AWAL PERKENALAN DENGAN MATAHARI HIDUPKU

1070 Words
“Sore ini aku sedang di pabrik keju yang sangat terkenal di Amsterdam sini. Aku harus membuat bahan untuk mata kuliahku. Aku harus membuat banyak foto dengan angle berbeda, juga pencahayaan berbeda.” “Saat sedang memperhatikan hasil foto yang aku buat di kameraku, aku melihat seorang gadis yang sangat manis di fotoku. Menurutku dia manis dan polos. Ada sosok itu di dalam fotoku. Aku angkat wajahku mencari sosok sebenarnya gadis yang ada di hasil jepretanku.” “Aku lihat gadis itu sedang membuat banyak foto dengan teman-temannya. dia menggunakan topi besar.” “Boleh aku kenalan?” sapaku dengan bahasa Inggris tentunya. Kalau wisatawan jarang yang mahir bahasa belanda atau jerman, Bahasa yang umum digunakan di sini. “Listy, ayo jalan lagi,” kata seorang temannya dengan bahasa Indonesia. “Kamu dari Indonesia?” tanyaku dengan bahasa Indonesia. “Iya Om,” jawab gadis tersebut. “Wah jangan panggil Om dong. Perkenalkan aku Galih. Aku rasanya cuma beberapa tahun lebih tua dari kamu. Aku mahasiswa di sini,” jawabku. “Oh iya Om, eh Bang,” kata gadis tersebut. “Siapa namamu?” tanyaku. “Listy Bang,” jawab gadis tersebut. “Listy saya punya tugas dari kampus harus membuat beberapa foto. Bisa kamu jadi modelnya? Saya tidak akan menjual fotomu karena ini memang tugas dari kampusku,” pintaku pada gadis tersebut. Akhirnya gadis tersebut mau menjadi objek fotoku. Ada beberapa foto yang aku buat saat itu.” “Itu awal perkenalanku dengan matahari hidupku.” “Terima kasih ya Listy, semoga liburanmu menyenangkan. Kami pun berpisah tanpa tukar nomor ponsel atau apa pun itu, tapi aku memang menyukai wajahnya. Sangat lembut dan polos. Pasti dia masih virgin. Bagus itu untuk keturunanku kelak. Tapi ya nggak mungkin juga kan baru kenalan mengajaknya menikah. Lagi aku juga belum mau menikah. Biarin saja masalah menikah, biar kakakku duluan. Kayaknya mas Taufik berhasil mendekati gadis yang sudah dia dekati sejak dua tahun lalu. Mama kemarin cerita mas Taufik sudah mulai pendekatan dengan gadis tersebut. Tentu saja aku senang.” ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Tahun berganti, dan aku kembali ke Indonesia setelah wisuda S1 sinematografi dengan lebih focus pada penyutradaraan dan kamera.” “Kembali ke Indonesia, aku harus kembali ke setelan awal. Tidak boleh urakan begini kalau mau kerja. Walau bagaimanapun kerja kantoran tentu tidak boleh sebebas ini. Aku mulai merubah penampilanku. Aku kembali potong rambutku walau tidak terlalu pendek seperti dulu. Masih sedikit gondrong, cuma tidak sepunggung lagi. Tapi hanya di leher saja. Setidaknya bukan seperti orang kantoran yang rambutnya cepak atau pendek.” “Aku juga mulai menggunakan kaos yang ada tangan dan dilapis kemeja. Biasanya kemeja tangan pendek. Aku tak suka kemeja tangan panjang, karena gerah.” “Aku mulai menggunakan jeans yang tak ada robekannya, tapi juga tidak pakai celana kain. Pokoknya dari bahan teballah, bisa corduray atau denim, apa pun yang penting bukan bahan kain seperti celana kantoran umumnya.” “Aku mulai daftar kebanyak kantor dan akhirnya aku mulai diterima di sebuah production house yang sangat besar dan terkenal di Indonesia. Tentu saja aku tidak mulai dari nol karena aku sebelum kerja aku sudah menjadi fotografer freelance yang cukup menghasilkan.” ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Bang Galih, aku mau dong iklan sabun bayi itu,” kata seorang model yang cukup terkenal juga cantik. Dia minta order sama aku. Waktu itu aku masih tinggal di rumah orang tuaku. Baru enam bulan pulang dari Amsterdam dan baru dua bulan kerja di production house tersebut. Tapi aku memang langsung jadi penanggung jawab team kameraman. Teamku bisa buat bikin foto mau pun video iklan. Aku ingin menjadi kameraman film tentunya. Tapi memang harus berjenjang karena aku baru masuk, menjadi di posisi kameramen iklan saja sudah sangat bagus buatku yang pemula apalagi aku penanggung jawab team kameraman iklan. Prestasi yang membanggakan.” “Wah yang menentukan kan bukan saya, jawabku waktu itu.” “Sebenarnya yang menentukan siapa yang dapat peran di iklan itu kameraman Bang. Kalau Abang bilang sama produser, Abang milih si A, si B, atau si Z, sekali pun produser nggak bisa bilang apa-apa. Kalau Abang bisa bilang bahwa pilihan Abang itu yang terbaik dan pas buat produk yang akan Abang handle dan kasih alasan kenapa artis tersebut Abang usulkan, tentu produser akan setuju.” “Ah nggak juga kok,” elakku saat itu. Tapi aku ingat memang kalaau untuk menentukan model iklan produser akan bertanya pada team kameraman, siapa yang dipikir lebih cocok. Jadi aku ingat hal itu.” “Sudahlah Bang, pokoknya kita tahu sama tahu lah. Aku berani kasih Abang pelayanan terbaik deh, asal iklan itu buat aku, kata perempuan yang cantik tersebut.” “Maksudmu apa? Tanyaku benar-benar tak mengerti.” “Abang nggak usah polos begitulah. Sudah pada tahu kok kalau pilihan Abang pasti berhasil dan karena itu banyak yang mau memuaskan hasratnya Abang.” “Tentu saja aku tak percaya dengan apa yang dia ucapkan itu. Aku memang sudah lama tidak memanjakan jagoanku, karena aku tak mau jajan. Biar bagaimanapun resiko jajan itu sangat bahaya. Beda kalau kita main sama yang walaupun ‘biasa’ nakal tapi dia bersih.” “Aku yakin kalau artis itu dia juga nggak bakal tidak menjaga kebersihan dirinya dari penyakit. Sama seperti teman kencanku waktu di Paris dulu.” “Dengan pembicaraan agak panjang, akhirnya aku mengerti apa yang diinginkan artis tersebut. Tak etis lah kalau aku sebutkan siapa nama artis tersebut, yang mengajari aku tentang bisnis tempat tidur bertukar dengan nilai kontrak yang akan dia dapatkan.” Dengan artis tersebut tentu saja aku tidak mau hanya tidur satu kali. Mendapatkan tidur dengan artis terkenal tentu kesempatan langka, sehingga aku juga minta diberi tiga kali pertemuan umtuk perjanjian kerja sama kami.” “Sayangnya waktu pertemuan pertama kami hampir kepergok wartawan!” “Untuk artis terkenal seperti dia, tentu check in di hotel adalah tempat yang sangat riskan. Tidak seperti aku yang hanya fotografer pemula. Tentu orang nggak peduli aku keluar masuk hotel. Ke mana pun, tapi kalau buat dia tentu bermasalah.” “Akhirnya di kesempatan kedua, aku suruh dia datang ke apartemenku. memang aku punya satu apartemen, walau tidak mewah, tapi cukuplah.” “Ini apartemen mahal juga sih. Aku pun membelinya tidak secara cash. Aku ambil tempo pembayaran angsuran satu tahun. Tapi ini bukan apartemen ecek-ecek. Cukup mahal buat ukuran kantong orang Jakarta yang mampu. Uang itu aku dapatkan dari beberapa proyekku sebelum aku bekerja tetap di production house. Jadi tentu aku membeli bukan apartemen murah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD