatif untuk dia saja yang membukakan pintunya. Nio tidak berpikir aneh-aneh dia memilih melanjutkan makannya. "Hi Javier," sapa Kara melihat teman Nio yang membukakan pintu untuknya. "Halo, Mbak." "Kamu udah makan siang?" Pertanyaan ringan Kara membuat Javier berhenti melangkahkan kakinya. Lagi, orang asing yang baru dikenalnya justru lebih peduli padanya. Sebenarnya pertanyaan seperti ini normal, namun menurut Javier tentu lah berbeda. Karena tak jarang ada yang menanyai dirinya makan selain kakak dan juga ayahnya. Sedangkan ibunya? Dia juga tidak tahu sekarang ibunya ada di mana. "Ah iya, aku baru selesai." "Bagus kalau begitu, mbak bawa panna cotta sama lemon blueberry cheesecake, nanti kamu bawa ke rumah yah, Javier." "Eh," Javier bingung mengapa kekasih ayahnya itu repot-repot membuatkan makanan untuk mereka? Apakah dia tahu jika dirirnya anak dari kekasihnya? Pikir Javier. "Iya, kamu mau nggak? Soalnya di rumah gak ada yang makan, ibu mbak gak suka makan yang manis-manis. Mbak juga buat kelebihan sih tadi, ini juga mbak mau kasih ke Nio. Nio suka banget soalnya sama panna cotta, nah mbak suka sama lemon blueberry cheesecake, jadi aja mbak buat. Udah lama juga sih, mbak gak buat makanan manis gini. Soalnya bingung juga kalau mbak buat gak ada yang makan selain mbak sendiri." Jelas Kara panjang lebar. Tanpa terasa Javier malah menghela napasnya, merasa lega akan penjelasan Kara. Dia sudah takut saja jika asal usulnya terbongkar. "Ah begitu, boleh mbak nanti Javier bawa." Jawaban Javier membuat Kara tersenyum lebar. Nio rupanya sudah menyelesaikan makannya, dia menghampiri Kara dan juga Javier. Kara mengeluarkan panna cotta dan lemon blueberry cheesecake di dalam paper bag yang dia bawa. "Mbak Kara sumpah yah kalau mbak nggak nikah sama mas-ku, aku beneran rugi deh." Kembali Nio bercanda tak ayal membuat Javier memutar bola matanya jengah. "Hahah kamu ini bisa aja deh, Nio ini yah buat kamu." Kara memberikan dua toples berisi makanan yang dirinya bawa. "Dan ini buat Javier," Kara memberikan paper bag khusus untuk Javier sengaja sudah ia pisahkan. "Nah untuk di makan di sini, mbak udah bedakan." Kara mengeluarkan lagi panna cotta untuk mereka nikmati bertiga. "Ayok buka bukunya, kita belajar sambil makan aja yah." Dua remaja itu mengangguk, menuruti ucapan Kara. Dua puluh menit mereka fokus terhadap apa yang diterangkan oleh Kara. Nio lebih dulu memakan panna cottanya, Javier yang melihat Nio memulai memakannya, ia pun mengikutinya. Karena jujur saja, sedari awal dia melihat dessert menarik tersebut membuat dia ingin memakannya sedari tadi. Namun, dia masih malu, terlebih Nio sang empunya rumah belum memakannya. "Gimana, enak kan panna cotta nya?" Tanya Nio pelan pada Javier. Javier tersenyum sambil mengangguk, matanya terlihat menyipit. "Makanya gue selalu pengen makan ini, enak sih. Bikin nagih," Javier menyetujuinya, karena baru kali ini dia merasakan makanan manis yang begitu enak seperti ini. Beruntung sekali Nio selalu merasakan ini, batinnya. Mereka kembali fokus pada pelajaran, diselingi dengan memakan dessert. Sebenarnya Javier lebih tanggap dibandingkan Nio. Maka dari itu selama mengajari les, Kara tidak banyak mengulang apa yang dia terangkan. Alhasil les yang biasanya berjalan dua jam hanya 1 setengah jam saja. Rekor untuknya, itu pun lebih banyak Nio yang bertanya. "Oke deh, kalau gitu sampai bertemu 3 hari lagi yah untuk les nya." Javier dan Nio menganggukan kepalanya. "Mbak pulang dulu yah, makasih yah." "Eh tunggu, Mbak. Aku belum tanya tarif les nya berapa." Hampir saja Javier melupakannya. Kara tertawa mendengarnya, tawanya terasa indah dipendengaran Javier dan dirinya menyukainya. "Aduh, nggak usah dipikirin. Mbak nggak pakai tarif kok, se-ikhlasnya aja." "Eh, mana bisa begitu, Mbak. Mbak juga udah kasih aku dessert yang enak." "Hihihi tanya Nio aja coba, emang se-ikhlasnya kok." Nio mengangguk, mengiyakan ucapan Kara. Namun Javier sepertinya kurang puas dengan jawabannya. "Yaudah yah, Mbak duluan. Kasih tau mama yah Nio mbak pulang dulu," "Siap, Mbak nggak mau nungguin Mas Leon dulu kah? Biar bisa dianterin pulang?" Kara tertawa dan Javier mendengus sambil memalingkan wajah. "Mulai deh kamu, yaudah yah mbak duluan kalau gitu. Selamat sore," "Tunggu, Mbak. Aku bareng aja sama Mbak." "Boleh, ayok." "Gue pulang dulu yah, Nio makasih buat makan siangnya, tolong bilangin nyokap lo." "Siap kawan, tenang aja." Setelah itu Javier dan Kara keluar dari rumah Nio. Entah kenapa Javier tiba-tiba saja grogi, dia ingin berbicara luwes seperti Nio namun dia masih malu-malu dan bingung ingin memulainya dari mana. "Kamu berapa bersaudara Javier?" Kara lah yang memulai bertanya, seakan tahu jika Javier masih sungkan kepadanya. "Dua, Mbak." "Oh, kakak? Atau adik?" "Abang," "Oh, kelas berapa?" "Dua SMA." "Ah beda 3 tahun yah sama kamu," Javier mengangguk lagi. "Mbak anak tunggal, nggak punya adik atau kakak. Rukun-rukun yah sama abangnya." Javier kembali mengangguk, dia begitu gatal ingin menanyakan perihal hubungan ayahnya dengan Kara. Namun rasanya lidahnya kelu untuk bertanya, pertama karena tidak sopan, kedua karena dia masih baru mengenal. Takutnya kekasih ayahnya itu jadi berbeda kepadanya, namun dia penasaran. "Emm a-anu Mbak, aku mau tanya," "Iya, tanya aja." "Tapi, aku takut Mbak Kara risih dan ini pribadi sih," "Hm soal apa? Status, Mbak?" Gotcha! Javier membelalak terkejut, mengapa bisa wanita dewasa disampingnya itu tahu apa yang akan dia tanyakan. "Maaf, Mbak jangan dijawab aja pertanyaan akunya, kurang sopan juga." Kara malah tertawa mendengarnya, menurut Kara Javier lucu. Karena remaja itu terlihat berhati-hati kepadanya. "Aduh, santai aja. Jadi pertanyaannya benar itu?" "Iya, soalnya aku penasaran Mbak katanya nolak kedua kakak-nya Nio. Jadi emm aku pikir Mbak udah punya pacar," Lagi, Kara tertawa mendengarnya. Polos sekali pikir Kara ketika mendengar pertanyaan Javier. "Nggak kok, Mbak baru putus. Lagian abangnya Nio itu kan cuman candaan aja. Emang Nio nya aja yang usil, hehe." Jawaban Kara jelas membuat Javier kaget, namun dia masih bisa menyembunyikannya dalam raut wajahnya. Yang menjadi pertanyaan, mengapa ayahnya itu tidak mengatakan kepadanya? Karena biasanya sang ayah selalu mengatakannya. Apa karena ayahnya itu selama seminggu ini berada di luar negri makanya belum diberi tahu? Baiklah dia akan bertanya malam nanti pada ayahnya untuk mencari tahu. Karena jujur saja, dia sudah mulai menyukai Kara. Wanita di sampingnya itu berbeda, perasaannya sulit untuk dijelaskan. "Oke deh, ayo kamu pesan dulu grabnya." "Memangnya rumah Mbak udah sampai?" Kara menggeleng, "rumah Mbak, di ujung sana, ayo Mbak temenin kamu di sini buat nunggu grabnya." Kara lantas menepuk kursi yang ada di depan pos sana untuk Javier duduki. Javier baru tersadar jika kini mereka berada di pos satpam komplek perumahan. Pantas saja rasanya lumayan jauh dari tempat tinggal Nio. Kembali Javier merasa tersentuh akan sikap Kara yang mempedulikannya. Remaja berusia 14 tahun itu segera memesan grab-nya. Lima menit berlalu, grab yang dipesan Javier tiba. Sebelum masuk ke dalam mobil Javier berkata pada kekasih ayahnya. "Terima kasih, Mbak untuk pelajarannya. Aku langsung paham, terima kasih juga yah untuk dessert enaknya. Dan aku juga makasih banget, Mbak mau nungguin aku buat nunggu grab. Semoga Mbak selalu bahagia, yah." Ucapnya tulus sambil tersenyum. Kara terharu mendengarnya "Mbak boleh elus rambut kamu?" Javier kaget mendengarnya, namun dia membiarkan. "Makasih, Javier kamu juga yah," Kembali Javier tersenyum, namun kali ini membuat matanya hilang. Terlihat menggemaskan di mata Kara. "Kamu ganteng banget kalau lagi senyum," ujar Kara lagi sambil terus mengelus rambut Javier. Wajah Javier memerah dirinya merona mendapat pujian seperti itu dari Kara. Sumpah Javier begitu senang hari ini, dirinya rasanya ingin segera sampai rumah dan memarken ini pada abangnya. "Oke deh, ayok pak jalan. Tolong hati-hati yah bawa adek saya-nya." Titah Kara pada supir grab Javier. "Baik, Bu." "Bye-bye Javier, hati-hati yah." Mengangguk Javier menutup pintu mobilnya, dan mobil yang ditumpanginya itu pun mulai berjalan meninggalkan Kara. *** Sesampainya di rumah, rupanya sang ayah sudah sampai pun dengan Melvin. "Sore Ayah, sore Abang." Sapa Javier ceria sambil memeluk keluarganya satu persatu. Ayah dan anak sulung itu menatap Javier bingung. "Kamu kenapa seneng gitu, Dek?" "Nggak kenapa-kenapa, oh iya Adek udah makan yah, kalau Ayah sama Abang tanya." "Yah, padahal Ayah bawa makanan kesukaan Adek." "Oh yaudah ayok makan lagi deh, Adek juga tadi siang makannya." Semakin bingung lah Melvin dan Bara. "Terus kamu bawa apaan itu?" "Dessert, ini aku dikasih sama guru les aku. Ayah sama Abang Melvin harus cobain." "Ck seenak apasih, kenapa Abang sama Ayah harus cobain?" "Nanti Abang tau sendiri kalau udah makan, ayok ah kita makan dulu. Nanti keburu leleh panna cottanya." "Panna cotta?" "Iya, ayok ah ke meja makan." Mereka bertiga pun lantas menuju meja makan, Bara mengeluarkan makanan yang dibawanya. Bebek bakar dan goreng kesukaan si sulung, sedangkan yang bakar kesukaan si bungsu. "Ayah, aku mau tanya. Ayah masih pacaran sama tante itu?" Pertanyaan tak terduga dari Javier membuat Bara dan Melvin kaget. Untung saja mereka berdua tidak tersedak tulang. Javier bertanya ketika mereka sedang enak makan sih. "Adek! Kamu kenapa nanyain itu sih?!" Aura tidak menyenangkan keluar dari Melvin. Dia bahkan menatap Javier tidak suka. "Belum, Ayah masih pacaran sama Tante Kara. Kenapa memangnya, Dek. Kamu mau ketemu?" "Ayah!" Melvin protes tidak suka. Sedangkan Javier membatin, dia masih ingat jelas perkataan Kara tadi. Bahwa wanita itu sudah putus dengan ayahnya, tapi kenapa ayahnya malah menjawab sebaliknya? "Adek, Abang gak suka yah kamu bahas wanita jelek itu," "Melvin!" tegur Bara tidak suka. "Adek cuman pengen tahu aja kok, Abang." Jawabnya pelan. "Ck, kamu ngeselin. Abang udah makannya." "Duduk Melvin, habisin makanan kamu." Melvin tidak mendengar, dia tetap berdiri. "Duduk, atau Ayah yang paksa kamu duduk." Melvin berdecak ia kembali duduk, dan menyelesaikan makanannya yang sedikit lagi habis. "Maaf Abang," Javier menatap Melvin dengan pandangan bersalah. Setelah acara makan itu selesai, Javier langsung membuka paper bag yang dibawanya. Ia lalu menyerahakan panna cotta pada ayah dan abangnya itu. "Ah panna cotta nya belum cair, ayo Abang ayo Ayah cobain panna cotta-nya."  Masih dengan wajah kesal Melvin mengambil panna cotta yang sudah disedikan oleh adiknya itu. Baru saja makan sesuap wajah Melvin berubah, dia kembali memakannya. "Gimana Abang? Enak kan?" Melvin mengangguk, perasaan kesalnya pada sang adik perlahan menghilang. "Ayo Ayah cobain," Bara tersenyum melihatnya, ia juga mulai mencoba. Dan benar ucapan anak sulungnya itu, jika panna cotta nya begitu lezat. Tidak membuat enek dan justru membuatnya ketagihan. Dalam hati Javier dia membatin, bagaimana jika abang dan ayahnya itu tahu bahwa makanan yang mereka makan itu, makanan yang dibuat oleh Kara. Apakah mereka akan memujinya? Bagi ayahnya mungkin iya, tapi abangnya? Jelas saja berbeda, bahkan mungkin tidak sudi untuk memakannya. Sebelum panna cotta itu habis, Javier kembali membuka box berisi lemon blueberry cheesecakez-nya. "Wah kayaknya ini gak kalah enak juga, Dek?" Melvin tergiur melihat cake di depannya itu. "Adek juga belum cobain, ayo Abang potong kue-nya," Dengan senang hati Melvin bersedia, ia melepaskan sendok yang berada di dalam mulutnya, kemudian mulai memotong cake menarik di hadapannya itu. Bungsu Bara itu langsung mengambil cake yang telah dipotong Melvin. Dia memakannya dengan suapan besar, karena dia percaya rasa cake ini pasti enak. Dan benar saja dugaannya, lemon blueberry cheesecake ini tak kalah lezatnya dengan panna cotta yang lainnya. "Wah beneran, buatan Mbak Ka- beneran enak," hampir saja Javier keceplosan menyebut nama Kara di depan ayah dan abangnya. "Ka, Ka siapa, Dek?" Ayahnya malah yang lebih jelas mendengar ucapan Javier. "Ka-Kania maksudnya Ayah." "Oh, nama guru les kamu Kania, Dek?" Mau tak mau Javier membenarkan, dia mengangguk. Tak apalah dia membohongi ayah dan abangnya itu. Belum saatnya mereka mengetahui. "Aku gak yakin pacar Ayah bisa bikin makanan kayak gini, miskin kayak gitu mana ngerti buat ginian." Ejek Melvin sambil terus memakan cake nya. Ucapan Melvin membuat Javier tersedak panna cotta-nya, membuat Bara langsung memberikan si bungsu air. "Pelan-pelan, Dek. Ayo minum dulu," titah Bara sambil mengelus punggung Javier. "Melvin, Ayah gak pernah ajarin kamu bicara seperti itu yah! Perkataan kamu itu ngerendahin derajat orang lain, Ayah nggak mau kamu bicara seperti itu lagi, paham kamu?!" Melvin tidak membalas, dia malah mendengus dan kembali memakan cake-nya. Bara yang melihatnya itu hanya menggeleng, benar-benar tidak habis pikir dengan si sulung. 🇵🇸 🇵🇸 🇵🇸 Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD