Sepeninggalan Agler, Agatha bersantai seorang diri di rumahnya, sebenarnya dia ingin keluar bertemu teman-teman laki-lakinya, tetapi Alana melarang karena belum izin pada Agler.
Gadis itu masuk ke kamarnya seraya mengerutu, ternyata rencana yang dia susun tidak berjalan sesuai keinginnanya, dia mengira setelah menikah, dia akan bebas kemana saja tanpa larangan siapapun, bahkan orang tuanya.
Namun, ternyata salah besar.
Agatha melirik ponselnya di atas nakas, ingin menghubungi Agler untuk meminta izin, tetapi tak tahu no ponsel pria itu.
Lucu sekali bukan? Pasangan suami istri, namun tak punya kontak masing-masing, terasa aneh tapi begitu nyata di kehidupan pernikahan Agatha sekarang.
"Bodo amat," ucap Agatha.
Gadis cantik itu segera bersiap-siap, sedari tadi Ando sudah menelponnya berkali-kali untuk mengajak bertemu.
Siap dengan pakaian sederhana, Agatha segera menyambar jaket denimnya, juga kunci motor di dalam laci, bersiul seperti laki-laki menuruni satu persatu anak tangga.
"Mommy cantik, istrinya Aa Alvi. Aga keluar bentar ya, bentaaaarrrr aja," bujuk Agatha. "Aga udah izin sama pak Agler di bolehin kok," bohongnya.
"Serius?" tanya Alana memastikan.
"Iya mom, dua rius malah."
"Awas kalau bohong, uang bulanan Mommy potong!" ancam Alana.
"Nggak papa Mom, Aga udah punya suami. Dah cantiknya Aa." Agatha mengecup pipi Mommynya sebelum pergi.
Dengan penuh semangat, dia mengeluarkan motor Ducati V4R-nya dari garasi. Senyum yang sedari tadi mengembang di wajahnya harus pudar ketika melihat mobil sang suami memasuki gerbang.
Entah darimana Agler, Agatha tidak peduli, tapi kenapa harus sebentar? Dia berharap laki-laki yang menjelma sebagai suaminya pulang larut malam.
"Mau kemana?" tanya Agler dengan tatapan penuh selidik.
"Mau beli seblak di depan, kenapa? Mau ikut?" jawab Agatha asal.
"Boleh, naik mobil aja," balas Agler berhasil memancing emosi Agatha.
Sumpah demi apapun, dia sangat ingin mencakar wajah tampan Agler. Ralat, bukan tampan, tapi menyebalkan, sampai kapanpun, Agatha tidak akan memuji polisi menyebalkan itu tampan.
"Ayo!" ajak Agler sekali lagi.
"Nggak jadi," gumam Agatha.
Gadis itu segera turun dari motornya dengan wajah cemberut.
"Gemes banget." Agler langsung merangkul pundak Agatha, bahkan tanganya dengan berani mengusap pipi mengembung sang istri karena cemberut.
Jangan mengira Agler tidak tahu bawah Agatha marah karena tidak jadi pergi. Dia yakin seratus persen, Agatha akan pergi menemui teman-temamnya.
Sekarang, Agatha adalah istrinya, gadis itu tanggung jawabnya. Mulai hari ini, Agler akan membimbing sang istri pelan-pelan, agar berhenti dari pergaulan bebasnya.
"Nggak usah rangkul-rangkul!" Baru saja Agatha ingin menyingkirkan lengan kekar itu dari pundaknya, wanita yang telah melahirkannya muncul tiba-tiba tanpa di persilahkan.
"Uh, romantis banget pengantin baru Mommy," puji Alana, membuat Agatha urung melanjutkan pergerakannya.
Gadis itu sudah tahu apa tujuan Mommynya, hingga meminta dia dan Agler tinggal, dan Agatha akan mengelabui wanita bucin itu.
Dia akan bersikap seakan-akan menerima Agler masuk dalam kehidupannya, bersikap mesra layaknya pangantin baru pada umunya, agar segera terbebas dari rumah ini secepatkan mungkin.
"Namanya juga pengantin baru, iya kan pak ... maksud saya, mas?" ucap Agatha melirik Agler dengan senyum di paksakan.
Agler hanya mengganguk sebagai respon, laki-laki itu masih bingung dengan perubahan sikap istrinya yang tiba-tiba. Namun, sulit di pungkiri dia merasa sangat bahagia karena di panggil mas oleh Agatha.
"Mommy senang liatnya. Oh iya nak, bukannya kamu mau ke Kafe? Kenapa nggak pergi?" tanya Alana.
"Nggak jadi Mom, suami Aga udah pulang."
"Oh." Alana mengangguk mengerti, segera pergi dari hadapan anak dan menantunya, ketika mendengar mobil berhenti di depan rumah.
Wanita cantik itu sudah menebak, mobil yang berhenti ada mobil suaminya.
Tanpa Alana ketahuai, Agler dan Agatha memperhatikan tingkahnya di depan rumah.
"Harusnya kamu nyambut saya seperti Mommy kamu yang nyambut suaminya."
Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Agler, Agatha baru tersadar dengan posisi mereka yang terkesan sangat mesra. Dia langsung menjauhkan diri.
"Tidur dulu pak, terus mimpi," ucap Agatha dan berlalu pergi begitu saja.
"Daddy!" Agatha langsung menutup telinganya ketika suara Alatha mengelegar di rumah itu.
Dia memutar bola mata jengah, ketika adiknya langsung memeluk Daddynya, bahkan bergelayut manja.
"Alay banget," cibir Agatha.
Entalah, dia tipe perempuan seperti apa, intinya dia paling tidak suka sesuatu hal yang berlebihan. Peraturan, kasih sayang, cinta, dan perhatian, dia paling tidak suka dan menggapnya alay jika terlalu berlebihan.
Tapi, berlebihan versinya, tidak cukup pada perempuan pada umumnya.
***
Satu minggu telah berlalu sejak pernikahan berlangsung, tak ada bulan madu atau semacamnya, bukan karena Agler tak ingin, melainkan Agatha yang menolak mentah-mentah, dengan alasan, banyak tugas dan akan masuk kuliah.
Hari ini, Agatha sudah boleh keluar dari rumah Mommynya.
"Pak Agler punya rumah apa tidak? Pokoknya saya mau tinggal berdua saja!" ucap Agatha tak terbantahkan.
Sudah cukup dia bersandiwara di depan mommynya.
"Sore kita akan pindah kerumah, setelah Daddy sama Mommy kamu pulang," jawab Agler.
"Baguslah," balas Agatha.
Melihat Agatha berjalan ke arah balkon kamar mereka, Agler hendak mengikuti, tetapi ponselnya lebih dulu berdering. Laki-laki itu tersenyum, saat melihat panggilan dari mamanya.
"Halo Ma," ucap Agler.
"Agler, kapan kamu sama istri kamu kerumah? Sudah seminggu ini. Mama juga pengen dekat sama menantu Mama."
"Nanti Ma, nanti Agler bawa Agatha bertemu sama Mama," janji Angler.
Orang tua Agler sudah tahu bahwa di hari pernikahan, pengantin di ganti. Dan keduanya tidak keberatan, jika Agler bisa menerimanya.
Rinjani dan Andre tidak peduli siapa menantunya, asal dia dari keluarga baik-baik dan tentu saja Agler sukai.
"Mama maunya sekarang, tidak mau tahu!"
Agler menghembuskan nafas panjang, entah apa lagi yang akan di katakan Agatha jika mereka benar-benar akan kerumah orang tuanya.
Di rumah sendiri saja, Agatha sudah ngamuk.
"Agler!"
"Mama bicara sama manantu sendiri." Itulah keputusan Agler.
Dia mendekati Agatha yang tengah membaca buku di di balkon kamar.
"Mama mau bicara sama kamu," ucap Agler menyerahkan benda pipihnya.
Yang di ajak bicara langsung menunjuk dirinya. "Saya?" tanya Agatha dengan suara sangat pelan, dan di jawab anggukan oleh Agler.
Gadis itu melambaikan tangannya, tanda tidak ingin.
"Nak Agatha," panggil Rinjani di seberang telpon.
"Iy-iya Tante," sahut Agatha.
Gadis itu langsung merebut ponsel di tangan Agler.
"Sore nanti, kamu kerumah sama Agler ya, Mama pengen banget akrab sama kamu nak!" pinta Rinjani dengan suara lembutnya.
"It-itu Aga, tidak ...."
"Mama tunggu ya, dah sayang."
Tut
Agatha lansung melirik Agler tajam. "Ini pasti akal-akalan pak Agler kan? Kalau memang tidak punya rumah, tinggal bilang, kita bisa ngontrak! Saya paling tidak suka tinggal di rumah orang lain!" omel Agatha.
"Dia bukan orang lain, dia orang tua saya, mertua kamu. Jangan bersikap seenaknya seperti ini Agatha! Saya sekarang suami kamu, hargai saya sedikit saja!"
Agatha terdiam, suara Agler memang tidak meninggi, tetapi mimik wajah laki-laki itu seakan mempertegas ucapannya.