Awalnya Asa jelas menolak dengan hebat apa yang dikatakan oleh Raffa, ya, Asa tahu, sangat tahu malahan bawah Raffa bisa menggambar, bisa melukis apa saja, jelas, bakat dan apa yang ditunjang kepada Raffa membuat laki-laki itu serba bisa dalam berbagi hal, apalagi sebagai seorang pewaris tunggal yang jelas nantinya membuat Raffa harus menghundel dan mempunyai tanggung jawab yang besar, orangtua laki-laki itu memberikan apa pun, apa pun kepada anaknya itu, dari berbagai les, berbagai macam pelajaran tambahan, berbagai macam kesenian yang harus Raffa bisa dan minati.
Sejak kecil, Raffa sudah mendapatkan pelajaran yang amat, sangat banyak, waktunya hanya terfokus pada belajar, dan segala macam hal yang berbau keterampilan, les piano, menggambar, bahkan menyanyi, jangan lupakan memanah dan berkuda, ya, Raffa kecil begitu sibuk.
Asa tahu betul apa yang dilakukan oleh orangtua Raffa sebagai salah satu benteng yang mereka bangun karena Raffa akan memikul tanggung jawab yang amat berat nantinya, apalagi Raffa adalah anak mereka satu-satunya yang berarti Raffa tidak mempunyai tempat untuk berbagi untuk menggantikan menjadi pewaris ayahnya, Raffa harus berdiri sendiri dengan kedua kakinya.
“Jangan gerak,” ucap Raffa saat Asa melakukan pergerakan, lebih parahnya perempuan itu malah menjauh dari kursi yang sedari tadi ia duduki.
Asa mengerucutkan bibirnya, sedari tadi Raffa memang banyak menegurnya, dari rambut Asa yang terbang-terbang karana taman belakang begitu banyak sekali anginnya, hingga kini, bunga yang tengah dilukis oleh Asa yang sedikit miring, membuat perempuan itu berdiri membetulkannya, dan ya, Asa mengakui bahwa harusnya ia tidak banyak bergerak, karena Raffa pasti akan kesusahan untuk melukis dirinya.
“Ya ma’af ganteng,” ucap Asa kembali duduk di tempatnya.
Tak jauh dari sana, Kirana memperhatikan dua orang itu, Raffa dan Asa, dua orang yang sangat serasi, sudah kaya, cantik, ganteng dan pintar, dua orang itu memang banyak sekali disebut-sebut di sekolahnya, salah satu karena kedua orang itu amat dekat, tak lama dari itu Kirana kembali berfokus pada buah-buahan yang ada di depannya, punggungnya cukup terasa pegal, tapi, ia benar-beanr harus menuntaskan lukisannya sekarang juga, karena sungguh, Kirana pasti tidak akan punya kesempatan lagi unyuk melakukan hal ini.
Di rumahnya ia jelas tidak mempunyai buah-buahan, ia juga tidak punya peralatan yang semeriah ini, sungguh, Raffa benar-benar lahir dari sendok emas, apa pun yang diinginkan oleh laki-laki itu bisa laki-laki itu dapatkan dengan cepat dan juga mudah.
Kirana menghembuskan napasnya saat perempuan itu merasakan tangannya yang pegal, tangannya yang sudah sangat lelah untuk melukis, sudah lewat dari tiga jam, teman-temannya yang lain sudah hampir selesai melukis, dan dirinya masih saja berkutat dengan apa yang ia lihat di depannya.
Asa datang dengan segelas air yang dibuatkan oleh ibunya Raffa untuknya, spesial untuknya, Asa pun menegur Kirana yang sama sekali tidak ada istirahatnnya itu. “Belum selesai juga Kir?”
Kirana menggeleng dengan kecil, ia benar-benar kesusahan dalam hal melukis, tapi sungguh Kirana juga ingin ini semua cepat selesai, ingin hal ini ia segerakan dan bisa cepat pulang ke rumah.
“Enggak apa-apa, besok lagi aja, sudah mau malam juga, teman-teman yang lain juga sudah selesai,” bujuk Asa lagi, jujur dirinya juga ingin pulang, melihat bagaimana lukisan Kirana yang benar-benar belum menyentuh tujuh puluh persen benar-benar membuat dirinya tidak tahu harus menunggu berapa lama lagi sampai perempuan itu selesai dengan pekerjannya.
Raffa melangkah, menatap Kirana yang tengah berbincang dengan Asa, “kenapa Sa?” tanyanya, melihat raut wajah Asa yang terlihat tidak nyaman Rafa menyimpulkan ada perdebatan di sini antara Asa dan perempuan itu.
Asa menatap Raffa, “Kirana belum selesai lukis, padahal kita kan udah selesai, udah pada mau pulang juga, kamu juga mau istirahat kan, Raff?”
Rafa menatap telunjuk Asa yang mengarah pada lukisan Kirana yang benar-benar belum rampung, laki-laki itu menghela napas, jujur saja dirinya memang tidak ingin Kirana ikut ke dalam kelompoknya karena baginya orang miskin seperti Kirana memang sangat menyusahkan contohnya seperti ini, dia pasti tidak punya skill melukis, dan Raffa tidak suka orang lelet seperti ini.
“Lo bawa pulang aja tugas lo, yang lain juga udah mau pulang,” ucap Raffa seolah mengusir Kirana dari rumahnya.
Hal itu membuat Asa tersenyum sekilas, perempuan itu melangkah masuk lebih dalam ke dalam rumah Raffa meninggal Raffa yang pasti bisa menyelesaikan niatnya untuk mengusir Kirana, Asa bertemu dengan ibunya Raffa, hal yang sudah sangat biasa dilakukan oleh Asa sebagai teman kecil dari Raffa, bertemu, bertamu dan berada di rumah Raffa bukan hal baru baginya.
“Tante Alesa lagi ngapain?” tanya Asa saat menatap Tante Alesa membawa tiga bungkus makanan yang dimasukan ke dalam paper bag yang ukurannya cukup sedang.
“Kata Raffa kalian mau pulang, ini Tante bawain kue tadi, makasih loh udah bantuin tante bikinnya tadi,” ucap Alesa, ia lalu melangkah keluar dari dapur, menemui dua teman anaknya yang lain untuk memberikan bingkisan.
“Aku enggak mungkin bisa bawa alat ini,” cicit Kirana dengan saura pelan saat melihat canvas yang cukup besar itu ada di depannya, ia juga tidak punya ide untuk bisa membawa canvas itu pulang ke rumah, ya, dia sangat bersyukur karena Raffa dan temannya yang lain sudah menyediakan canvas dan alat lukis lainnya, Raffa juga mengatakan bahwa Kirana harus membawa pulang canvas itu agar melanjutkannya di rumah saja.
“Kenapa lo diem aja? Ayo cepat siap-siap pulang sana.”
Kirana menatap Raffa, “boleh enggak aku tinggal ini dulu di sini, besok aku ambil terus aku bawa, aku besok coba sewa ojek buat ambil ini di rumah kamu.”
Ribet kan? benar apa yang menjadi firasat Raffa sejak mendengar nama Kirana yang masuk ke dalam kelompoknya, bahkan laki-laki itu sudah protes untuk memasukan nama temannya yang lain saja, karena ia tahu Kirana akan susah untuk mengikuti gaya kehidupan mereka, Kirana akan kesusahan mengimbangi dirinya dan teman-temannya, bahkan ia sama sekali tidak berpikir bahwa Kirana akan masuk kesekolah punya kakeknya itu.
“Sayang, Kirana sayang,” suara Alesa terdengar, Raffa menoleh, pun Kirana yang tadi tengah berwajah tegang menatap ibu dari temannya itu. “Ini, kue tadi, makasih ya sudah bantuin Tante bikin tadi.”
Kirana mentapa paper bag itu, “loh Tante enggak usah enggak apa-apa,” tolak Kirana, kepalanya semakin sakit saat memikirkan bagaimana caranya ia membawa oleh-oleh dari ibunya Raffa ini.
“Oh pasti Kirana susah bawanya Tan, dia pakai sepeda soalnya pulangnya.”
Alesa baru menyadari kalau Kirana ini adalah salah satu siswa berasiswa yang diterima oleh ayah mertuanya, hal yang sangat mudah padahal, Kirana bisa diantar oleh Raffa pulangnya.
“Enggak” jawab Raffa saat ibunya memberikan saran untuk anaknya itu mengantar Kirana.
“Loh, enggak usah Tante enggak apa-apa, Kirana pulang sendiri, sepeda Kirana juga ada di sini kok,” tolak Kirana juga, tidak, ia bisa pulang sendiri, tapi untuk membawa barang-barang ini jelas dirinya tidak bisa, tapi diantar oleh Raffa juga bukan satu jalan yang bagus baginya.
Tatapan Alesa langsung menatap Raffa yang membuat laki-laki itu langsung melangkahkan kakinya, mencari kunci mobilnya, tidak mungkin rasanya dirinya menolak apa yang diperintahkan oleh ibunya, tapi ah sial sekali dirinya juga tidak ingin mengantar Kirana.
Kirana juga menyerah karena tangan perempuan itu sudah digandeng oleh Alesa untuk menuju ke mobil Raffa di mana sepedanya sudah ada di belakang mobil itu, sekalian canvas dan oleh-oleh yang yang tadi diberikan oleh Alesa pun sudah masuk ke dalam mobil Raffa.
Perjalanan antara dua orang itu hanya diisi dengan musik yang keluar dari alat di depan Raffa, laki-laki itu benar-benar tidak mengeluarkan sauranya, selain meminta petunjuk dimana rumah Kirana berada.
“Sampai depan gang di depan itu aja Raffa,” pinta Kirana, perempuan itu menunjuk di mana ada nama gang rumahnya, sejujurnya bukan karena ia malu karena rumahnya berada di dalam kondisi menengah ke bawah, tidak, hanya saja, ia takut Raffa semakin kerepotan dan membuat laki-laki itu semakin tidak suka dengannya, dirinya memang tidak ingin laki-laki ijtu semakin tidak menyukainya, ia ingin masa sekolahnya menjadi baik-baik saja.
“Lo enggak dengar kata ibu gue tadi? Gue harus nganterin lo sampai di depan rumah lo?”
“Tapi tante Alesa enggak bakal tahu juga, aku juga udah di depan gang rumah aku,” terlambat, Kirana benar-benar terlambat mengatakan itu karena mobil Raffa sudah masuk ke dalam gang di mana Kirana mengatakan bahwa di dalam sana adalah rumahnya, laki-laki itu menatap Kirana, bermaksud untuk kembali menanyakan di mana rumahnya.
“Itu, rumah warna hijau,” telunjuk Kirana mengarah pada rumah yang tidak bertingkat, yang tidak berpagar, rumah sederhana di mana depannya ada pohon manga yang sudah lama tidak berbuah.
Kumuh, sempit dan tidak beraturan, itu lah kali pertama pandangan Raffa saat masuk ke dalam gang di mana Kirana mengatakan di daerah ini rumahnya, laki-laki itu juga tidak mau melakukan hal ini tapi dirinya takut mengingkari apa yang dikatakan oleh ibunya kepadanya.
Ayu keluar saat mendengar suara yang tak lazim masuk ke dalam telinganya, ia melihat Kirana yang tengah membawa banyak sekali barang di depannya, dan seorang laki-laki yang berusaha untuk menunrunkan sepeda anaknya itu dari mobil yang terlihat mengkilat.
“Loh kemana aja Kir, mama tungguin dari tadi,” ucap Ayu saat melihat anaknya itu baru saja pulang.
Raffa semakin menatap tidak suka, orangtua Kirana keluar dari rumahnya dan Raffa rasanya tidak ingin semakin berbasa-basi untuk menyapa orangtua Kirana, setelah ia menyelesaikan pekerjaannya untuk menurunkan sepeda perempuan itu dari tempatnya Raffa segera pulang tanpa pamit, tanpa membalas ucapan terima kasih yang diucapkan oleh Kirana dan juga ibunya.
Raffa memang begitu.