Bab 14

1768 Words
Javier masuk ke dalam rumah begitu saja, tak mempedulikan Melvin yang mamanggil-manggil namanya. Javier ingin sendiri, belum mau berbicara dengan abangnya itu. Karena dia sudah tau apa yang Melvin akan bicarakan. "Adek, Abang mau ngomong." "Nanti aja, Adek mau istirahat." Tapi untuk kali ini Melvin tidak mau menurut, sulung Bara itu mengikuti adiknya masuk ke dalam kamar. "Adek, kenapa kamu gak bilang sama Abang?" Javier langsung mengerti, apa maksud perkataan Melvin kepadanya. "Karena Adek takut kalau Abang bakalan larang Adek buat ketemu lagi sama Mbak Kara." "Terus kenapa Adek tetep lakuin?" Javier memandang abangnya itu dengan pandangan yang sulit dijelaskan dari seberang ranjang, sedangkan abangnya itu masih berdiri di depan pintu. "Karena Adek sayang sama mbak Kara," Melvin mendengus sambil menggelengkan kepalanya. "Adek! Kamu tau kan alasan kita benci semua pacarnya, ayah? Karena kita nggak mau mereka gantiin mami!" Javier menunduk mendengar nada marah dari Melvin. "Tapi, mbak Kara baik. Dia bukan orang yang selama ini kita pikirin, Abang." "Nggak, dia itu jahat! Dia sama aja kayak mantan-mantan ayah!" Javier menggeleng "nggak, Adek percaya sama perasaan Adek!" "Javier! Kamu kenapa sih! Dia itu mau ngerebut posisi mami! Nggak ada yang boleh gantiin posisi mami! Dia gak pantes buat ayah, dia gak pantes buat keluarga kita!" "Tapi Abang nggak pernah tau rasanya jadi Adek!" Javier balas membentak abangnya itu, sedikit membuat Melvin kaget. "Abang gak pernah ngerasain jadi Adek! Mami jarang di rumah, mami gak pernah jemput sekolah Adek! Mami gak pernah ada waktu buata Adek!" Jeritnya sambil menahan tangis. "Dek, tapi mami kan kerja, dia model. Dia selalu main sama kita kan," "Itu Abang! Mami selalu sama Abang! Atau kita bertiga, mami jarang punya waktu buat Adek! Terserah Abang mau mami, Adek mau mbak Kara. Nggak ada yang peduli sama Adek, cuman mbak Kara yang peduli sama Adek!" Setelah mengeluarkan unek-uneknya, Javier masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Melvin yang terpaku di tempatnya. Melvin seolah disadarkan oleh Javier akan hubungan mami dan adiknya itu. Dia tidak pernah mengira jika Javier dan maminya tidak seperti dirinya dan sang mami yang begitu dekat. Melvin menyesal, mengapa dia tidak peka, mengapa dia baru sadar ketika adiknya sendiri lah yang mengatakannya. Melvin berjalan menuju Javier. Dia mengetuk pintu kamar mandi, dia tahu Javier sedang menangis di sana terdengar suara tangisan adiknya dari dalam. "Adek, maafin Abang." Javier diam saja, dia masih menangis. "Kenapa Adek nggak pernah cerita sama Abang kalau mami jarang ajak Adek jalan?" Mendengar perkataan abangnya itu Javier seketika ingat kejadian beberapa tahun lalu. Saat dirinya selalu meminta perhatian sang mami, namun maminya itu kadang sibuk dan lupa dengan janjinya. Tapi berbeda dengan abangnya, mami selalu mendahulukan abangnya. Ketika dirinya ingin meminta di ambil raportnya saja, dirinya selalu dengan ayahnya atau oma tidak pernah dengan maminya. Maminya selalu memprioritaskan abangnya, selalu abang. Dia iri? Tentu saja, dia iri mengapa maminya begitu membedakan dirinya dengan abangnya. Tapi dia tidak pernah membenci Melvin dia menyayangi abangnya itu. Jadi dia hanya bisa diam dan kembali menangis, tanpa menjawab pertanyaan abangnya itu. Sedangkan dilain tempat, setelah Bara mengantarkan anaknya ke rumah. Dia langsung pergi kembali ke rumah orangtuanya, karena dia yakin jika kakaknya juga ada di sana. Terbukti dengan suara dua orang wanita yang tengah menjelekan Kara. "Aku bener-bener nggak percaya dengan apa yang aku dengar sekarang!" "Bara." Bianca kaget pun dengan Amira. "Kenapa kalian tega sama Kara? Apa yang dia lakukan sama kalian?" "Bar, Kakak nggak mau salah memilih. Dia gak pantes buat kamu!" "Kakak tau apa sih? Toh pilihan kakak kemarin yang buat aku begini juga 'kan?!" "Bara!" Itu ibunya yang menegurnya. "Apa? Aku benar 'kan? Kalian tega bikin Kara menderita? Berarti kalian juga mau aku untuk tidak ke sini? Aku akan larang kedua anakku untuk ke sini lagi, kalau itu yang kalian mau!" Setelah mengatakan hal itu Bara pergi meninggalkan ibu dan kakaknya yang terperang kaget. Karena Bara berani mengambil tindakan seperti itu kepada mereka. *** Setelah kejadian hari itu, hubungan Melvin dan Javier merenggang. Dan yang diketahui oleh Bara hanya perdebatan biasa saja, maklum Bara tidak 24 jam memperhatikan mereka berdua. Pekerjaannya begitu sibuk, sampai-sampai dia belum sempat untuk kembali membujuk Kara. Sedangkan Kara sendiri dirinya kesusahan dengan tingkah Javier yang selalu menemuinya. Entah ketika di rumah, atau di tempat kerjanya. Dia tidak bisa menolak bungsu Bara itu, apalagi terakhir bertemu Javier menangisi kepergiannya. Jadi, dari pada dirinya kembali membuat Javier sedih dia lebih memilih membiarkan. Hari ini mereka akan makan siang bersama, berhubung sekarang jadwal offnya. Jadi dirinya lebih bebas sekarang waktunya, Javiee juga ingin ditemani untuk membeli tas. Kara berjalan bersisian dengan Javier. Anak itu terus saja berceloteh mengenai sekolahnya. Juga mengenai tim futsalnya. "Mbak Kara aku sebel sama Gerald. Dia masa terus minta nomor mbak, padahal aku juga gak punya nomor, mbak. Dia maksa muluuu." "Eh memangnya, Mbak belum kasih kamu nomor hp Mbak?" Javier menggeleng sambil mencebikkan bibirnya. "Beluuummm ... aku mau minta sama Nio, lupa terus." "Yaudah ntar Mbak kasih yah, sekarang kita mau kemana lagi?" Mereka telah selesai berbelanja sesuai dengan keinginan Javier. Kara yang memilihkan tas yang menurutnya bagus. "Makan aja yuk, Mbak. Javier udah laper," "Yuk, makan apa?" "Ke sana aja, Mbak." Javier menunjuk restauran yang ada di mal tersebut. Mereka berdua berjalan masuk ke dalam sana, dan mengambil tempat di pojok dekat jendela. "Selamat siang, mau pesan apa?" Kara menyebutkan pesanannya begitu pun dengan Javier. "Jadi Javier punya alergi udang?" Tanya Kara begitu waiters itu pergi. Kara baru mengetahui bungsu Bara itu punya alergi, setelah Javier melihat beberapa menu makanann yang mengandung udang. "Sama dong, Mbak juga." Mata Javier berbinar, dia tidak percaya dengan pendengarannya. "Benar, Mbak?" Kara mengangguk sambil tersenyum. "Sedikit aja makan, Mbak bisa gatal-gatal. Padahal itu makanan kesukaan, mbak." "Kok bisa makanan kesukaan? Kan Mbak alergi?" Javier tidak mengerti dengan kalimat Kara yang menurutnya aneh. Belum juga menjawab, dua orang asing yang tidak di undang itu malah berdiri di hadapannya. "Eh Javier, Kara. Kalian makan siang di sini?" Bianca bertanya kaget pada Kara dan Javier. Kara diam saja, dia masih memperhatikan maksud dari wanita itu menemui mereka untuk alasan apa. Karena dia masih sangat ingat, terakhir bertemu wanita itu menghinanya. "Tante sama Melvin gak sengaja ketemu tadi, yaudah Tante ajak makan aja. Taunya ketemu kalian di sini, udah pesen makan?" Javier menatap abangnya itu dengan pandangan bertanya? Melvin yang mengerti dari tatapan adiknya itu menganggukan kepalanya. "Udah, Tan." Kara masih diam, dia enggan bertanya. Dia bukan tipikal orang yang bisa biasa-biasa saja setelah masalah yang kemarin menimpanya. Minimal dia akan mengacuhkan orang itu. "Oh oke, Tante sama Melvin ikut gabung sama kalian yah," tanpa dipersilahkan. Bianca duduk di hadapan Kara pun dengan Melvin yang ikut juga. Bianca memanggil waiters kemudian menyebutkan pesanannya, pun dengan Melvin. "Kara, saya minta maaf yah. Perkataan saya tempo hari, tolong di maafkan. Saya tahu, perkataan saya melukai kamu, itu karena saya tidak mau Bara jatuh ke dalam orang yang salah," Kara menaikan alisnya tinggi, maksud perempuan itu apa? Dirinya bukan perempuan baik-baik kah? Dan apakah dia percaya dengan perkataan Bianca? Oh tentu saja tidak, instingnya masih tidak mempercayai wanita di depannya itu. Melvin dan Javier yang mendengar kalimat tantenya itu kaget, karena mereka juga jelas masih mengingat apa yang tantenya itu ucapkan. "Kamu mau maafin saya kan, Kara?" "Anggap saja saya tidak mendengar perkataan Anda kemarin," jawab Kara diplomatis. Javier ingin bertepuk tangan, karena menurutnya Kara sangatlah keren. Pun dengan Melvin yang kembali dibuat kaget karena Kara berani melawan tantenya itu. Sedangkan Bianca sendiri, dia mencoba untuk tetap mempertahankan harga dirinya. "Oke kalau begitu, saya permisi dulu mau ke toilet." Bianca berdiri dari duduknya kemudian berjalan meninggalkan meja mereka. "Mbak, lihat. Aku dapet nilai 100," Javier menunjukkan buku catatannya pada Kara. Dan Kara mengambilnya, ia tersenyum melihatnya. "Wah keren, kamu pinter banget." Tangan Kara reflek mengelus rambut Javier dengan sayang. Dan Javier tersenyum lebar sampai matanya menyipit, sangat menggemaskan bagi Kara. "Ini kan rumus yang Mbak kasih ke aku kemarin." "Oh iya?" "Iya, dan aku sama Nio yang keluar lebih dulu." Ucap Javier bangga. Melvin sedari tadi memperhatikan Javier dan Kara di depannya. Harus Melvin akui, jika Javier begitu senang dengan Kara. Namun, dia juga tidak mau munafik jika dirinya tetap tidak bisa menerima Kara untuk menjadi bagian keluarganya. Tak lama kemudian Bianca kembali. "Sorry yah, kayaknya Tante nggak bisa makan bareng sama kalian. Tante mau jemput Naya di kampus," Kara hanya mengangguk, dia bersyukur karena tidak perlu menahan wajah datarnya di hadapan wanita itu. "Kalian bertiga aja makannya yah, Tante juga udah bayarin makanan kalian, saya titip anak-anak yah, Kara." Dan Kara hanya bisa tersenyum tipis, semyum formalitas. Setelah Bianca pergi tak lama makanan pesanan mereka datang. Kara menaruh makanannya untuk Javier dan Melvin. Khusus untuk Melvin Kara mulai memotong dagingnya, sayurannya pun dia pindahkan pada piringnya. Dan sekali lagi, Melvin memperhatikan Kara yang begitu telaten pada adiknya itu. "Ayo Melvin makan, kamu juga nggak suka sayuran kah?" Melvin yang tersadar jika dirinya sendiri melamun, tersentak kaget. Dia hanya menggeleng dan mulai memakan makanannya. Sudah seperempat makanannya, Javier mulai merasakan ada yang aneh pada tubuhnya. Javier mulai menggaruk lengannya, kemudian wajahnya. "Javier, kamu kenapa?" Kara panik melihat tubuh Javier yang memerah. "Alergi, kamu Adek kamu makan udang?" Javier menggelengkan kepalanya. "Mbak, gatel. Perih, aaaa gatel." Remaja itu merengek dan terus mengaduh. Melvin dan Kara semakin panik, mereka kemudian beranjak dari duduknya dan membawa Javier pulang ke rumahnya. Kenapa ke rumahnya? Karena Javier itu takut sekalipun ke klinik dia tidak mau. Untung saja mereka punya dokter keluarga yang sudah mengerti kondisi Javier. Tak membutuhkan waktu lama mereka sampai di rumah, Kara ikut mereka karena dia merasa bersalah juga pada Javier. Namun, Kara juga sepertinya mulai merasakan apa yang Javier rasakan. Karena ketika menunggu Javier di dalam kamarnya, tangan Kara reflek menggaruk lengannya, badannya juga merasa hangat. Sial, alergi dirinya juga sepertinya kambuh. Sedang merasakan rasa panas dan gatal ditubuhnya, sayup-sayup Kara mendengar derap langkah kaki seseorang menghampirinya. Bara berjalan ke arah Kara dengan pandangan yang dingin. "Kamu mau bunuh anakku?!" "Hah!" Kara sumpah tidak mengerti dengan perkataan Bara. "Aku gak percaya kamu balas dendam ke keluargaku lewat Javier!" "Hah! Kamu ini ngomong apa sih, Mas!" "Kamu mau hubungan kita selesai 'kan? Oke, kita selesai. Makasih udah bikin anakku celaka!" Dan tanpa disangka, Kara menampar wajah tampan Bara dengan keras. Sampai Melvin yang baru saja keluar dari kamar Javier terdiam di anak tangga. Dari sini dia masih bisa melihat Kara dan ayahnya yang sedang bertengkar. "b******k!" Napas Kara terengah-engah setelah menampar Bara dengan kasar. Matanya memicing penuh kebencian dan amarah, mambalas tatapan Bara yang begitu menyakitkan untuknya. "Aku nyesel kenal kamu, Mas!" Setelah mengatakan hal itu, Kara melenggang keluar dari rumah besar Bara. Tanpa disadari mereka, tubuh Kara bergetar karena menahan tangis. *** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD