4. Hal Yang Tidak Diinginkan

1188 Words
Mobil berwarna hitam itu masuk ke dalam halaman sekolah Harapan Bangsa, tidak hanya beberapa mobil, tapi juga beberapa motor, ya, benar sekali, saat ini beberapa SMA di Jakarta tengah mengadakan kompetensi semesteran, dimana tuan rumahnya kali ini adalah SMA Harapan Bangsa. Gerrel dan Aurora dipercaya sebagai penerima beberapa perwakilan dari SMA lain untuk datang dan memenuhi suaranya untuk pertandingan yang akan dilakukan besok hingga satu minggu ke depan. Kirana menatap orang yang berlalu lalang di depan kelasnya, colekan di punggungnya yang ia dapatkan dari Alexa membuatnya menoleh. Perkenalkan sebelumnya, dia Lexander Ameera, orang yang sejak kemarin mendeklarasikan dirinya sebagai teman dari Kirana, walau sebenarnya Kirana sendiri bingung dengan kelakuan perempuan itu. “Hm?” Sahut Kirana saat menoleh, menampilkan Alxea dengan senyumnya yang manis. Jujur, Kirana sendiri sama sekali tidak ada pikiran untuk mempunyai teman di sini, ia jelas sangat menyadari bagaimana kehidupannya dan juga kehidupan murid di sini, sangat berbanding terbalik, membuat dirinya sadar kalau harusnya ia sama sekali jangan pernah berpikir untuk bisa berbaur dengan orang-orang yang ada di sini, tapi Alexa mematahkan hal itu, perempuan dengan keturunan barat itu mematahkan pikiran Kirana kalau dirinya sama sekali tidak bisa berteman dengan murid di sini. Kemarin, saat Kirana yang berniat untuk kembali makan di rooftop — melupakan bagaimana kejadian Raffa dan teman-temannya datang beberapa hari lalu dan menemukannya di sana, dimana pada akhirnya Kirana tahu kalau tempat yang ia sukai itu, tempat aman untuk dirinya berada adalah tempat yang nyaman pula bagi Raffa dan ke dua temannya. Kemarin Alexa datang menghampirinya, mengajaknya untuk berteman, memintanya untuk Kirana selalu bersamanya, menolak? Jelas hal itu yang dilakukan oleh Kirana, perempuan itu jelas menolak, Kirana jelas memikirkan standar hidup seperti apa yang dimiliki oleh Alexa sampai perempuan itu bisa berpikir untuk menjadikan dirinya temannya, dan jelas Kirana juga tidak bisa menerima Alexa begitu saja, mengingat bagaimana perbedaan kesenjangan kehidupan mereka. “Kamu enggak salah?” “Hah salah apa?” Tanya Alexa kemarin, saat dirinya menatap Kirana dengan tatapan bingung, dirinya ada salah apa? “Aku, kita kan beda? Aku cuman anak beasiswa yang bahkan pergi ke sekolah dengan cara naik sepeda, kalian kan maksudnya aku, apa kamu enggak salah meminta aku untuk jadi teman kamu?” perjelas Kirana, sungguh dirinya merasa sedikit risih walau rasa bahagia juga terselip di hatinya, mengingat semenjak dirinya masuk ke sekolah ini dirinya memang hanya sendiri aja tanpa ada teman, bahkan dirinya hanya berbicara kepada tiga laki-laki yang ia temui di rooftop itu. Alexa tertawa geli, benar sekali dugaannya, ia tahu bahwa Kirana adalah anak beasiswa sebenarnya bukan hanya Kirana saja, tapi juga ada beberapa anak beasiswa, tapi tidak satu kelas dengan mereka, “ya kenapa kalau lo naik sepeda sedangkan gue dan yang lain naik mobil? Maksudnya kenapa itu jadi kita bahas? Kadang aku juga enggak naik mobil kok, kadang aku naik ojek.” Kirana menatap perempuan itu, ia pikir Alexa bisa paham dengan maksud pembicaraannya, ia tidak ingin — maksudnya ia tidak bisa menjadi teman Alexa bukan karena Kirana tidak mau, hanya saja Kirana takut, ia takut mendapatkan masalah, atau Alexa yang mendapatkan masalah walau sebenarnya ia sama tidak tahu perasaan jelek itu muncul dari mana, tapi mengingat bagaimana bedanya kasta mereka Kirana memang harus sadar kalau diantara dirinya dan murid lain – selain murid beasiswa mereka memang berbeda. Harusnya Kirana tidak perlu berpikiran seperti itu, hal itu adalah adalah pikiran yang sangat bodoh. “Aneh, masa buat temenan aja harus ada standar gitu,” jawab Alexa, perempuan itu seolah tidak mengerti dengan pikiran-pikiran manusia seperti Kirana, ya mungkin semua orang yang bersekolah di sini memang berstandar tinggi, karena bagaimana pun sekolahnya ini memang diperuntukkan untuk orang-orang yang memang berkantung menengah ke atas, tapi ya semua manusia itu sama saja, yang membedakan kita hanya iman dan takwanya saja. Kirana hanya tersenyum lalu mengangguk, melihat bagaimana Alexa yang masih memaksanya untuk berteman, hingga pada akhirnya perhari ini Kirana menemukan seorang teman, Alexa namanya. Di lain tempat dalam keadaan yang mengkhuwatirkan Ayu menatap mobil-mobil besar penghancur rumah yang ada di depannya matanya, sudah sejak enam bulan yang lalu ia mendapatkan kabar tidak enak kalau daerah yang saat ini tengah ia tepati memang akan digusur karena akan dibangun apartemen, mall atau perumahan yang Ayu sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Bu Ijah yang kebetulan rumahnya tepat berada di seberang rumah Ayu pun menangis tersedu, mengingat bahwa mereka kini akan tidak punya tempat tinggal lagi, rumah – atau kawasan yang saat ini mereka tempati memang kawasan liar, mereka memang tidak memiliki sertifikat yang mengatas namakan nama mereka untuk tetap tinggal di sini. “Saya dan pegawai saya sudah mengingatkan bapak-bapak dan ibu-ibu untuk segera pergi dari sini, untuk segera bergegas dari sini, tanah ini milik PT. Pembangunan Sentosa Abadi, dimana akan segera dibangun kawasan mall dan apartemen, hal ini juga sudah saya katakana berulang kali dari enam bulan yang lalu,” ucap kepala kontrakor yang memang bertugas untuk membangun proyek ini, jujur saja di satu sisi dirinya memang kesian dengan penduduk yang ada di sini, tapi mengingat ini bukan hari pertama dirinya ke sini, sudah berkali-kali juga dirinya memberikan penyuluhan untuk tanah ini tapi penduduk masih saja tidak mau mendengarkan apa yang ia katakan. Kaki Ayu terasa lemas, rasanya ia tidak tahu harus bebruat apa lagi, ia tidak tahu harus tinggal dimana lagi, memang ini daerah kawasan liar yang sudah berpuluh tahun lalu ia tinggali, dan Ayu memang tidak bisa mengelek kalau hal ini akan terjadi padanya, karena di mata hukum pun memang dirinya yang salah. Tidak hanya sang kontraktor saja yang datang, tapi juga beberapa apart yang memang ditugaskan untuk mengamankan keadaan yang biasanya akan ricuh itu, semua orang yang disana akhirnya menyerah termasuk dengan Ayu, bukan karena uang kopensesi yang diberikan oleh perusahaan itu – padahal di mata hukun perusahaan pemilik tanah itu tidak berkewajiban untuk memberikan kopensesi kepada para penduduk yang ada di sana karena bagaimana pun tanah itu milik mereka, tapi, sang pemilik perusahaan itu yang bernama Shaguffa Al Farizzi akhirnya memutuskan untuk masing-masing diberikan uang lima puluh juta. Ayu dan Bu Ijah yang akhirnya memilih berkemas, Bu Ijah juga sudah pernah berkata beberapa saat lalu kalau mereka harusnya memang sudah berpikir untuk pergi meninggalkan tempat itu, tapi desas-desus kalau mereka tidak dapat pergantian atas rumah atau tempat tinggal mereka lah yang membuat mereka tidak mau pergi dari sana, lagi pula bagaimana mereka akan mencari tempat tinggal baru kalau hidup mereka saja sudah sangat pas-pasan, bahkan bisa makan saja sudah syukur. Ayu dan yang lainnya memang harus bergegas, karena waktu yang diberikan oleh kontraktor itu memang sudah cukup lama, dan sayangnya uang yang dijanjikan sebagai peganti itu baru besok bisa diambil, janjinya besok, secara tunai bisa diambil, yang artinya semua orang yang berada di sana harus berpikir bagaimana cara mereka malam ini untuk tidur, bagaimana cara mereka untuk malam ini tidur di mana. Kirana baru saja datang dari sekolahnya, matanya membelo saat melihat sang ibu yang benar-benar menyusung barang-barang mereka, mengeluarkan barang yang bisa mereka bawa dari rumah itu, tidak hanya melihat sang ibu, dirinya juga melihat beberapa mobil besar yang tadi pagi sebelum dirinya pergi ia tidak melihat mobil itu. Tuhan, jadi cobaan ini benar-benar diturunkan untuk Kirana ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD