Kara diam di dalam kamarnya, sang ibu yang bertanya padanya pun tak dia gubris. Sifat dia kalau sedang marah itu jelek, jelek sekali. Kara bisa mendiamkan ibunya, sekalipun ibunya tidak ada sangkut pautnya. Dia suka seperti itu, sampai dirasa amarahnya hilang dia akan kembali seperti semula. Dan akan meminta maaf pada sang ibu atas sifat menyebalkannya. Ibunya jelas memaklumi, karena itu juga turunan darinya.
Wanita yang sebentar lagi berusia 28 tahun itu langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Kara butuh mandi untuk membenarkan moodnya, tak membutuhkan waktu lama baginya untuk membersihkan diri. Karena dia sudah siap dengan piyama tidurnya.
Tubuh rampingnya ia hempaskan pada ranjang, ia mematikan ponselnya untuk di charger. Plus dia sengaja, kalau-kalau Bara menghubunginya. Mata cantiknya memandang langit-langit kamarnya. Pikirannya berkelana pada kejadian tadi, saat dia dengan reflek mengatakan untuk mengakhiri hubungannya dengan Bara.
Apa dia menyesal? Tidak. Dia benar-benar tidak menyesal keputusannya. Meskipun ucapannya tadi spontan, tapi dia tidak menyesalinya. Dia tidak mau terus seperti ini, hubungannya sudah satu tahun lebih dengan Bara. Dan masih begini-begini saja tidak ada perubahan, dia juga lelah jika harus pacaran diam-diam. Memang awalnya dia yang memintanya, karena dia juga memikirkan reputasi Bara dan dirinya. Biarlah jika itu dengan orang lain mereka tidak diketahui, tapi dengan keluarga Bara? Bahkan dia hanya tahu Bara duda dengan dua orang anak. Sudah hanya itu yang dia tahu, dia tidak tahu alasan perceraian Bara dengan mantan istrinya, dia tidak tahu Bara dengan orangtuanya. Sedangkan laki-laki itu? Dia mengetahui semuanya, kecuali mengenai ayahnya. Tidak ada yang mengetahui alasan dirinya dan ibunya hanya tinggal berdua.
Tak ingin terlalu banyak memikirkan masalah percintaanya, Kara memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya. Dia besok harus bekerja, hanya dirinya yang bekerja sedangkan ibunya di rumah saja sambil mengurus usaha katering kecil-kecilan yang dikelola sang ibu, saat mereka ditinggalkan oleh sang ayah.
Keesokan harinya, Kara bangun dengan perasaan yang tenang. Dia tidak sedikitpun terusik mengenai Bara yang tidak menghubunginya, dia merasa senang. Dia juga berpikir mungkin dia harus mengganti nomor ponselnya, agar benar-benar terbebas dari Bara. Dia sudah memikirkan hal ini, tapi dia juga berpikir percuma. Percuma kalau dirinya masih bekerja dibawah naungan Bara.
"Pagi, Bu." Kara menyapa sang ibu sambil duduk dimeja makan.
Dimeja makan sudah terhidang nasi uduk langganannya.
"Pagi, sayang. Ayo makan mumpung masih hangat."
Kara mengangguk sambil mulai menyuapkan makanannya.
"Aku kayaknya mau ambil cuti deh, Bu."
"Bagus itu, setahun ini kamu gak libur, lebaran, natal, imlek kamu kerja juga. Jatah libur tahunan kamu aja, kamu pake kerja."
"Iya lagian di rumah juga ngapain? Mending kerja kan, Bu?"
"Iya, tapi mbok yah perhatiin juga mental kamu toh. Jangan nyari duit mulu, otak kamu juga harus di refresh."
Kara tertawa mendengar nasehat sang ibu.
"Minggu ini Ibu ada katering nggak?"
"Ada, di dekat kelurahan. Kenapa?"
"Apa Kara ikut ibu aja yah, seru kayaknya."
"Ada-ada aja kamu, Ra. Mending kamu main sama temen-temen mu sana, keluar kota sekalian."
Kara seolah mendapat pencerahan dari sang ibu.
"Ide ibu boleh juga, oke deh. Nanti Kara pikirin."
"Iya, sana refreshing. Jangan pikirin Ibu terus gimana, Ibu nggak masalah kalau sendirian di rumah."
Kara tersenyum menampilkan deretan gigi rapihnya. Hanya ibu yang mengerti dirinya, tahu sekali jika dirinya memang selalu seperti ini. Karena dia tidak mau, jika hanya dia sendiri yang bersenang-senang, sedangkan ibunya diam di rumah.
"Yaudah deh, aku liburan pas ibu lagi katering aja." Putus Kara pada akhirnya.
Kara menaiki motor matic-nya, sebenarnya dia bisa saja membeli sebuah mobil bekas jika dia mau. Tapi dia tidak mau, bukan karena dia berpacaran dengan Bara dia akan hidup enak. Bukan, bukan seperti itu. Dia tidak mau saja, lagi pula motor lebih praktis dan dia tidak mau bergantung pada pria.
Cukup dua puluh menita untuk dirinya sampai di tempat kerjanya, suasana pagi itu masih belum ramai. Beberapa toko sekitarnya masih tertutup, sebagian pasti belum datang dan sebagian mungkin sedang beres-beres.
Kara masuk ke dalam butiknya, dia melihat Uti dan Dewi yang sedang beres-beres.
"Pagi, Mbak Kara." Sapa Uti dan Dewi berbarengan.
Kara tersenyum kepada dua juniornya. Uti terlihat biasa saja, seolah kejadian semalam adalah mimpi di siang bolong dan Kara bersyukur untuk itu. Ia lantas masuk ke dalam sebuah ruangan yang seperti ruangan untuk isitirahat, dia menaruh tas nya dan langsung memakai pakaian kerjanya yang berada di loker. Kara kembali keluar, dia kemudian membantu Uti dan Dewi mengeluarkan standing banner diskon dan lain-lainnya. Ia lantas melihat Dewi yang tengah mengepel, dan Uti yang membersihkan kaca.
"Ada lagi yang perlu Mbak bantu, nggak?"
Dewi dan Uti menggeleng, karena memang pekerjaannya telah selesai.
"Nggak, Mbak. Udah ini, udah selesai kok."
Kara mengangguk. "Oke deh, mbak lanjut masukin data barang kalau gitu yah."
"Mbak, aku aja deh. Kan kemarin aku off." Seru Dewi tidak enak.
"Udah nggak apa-apa, kamu ntar temenin Uti aja di depan greeting."
Dewi pun mau tak mau mengangguk, menuruti perintah seniornya.
***
Bara kini tengah berada di ruang makan bersama kedua anaknya, meskipun makan siang dan makan malam mereka tidak selalu bersama. Namun, jika sarapan mereka harus selalu bersama. Asisten rumah tangga Bara sudah datang, bahkan sudah memasak sarapan untuk mereka. Bara hanya memperkerjakan asisten rumah tangganya itu hanya sampai jam 5 sore.
"Pagi, Ayah."
"Pagi, Yah."
Sapa Melvin dan Javier berbarengan.
"Pagi, Son."
Bara lantas menaruh ponselnya di atas meja, ia memandang kedua anaknya untuk segera duduk di kursi masing-masing.
"Pulang jam berapa hari ini?"
"Aku ada les," mungkin jam 5
"Aku jam 2, Ayah. Tapi aku mau ke mal, mau beli sepatu." Ini Javier yang berbicara.
"Abang nitip kalau gitu,"
"Mereknya sama kayak aku?"
"Iya nggak masalah."
"Okay kalau gitu."
"Nah udah bahas sepatunya, ayo kita sarapan dulu." Titah Bara yang langsung diangguki oleh kedua anaknya.
Tidak seperti biasanya, ketika sedang makan Bara mengecek ponselnya. Tidak ada pesan dari kekasihnya, bahkan pesan yang semalam dia kirimkan pun tidak dibalas Kara. Jangankan dibalas, dibaca saja sepertinya tidak. Ia merasa aneh, karena baru kali ini Kara mendiamkannya.
Apa Kara benar-benar marah padanya? Dia tidak benar-benar mengakhiri hubuangan dengannya 'kan?
Javier dan Melvin diam-diam memerhatikan sang ayah yang sedari tadi hanya diam. Mereka juga tak lepas melihat ayahnya yang terus-terusan melihat ponselnya. Wajah ayahnya juga sedikit berbeda, dan mereka tahu jika sikap ayahnya sekarang karena tante Kara.
Melvin dan Javier yang sudah selesai dengan sarapannya lantas berdiri, mereka menghampiri ayahnya untuk berpamitan ke sekolah.
"Ayah, aku sama Bang Malvien berangkat sekolah dulu," tegur Javier sambil menyalami tangan Bara.
Bara menaruh ponselnya kemudian memandang kedua anaknya itu yang kini telah berdiri di sampingnya.
"Hati-hati di jalan, yah."
Melvin tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menyalami ayahnya saja.
***
Sesuai yang telah di ucapkan Javier pagi itu, dia benar-benar pergi ke mal bersama temannya.
"Lo mau beli apa Vier." Tanya Nio setelah mereka masuk ke dalam mal.
"Sepatu," balasnya sambil melirik sekitaran pertokoan yang ada di mal.
"Ke sana aja yuk," tunjuk Javier ketika mereka telah sampai di lantai 2 dan melihat toko sepatu merek terkenal.
Mereka masuk ke dalam toko mulai melihat-lihat, tak membutuhkan lama bagi Javier untuk membeli sepatu. Dia juga telah membelikan untung abangnya, ukuran sepatunya hanya berbeda satu nomor saja dengannya.
Ketika Javier dan Nio keluar, Javier kaget karena melihat kekasih ayahnya berdiri di depan toko yang bersejajar dengannya.
"Mbak Kara."
Ini lagi yang membuat Javier kaget, Nio temannya itu mengenal wanita yang bekerja dibutik ayahnya.
"Eh, Nio?" Sapa Kara ramah.
Nio menghampiri Kara kemudian menyalami wanita tersebut, sedangkan Javier masih diam ditempatnya.
"Mbak lagi kerja?" Tanya Nio lagi yang diangguki Kara.
"Kamu main ke sini udah izin sama mama belum?"
Nio bukannya menjawab hanya menampilkan senyum tanpa bersalahnya. Membuat Kara gemas melihatnya.
"Kamu udah makan siang?" Tanya Kara lagi yang jelas saja mendapat gelengan dari Nio.
Nio seolah lupa jika dirinya kemari bersama Javier pun lantas membalikkan tubuhnya ke belakang.
"Vier sini, kenalin Mbak Kara."
Javier yang sedari tadi memerhatikan interaksi antara Nio dan kekasih ayahnya itu seketika menghampiri mereka berdua.
Kara tersenyum kepadanya. "Hai, temennya Nio yah? Saya Kara salam kenal yah." Kara memperkenalkan dirinya dengan ramah.
Javier hanya tersenyum tipis, dia masih kaget. Tidak menyangka jika harus berinteraksi dengan kekasih ayahnya itu.
"Kalian udah makan belum?"
Nio seketika menggeleng dan Javier diam saja, dia masih memikirkan hubungan Kara dengan Nio.
"Bagus kalau gitu, Mbak juga mau makan siang nih. Mau makan siang bareng nggak?"
Javier yang akan menolak langsung dijawab oleh Nio tanpa menunggu persetujuannya.
"Wah, boleh banget Mbak. Ayo Javier, sekali-kali makan jajanan merakyat jangan mewah mulu."
Javier mendengus mendengar ucapan Nio sedangkan Kara langsung meminta maaf.
"Aduh, saya nggak enak nih. Kalau gitu, kita makan biasa aja yang kalian makan deh. Mbak ngikut aja."
"Nggak usah Mbak, nggak apa-apa kan Vier?"
Javier tidak bisa menolak juga, Nio sudah berbaik hati mau menemaninya maka dia menyetujuinya.
"Iya nggak apa-apa." Jawab Javier akhirnya.
Kara entah mengapa tersenyum mendengar jawaban teman Nio. Wajah Javier terasa familiar baginya, seolah dia dan Javier pernah bertemu sebelumnya.
"Yaudah yuk, kita makan di seberang mal aja."
Kedua remaja laki-laki itu mengikuti langkah Kara. Karena jaraknya tidak jauh membuat mereka sudah sampai ditujuan.
Kara membawa Nio dan Javier ke sebuah food court, di sana ada berbagai macam makanan yang bisa dipilih oleh mereka. Harga food court di sini tidak mahal, namun tidak murah juga namun tempatnya yang bersih dan makanannya yang enak. Membuat food court di sini terkadang penuh oleh para pekerja.
"Kamu mau makan apa, Javier."
Kara bertanya sambil menyerahkan buku menu pada remaja di depannya.
Javier yang mendapat pertanyaan seperti itu dari Kara kaget, dia tidak percaya Kara memperhatikannya.
"Aku mau bakso aja deh, Mbak kayaknya enak." Ini Nio yang menjawab bukan Javier.
Javier berdecak karena Nio kembali mendahuluinya.
"Boleh, kalau kamu apa Javier?"
Javier diam, dia bingung. Karena sebelumnya dia belum pernah makan di tempat seperti ini. Dia takut salah makan dan berakhir sakit perut nantinya.
Kara seolah tahu dengan kebingungan Javier pun membuka suara.
"Mau mbak bantuin pilih nggak?"
Javier mengangguk dan Kara kembali tersenyum.
"Mbak kalau di sini suka maka soto ayam, nasi goreng, bakso, mie ayam, atau nasi tutug oncom."
Mendengar nama nasi tutug oncom oleh Kara membuat Javier mengerutkan alisnya bingung.
"Lo gak tahu, Nio? Enak loh itu gue suka makan juga. Apalagi buatan ibu Mbak Kara. Wah juara deh." Nio malah bercerita.
"Yaudah aku pesen itu aja."
Kara kembali tersenyum mendengar jawaban Javier.
"Oke, minumannya air putih dulu aja yah. Nanti Mbak pesenin lemon tea, kamu nggak masalah kan Javier?"
Lagi Javier mengangguk.
Kara lantas beranjak dari duduknya lalu menghampiri beberapa pedagang yang diinginkan oleh mereka.
"Mbak Kara itu siapa? Kok lo bisa akrab?" Tanya Javier mencaritahu.
"Dia tetangga gue, beda komplek perumahan aja sih."
"Kok bisa akrab?" Tanya Javier lagi yang benar-benar penasaran, dia juga ingin tahu sikap kekasih ayahnya itu di mata orang lain. Karena selama mengintai dia dengan Melvin hanya seputaran tempat kerja saja.
"Bisa dong, Mbak Kara kadang suka buka les kalau dia lagi libur kerja. Gue suka ikut les nya,"
Javier mengangguk, sudah tidak penasaran lagi dengan kedekatan Kara dengan temannya itu. Untung saja dia sudah selesai bertanya, karena Kara sudah kembali dengan makanan yang mereka pesan.
"Ini bakso Nio, dan ini nasi tutug oncom buat Javier."
Kara menaruh pesanan kedua anak remaja itu dihadapan mereka.
"Punya mbak, mana?" Nio bertanya karena melihat Kara yang datang hanya dengan dua menu makanan dan 3 gelas aqua.
"Nanti Mbak ke sana lagi, ini buat kalian dulu aja. Kasian kalian pasti lapar." Jawab Kara sambil tersenyum, dia membuka dua botol aqua dan menaruhnya kembali di depan Javier dan Nio.
"Makan duluan aja yah, Mbak mau balik lagi ke sana." Kara kembali berjalan ke belakang.
Javier melihat makanan di depannya, ia merasa bingung melihat nasi yang dipenuhi entah apa itu namanya. Dengan ragu dia mulai memakan makanannya, namun baru sesuap mata Javier melotot. Dia kepedesan, dia tidak bisa makan pedas alhasil dia batuk-batuk. Nio yang berada disebelahnya kaget, dia membantu Javier untuk minum. Beruntunglah minuman mereka sudah dibukakan oleh Kara.
Javier yang masih kepedesan terus saja minum, wajahnya sudah merah. Dan tak lama Kara datang dengan makanannya.
"Yaampun, Javier kamu kenapa?"
"Kepedesan, Mbak. Aku lupa Javier nggak bisa makan pedes."
"Aduh, tunggu sebentar yah Mbak minta air hangat dulu."
Kara seketika berlari, dia meminta air hangat kepada penjual yang ada di sana.
"Ini minum dulu air hangatnya yah, Vier. Jangan diterusin aja makannya yah."
Javier menerima air hangat dari Kara dan perlahan rasa pedas dilidahnya mulai berkurang.
Kara diam memperhatikan, wajah remaja itu memerah dihiasi keringat. Membuat Kara kasihan melihatnya, dan dia merasa bersalah.
"Mbak minta maaf yah, Vier. Mbak nggak tahu kamu nggak bisa makan yang pedas-pedas."
Javier menggeleng.
"Mbak nggak usah minta maaf, ini bukan salah Mbak Kara." Memang itu bukan salah kekasih ayahnya itu, dia juga yang salah tidak memberitahu.
"Kamu makan soto mbak aja yah, Vier. Ini nggak pedas kok, sambalnya dipisah."
Javier mau tidak mau menyetujuinya, dia juga tidak bisa memakan nasi yang dipesannya.
Kara lantas menggantikan makanan Javier dengan makanan miliknya, bahkan sendok yang dipakai oleh Javier pun dia gantikan dengan miliknya.
"Gimana, nggak pedes kan, Vier?"
Javier menggelengkan kepalanya setelah mencoba sotonya.
"Syukur lah, yaudah makan yah habisin."
Kara tersenyum lega melihat Javier yang memakan makanannya. Kini giliran Kara yang memakan nasi tutug oncomnya.
Javier diam-diam memperhatikan wanita di depannya, Kara tidak merasa jijik karena sendok yang dipakai olehnya Kara pakai untuk makan. Melihat hal itu, perasaan Javier mendadak melow. Dia pikir kekasih ayahnya itu menyebalkan, rese, dan egois. Namun yang terjadi sebaliknya, dia merasa hangat mendapat perlakuan seperti itu dari orang lain. Apalagi wanita di depannya itu terlihat tulus, tidak mencari muka kepadanya. Ia merasa menyesal karena menuduh Kara wanita tidak baik.
Javier merasa dia ingin lebih mengenal Kara, mengenal jauh calon ibu tirinya mungkin?
***
TBC