Bab 18

2340 Words
Belakangan ini Kara selalu melamun, perkataan sang ibu terngiang-ngiang dikepalanya. Ia menghela napasnya berat, mengapa kisah percintaannya tidak lah berjalan mulus. Pertama dia pernah mencintai seorang pria yang memiliki ekonomi yang sama dengannya. Tapi, minusnya pria itu tim pria mendang-mending, keluarganya baik hanya saja terlalu kolot menurutnya. Dan dia tidak bisa mengikuti mereka, jadi begitu pria itu mengajak dirinya serius dia memilih mundur. Dua minggu kemudian dia mendapatkan undangan dari pria itu, itu membuatnya kaget. Sakit hati? Tidak, karena dari awal dia tidak berharap lebih pada pria itu. Dan sekarang, dia dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Dia mencintai Bara itu sudah jelas, namun perkataan pria itu yang menyakitkan selalu terngiang-ngiang ditelinganya. Belum lagi keluarga pria itu yang tidak menyukainya. Hah dia sangat pusing, apalagi Bara yang sekarang tak kenal lelah mendatangi rumahnya. Apa dirinya sudah keterlaluan? Batinnya. "Mbak Kara ada titipan nih, biasa." Uti menghampirinya sambil menyerahkan paper bag yang berisi bakmi. Bakmi kesukaannya, itu pasti dari Bara. Pria itu benar-benar menguji perasaannya, karena terhitung sudah lebih dari satu bulan Bara selalu mengirimkannya makan siang. Kadang pria itu juga selalu mengirimkannya camilan asin, pedas. Pokonya makanan kesukaannya deh, apa dia membuangnya? Pada awalnya ia tidak memakannya, namun makin sini makin sini dia menerimanya, ia juga menikmatinya bersama partner kerjanya. Hari ini tidak seperti biasanya, Kara pulang sore hari. Biasanya mau dia masuk pagi dia akan pulang malam, tapi hari ini dia pulang sore. Pertama karena di toko tidak ada urgent yang butuh dirinya, kedua dia ingin sesekali me-time. Kara menjalankan motor matic-nya, sambil berpikir untuk dirinya pergi berjalan-jalan dulu sebentar sebelum ke rumahnya. Ia melihat sebuah taman yang sedang ramai, banyak sekali pedagang-pedagang di sana. Ia lantas menepikan motornya, lalu berjalan ke sana. Matanya terpaku pada beberapa penjual camilan, moodnya sedang bagus, ia lantas menghampiri penjual batagor, es kelapa muda, cilok, telur gulung, takoyaki dan lumpiah basah. Kara duduk disebuah bangku kosong yang ada di sana sambil membawa jajanannya. Ia lantas mulai menyantap satu persatu makanan yang dibelinya, sambil memakan dirinya teringat akan Bara. Pria itu, entah kenapa sulit sekali dihilangkan dari pikirannya. Seperti saat ini saja, ia tengah memakan batagor. Dirinya jadi ingat pada Bara yang ternyata pria itu menyukainya juga, setiap dirinya jajan makanan dipinggir jalan Bara tidak mengeluh dia mau saja mencobanya setiap dirinya sodorkan. Dia pikir Bara akan menolak dan mengatainya tapi tidak, Bara bahkan ingin mencobanya. Jika tidak suka dengan lidahnya, Bara akan berhenti tanpa menyuruhnya. Kara jadi teringat perkataan ibunya lagi. "Yang di inget tuh jangan yang buruk-buruknya aja, tapi yang baiknya juga." Perkataan ibunya itu memang benar, karena selama ini dirinya berpacaran dengan Bara pria itu tidak pernah menyakitinya. Baik secara fisik maupun secara lisan, mungkin hanya kemarin saja. Mungkin itu juga karena panik, sehingga mengeluarkan kalimat jahat yang membuatnya sakit hati. Kara memakan batagornya sambil menangis, dia merindukan Bara. Sungguh. Duda dua anak itu benar-benar merebut semua cintanya, namun apa daya dia juga tidak mau terjadi apa-apa pada keluarganya. Jadi yasudah, mungkin memang bukan jodohnya. Sedang asyik-asyiknya makan sambil menangis, seseorang tiba-tiba duduk dibangkunya juga sambil menaruh tisu dan es krim di samping es kelapa muda miliknya. Kara yang akan mengambil es kelapa muda miliknya, seketika bingung dirinya lalu mendongak melihat siapa yang memberinya ini. Degup jantungnya seketika berdetak keras, tidak percaya dengan apa yang dirinya lihat. "Maaf, aku cuman mau kasih ini. Aku nggak akan ganggu kamu," Ucap Bara cepat yang kemudian berbalik, dan meninggalkan Kara sendiri. Membuat Kara terheran melihat aksi Bara namun tak ayal membuat perasaannya tidak karuan. Bagaimana tidak, jika pria itu tetap saja peduli padanya. Yah, sebenarnya selama ini pria itu tetap peduli padanya, hanya saja dirinya saja yang selalu mendorong jauh Bara. Apa dirinya sudah tidak mencintai Bara? Tidak tahu, dia masih bingung dengan perasaannya, disatu sisi dia merindukan pria itu, disisi lain dia membencinya mengingat kejadian bulan lalu. Bingung dengan perasaannya, Kara memilih untuk pergi dari sini. Dia sudah tidak berselera lagi, namun melihat es krim vanilla kesukaannya yang dibawakan oleh Bara mau tak mau ia bawa juga. Sayang menurutnya. *** "Ayah, gimana? Mbak Kara masih nggak mau maafin, Ayah?" Javier berjalan menghampiri sang ayah yang kini masih saja bekerja. Padahal weekend. "Kenapa memangnya, Adek?" "Aku kangen sama mbak Kara," Ucapanya sambil menundukkan wajahnya. "Kenapa Adek gak main aja ke rumah mbak Kara?" "Emang boleh?" Bara mengangguk sambil tersenyum. "Oke, Adek mau ke rumah mbak Kara kalau gitu," Bara mengelus rambut si bungsu. "Abang, anterin adeknya gih." Melvin yang sedang asyik dengan stick ps nya seketika mempause permainannya. "Sendiri aja lah, Ayah. Abang lagi main," "Kamu nggak kasian sama Adek? Pak Agus masih di kampung, masa dia pake grab, sedangkan ada abangnya di rumah," Sulung Bara itu mendengus, lalu mematikan ps-nya. "Yaudah iya, aku anterin. Tapi pulang lagi nanti," Bara mengangguk saja, menyetujui. Tahu dengan tabiat anak pertamanya yang masih tidak menyukai Kara. Javier yang mendengar abangnya itu yang akan mengantarkannya begitu senang. Ia lantas ke kamarnya untuk berganti baju, mereka sudah mandi dari pagi dan hanya memakai pakaian rumahan saja. Maka begitu keinginannya di izinkan oleh sang ayah, dia tinggal berganti baju saja. Pun dengan Melvin yang mengikutinya juga. Melvin mengantar adiknya itu menggunakan motornya, biar cepat kata Javier padahal Melvin tipikal anak yang malas keluar di jam-jam tanggung seperti ini. Mau diajak menggunakan mobil, adiknya itu malah beralasan macet dan susah untuk mencari buah tangan untuk Kara. Melvin tidak bisa apa-apa selain mengalah dan menuruti kemauan sang adik. "Udah nih, bener cuman segini makanannya?" Javier tersenyum sambil menganggukkan kepalanya semangat. Mereka baru saja membeli makanan untuk Kara. Satu box donat untuk ibu Kara dan beberapa kresek makanan pedas untuk Kara. Fyi itu makanan yang diberitahu oleh sang ayah, Kara beberapa kali ingin makan "ramen setan" kepada Bara namun sampai sekarang mereka tidak pernah pergi ke sana. Setelah membeli ramen, mereka kembali melanjutkan perjalanannya. Dan untung saja tak membutuhkan waktu lama, motor mereka sampai di depan rumah Kara.  Melvin melihat rumah Kara dari luar dengan pandangan menilai. Minimalis namun terkesan hangat, berbeda dengan rumahnya yang begitu besar dan juga mewah tentunya. Awalnya Melvin akan langsung pulang saja, namun adiknya itu malah memainkan gembok di pager rumah Kara membuat mata Melvin membulat sempurna. "Adek!!! Kamu ngapain?!" Belum juga Javier menjawab pertanyaan, seseorang dari dalam rumah Kara keluar. "Javier?" "Nenek ..." Hah sejak kapan adiknya itu memanggil wanita paru baya itu dengan sebutan nenek? Wah benar-benar tidak beres adiknya itu. Ia lantas turun dari motornya dan kembali menghampiri Javier. "Kenapa gak langsung masuk aja, Dek?" Javier malah nyengir mendapat pertanyaan seperti itu dari Lastri. "Hehe, mbak Kara ada?" Lastri menggeleng "kerja, tapi bentar lagi pulang kok. Cuman setengah hari," Wajah Javier yang semula sendu lantas menjadi senang bukan main. Seharunya dia ingat jika Kara ini bukan pekerja biasa seperti ayahnya, yang weekend libur. Tapi ini sebaliknya, justru weekend sedang ramai-ramainya. "Ayok, masuk yuk." Javier malah mengngguk semangat, bukannya kembali. "Eh, tunggu. Ini siapa?" Lastri bertanya pada Melvin yang berdiri dibelakang Javier. Javier menoleh ke belakang mendapati kakaknya yang tengah menatapnya datar. "Eh, ini Abang aku, Nenek. Melvin," Lastri yang mendengarnya tersenyum keibuan. "Oh Abangnya Javier? Yaudah ayok masuk ke dalam," "Ayok Abang masuk," Javier malah menarik abangnya itu masuk dengannya. "Eh Adek apaan, kan Abang mau pulang." "Ih nanti aja lah pulangnya, Adek juga gak akan lama kok, ayok ih masukin dulu motornya." Melvin tidak bisa menolak lagi, pada akhirnya dia menyetujui keinginan adiknya tersebut. Begitu mereka masuk ke dalam rumah, mata Javier dan Melvin langsung terpaku pada meja besar di sana.      Semua gambar by pinterst "Maaf yah rumah Nenek lagi berantakan, soalnya Nenek lagi ngurusin pesanan." Mata Javier dan Melvin masih terpaku pada banyaknya camilan di sana. Mereka jelas sekali ngiler, perut yang dari rumah sudah terisi penuh kini mendadak kosong ketika melihat camilan cantik di sana. Lastri yang masih sibuk dengan pekerjaanya lantas membalikkan badannya ke belakang. Ia terkekeh geli melihat kedua remaja itu yang menatap makanan yang dia buat dengan tidak berkedip. "Kalian mau?" Lastri bertanya pada Javier san Melvin. "Mau, mau!" Javier menjawab dengan semangat. Sedangkan Melvin sendiri hanya diam saja, dia masih malu. "Yaampun Adek eh Javier maksudnya, lupa! Ini Nek, aku bawain donat buat Nenek sama ramen buat mbak Kara." Javier lalu menyerahkan beberapa kresek yang dibawanya. Lastri menerimanya dengan senyuman. "Harusnya gak usah bawa apa-apa, ngerepotin kalian jadinya," Javier menggeleng sebagai jawaban. "Nggak kok, ini donat kesukaan Nenek 'kan? Aku dikasih tahu Ayah." Lastri kembali tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. "Makan aja yah yang kalian mau di sebelah kanan, soalnya bagian kiri ini pesenan semua sudah dipas." Bungsu Bara itu mengangguk dengan semangat, dia benar-benar senang. Tanpa basa-basi dia lantas memakan camilan tersebut, menghiraukan abangnya yang masih saja diam di tempat. "Adek!" Tegur Melvin tatkala melihat kedua tangan Javier yang sedang memegang risol dan pie buah. Padahal di dalam mulutnya itu masih terisi penuh oleh pastel. "Abang, ayok ih makan ini enak tau. Nanti kalau abis, jangan salahin Adek." Melvin menggelengkan kepalanya, benar-benar si Javier. Pantas saja badannya lebih bongsor dari pada teman seusianya, orang makannya saja begini. Berbeda sekali dengan dirinya. "Kamu nggak suka sama camilannya, kah? Mau Ibu bawain yang lain?" Lastri bertanya pada Melvin pasalnya kakak Javier itu sedari tadi ia perhatikan, hanya diam saja duduk di samping Javier. "Nggak usah, Bu. Terima kasih," "Bener?" Melvin hanya mengangguk. "Yasudah kalau begitu, Ibu ambilkan jus jeruk dulu yah. Biar seger," Lagi Melvin hanya mengangguk. "Ayok Abang, Aaa buka mulutnya." Javier tiba-tiba saja menyodorkan pie buah kepadanya, yang mau tak mau dia makan pada akhirnya. "Enak 'kan?" Sahut Javier senang membuat matanya menjadi segaris. Benar, pie buah yang dia makan sangat enak. Dia jadi penasaran dengan makanan yang lainnya, dengan menurunkan egonya, ia lantas mengambil beberapa camilan yang menurutnya enak. Sedang asyik-asyiknya mereka berdua menikmati camilan di hadapannya. Pintu rumah Kara terbuka, menampakkan Kara dengan seorang remaja yang Melvin kenal. Sulung Bara itu terbatuk seketika, kaget karena Kara yang pulang dan juga cewek yang berjalan bersama Kara. "Aduh, Melvin kamu gak apa-apa?" Kara segera menghampiri Melvin dengan remaja perempuan yang mengikutinya. Melvin terus saja batuk-batuk membuat Kara panik, tak lama ibunya datang membawakam jus jeruk buatannya. Kara langsung saja menyuruh Melvin untuk meminumnya, remaja yang bersama Kara sedari tadi menatap khawatir Melvin. "Udah oke?" Melvin mengangguk, ia merasa malu. Bisa-bisanya dia tersedak disaat yang tidak tepat. "Abang, nggak apa-apa?" Kembali Melvin mengangguk. "Kamu ngapain di sini?" "Eh, aku mau bawa pesananku." "Eh iya loh, Tari. Tunggu bentar yah, Ibu tinggal kemas aja ini,"  "Nih dah siap, eh tapi kamu bisa bawanya?" Lastri menatap beberapa box yang berisi camilan buatannya itu yang tidak sedikit. Pasalnya ibunya Tari memesan untuk arisan di rumahnya dengan jumlah yang tak sedikit. "Ayo aku antar, Tar." Melvin tiba-tiba berbicara diantara kebingungan itu. "Eh, nggak apa-apa?" "Nggak usah, Melvin aku nanti minta gojek aja antar." "Nggak apa-apa, ayo aku gak ada kerjaan juga." Tari mengangguk sambil tersenyum. "Makasih yah," "Makasih yah Nak Melvin." Melvin hanya membalas dengan tersenyum tipis. "Maaf ibu, aku titip Javier ya." Melvin berujar pada Lastri yang diangguki wanita paru baya itu. Mereka kemudian membantu Melvin dan Tari yang sedang membenarkan box nya. "Hati-hati ya, makasih ya Tari." "Iya, Bu mbak Kara. Tari pulang dulu ya." Mereka berdua lantas pamit dan pergi menuju rumah Tari. Javier sendiri? Rupanya dia tidak peduli dengan apa yang dilakukan kakaknya, dia lebih anteng dengan camilannya sendiri. "Javier udah makan?" Tara bertanya ketika kembali masuk ke dalam rumah sambil membantu sang ibu yang masih menyusun. Bungsu Bara itu mengangguk dengan mata yang menyipit. Kara tersenyum melihatnya, sangat menggemaskan batinnya. Perasaan rindunya pada remaja itu seketika menguap, ketika Javier sudah berada di sini. "Aku kangen sama, Mbak Kara." Kara tersenyum "mbak juga," "Kalau sama ayah, kangen nggak?" Celetuk Javier asal. Kara tidak menjawab dia hanya sibuk dengan kegiatannya. Wajah Javier seketika mendung. "Oke udah siap," seru Lastri senang karena pekerjaannya sudah selesai, dan lima belas menit lagi orang kelurahan akan mengambilnya. "Mbak, aku bawain mbak Kara ramen setan loh," seru Javier setelah menyelasaikan aksi memakan camilannya. "Oh ya?" "Iya, tadi ayah bilang kalau mbak Kara suka makan pedes, terus belum pernah makan ramen setan itu, jadinya aku beli deh. Ramen-nya ada sama nenek, tadi aku kasihin." Kara dibuat nelangsa mendengarnya. Bahkan sampe sekarang Bara masih mengingatnya. "Makasih yah," Javier hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu setelah itu mereka mengobrol, membahas sekolah dan juga Melvin. Mereka tidak membahas Bara karena Javier tidak mau mood Kara berubah mendengarnya. Tak lama, Melvin kembali dengan senyum sumringah membuat Javier bingung melihatnya. "Ayok pulang, Dek. Kasihan ayah sendiri," "Tapi Adek masih mau main di sini," "Udah sore, ih! Nanti malem kan biasa ke rumah oma." Kara hanya diam saja memperhatikan. "Nggak Abang! Abang nggak tau yah, ayah marah tau sama tante, sama oma." Javier berkata lancar tanpa menghiraukan Kara yang tentu saja dapat mendengarnya. "Adek!" Tegur Melvin karena bisa-bisa adiknya itu seenaknya saja berbicara. "Apa? Bener 'kan? Lagian salah tante Bianca sendiri, jahat sama Adek sama mbak Kara. Rasain aja jadinya dimarahin sama ayah." Lagi, Javier tidak dapat mengontrol mulutnya. "Ck, udah ah ayok pulang." Kara lantas ikut membantu membujuk Javier. "Mbak Kara ada panna cotta, Adek bawa pulang yah," Mendengar makana manis kesukaannya membuat Javier mengangguk. "Yaudah deh," balasnya pasrah. Kara terkekeh membuat tangannya tak sadar malah mengelus rambut Javier. "Tunggu bentar, yah." Begitu Kara pergi, langsung saja Melvin menceramahi adiknya itu. Tapi dasar si Javier yang tidak peduli dengan ceramahan abangnya. "Ini bawa yah, kemarin Mbak Kara buat buat anak-anak spg di toko, masih sisa banyak buat kalian aja." "Makasih mbak/ makasih Buna," "Eh, kok buna?" Javier yang tersadar lantas langsung mengoreksinya. "Mbak Kara maksudnya, makasih yah." "Dasar, iya sama-sama yah. Hati-hati kalian berdua yah, kalau udah sampe kabarin Mbak yah?" Melvin mengangguk diikuti Javier. "Salam buat Nenek yah, Mbak makasih camilannya." Fyi Lastri sedang pergi ke toko kue jadi mereka menitipkan salam kepadanya. Motor Melvin akan melaju, namun perkataan Javier membuat Kara terdiam pun dengan Melvin. "Mbak Kara, tolong maafin ayah. Ayah masih cinta sama mbak, dia kasian banget, aku gak tega liatnya." *** "Ra, aku nggak bisa kayak gini terus, aku nggak mau kejadian kemarin ke ulang lagi. Ayok nikah sama aku," *** Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD