Bab 1

1466 Words
Kara berjalan mondar-mandir sibuk dengan pikirannya sendiri. Pikirannya berkecamuk, Bara tidak membalas pesannya bahkan mengacuhkannya. Memangnya apa salahnya sih kalau dirinya ingin bertemu dengan kedua anak kekasihnya itu. Bara selalu saja menolak ajakannya dan berakhir dengan dirinya yang bertengkar. Susah sih mempunyai kekasih yang keras kepala, egois mau menang sendiri. Salah juga dirinya yang bisa jatuh cinta dengan pria seperti itu. Kara yang seorang penjaga toko baju kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku seragam kerjanya. Mungkin banyak yang tidak percaya jika dirinya mengakui, hanya seorang SPG yang memiliki pacar seperti Bara Wicaksono--- duda tampan, mapan, pemilik beberapa restoran ternama, dan hotel. Butik tempatnya bekerja saja itu milik kekasihnya, dia bekerja di sini sudah empat tahun. Kara tidak tahu jika Bara adalah pemiliknya, karena pria itu dulu berpura-pura sebagai seorang pelanggan. Dia sudah biasa mendapat seorang pelanggan pria matang yang tampan dan berdompet tebal. Sering juga dirinya mendapat tatapan genit dari pria itu, entah karena bentuk badannya yang ideal, atau seragam kerjanya yang membuat dirinya terlihat berbeda. Yang jelas dirinya sudah kebal dengan reaksi pria-pria berdompet tersebut. Tapi, berbeda dengan Bara pria itu begitu dingin, menyebalkan dan selalu mengomentari jika pakaian yang dirinya pilihkan tidak sesuai dengan yang dirinya mau. Satu kali, dua kali, tiga kali, dia masih biasa. Namun begitu pertemuan ketujuh, Kara menyerah meminta salah satu temannya untuk menggantikan dirinya melayani Bara. Tampan tapi menyebalkan untuk apa? Tapi memang bos nya itu keras kepala, dia tidak mau jika bukan dilayani bukan olehnya. Jadilah dirinya terpaksa untuk melayani Bara dengan malas tentunya. Kejadian itu terus berlanjut sampai di mana Bara menyatakan ketertarikan padanya, awalnya ia tidak percaya. Namun bukan Bara namanya yang menyerah begitu saja, Bara terus menerus datang ke butiknya setiap hari. Sehingga Kara yang risi takut juga ketahuan oleh atasannya pun mengiyakan, dia tentu saja belum tahu jika Bara pemilik butiknya. Sampai manager di tokonya datang dan memberi hormat padanya, dari situ lah dirinya tahu, tapi hanya manager saja yang mengetahuinya karena Bara jelas tidak memberitahu pegawai lain. Pada awalnya ia setuju jika teman di tokonya tidak tahu jika dirinya berpacaran dengan Bara. Tapi sekarang, dia merasa jengah dan mulai mempertanyakan perasaan Bara padanya. Kara membungkuk hormat begitu dilihat salah seorang pelanggan yang masuk ke dalam butik. Ia tersenyum lalu menjelaskan barang yang ada butiknya dan paling bagus yang mana. Setelah pelanggan itu setuju, dan membayar barang yang dibelinya Kara tersenyum lalu kembali mengangguk. Pria tampan berseragam hitam, salah satu pegawai jam tangan pria mahal di mal itu mengetuk pintu kaca butiknya. Pria itu lalu masuk dan menghampiri Kara sambil menyunggingkan senyuman. "Makan siang yuk, Kar?" Ajak Remon pada Kara. Wanita bertubuh ideal itu mengangguk kemudian berjalan menuju temannya yang sedang berada di kasir. "Ris, aku makan siang dulu, ya. Kamu mau nitip?" Tanya Kara pada Risna Risna menggeleng. "Enggak kayaknya, suami aku udah buatin bekal." Balasnya sambil tersenyum lebar. "Iya deh yang suaminya koki," ledek Kara yang membuat Risna menyeringai mendengarnya. "Yaudah, aku sama Remon ke luar dulu, ya." Pamit Kara lalu mendapat anggukan dari Risna. "Yuk," ajaknya pada Remon. Mereka berdua pun ke luar dari dalam butik, berjalan beriringan. "Makan ke mana kali ini?" Tanya Remon sambil menyerahkan helm kepada Kara. "Apa yah, yang deket aja deh." Balas Kara. "Kalau yang deket mah, belakang mal aja lah." Ejek Remon yang mendapat kekehan dari Kara. "Bosen ah, makanannya itu-itu mulu." "Apa dong? Mau ngeramen? Makanan biasa aja?" "Boleh deh, ramen aja gimana? Enggak jauh dari sini kan?" "Oke." Sahut Remon sambil mulai menjalankan motornya begitu merasakan jika Kara sudah siap di belakang motornya. Tak berapa lama mereka berdua telah sampai di tempat yang di tuju. Karena hari ini bukan weekend tempat makan yang mereka datangi pun tidak ramai. Kara dan Remon memilih meja bagian depan, alasannya supaya dirinya bisa keluar dengan cepat. Sambil menunggu pesanan, Remon dan Kara mengobrol. Terkadang Remon yang membicarakan atasannya yang cerewet, padahal seoarang pria, terkadang pelanggannya yang memiliki sifat begini, begitulah yang membuat Kara terkekeh mendengarnya. Sampai tak menyadari jika ponselnya sedari tadi bergetar, bukan tidak menyadari lebih tepatnya sengaja. Kara lebih memilih berbincang dengan Remon dari pada harus membalas pesan dari Bara. Yah, dia tahu jika yang mengiriminya pesan itu kekasih hatinya, dan sekarang giliran dirinya yang mendiamkan. "Jadi, sekarang kamu lembur?" Tanya Remon sambil memakan ramen-nya. Kara mengangguk. "Iya, ntar malam ada barang masuk." "Mau aku temani?" Tawar Remon Kara menampilkan senyum lebarnya. "Enggak usah, bukan pakaian ini kok. Cuman sepatu laki-laki sama dompet aja." "Enggak apa-apa, lagian aku juga nggak sibuk." Putus Remon sepihak. Kara pun menyerah dan mengucapkan terima kasih, sambil kembali memakan ramennya. Kara tahu jika pria di hadapannya itu menyukainya, dari sikapnya yang selalu perhatian kepadanya selama ini membuat dia tahu jika Remon menyukainya. Meskipun pria di hadapannya tidak mengutarakan perasannya langsung. Dia bukan memanfaatkan kebaikan hati Remon selama ini, toh Remon pun tidak meminta hal-hal aneh, dan lagi dia hanya menganggap pria itu sebagai temannya saja, tidak lebih. Makan siang mereka pun berakhir, sebelum Kara kembali. Dia melihat ponselnya, penasaran dengan pesan berantai dari Bara. Awalnya ia mengacuhkan tidak mau membacanya, namun begitu ia melihat Ben mengirimkannya sebuah foto membuat dia penasaran lalu membukanya. Di sana terlihat seorang wanita yang diyakini dirinya tengah tertawa dengan seorang pria, yang diyakini Remon tengah menatapnya dengan pandangan lembut. Bara Apa maksudmu ini, sayang? Kamu tidak membalas pesanku, bahkan mengacuhkan panggilanku. Mau balas dendam huh?! Kara seketika terdiam, dia jelas kaget melihat foto tersebut. Kenapa Bara bisa tahu apa yang dilakukannya di sini, apa pria itu mengirimkan seorang mata-mata? Kara yang parno pun seketika mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kedai ramen tersebut. Hanya ada beberapa remaja dan pasangan kekasih, tidak ada pria aneh yang membuatnya takut. Tapi dari mana kekasihnya itu tahu jika dirinya tidak memata-matainya? Kara segera mengenyahkan pikiran gila nya tersebut. Ia lalu membalas pesan Ben. Siapa yang peduli Send Setelah mengirimkan pesan tersebut kepada Bara. Kara segera berjalan menghampiri Remon yang telah selesai membayar, mereka berdua pun kemudian pergi meninggalkan tempat makan tersebut, untuk kembali ke tempat kerja mereka. *** "Aku udah mengirimkan bukti pada ayah, jika kekasihnya itu tukang selingkuh." Sahut pemuda berseragam putih-abu itu duduk di sebelah sang adik. Pria berseragam biru tua yang berbeda 3 tahun dengannya itu meliriknya. "Apa Bang Melvin yakin?" Tanya Javier dengan mata menyipit. "Yakinlah, pasti ayah langsung putusin perempuan itu." Balasnya mantap. "Aku sampai sekarang enggak tahu, alasan ayah pacarin perempuan kayak gitu." "Tenang aja, ayah palingan cuman main-main. Enggak mungkin juga sampai mau nikahin, cih." Javier mengangguk setuju. "Lagian sama Mami beda jauh, lebih cantik Mami ke mana-mana." Seru Javier sombong. Kali ini giliran Melvin yang mengangguk setuju. "Eh, tadi ayah nanyain aku enggak, Dek?" "Tanya, kenapa Abang belum pulang. Yah aku bilang aja Abang lagi kerja kelompok." "Iya kerja kelompok, kelompok mata-matain pacarnya ayah. Hahaha..." Tawa keduanya pun pecah begitu mendengar Melvin berbicara. Tak ada yang mengetahui aksi Melvin dan Javier selama ini, mereka tahu jika Bara sudah memiliki kekasih. Kekasih terlama yang mereka pikir, Melvin dan Javier jelas menentang sang ayah untuk menikah lagi, meskipun tidak secara terang-terangan menolak. Mereka selama ini diam-diam mencari tahu tentang wanita itu, wanita yang mereka ketahui bernama Kara salah satu pegawai butik milik ayah-nya. Laki-laki berumur 16 tahun itu jelas saja marah, saat pertama kali dirinya tahu jika wanita yang dikencani ayah itu seorang wanita biasa. Biasa dalam artian tidak sepadan dengan ayahnya, dan dia sudah menebak jika wanita itu ingin harta oragtuanya saja. Maka dari itu lah, dirinya sudah bertekad untuk menjauhkan sang ayah dengan Kara bagaimana pun caranya. *** Kara menutup butiknya begitu telah selesai dengan pekerjaannya yang begitu melelahkan. Ia melihat Remon yang duduk di luar di sebuah kursi yang memang tersedia di sana untuk pengunjung. Namun, begitu dirinya akan menghampiri Remon ia melihat Bara yang berdiri tak jauh dari tokonya berada. Menatap dirinya dengan pandangan yang membuat dirinya menelan ludah dengan susah payah. Kara yang keras kepala dan tentunya masih ngambek dengan Bara pun sengaja menghampiri Remon. "Ayo pulang," sahutnya sambil menarik tangan Remon yang membuat pria tak jauh dari mereka sedari tadi memerhatikan Kara itu menatapnya tajam. Remon tersenyum mendengar wanita pujaan hatinya itu telah berdiri di hadapannya. Ia lalu bangkit kemudian menggenggam tangan Kara kemudian mulai berjalan, membiarkan Bara di sana melihatnya dengan amarah. Kara sendiri masa bodo, tidak memedulikan Bara sedikitpun. Dirinya masih kesal oke, jadi biarlah Bara kali ini merasakannya. Toh Bara tidak akan berani menghampiri dirinya, karena mal masih buka meskipun beberapa toko di sekitar mereka sudah tutup. Bara tidak akan mau mengambil resiko untuk menghampirinya, dan diketahui jika dirinya terlibat affair dengan pegawai biasa seperti dirinya. Akan menyebabkan skandal besar mungkin, yang akan menjatuhkan derajat pria arogan seperti kekasihnya tersebut. Bara yang marah pun tidak bisa berbuat apa-apa melihat sang kekasih yang mengacuhkannya. Kedua tangan yang berada di saku celanyanya itu mengepal dengan erat. Sorot matanya memandang punggung Kara yang semakin menjauh. T B C
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD