Part 5

1022 Words
Agatha mengeluarkan seluruh pakaian yang ada di dalam koper, tetapi tak menemukan baju tidur yang biasa di pakainya. "Kenapa baju kekurangan bahan ini ada di koper gue?" gerutu Agatha dengan mimik wajah sangat kesal. Udara sangat dingin, dia sudah mengantuk, tetapi baju-baju yang di suguhkan di depannya malah menguji kesabaran. Karena lelah, Agatha memutuskan mengambil baju kekurangan bahan itu, kemudian masuk ke kamar mandi. Selang beberapa menit, Agatha keluar dari kamar mandi memakai pakaian laknat berwarna merah terang. "Berhenti natap saya seperti itu, atau mata pak Agler saya colok!" tegur Agahta ketika Agler menatapnya seperti ingin menelan seseorang hidup-hidup. Agler yang di tegur demikian, hanya tersenyum, memperbaiki bantal di sampingnya untuk Agatha. "Tidak ada salahnya memandangi tubuh istri sendiri Agatha," ucap Agler sangat tenang walau jantungnya berdetak sangat cepat. "Turun!" perintah Agatha. "Kenapa?" "Saya tidak mau tidur sama pak Agler," ucap Agatha jujur tanpa ada jaim-jaiman. "Lalu bagaimana, kalau saya ingin tidur bersama istri saya?" "Gila!" gumam Agatha, tak memperdulikan Agler lagi. Gadis cantik dengan kepribadian cuek dan sedikit arogan itu memilih tidur di samping Agler. Untuk malam ini biarkan saja mereka tidur bersama, tapi tidak untuk malam-malam selanjutnya. Agatha tersentak, ketika sebuah lengan mendarat di pinggang rampingnya, dia menelan salivanya dengan kasar. Sumpah demi apapun, sekarang dia panik, takut Agler meminta haknya malam ini juga. "Rilekskan tubuh kamu, saya tidak akan meminta apapun, selain memeluk kamu seperti ini," gumam Agler. "Ke-kenapa pak Agler meluk saya seperti ini? Bukannya pak Agler suka sama adik saya?" tanya Agatha tanpa membalik tubuhnya sedikitpun. "Saya hanya mencintai istri saya, bukan orang lain." *** Agler bangun lebih dulu untuk menunaikan sholat subuh, dia sudah membangungkan Agatha, tetapi gadis itu bergeming seperti orang mati. Bahkan setelah Agler rapi dengan kemeja juga celana jeasnya, Agatha belum juga bangun, padahal matahari mulai menampakkan sinarnya. Agler melirik pergelangan tangannya, dimana jam digital melekat di sana. "Sudah jam delapan," gumam Agler. Laki-laki itu berjalan menuju jendela, untuk membuka tirai agar sinar matahari menganggu tidur gadis yang kini berstatus menjadi istrinya. "Aga masih ngantuk Mom, jangan di buka!" gumam Agahta langsung membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. "Bangun, semua orang sudah menunggu kita di bawah untuk sarapan bersama!" perintah Agler. Laki-laki itu berjalan mendekati ranjang, menunduk untuk membuka selimut yang menutupi tubuh indah Agatha yang hanya terhalang kain sangat tipis. Kain yang benar-benar menguji imannya semalam, apa lagi Agler memeluk tubuh mungil itu sampai pagi. "Bangun, Sayang! Atau saya cium." Mendengar itu, Agatha langsung bangun tanpa membuka mata terlebih dahulu, hingga bibirnya langsung menyentuh pipi Agler. "Makasih untuk sapaan paginya," gumam Agler menahan senyum. Baru pagi-pagi seperti ini, dia sudah mendapat ciuman dari sang istri walau tidak sengaja. Agler menyentuh pipinya. "Dasar polisi m***m!" gerutu Agatha. Gadis itu langsung beranjak dari tempat tidur, hanya mencuci muka, kemudian menganti baju dengan yang lebih layak. Sebenarnya dia masih mengantuk, hari libur seperti ini, selalu Agatha habiskan tidur hingga jam 10 pagi. Bangun, jika merasa lapar saja. "Tidak mandi dulu?" tanya Agler. "Ngapain mandi?" tanya balik Agatha, berjalan lebih dulu kekuar dari kamar. Semua keluarga masih ada di gedung tempat resepsi, otomatis mereka sarapan bersama. Agatha meringis, ketika keluar dari lift, tatapan keluarga besar tertuju padanya. "Akhirnya pengantin baru yang kita tunggu datang juga, pasti kelelahan ya," sambut Rinjani ibu mertua Agatha. Gedung itu hanya di huni oleh mereka-mereka saja, karena Alvi sudah mengosongkan tempat ini sejak rencana pernikahan di bicarakan. "Banget tante," sahut Agatha, langsung duduk di kursi yang baru saja Agler tarik. Dia tidak sadar, jawabannya mengundang tatapan menyelidik dari para tetua yang ada di meja makan. "Kenapa?" tanya Agatha. "Nggak papa sayang, ayo makan!" "Sayang-sayang, makan tuh sayang," gumam Agatha yang hanya di dengar oleh Agler dan Alana saja. "Agatha!" tegur Alana. "Nggak Mommy." Sarapan penuh akan candaan dari keluarga besar mines Agatha sangat menyangkan, hingga tak terasa hidangan masing-masing sudah habis. Rinjani dan Andre, orang tua Agler pamit pulang lebih dulu, menyisakan keluarga A saja. "Aga, mommy mau bicara sama kamu." Agatha yang hendak pergi, segera berbalik dan menatap mommynya aneh. Suara Alana sangat berbeda saat ini, seperti tersirat keseriusan. "Kenapa Mom?" tanyanya. "Ikut Mommy!" Agatha mengangguk patuh, mengikuti langkah Mommynya menjauhi keluarga yang lain. Dia dengan setia berdiri di samping wanita paruh bayah itu. "Napa sih Mom? Aga ngantuk mau pulang tidur sepuasnya." "Agatha, kamu itu sudah menikah Nak. Sudah punya suami, jangan bersikap seenaknya saja, apa lagi suami kamu seorang polisi, dia punya jabatan. Kalau kamu saja tidak menghargai bagaimana dengan orang lain? Dari sikap kamu tadi, Mommy tahu, kamu tidak sepenuhnya menerima pernikahan ini." Alana mencecar Agatha, karena sedikit kesal melihat tingkah putrinya saat sarapan tadi, terlebih di depan Rinjani dan Andre. "Tidak ada yang maksa kamu untuk menikah sama Agler, bahkan Mommy sama Daddy sudah beri peringatan dari awal, tapi kamu sendiri yang mau, Agatha. Harusnya kamu menerima pernikahan ini." "Agatha tau Mom, Aga masih beradapatasi. Lagian pak Agler juga fine-fine aja." Alana memutar bola mata malas, hari ini dia seperti melihat dirinya saat muda dulu. "Mommy nggak mau tahu, jangan sampai Mommy liat kamu bersikap seenaknya sama Agler! Ini pilihan kamu, dan kamu harus tanggung jawab." "Iya mom, iya. Jangan marah-marah mulu, ntar cantiknya luntur." Agatha langsung mengecup pipi Mommynya dan segera pergi. Telinganya hampir pecah karena omelan mak-mak rempong yang berstatus sebagai Mommynya. "Ayo pak, kita pulang!" ajak Agatha langsung memeluk lengan Agler yang tengah berbincang bersama Daddynya. "Untuk satu minggu kedepan, kalian tinggal di rumah, setelah itu terserah kalian, tidak apa-apa kan nak Agler?" tanya Alana. Mata Agatha memicing, dia tahu betul selicik apa Mommynya, pasti wanita itu punya rencana hingga menginginkannya tinggal di rumah utama. Padahal Agatha sudah menyusun rencana bersama teman-temannya. "Tidak apa-apa tante, lagian mungkin Agatha belum terbiasa jika tinggal berdua saja," jawab Agler. "Saya mudah beradaptasi kok, iyakan pak?" Agatha menatap Agler dengan senyum di paksakan. "Buktinya semalam nggak ada perang dunia ketiga." "Bisa aja kamu." Agler mengacak-acak rambut Agatha, memindahkan tangan kecil itu agar bisa dia genggam. "Agler! Tegur istri kamu kalau berbuat salah, lebih tegas lagi agar dia tidak membangkan," ucap Alvi. "Baik Tuan, saya akan melakukan itu jika istri saya melakukan kesalahan." "Jangan terlalu kaku, panggil Mommy sama Daddy saja seperti yang di lakukan Agatha nak," pinta Alana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD