Bak disambar petir siang bolong Kirana akhirnya menyadari hal ini bukanlah mimpi, pada akhirnya yang kaya memang akan berkuasa dengan apa yang mereka miliki, dan dengan mudah memiliki apa yang mereka inginkan, dengan mudah pula menjauhkan apa yang tidak mereka inginkan.
Kirana tidak punya pilihan lain, dirinya hanya bisa mengemas barangnya, buku-buku pelajaran serta beberapa pakaiannya dan yang terpenting pakaian sekolahnya, dirinya sudah tidak punya pilihan hidup lagi, dan yang Kirana yakini ia harus tetap bersekolah apa pun yang terjadi, karena bagaimana pun ia tidak ingin mengulang kemiskinan ini, ia berharap dengan menamatkan sekolahnya bahkan hanya sampai menengah atas saja ia bisa berusaha untuk terbebas dari jerat kemiskinan ini.
Hidup dari kecil dalam kekurangan jelas membuat Kirana mulai berpikir bagaimana caranya keturunannya nantinya tidak seperti dirinya, setidaknya dirinya ingin keturnannya memiliki pendidikan yang lebih baik dari dirinya, ia juga tahu bahwa orangtuanya sudah berusaha sekuat tenaga agar bisa hidup lebih baik daripada ini, contohnya seperti ibunya yang terus menerus menerima pekerjaan agar menyambung hidup dan tidak jadi pengemis atau peminta-minta di jalanan, berusaha untuk menabung, mencukupi biaya sekolah dan makan dirinya.
Air mata Ayu jatuh semakin banyak, melihat bagaimana sang putri yang baru saja datang menuntut ilmu malah mendapati hal yang tidak mengenakan seperti ini, perjalanan hidup Kirana rasanya tidak semulus yang ia bayangkan beberapa tahun lalu. “Nak,” rintih Ayu dengan suara yang tertahan, melihat sang anak yang datang dengan tatapan menyendu.
Kirana menoleh, mendapati air mata sang Ibu yang jatuh berkali-kali, ia terdiam, ini juga memukul dirinya, tapi sekali lagi apa yang bisa dilakukan oleh anak kelas dua sekolah menengah atas? Dirinya tidak mungkin melawan pemilik tanah ini, bukan? Kirana menyadari bahwa ini adalah perjalanan hidup, dirinya tidak mungkin menolak, toh sebagai orang yang memang tidak punya apa-apa dirinya bisa apa?
“Katanya besok uang ganti ruginya bisa cair, tapi mamah enggak tahu kita hari ini tidur di mana, mamah enggak ada tujuan Nak,” rintih Ayu, air matanya turun ia mulai tersedu, sebagai seorang ibu rasanya hal ini sangat menyakitkan baginya, dirinya tidak bisa menyediakan tempat tinggal yang layak bagi buah hatinya, dirinya tidak bisa menyediakan pendidikan yang layak bagi Kirana, Ayu merasa bahwa dirinya begitu gagal menjadi seorang ibu, menjadi seorang orangtua.
Harusnya Ayu sadar sebelum menikah kalau lingkaran kemiskinan akan terus menguasainya, harusnya Ayu bisa menahan diri agar tidak ada keturunan seperti dirinya lagi, harusnya Ayu bisa memahami kalau nantinya keturunannya akan menyambung kemiskinannya kalau bukan Ayu yang mengubahnya sejak awal.
“Mamah ngomong apa?” bantah Kirana, dirinya pusing, tapi mendengar sang ibu yang menyalahkan dirinya juga bukan hal yang diinginkan oleh Kirana saat ini.
“Ma’af, ma’afin Mamah yang malah nyeret kamu ke dalam hal seperti ini, ma’af karena kamu lahir dari rahim seorang ibu yang gagal seperti Mamah, yang bahkan tidak bisa memberikan kamu tempat tinggal yang layak.”
Kirana tersentak, dirinya tahu bahwa orangtuanya sudah sekuat tenaga untuk menghidupnya, bahkan sangat jarang warga setempat ini bisa bersekolah, rasanya hanya Kirana saja yang bisa menembuskan diri ke sekolah Internasional walau dengan beasiswa. Kirana amat menyadari bagaimana keadaannya dan orangtuanya, hingga saat di sekolah ia benar-benar belajar dengan sungguh-sungguh, tak melewatkan satu detik pun untuk tidak fokus, karena sekali lagi Kirana ingin mengubah hidupnya lebih baik.
“Mah, ini tuh sudah jalannya, hal ini juga bukan hal yang baru kan, ini juga sudah dikabarin lama banget, udah berapa bulan kan, lagi pula kita enggak punya pilihan lain, syukur kalau perusahaan ini kasih uang kompesansi, walau dimana pun ini bukan hak dia, dia bisa aja cuman gusur kita Mah,” jelas Kirana, perempuan itu memang sudah mendengar hal ini sudah lama, mereka, penduduk yang di sini sudah diberi tahu jadi bukan hal yang baru hal ini terjadi, walau penduduk harusnya sedikit sadar kalau tanah yang mereka tempati memang bukan hak mereka, dan sewaktu-waktu bisa saja diambil oleh si yang punya.
Kirana dan Ayu memilih untuk segera meninggalkan tempat itu, beberapa barangnya yang masih layak pagi sudah disisihkan di satu tempat bersama dengan warga yang lain, Bu Ijah juga sudah mengemasi barangnya, Bu Ijah dan beberapa warga juga sudah meninggalkan tempat itu.
Awan terus menggelap karena waktu terus berlalu, ibu dan anak itu benar-benar menghela napasnya, tidak tahu harus kemana tempat yang akan mereka tuju, dan Ayu tiba-tiba saja berpikir bahwa malam ini mereka menginap di masjid terdekat, dan besok setelah mendapatkan uang itu mereka mulai mencari tempat tinggal yang lebih layak, ya, bagi mereka hanya uang peganti itu yang diharapkan untuk menyambung kehidupan mereka.
“Mah, Raffa keluar dulu,” izin Raffa yang melirik jam yang ada di tangannya, hampir jam delapan malam, sudah bukan rahasia lagi kalau anak seusia Raffa tengah asik-asiknya bermain, tengah asik-asiknya bergaul, nongkrong, balapan, berkumpul.
“Ih bentar, tolong beliin Mamah martabak dong,” pinta sang Ibu.
Raffa menautkan alisnya, bukannya menolak apa yang diinginkan oleh sang Ibu, tapi zaman sudah sangat canggih sekarang, ada aplikasi yang membantu sang ibu untuk mendapatkan makanan yang ia mau, ada juga supir dan security yang bisa diminta tolong ibunya untuk membelikan martabak.
“Jadi Raffa enggak mau bantuin Mamah buat beliin martabak nih?” lagi, sang ibu mencoba untuk membujuk anak satu-satunya itu, ia tahu remaja seumuran Raffa lagi asik-asiknya bermain, anaknya itu juga sering kali pergi main, walau pulangnya tidak terlalu larut, Alesa memang ingin menegur anaknya itu hanya saja Alesa takut kalau dirinya terlalu keras kepada Raffa kalau menegur dengan kata-kata kalau dirinya tidak suka Raffa pergi bermain, oleh karena itu dirinya mencari cara agar Raffa tidak jadi pergi bermain.
“Yaudah sini, mau martabak biasa?”
“Hem.” Alesa terlihat begitu senang saat sang anak akhirnya mau mengikuti kemauannya, “biar Mamah ikut aja deh, Mamah kemarin ada lihat orang jualan di dekat supermarket yang sering kita datangin itu, nah coba di sana deh, sekali-kali beli yang beda, jangan di Bang Rizky mulu,” ucap sang ibu, Alesa langsung mengambil tasnya yang tidak jauh dari tempatnya duduk, tas yang memang sudah ia persiapkan karena tahu Raffa yang akan pergi.
Raffa mengalah, pada akhrinya malam ini laki-laki itu tidak jadi pergi bermain bersama dengan teman-temannya.
Alesa masuk ke dalam mobil hitam yang biasa ia gunakan, malam ini akhirnya dirinya bisa menghentikan langkah Raffa yang berniat untuk pergi bermain, Alesa juga tadi sempat berdebat kecil dengan Raffa perihal siapa yang membawa mobinya kali ini, dan hal itu dimenangkan oleh Alesa karena bagaimana pun Alesa ingin kalau selama ada orang dewasa yang bepergian bersama dengan Raffa, Raffa tidak boleh menyetir mobil itu, dan Alesa juga bilang kalau Raffa tidak tahu tempat yang ia tuju nantinya dirinya akan kerepotan untuk menunjukan jalannya.
Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai Alesa memang sudah sampai di deretan jalan yang banyak sekali kaki lima berjualan di sana, Alesa memang keturunan orang kaya, suaminya juga berasal dari orang yang berada, tapi, keluarga Alesa juga cukup mengajari Alesa membeli jajanan di pinggir jalan, walau itu hanya terhitung dengan jari tangan, karena Alesa juga menyesuaikan tentang kehidupannya yang cukup mewah.
“Mah, serius beli di sini? Aku pikir beli di restoran?” ucap Raffa.
“Sekali-sekali, kemarin Mbak Rasi yang beli di sini, eh enak ternyata,” ucap Alesa, sebenarnya asisten rumah tangganya yang beli martabak di sini pertama kali, dan saat itu Rasi menyuruh Alesa mencicipinya, yang ternyata rasanya tidak jauh berbeda dengan martabak yang biasanya Alesa beli.
Ayu menatap penjualan nasi goreng itu bergantian dengan langit yang sekarang sudah menghitam dan menimbulkan bulan dengan berbentuk sabit itu, bulan itu terlihat dengan jelas memancarkan warnanya, seolah dunia dalam keadaan yang baik-baik saja.
“Kiranaaa.”
Suara panggilan dengan cukup jelas itu menghentakan lamunan Ayu dan membuat Kirana yang sedari tadi membaca bukunya sambil menunggu nasi goreng yang ia pesan bersama sang ibu menoleh, mecari seseorang yang memanggil namanya.
“Tante Alesa?” ucap Kirana saat melihat seorang ibu-ibu yang berjarak kurang lebih tiga meter di depannya dan juga Raffa teman sekelasnya yang berdiri bersisian.
“Sayang, ih bener kan Kirana di sini,” ucap Alesa yang terlihat senang karena matanya benar kali ini. “Ngapain di sini sayang?” tanya Alesa lagi.
Ayu jelas langsung berdiri dari duduknya mendengar kalau ada yang memanggil anaknya.
“Hallo tante,” ucap Kirana sambil menjulurkan tangannya memberikan salam kepada ibu dari temannya itu. “Oh iya Tante ngapain? Eh ini ibuku Tante kenalin,” ucap Kirana lagi memperkenalkan ibunya yang sudah berdiri di sampingnya.
“Loh Ayu?”
“Eh, Alesa?”