Bab 2

1885 Words
Remon mengantar Kara sampai di depan rumah wanita yang disukainya, namun dia tertegun melihat sebuah mobil mewah yang sudah terparkir di depan rumah Kara. "Kar, gue balik dulu yah," pamit Remon pada Kara. Kara mengangguk, kemudian memberikan helm yang dipakainya pada Remon. Pria manis itu tersenyum lalu pergi dengan motornya meninggalkan Kara yang masih diam memerhatikan Remon. Kara mengeluh melihat mobil Bara yang ada di depan rumahnya, pasti pria itu berbicara yang tidak-tidak pada ibunya. Ibunya itu kebanyakan ibu pada umumnya, ingin memiliki menantu mapan, tampan, dan berwibawa. Tapi satu hal yang ibunya tidak tahu dari Bara, bahwa pria itu seorang duda beranak dua. Jika ibunya tahu, tidak mungkin Bara bisa sesuka hati mengunjungi rumahnya. Kara masuk ke dalam rumah sederhana milik ibunya setelah mengucapkan salam, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia melengos masuk ke dalam kamar. Tidak memedulikan wajah ibunya yang memerah menahan kesal dan juga wajah Bara yang mendadak kaku. "Tunggu sebentar yah, Ibu mau susul Kara dulu," "Tidak usah, Bu. Sepertinya Kara sedang capek, kalau begitu saya pamit. Nanti saya akan telepon Kara." Sahut Bara yang membuat wanita paruh baya di depanya itu kembali duduk. "Baiklah jika begitu, kasian juga Nak, Bara sedari tadi sudah menunggu tapi Kara nya begitu." Balasnya wanita paru baya itu dengan sesal. Bara tersenyum, pria matang itu kemudian pamit undur diri. Tidak ingin meninggalkan kesan buruk untuk ibu kekasihnya itu. Setelah Bara pergi, ibu Kara langsung ke kamar putri semata wayangnya itu. Dilihatnya Kara yang sedang duduk di depan meja rias, sang ibu seketika menghampiri. "Kamu kenapa sih, Ra. Bara ke sini kok kamu malah nyelenong masuk ke kamar? Sopan santun kamu, di mana?!" Tegur sang ibu yang berdiri di samping meja rias putrinya. Kara diam saja, tangannya sibuk mengolesi wajahnya dengan krim. "Pokoknya Ibu nggak mau tahu, besok kamu harus baikan sama Bara. Dia udah Ibu anggap sebagai calon mantu, Ibu." Dan kali ini Kara memberi respon dengan dengusan. Ibu Kara yang melihat balasan sang anak seperti itu hanya menggelengkan kepalanya kemudian pergi meninggalkan Kara. "Bara lagi, Bara lagi. Bener-bener deh itu Duda, ngasih jampi-jampi apaan sih sama Ibu. Bisa-bisanya Ibu kepincut sama dia!" Dumelnya sebal. Kara lantas beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju ranjangnya. Ia langsung membaringkan tubuhnya, rasanya tubuhnya begitu pegal terlebih kaki nya. Ini semua gara-gara Amira, dasar sialan wanita tua itu. Bukan salahnya jika toko sepi, pengunjungnya saja yang tidak mau datang ke toko nya, tapi dia dan temannya yang mendapatkan getahnya. Baru saja dia menutup mata, ponselnya malah berdering bunyi telepon masuk, dan Kara benar-benar malas untuk mengangkatnya. Dia tahu yang menelepon itu siapa, karena ponselnya terus saja berbunyi tidak sabaran. Dengan kesal dia mengangkat telepon itu. "Apa?!" Bentak Kara yang sudah kesal. "Kok gitu jawabnya? Saya sapa kamu tadi mesra loh," Ujar si penelepon dengan pura-pura kaget. Kara berdecak. "Apa sih, saya mau tidur nih. Bapak jangan ganggu saya dong!" "Eits bilang apa hm? Bapak? Saya? Kamu mau saya cium kayak kemarin sampe megap-megap? Oh dengan senang hati sayang." "Mas Bara! Nggak lucu tau gak!" Di ujung sana Bara tergelak. "Cantik deh kalau lagi marah gitu, pasti muka kamu merah. Sayang, saya nggak ada di sana." Dan Kara kembali berdecak. "Nggak ada yang mau di omongin, kan? Aku tutup, selamat malam!" Putus Kara secara sepihak, ponselnya ia matikan. Dia kembali memejamkan kedua matanya, dia butuh tidur sekarang sebelum besok kembali berperang dengan Amira dan Bara. Ia membutuhkan tenaga yang banyak untuk bisa menghadapi mereka berdua, yang Kara tahu akhirnya akan seperti apa. Tapi setidaknya dia harus mencoba untuk tidak menyerah begitu saja. *** Kara berdiri di depan toko dengan wajah yang dibuat super ramah, baru saja masuk dia sudah harus SO (stock opname). Biasanya kegiatan seperti ini dilakukan satu bulan sekali, tapi ini baru seminggu melakukan SO sekarang SO lagi. Kara tidak habis pikir dengan wanita tua itu, karena menurut Amira target mingguan tokonya ini masih rendah. Makanya mereka harus SO untuk membalas targetan yang jauh dari kata bagus. Padahal Kara tahu, jika ini hanya akal-akalan Amira saja. Amira yang menjabat sebagai manager toko, yang hobinya patroli ke toko-toko lain. Untung saja wanita tua itu hanya mengunjungi tokonya satu minggu sekali untuk rapat mingguan, jika sampai setiap hari Amira diam di tokonya. Wah dia mending berhenti saja, mencari pekerjaan lain yang tidak ada Amira nya. "Asem banget mukanya, kenapa?" Tanya Remon yang kini tengah berdiri di samping Kara. "Hm biasa," balas Kara sekenannya. Seolah tahu dengan orang yang membuat Kara berwajah seperti ini, Remon pun kembali berbicara. "Makan bakso yuk ntar siang, biar mukanya nggak asem lagi." Ajak Remon dengan mata penuh harap. Kara menghela napasnya berat, dia sebenarnya ingin menerima tawaran Remon. Tapi dia takut ada mata-mata yang dikirim Bara untuk membuntutinya, dia tidak mau Remon kenapa-kenapa maka dari itu lah, dia sudah berpikir semalaman. Dia akan mencoba untuk tidak terlalu dekat dengan Remon, meskipun rasanya sulit karena pria itu begitu baik kepadanya tapi apa boleh buat. Dia tidak mau Remon kena masalah karenanya, Remon pria baik dari keluarga sepertinya. Dan akan sangat jahat jika dia menyebabkan Remon terkena masalah. "Kayaknya nggak deh. Aku mau masukin data, yang jaga hari ini aku sama Uti, Dewi lagi off. Remon berusaha untuk tidak kecewa, dia mengangguk mengerti. "Gimana kalau aku bawain baksonya, terus kita makan di dalam toko kamu?" Kara seketika menggeleng keras, apalagi ini. Bukan hanya Amira yang akan menggorengnya bila ketahuan makan di dalam toko dengan pegawai dari toko lain, tapi dia juga akan di goreng habis oleh si pemiliki toko aka Bara. "Jangan, kamu mau nanti aku di pecat apa? Nggak liat tuh di dalem toko penuh sama cctv!" Seru Kara sedikit kesal. Remon tersenyum, jika begini dia tidak bisa membantah. Pria itu merasa bersalah, mood Kara juga sepertinya sedang tidak baik. "Oke deh, met bekerja. Aku balik dulu ya, Kar." Pamit Remon yang kemudian memundurkan tubuhnya lalu berjalan meninggalkan Kara yang telah memberinya senyum tipis. Kara kembali memasang wajah ramahnya, dia sudah pegal ingin masuk ke dalam menggantikan Uti yang sedang memasukan data. Tapi sayangnya temannya itu lama, membuat Kara kembali berdiri di depan toko. Kara kembali memikirkan nasib percintannya yang begini-begini saja. Umurnya sudah dua puluh tujuh tahun, semua temannya sudah menikah dan memiliki anak. Hanya dia sendiri yang masih singel, mantan pacarnya saja waktu SMA kemarin sudah menikah dan sudah punya anak pula. Menikah kapan, melahirkan kapan mungkin bayi mereka lahir prematur berpikir positif saja begitu. Tapi, tetap saja sifat keponya muncul dan mempertanyakan, karena bisa saja mereka telah menabungnya dulu. Salahkan ketiga temannya itu yang selalu merecokinya tentang Denis sang mantan. Sibuk dengan pikirannya, Kara tidak menyadari. Bahwa di hadapannya kini, berdiri seorang pria yang kemarin malam dia diamkan di rumah. Bara memandangnya dengan datar, tanpa senyum atau godaan. Jika di tempat kerja memang Bara dan dirinya selalu seperti ini, agar tidak dicurigai oleh karyawan lain. Pada awalnya dia setuju saja dan merasa tidak keberatan, namun akhir-akhir ini dia merasa jika Bara tidak serius kepadanya. Ternyata yang datang bukan hanya Bara saja, melainkan beberapa orang lainnya datang dari kantor. Mereka membawa beberapa koper yang sudah dipastikan baju model terbaru, dan jika begini dia tidak akan bisa pulang dengan cepat. *** Sudah pukul sembilan malam, dan Keyra masih sibuk memasukan data barang ke dalam komputer. Uti sendiri dia suruh pulang lebih dulu, karena dia besok akan masuk siang dan Uti lah yang menggantikannya untuk masuk pagi. Dia sudah lelah, matanya perih kedua tangannya begitu pegal belum lagi perutnya yang terus berbunyi. Sialan si Bara, ketika siang tadi datang dia langsung membantu staf kantor untuk mengganti pajangan dan menata pakaian baru. Dia tidak sempat makan karena mereka baru selesai dua jam tadi. Seharusnya dia bisa saja mencuri waktu untuk makan sedikit, tapi apa yang mau dia makan? Di tokonya tidak ada makanan sedikitpun hanya air putih saja yang ada di dalam dispenser. Kara yang fokus tidak menyadari jika pintu toko terbuka, dan seseorang dengan pakaian kerjanya tengah berjalan menghampirinya. Tiba-tiba saja sebuah plastik dengan merk mahal berada di samping ponsel Kara. Kara seketika menghentikan aktifitasnya, begitu aroma nasi goreng seafood tercium. Wanita yang sudah lelah itu memiringkan tubuhnya ke samping dan dia kaget melihat Bara berdiri di sampingnya. "Ba, Bapak?!" "Eits, panggil yang benar, sayang." "Mas Bara," "Nah gitu dong." Balasnya dengan senyum tampannya. "Ka, kamu ngapain ke sini?" Tanya Kara yang masih kaget. "Jemput kamu lah, apalagi." "Ta, tapi ini masih di toko. Gimana kalau diliat orang lain? Eh cctv belum aku matiin." Panik Kara yang langsung berdiri, dan membuka laci. "Udah tenang aja, saya udah matiin cctv nya ko sebelum ke sini." Desahan napas lega keluar begitu saja. "Makan sana, kamu belum makan kan?" Kara mendengus dan kembali duduk di kursi. "Menurut situ?" Balas Kara yang tiba-tiba jengkel. "Kok kesel? Harusnya saya loh yang kesel sama kamu." Ingatkan Ben. Pria berumur 37 tahun itu membuka plastik yang berisi nasi goreng untuk kekasihnya itu. Dengan senang hati Kara memakannya tak mengidahkan perkataan Bara barusan. Masa bodo, Kara sedang kelaparan dan Bara jelas memakluminya. "Saya nggak suka yah, kamu deket-deket sama pria jam itu." "Remon?" Tebak Kara. "Pake disebutin namanya lagi." Decak Bara yang malah ikutan kesal. "Ah aku aja biasa aja tuh kamu deket sama perempuan lain di kantor kamu," balas Kara yang tak mau kalah. "Iya karena kamu nggak cinta sama saya kali, makanya biasa aja." Mata Kara seketika membulat mendengar jawaban asal Bara. Mata Kara memandang Ben dingin. "Kamu kali yang nggak cinta sama aku, buktinya udah setahun pacaran masih aja gini, nggak ada perubahan. Dikenalin sama anak-anak kamu aja nggak." Seru Kara sambil membereskan makannya. Perkataan Kara membuat Bara terdiam. "Apa kamu sudah siap bertemu anak-anak saya?" Tanya Bara pada akhirnya. Kara yang tengah membereskan peralatan makannya mengalihkan wajahnya jadi menghadap Bara. "Kalau aku nggak siap, aku nggak mungkin ngajakin kamu terus ketemu sama anak-anak." "Saya takut kamu belum siap ketemu mereka, Ra. Makanya saya selalu tunda, saya nggak mau buat kamu takut terus lari karena tau sifat anak-anak saya seperti apa. " Kara menghela napasnya, dia memang belum tahu sifat kedua anak kekasihnya itu seperti apa. Dia hanya mengetahui jika anak Bara beranjak remaja dan sangat dekat dengan ibu kandungnya. Hanya itu. "Gini aja deh, kalau kamu beneran serius sama aku. Kita ketemu anak-anak kamu, kalau nggak yaudah kita udahan aja. Lagian aku butuh kepastian, Mas. Umurku emang masih muda, tapi Ibu ku terus aja minta aku cepet kawin sama kamu---" "Kawin mah saya juga siapa kapan aja." Seru Bara usil memotong pembicaraan. "Mas!" Peringat Kara dengan mata melotot tajam. Bara mengangkat kedua tangannya, tanda dia menyerah. "Kalau kamu nggak nikahin aku tahun ini, yaudah aku mau nerima aja cowok yang dijodohin sama aku, atau mungkin Remon? Remon juga pasti mau kalau nikahin aku." "Kara!" Tekan Bara menahan amarah. "Apa?!" "Berhenti bicara omong kosong! Kalau tidak, saya cium kamu di sini." Serunya dengan masih menahan amarah, kedua mata Bara menajam memandang kekasihnya itu. "Ayo cium, ayo. Kayak yang berani aja ciuman sama aku dibsini!" Bukannya takut, Kara malah menantangnya. Bara yang merasa Kara menantangnya, jelas saja membuat dia kesal, dengan cepat dia menarik wanitanya lalu mencium bibir kecil Kara dengan kasar. Kara jelas kaget akan tindakan Bara sampai lututnya lemas, duda dua anak ini memang pencium yang handal. Kara harus akui itu, karena selalu membuat Kara terlena dan ingin membalasnya seperti sekarang. Sayangnya ketika dia ingin membalas, pekikan nyaring terdengar di depan pintu tokonya membuat Kara seketika mendorong d**a Bara. *** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD