Part 3

1027 Words
"Langsung telpon pak Agler aja Dad, kan yang mau nikah dia," ucap Agahta bersandar pada sandaran sofa, sebenarnya dia sangat lelah, banyak melakukan aktivitas di kampus, tetapi rencana istirahatnya harus tertunda karena kedatangan Alatha di kamarnya. Mana dia harus dikejutkan dengan keputusan saudara kembarnya yang ingin membatalkan pernikahan secara sepihak. Walau menutup mata, telinga Agatha masih setia mendengarkan perbincangan Daddynya bersama seseorang di seberang telpon, apa lagi pria paruh baya itu sengaja menambah volume agar di dengar Mommynya. "Selama malam Agler," sapa Alvi sedikit basa-basi. "Selama malam Tuan Alvi, ada apa anda menelpon malam-malam seperti ini? Apa tentang ketidak lengkapan resepsi besok?" tanya Agler sangat sopan di seberang telpon. "Tidak, saya hanya ingin membicarakan hal penting, yang mungkin akan mengecewakan kamu juga ayahmu." "Ada apa?" "Saya minta maaf sebelumnya, tapi apa bisa pernikahan ini dibatalkan?" "Kenapa? Apa ada yang salah?" "Tidak ada yang salah, hanya saja anak saya, Alatha berubah pikiran dan tidak ingin menikah. Mungkin ini terdengar tidak masuk akal dan terkesan mempermainkan bagi kamu, tapi saya tidak bisa memaksa Alatha untuk melanjutkan pernikahan." Tak ada sahutan dari seberang telpon, sementara Alvi sudah menunggu respon apa yang akan diberikan oleh Agler atas permintaan maafnya. "Saya tidak mau tau, pernikahan harus tetap terlaksana, walau bukan Alatha mempelainya!" "Ini kesalahan kami dan kami mohon maaf atas kekecewaan yang kami ciptakan." Untuk pertama kalinya demi kehidupan putrinya, Alvi rela memohon pada orang lain. "Meminta maaf memang mudah Tuan Alvi, tapi bagaimana dengan reputasi keluarga kami? Terlebih saya sendiri. Sangat sulit mendapat izin di saat-saat tugas saya dinas, tetapi semuanya harus batal begitu saja." Agatha yang sudah muak mendengar perdebatan Daddy dan calon suami adiknya, segera merebut paksa ponsel di tangan pria paruh baya itu. "Agatha!" tegur Alvi. "Biar Aga yang bicara Dad," sela Agatha. "Selamat malam tuan Agler yang terhormat, saya tahu keluarga kami sangat bersalah karena ingin memutuskan pernikahan begitu saja, tapi Anda sangat tidak pantas menceramahi Daddy saya seperti itu!" tegas Agatha. "Apa mau Anda?" lanjut Agatha. "Saya hanya ingin pernikahan ini tetap dilanjutkan apapun yang terjadi, demi nama baik dua keluarga. Kau tahu bukan? Bukan hanya keluarga saya yang akan malu di sini, tapi keluarga kamu juga." Agatha menghembuskan nafas kasar, ternyata sikap calon suami adiknya tidak beda jauh dari wajahnya, keras kepala dan menyebalkan. "Apa Anda tuli? Daddy saya sudah mengatakan bahwa adik saya Alatha tidak ingin menikah!" "Tidak harus Alatha." Agatha terdiam, mencoba mengartikan makna kalimat 'Tidak Harus Alatha'. Namun, sekeras apa pun dia berfikir, dia tidak bisa menemukan makna yang tersirat di dalamnya. "Bicaralah yang lugas!" perintah Agatha. "Kenapa bukan kau saja yang mengantikan adikmu, demi menjaga nama baik dua keluarga? Saya tidak keberatan jika kau yang mengantikan." Mulut Agatha terbukar lebar sakin kagetnya, begitupun semua yang ada di dalam kamar. Agatha menatap Daddy, Mommy, juga adiknya secara bergantian. Hingga terbesit ide yang lumayan menguntungkan untuknya jika menerima tawaran Tuan keras kepala seperti Agler. "Pernikahan akan tetap berlanjut sesuai rencana seperti yang anda mau Tuan Agler, dan saya yang akan menjadi mempelainya. Apa anda bersedia?" "Dengan senang hati nona." Agatha langsung menutuskan sambungan telpon begitu saja tanpa mengucapkan salam perpisahan terlebih dahulu. Dia dengan santainya menyerahkan benda pipih itu pada Daddynya. "Aga yang bakal gantiin Altha," ucap Agatha santai seperti tidak ada beban. "Nggak, Daddy nggak mau kamu nikah hanya karena ingin menyelamatkan nama baik nak!" tegas Alvi menolak. "Arga juga nggak setuju!" Agatha langsung melirik pria tampan yang baru saja masuk ke kamar orang tuanya, dia mengira abangnya sudah pergi sedari tadi. "Agha nggak terpaksa, dan Agha akan tetap menikah. Sepertinya pak Agler pria yang menyenagkan." "Agatha!" bentak Arga dan Alvi berbarengan, sementara Alana dan Alatha diam saja. "Udah lah Dad, bang. Agha yakin dengan keputusan Aga sendiri, selama ini Aga nggak pernah tuh salah ngambil keputusan." "Tapi Atha, abang ...." "Sssttttt." Agatha langsung menutup mulut Arga dengan telunjuknya. "Umur Aga udah 20 tahun, udah bisa nikah muda." Agatha mencium pipi, Daddy, Mommy juga Abangnya sebelum meninggalkan kamar. Dia berjalan menuju kamarnya dengan berbagai pikiran di otaknya. Sebenarnya dia ragu akan keputusan yang dia ambil, tapi bersikap biasa saja didepan keluarganya. Alasan pertamanya, karena ingin terbebas dari aturan Daddynya. Alasan kedua ingin menyelamatkan dua nama keluarga walau tidak ada unsur paksaan sama sekali. Setidaknya bukan Alatha yang menikah, dia tahu mental adiknya tidak sekuat itu untuk menjalani rumah tangga atas dasar keterpaksaan. Alatha tidak pernah sakit karena Agatha, tetapi Agatha selalu sakit karena Alatha. Setiap Alatha merasakan sakit, maka Agatha akan ikut merasakannya. Dengan senang hati Nona. Kalimat itu mulai tergiang-giang di kepala Agatha, dia seperti pernah mendengar suara itu entah dimana. "Kok nggak asing ya? Apa aku pernah ketemu sama dia sebelumnya?" gumam Agatha berbicara sendiri. "Mikirin apa, Kak?" "Anjir, lo ngagetin gue g****k!" pekik Agatha karena kaget, dia mengira hanya berjalan sendiri tadi, tapi ternyata Alatha mengikutinya. "Ish, enggak boleh ngomong kasar kak, ntar Daddy sama Mommy marah," tegur Alatha. "Makasih juga udah mau gantiin Alha. Senang banget." Alatha merentangkan tangannya untuk memeluk Agatha. "Kak Aga!" pekik Alatha karena Agatha langsung menutup pintu kamar sebelum dia memeluk. *** Agler membaringkan tubuhnya di ranjang setelah sambungan terputus, senyum yang sedari tadi tercetak jelas di bibirnya belum pudar sedikitpun. Akhirnya apa yang dia inginkan tercapai tanpa melakukan apapun. "Definisi jodoh tidak akan tertukar. Tulang rusuk tahu tempatnya berlabuh," gumam Agler. "Welcome gadis manis." Sebenarnya Agler tidak masalah jika pernikahan di batalkan begitu saja, tetapi dia teguh mempertahankan dan lebih memilih berdebat karena ingin tetap menikahi Agatha dan semuanya berjalan lancar. "Pagi cepatlah datang." "Sial, hal sepele seperti ini saja aku senang berlebihan." Agler mengacak-acak rambutnya, merasa aneh karena terlalu bahagia karena batal menikah dengan Alatha dan malah akan menikahi gadis pujaanya. Beberapa kali Agler mencoba memejamkan mata, tapi tetap saja tidak bisa hanya karena suara Agatha terus tergiang-giang di telinganya. Entahlah, untuk sekarang, profesinya sebagai BRIGJEN sangat tidak mencerminkan kepribadian dan kebucinan Agler saat ini. Inilah yang mungkin terjadi jika pria anti perempuan menemukan tulang rusuknya. Agler terpanah pada Agatha untuk pertemuan pertama tanpa tahu apa alasannya. Bahkan saat tahu gadis cantik dan manis itu sering kali bermasalah di kantor polisi tempatnya memimpin, tak mengurangi rasa sukanya. Mengangumi hampir tiga bulan, bukanlah hal yang mudah bagi Agler hingga memutuskan untuk melamar Agatha
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD