Karena permintaan orang tua Agatha yang meminta untuk tinggal beberapa hari, alhasil Agler menuruti keinginan sang mertua.
Laki-laki itu membuka pintu kamar Agatha setelah bertemu Alvi di lantai bawah. Dia mendapati istrinya sedang duduk di atas karpet dengan kontrol game di tangannya.
"Atha, saya ...."
"A-G-A," sahut Agatha mengeja namanya sendiri tanpa menoleh. Gadis itu paling tidak suka jika seseorang memanggilnya Atha, terkesan sangat feminim.
"Iya Sayang," canda Agler mengulum senyum.
Dia ikut duduk di samping Agatha.
"Tolong baju saya di beresin, Aga!" pinta Agler.
"Nanti pak, tidak lihat apa saya lagi main game," guman Agatha masih fokus pada layar di depannya. "Lagian, pak Agler bisa sendiri tuh, punya tangan sendiri, masa cuma rapiin baju kelemari nggak bisa," lanjut Agatha dengan sedikit omelan.
"Saya bisa, tapi saya hanya ingin di perhatikan oleh istri sendiri."
Agler mengulum senyum, ketika Agatha mempous gamenya, kemudian meletakkan kontrol game itu di karpet.
"Kenapa?" tanya Agler ketika Agatha menatapnya.
"Saya ingin memperjelas sesuatu di sini pak." Agatha merubah posisi duduknya menghadap Agler. Dia menatap netra indah milik laki-laki itu.
"Jangan bersikap seolah-olah saya istri pak Agler! karena di ruangan ini tidak ada siapapun, dan tidak perlu memaksakan diri seakan-akan pak Agler suka sama saya! Sejak awal, saya sudah tahu bahwa pak Agler hanya menyukai adik saya Alatha, pernikahan ini terjadi cuma untuk menyelamatkan dua nama keluarga," ucap Agatha panjang lebar.
Tak ada kegugupan sedikitpun di mata gadis itu saat menatap Agler, padahal posisi mereka sangat dekat. Sangat berbeda dengan Agler, yang selalu saja terpanah pada istrinya.
"Sudah?" tanya Agler di jawab anggukan oleh Agatha.
"Baiklah, sekarang saya yang akan memperjelas semuanya, tapi apapun yang terjadi jangan menertawakan saya!"
Agler menunduk, sebenarnya dia sangat malu jika harus mengakui kecerobohannya ketika melamar saat itu, tapi tidak ada jalan lain. Dia harus menjelaskan-sejelas-jelasnya pada Agatha, agar tidak ada kesalahpahaman di lain waktu.
Jangan sampai, Agatha memutuskan untuk menutup hatinya, hanya karena menganggap dirinya mencintai Alatha.
"Saya salah lamar waktu itu ... sebenarnya saya ..."
"Ppffffffff." Sekuat tenaga Agatha menahan tawa, tapi tetap saja tidak bisa, hingga gadis itu tertawa terpingkal-pingkal. "Maaf pak, tapi ...."
Pletak!
Agler menyentil kening Agatha agar berhenti tertawa. "Sudah saya bilang jangan tertawa," tegur Agler.
Bukannya berhenti, tawa Agatha semakin menjadi, membuat Agler menyungingkan senyumnya, istrinya terlihat semakin cantik jika sedang tertawa seperti ini.
Ternyata wajah saja yang terlihat dingin, humor Agatha sangatlah receh.
Tawa yang tadinya mengelegar seketika berhenti, terjadi keheningan di dalam kamar bernunsa abu-abu hitam itu. Agatha menyentuh bibirnya yang baru saja di kecup oleh laki-laki yang berstatus sebagai semuanya.
"Pa-pak Agler!" pekik Agatha.
"Makanya diam."
Raut wajah yang tadinya ceria kembali terlihat dingin. "Lanjutkan!" perintah Agatha.
Sungguh, Agler sangat menyesal melakukan hal tadi, kalau saja dia tidak mencicipi bibir itu, mungkin sekarang dia masih bisa menikmati senyuman manis Agatha.
Sayangnya, terlalu banyak godaan yang menghampiri, bahkan seperti ada seseorang yang berbisik, untuk menyuruhnya mencium sang istri.
"Kalau tidak ada yang perlu di bicarakan saya akan pergi!" Baru saja Agatha akan beranjak, Agler langsung menariknya, hingga gadis itu terduduk tepat di hadapannya, sangat dekat.
"Sebenarnya saya ingin melamar kamu hari itu, tapi saya salah menyebut nama. Kamu memang tidak mengenal saya, tapi saya mengenal kamu hampir 4 bulan," ucap Agler.
Dia tidak melepaskan tatapanya dari manik Agatha, bahkan sengaja menguncinya, agar gadis itu bisa merasakan, betapa dalam cintanya.
"Bohong!" sanggah Agatha, lansung mendorong d**a Agler agar menjauh.
"Terserah, intinya saya menyukaimu, bukan adikmu," ucap Agler mempertegas.
Ya memang Agler seseorang yang tidak bisa basa-basi, dia akan langsung mengatakan apa yang dia rasakan pada orang lain. Dia tipe sat-set, tanpa harus membuang waktu.
"Terserah pak Agler saja, saya lapar." Agatha mencoba menjauh.
"Panggil saya Mas!" pinta Agler sebelum Agatha menghilang di balik pintu.
"Tidak akan!" sahut Agatha.
***
Terbiasa hidup sendiri tanpa mengurus orang lain, Agatha bersikap seadanya saja, makan tanpa menyiapkan makanan untuk sang suami, padahal di meja makan, bukan mereka berdua saja, ada orang tua nya juga.
Baru saja akan memasukkan makanan kedalam mulutnya, suara Mommynya terdengar.
"Aga, ambilin makan untuk suami kamu nak!" perintah Alana.
Agatha memutar bola mata jengah, sumpah demi apapun, dia masih kesal karena tingkah Agler di kamar tadi. Terlalu bar-bar menurutnya.
"Dia punya tangan Mom," sahut Agatha melanjutkan makannya.
"Agatha!"
"Iya, iya, ini Aga ambilin." Pasrah Agatha, jika Daddynya sudah angkat bicara dengan raut wajah serius juga tatapan mengintimidasi, maka dia tidak bisa berkutik lagi.
Gadis itu segera berdiri, mengambil piring di depan Agler. Mengisi nasi dan beberapa lauk, kemudian meletakkan di depan laki-laki itu.
Agatha sangat yakin, Agler pasti sengaja melakukan ini di depan orang tuanya.
"Carmuk," gumam Agatha seraya menyantap makanannya.
Agler yang mendengar itu hanya bisa tersenyum, semakin Agatha jutek, maka semakin Agler tertantang untuk mendekatinya, terlebih keduanya sudah halal.
Berbeda dulu ketika hanya menganggumi dalam dalam diam.
Jika seseorang bertanya kenapa Agler bisa jatuh cinta pada Agatha, padahal gadis itu hobi keluar masuk kantor polisi. Mungkin Agler tidak bisa menjawab apapun.
Dia saja bingung, kenapa bisa jatuh cinta pada Agatha, bukankah Alatha jauh lebih baik? Wajah mereka juga sama-sama cantik, tetapi apa boleh buat, hati Agler hanya untuk Agatha.
Mungkin ini pertama kalinya, seorang gadis menjadi pengantin pengganti tapi hidupnya tidak sengsara, tidak di benci oleh suaminya.
Bahkan, Agatha sebagai pengantin pengganti, sangat di cintai oleh suaminya.
Usai makan siang bersama, Agler pamit pada Agatha untuk keluar sebentar, tetapi repon gadis itu sangatlah acuh.
"Oh, oke." Hanya itu jawaban yang Agler dapatkan, padahal dia menginginkan lebih dari itu.
Agler mengulurkan tangannya, siapa yang menyangka, Agatha menerima uluran tangan Agler dan menciumnya.
"Mas cuma sebentar," ucap Agler, setelahnya pergi dengan senyuman.
Tanpa Agatha ketahui, Agler mencium tangannya sendiri sebelum masuk ke mobil, katakanlah dia sangat bucin, karena itulah kenyataanya.
"Cie kak Aga," ucap Alatha yang tiba-tiba muncul seperti kuntilanak, sangat di dukung dengan rambut berantakan Alatha.
"Pala lo cie-cie, ganggu aja," gerutu Agatha.
"Pak Agler tampan tau kak, jangan cemberut gitu dong, pengantin baru juga," goda Agatha.
"Ada gunanya juga aku terima lamaran pak Agler, kalau nggak, mungkin sekarang kak Aga belum nikah," ledek Agatha.
"Auw ... kak Aga, sakit!" pekik Agatha memegangi kepalanya yang terasa nyeri karena tarikan Agatha.
"Rasain, emang enak!"