Uti melupakan kunci kosannya, dia lupa membawanya. Kunci kosan miliknya ia simpan di laci kasir, lupa dia tidak memasukannya ke dalam tasnya. Alhasil sekarang dia harus kembali ke toko, dia juga yakin jika seniornya itu masih ada di toko karena sedang memasukan data. Dan benar saja dugaannya, dia baru saja membuka pintu toko dia dikejutkan dengan Kara yang tengah berciuman dengan seorang pria.
Uti memekik begitu menyadari jika pria yang mencium seniornya itu Bara. Bos besar butiknya. Akibat pekikannya itu lah membuat Kara mendorong tubuh Bara.
"U-Uti!" Seru Kara panik.
Sial! Dia terpergok oleh juniornya.
"Ma-maaf Mbak." Uti menundukkan wajahnya.
Sumpah dia benar-benar takut, bagaimana jika dirinya dipecat gara-gara ini. Dia masih butuh pekerjaan ini, pekerjaan di butik ini meskipun berat namun sepadan dengan gajinya. Jika dia dipecat dia harus mencari kerja ke mana, mengingat umurnya yang bukan lah fresh graduate.
Kara mengingit bibir bawahnya, dia panik. Bagaimana bisa dia bisa ketahuan oleh Uti? Bagaimana jika Uti membocorkan kejadian ini kepada managernya? Atau bahkan kepada orang-orang disekitar sini. Celaka, dia bisa dikeluarkan dari sini.
Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh wanita kesayangannya, Bara seketika berdiri dengan benar lalu memandang karyawan yang berada di depan pintu butiknya, tengah menunduk. Terlihat ketakutan, ia lantas berdehem untuk mengambil eksitensi karyawannya tersebut.
"Ekhem, siapa nama kamu?"
Pelan-pelan Uti mengangkat wajahnya, pandangannya terkunci pada wajah datar Bara. Ia seketika meremas kedua tangannya, aura disekitarnya langsung berubah. Dan ia benar-benar menyesali keputusannya untuk kembali ke sini. Ingatkan dia lain kali untuk membuat kunci cadangan, atau tidak semua barang yang ia miliki harus memiliki gantinya. Agar kejadian hal seperti ini tidak terjadi lagi.
"U-Uti Pak."
Bara mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kamu, sudah berapa lama kerja di sini?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, jelas saja membuat Uti semakin ketakutan. Apakah ini akhir dari pekerjaanya?
Kara pun sama, dia sudah berkeringat dingin. Takut kekasihnya itu akan memecat Uti. Jika Uti dipecat, dia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Sa-satu tahun, Pak." Balasnya lagi dengan wajah yang benar-benar sudah pucat. Dia takut benar-benar ketakutan.
"Saya tidak akan pecat kamu, kalau itu yang kamu takutkan."
Uti dan Kara merasa lega dengan ucapan Bara.
"Tapi, kalau saya denger gosip tentang Kara. Kamu tahu kan konsekuensinya?"
Glek
Uti langsung menganggukan kepalanya. Sebenarnya tanpa atasannya itu mengancam dirinya, dia pasti akan menutup mulutnya rapat-rapat. Dia juga tidak mau di jauhi oleh Kara karena masalah ini. Kara sudah seperti kakaknya sendiri yang tidak dia miliki.
Bara kemudian kembali memutar tubuhnya menghadap sang kekasih.
"Lanjutin besok aja,"
"Ta-tapi aku belum selesai, Mas."
"Ck yaudah, saya nemenin kamu juga di sini."
"Mas, nanti anak-anak kamu gimana? Dia pasti nungguin kamu di rumah."
"Makanya kamu pulang ayo."
Uti seharusnya mengabadikan momen langka di sini, dan jika dirinya memiliki nyali ingin sekali dia membagikan adegan manis di depannya itu. Bagaimana mungkin seorang Bara Wicaksono yang diketahui, paling dingin dan tidak menyukai basa-basi mengeluarkan sifat manja hanya kepada seniornya soarang. Bukankah ini suatu keajaiban? Seumur dirinya bekerja di sini, baru kali ini dia melihat sisi lain dari Bara. Benar-benar suatu keberuntungan untuknya, namun dia juga merasa tidak enak. Pasalnya dia seperti patung, diam di depan pintu tanpa mengerjakan apa-apa. Dia yang takut karena penilaian untuknya buruk, segera berjalan dan menghampiri seniornya. Berniat untuk membantu.
Nggak apa-apalah lembur.
"Mbak, maaf kalau saya ganggu. Sini Mbak, saya bantuin." Uti kini berada di depan meja kasir, masih tetap menundukan wajahnya. Namun, kedua tangannya terbuka meminta kertas pada Kara.
"Eh kamu kenapa masih di sini, bukannya pulang. Tunggu sebentar, ini kunci kosannya."
Bukannya menjawab pertanyaan Uti. Kara malah membuka laci kasir dan mengambil barang yang membuat Uti kembali ke sini.
"Pulang sana, jadwal kamu udah habis."
"Ta-tapi Mbak."
"Ck, lihat kan. Junior kamu jadinya ngikutin jejak kamu, udah cepet close komputernya kita pulang."
"Mas!"
"Pulang sekarang atau saya cium kamu lagi?!"
Sepertinya Bara sudah tidak mempedulikan lagi dengan reputasinya, dia malah berbicara seenaknya. Uti dan Kara lah yang dibuat kaget. Mungkin Uti lebih kaget, jika Kara sih sepertinya sudah biasa.
"Sana pulang, Kara juga akan pulang sekarang." Titah Bara pada Uti
"Ba-baik Pak, Mbak saya pamit yah. Terima kasih, dan maaf sekali lagi." Setelah mengatakan hal itu, Uti langsung berlari dengan cepat. Tidak mau lagi berada di sana, bukan hanya karena malu. Tapi, dia juga tidak tahan ingin berteriak. Berteriak karena masih kaget akan kejadian yang dialaminya.
"Ck yaudah tunggu, aku beres-beres dulu."
Jawaban Kara yang pasrah membuta Bara tersenyum, dia duduk dikursi yang sudah disediakan di sana untuk costumer dengan mata yang tetap memerhatikan sang kekasih.
***
"Dek, ayah belum pulang?" Melvin bertanya pada adiknya itu yang tengah menonton tv.
"Belum, Bang. Pacaran kali." Balas Javier malas.
"Ck, kebiasaan deh." Melvin kemudian ikut duduk di samping Javier.
"Bunda telepon kamu nggak?"
Javier menggelengkan kepalanya, semakin membuat Melvin kesal saja.
"Aku coba chat ayah."
Javier mendengus dan memperlihatkan isi chatnya dengan sang ayah pada kakak satu-satunya itu. Ayahnya itu mengatakan jika dirinya masih di luar dan menyuruh mereka untuk makan malam dengan gofood, dan tak perlu untuk menunggu ayahnya pulang.
"Ck yaudah lah, kita gofood aja." Putus Melvin.
"Tante Kara bener-bener buat pengaruh buruk buat Ayah." Dumel Melvin lagi.
Cowok berumur enam belas tahun itu mengambil ponselnya, dia melihat notifikasi dari m-banking. Ayahnya baru saja mengirimkan uang untuk makan malam mereka berdua.
"Kamu mau makan apa, Vier?"
"Apa aja deh, asal jangan ada udangnya."
Melvin mengangguk, mereka berdua alergi udang. Sekalipun mereka ingin mencicipi udang, namun mereka selalu menahannya.
Mereka berharap ayahnya dan ibunya kembali bersama. Karena di dalam keluarga mereka tidak ada yang memakan udang, ibunya memiliki alergi yang seperti mereka sedangkan ayahnya tidak. Jadi ayahnya tidak pernah menghidangkan masakan udang di meja makan mereka.
Melvin memilih pizza dan spaghetti untuk menu makan mereka malam ini. Ketika mereka baru saja akan memakan makanannya, tak lama Bara datang dan langsung menghampiri keduanya.
"Kalian baru makan?"
Mereka berdua mengangguk.
Bara melihat dua kotak pizza dan 3 piring spaghetti di atas meja. Ia menggelengkan kepalanya melihat makanan anak-anaknya.
"Kenapa kalian pesan pizza sama spaghetti? Bukan yang ada nasinya."
"Kami udah kelaparan, Ayah. Dan yang paling cepet pesan ini." Balas Melvin yang diangguki Javier.
Bara mendecak, pertanda tidak menyukai jawaban dari sang anak pertama.
"Ayah udah makan?"
Bara mengangguk mengiyakan pertanyaan Javier.
"Sama siapa?"
"Pacarnya lah, Vier. Pake nanya lagi." Seloroh Melvin dengan malas.
"Melvin."
"Apa aku emang bener kan, Ayah udah makan sama pacarnya. Dan lupain anaknya yang belum makan malam."
"Melvin!" Kali ini suara Bara lebih tegas.
Melvin diam ketika ayahnya sedikit membentaknya, membuat Javier sedikit takut. Karena ayahnya jarang sekali membentak mereka, apalagi memarahi. Javier lantas berinisiatif untuk bertanya hal lain, yang tidak membuat ayah dan abangnya itu marah.
"Ayah, kapan ayah mau ngenalin pacar ayah sama kita?" Pertanyaan Javier yang tidak disangka-sangka itu jelas membuat ayah dan juga abangnya memandang mereka dengan pandangan kaget.
"Kamu serius tanya gitu ke ayah, Dek?!"
"Memangnya kalian ingin kenal dengan kekasih ayah?"
Jawaban ayahnya jelas membuat Javier dan Melvin bingung. Namun, Melvin merasa jika ayahnya tidak serius dengan sang kekasih, karena dari jawaban ayahnya lah, seolah menjelaskan jika ayahnya tidak ada niatan untuk memperkenalkan mereka pada kekasihnya.
"Tidak, aku tahu ayah hanya main-main dengan kekasih ayah, jadi tidak usah. Kami tidak ingin posisi bunda digantikan oleh orang lain."
Setelah mengatakan hal itu, Melvin lantas bangkit dari duduknya. Pembahasannya kali ini membuat mood makannya terjun, dia tidak mau lagi melanjutkan acara makannya.
"Aku tidur duluan," pamitnya pada adik juga ayahnya.
Bara yang melihat sang kakak yang meninggalkannya membuat dia sedih, apa karena ucapannya ini kakaknya itu marah? Sehingga tidak mau lagi melanjutkan makannya? Pikirnya yang seketika terganggu dengan sikap sang kakak.
"Dek, ayo habisin makanannya. Ayah tungguin," Bara berujar menghancurkan lamunannya.
Teguran dari sang ayah membuat Javier kembali memakan makanannya.
"Javier kira, ayah serius dengan Tante itu."
Celetuk Javier lagi, yang seolah dia penasaran dengan kekasih ayahnya. Padahal dia tahu betul tentang kekasih ayahnya, karena selama ini dia dan abangnya mematai wanita itu.
"Memangnya adek nggak masalah, kalau ayah nikah lagi?"
Bara kemudian bertanya yang lebih serius kepada anak bungsunya itu, dia ingin melihat sejauh mana Javier akan menjawab. Karena ia merasa Javier tidak mempermasalahkannya dia berhubungan dengan siapapun, berbeda sekali dengan Melvin anak tertuanya. Dia selalu menunjukkan pertentangan ketika dia tidak sengaja mengatakan sudah memiliki kekasih.
Ditanya seperti itu oleh sang ayah, membuat Javier menghentikan aksi kunyahannya.
"Aku nggak tahu, aku juga nggak tahu sikap pacar ayah ke aku sama bang Melvin bagaimana. Jika tante itu jauh lebih bagus segalanya dari bunda, Javier terima."
"Javier udah selesai makannya, selamat malam ayah." Pamit Javier yang berlalu begitu saja dihadapan Bara.
Dan sekarang jawaban Javier membuat Bara terpekur, lebih bagus segalanya dari bunda? Batinnya?
Sebenarnya, apa yang ditanamkan mantan istrinya itu kepada kedua anaknya? Dia harus memperingatkan mantan istrinya itu untuk tidak mencampuri urusannya.
Apa jadinya jika anak-anaknya itu tahu, alasan perpisahan ia dan bundanya dulu. Dia yakin, Melvin dan Javier akan membenci mantan istrinya itu. Bunda yang selalu mereka banggakan, tak seperti apa yang mereka pikirkan selama ini.
Kemudian pikirannya tiba-tiba saja berhenti pada pembicaraannya pada Kara tadi, saat dirinya mengantarkan kekasihnya.
"Jadi, kapan Mas Bara mau ngenalin aku ke anak-anak?"
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Kara menanyakan hal ini, Kara bahkan begitu semangat tiap bertanya mengenai hal ini.
"Emm nanti yah, kalau kamu sudah siap."
"Maksudnya?"
"Iya, tunggu kamu siap dulu."
Kara membenarkan posisi duduknya yang kini menjadi menghadap Bara tidak lagi menyamping seperti tadi. Mereka masih berada di mobil Bara.
"Kalau aku belum siap, aku nggak mungkin tanyain terus ke kamu, Mas."
Bara diam.
"Oh atau jangan-jangan kamu memang nggak niat buat kenalin aku ke mereka."
Bara diam lagi, dan diam nya Bara jelas mematik emosi Kara.
"Yaudah lah! Emang kamu nggak niat serius sama aku. Aku cuman buang-buang waktu aja selama ini sama kamu." Kara keluar dari dalam mobil Bara dia membanting dengan keras pintu mobil mahal milik kekasihnya itu.
Sebelum dia benar-benar pergi, dia mengetuk kaca mobil Bara.
"Nggak usah temuin aku lagi, kita putus!" Teriak Kara dari luar namun dapat terdengar oleh Bara.
Bara seolah tersadar dari kekagetannya, dia mengikuti Kara yang keluar dari mobil. Mengejar sang kekasih yang kini sudah berlari memasuki rumahnya.
Onyx nya menatap pintu rumah sederhana Kara dengan sorot yang sulit diartikan. Dia menghela napasnya, kemudian kembali berjalan menuju mobilnya.
Helaan napas berat keluar dari mulut Bara. Kekasihnya itu merajuk, dan pasti akan lama jika sudah seperti ini. Dia berharap hubungannya dengan sang kekasih akan segera membaik, meskipun rasanya sulit.
***
Tbc