Part 2

2012 Words
Setelah Agler dan keluarganya pergi, Alatha langsung mendapat sorotan horor dari Daddy juga kakak kembarnya. Sementara Mommynya sudah bahagia bukan kepalang karena putrinya sebentar lagi akan menikah. "Lo serius mau nikah La?" tanya Agatha untuk kesekian kalinya. Masih tidak percaya adiknya akan menikah. Bukan, bukan dia iri atau merasa keberatan di langkahi, tetapi dia tahu betul sikap adiknya seperti apa. Alatha sering mengambil keputusan tanpa berpikir, dan akan menyesal di kemudian hari. "Aku serius kak," jawab Alatha. "Tapi Nak, kamu masih kuliah. Usia kamu masih sangat muda," ujar Alvi mengingatkan. Dia sangat menyangi keduanya putrinya. "Ya terus kenapa Daddy? Mommy sama Daddy juga nikah muda dan sampai sekarang masih sama-sama kan? Udahlah, Alha mau nikah titik!" Gadis keras kepala itu segera beranjak dari duduknya. "Biarkan saja Aa, Alatha udah besar, dia berhak memilih hidupnya sendiri," ucap Alana mengingatkan sang suami. "Aga nggak yakin dia beneran serius Mom, paling juga lagi kesal sama orang makanya gitu," gumam Agatha ikut beranjak dari duduknya. Tak lupa gadis itu mengambil toples di atas meja yang berisi cemilan. "Biarin aja Mom, Dad. Ntar nyesal sendiri." Agatha berjalan memasuki lift untuk menuju kamarnya. Seraya berjalan, dia menyuapkan cemilan ke mulutnya. Alisya Agatha Vernando, gadis yang mampu meluluhkan hati seorang polisi tanpa di sadarinya. Gadis cuek yang tak percaya akan cinta itu merasa acuh akan pernikahan adik kembarnya. Gadis itu kuliah di salah satu universitas ternama, mengambil jurusan manajemen, sekarang dia semester 5. Dia keluar kamar ketika hari mulai gelap. "Mau ke mana kamu Aga?" Suara bariton berhasil menghentikan langkah Agatha yang hendak keluar rumah. Gadis yang berpakaian serba hitam itu segera menoleh seraya memperlihatkan senyumannya. "Aga mau keluar bentar Dad, janji pulang cepat," jawab Agatha. "Mau ke mana dulu?" intro Alvi. "Kafe." Sebenarnya Agatha tidak pergi ke Kafe, melainkan akan balapan bersama teman-teman lelakinya. Namun, dia selalu menggunakan alasan pergi ke kafe agar bisa lolos dari rumah. Kafe itu sudah dia kelola sejak satu tahun yang lalu karena menolong temannya yang sedang kesulitan ekonomi. Agatha membelinya dan menyerahkan kembali pada sahabatnya untuk di kelola. Alvi mengangguk mengerti. "Pulang sebelum jam 9 malam!" "Siap Dad, babay." Agatha melambaikan tangannya sebelum keluar dari rumah. Berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan motor besarnya, tak lupa dia memakai jaket kulit sebelum melajukan motor itu membelah padatnya jalan raya. Dia disambut heboh ketika sampai di lapangan tempat teman-temanya janjian. "Akhirnya lo datang juga Ga, kirain bakal di kunciin lagi," sambut Ando, sahabat Agatha sejak SMP. Keduanya sering bersama kemanapun, bahkan sering tidur bersama. Agatha tidak menggapkan Ando sebagai laki-laki, melainkan abang. "Iya lah, gue datang. Nggak mungkin gue nyia-nyiain uang segede itu." "Kek lo miskin aja Ga." "Dengerin ya, uang hasil sendiri dan pemberian orang tua jauh beda. Bangga aja gitu kalau hasil keringat sendiri." "Yoi." Karena semua pembalap yang mendaftar sudah berkumpul di jalan tempat mereka akan melalukan balapan, Agatha segera mengakhiri pembicaraanya bersama Ando, dan ikut bergabung. Di antara banyaknya orang di lapangan, hanya Agatha sendiri perempuan. Namun, itu tak membuat nyalinya ciut. Tepat pada hitungan ketiga, seluruh motor melesat di atas kecepatan rata-rata, begitu pun dengan Agatha. Balapan berlangsung hampir satu jam. Tepuk tangan bergemuruh hebat ketika motor hitam mencapai finis. "Teman gue itu!" teriak Ando bangga langsung menghampiri Agatha yang sedang melepas helmnya. "Gimana?" "Makin hebat lo, Ga," puji Ando. Beberapa laki-laki menghampiri Agatha untuk mengucapkan selamat ala laki-laki. "Selama bro, lo keren banget sumpah." "Sans, udah biasa," sombong Agatha. Dia melirik arloji di pergelangan tangannya, jam 12 malam, sepertinya dia tidak akan selamat jika kedapatan pulang jam segini oleh Daddynya. "Ndo, gue balik dulu," pamit Agatha menepuk pundak Ando. "Hadiahnya jangan lupa lo ambil!" "Sip, hati-hati lo di jalan." *** Agatha sengaja mematikan motornya ketika sudah berada di depan pagar. Mendorongnya masuk ke halaman rumah berharap tidak ada yang menyadari kepulangannya. Dia mengigit bibir bawahnya ketika memasukan motor kegarasi, takut Daddynya tiba-tiba muncul. Agatha bernafas lega setelah motornya terparkir rapi. Perjuangannya tidak sampai di situ saja. Dia harus memanjat tembok agar bisa sampai ke kamarnya yang berada di lantai dua. Tidak mungkin dia lewat pintu utama jika masih sayang dengan motornya. Agatha mendarat dengan aman di dalam kamarnya. Langsung mengunci jendela agar tidak ketahuan. "Selamat," gumamnya mengelus d**a. *** Hari berlalu dengan begitu cepat. Sampai akhirnya, tiba satu hari sebelum hari pernikahan berlangsung. Saat ini, semua persiapan pesta pernikahan berjalan dengan lancar sesuai rencana. Bahkan semua tes sudah dilakukan dan Alatha lolos untuk menjadi calon istri dari seorang BRIGJEN. Gaun pengantin pun sudah di antar ke rumah Alatha untuk resepsi besok. Undangan sudah tersebar luas, besok adalah hari bersejarah antara Agler dan Alatha. Agler memandangi jas pengantinnya yang tersampir indah di dalam kamarnya. Dia memejamkan mata demi menetralisir kekalutan di hatinya. Tinggal hitungan jam lagi, dia akan menikah, tetapi bukan dengan wanita yang dia cintai. "Kenapa harus begini?" tanyanya entah pada siapa, yang jelas dia merasa belum siap menikah sekarang. Rasanya Agler ingin menelpon orang tua Alatha untuk membatalkan pernikahan. Namun, pikirannya masih waras, jika pernikahan batal, maka banyak nama yang akan di permalukan. Dua nama perusahaan besar, juga namanya akan jelek di kalangan rekan-rekannya. Agler Dhamendra seorang BRIGJEN (Brigadir Jenderal Polisi) gagal menikah karena salah meminang seorang istri. Agler tak dapat membayangkan bagaimana malunya dia. "Semua akan baik-baik saja," gumam Agler meyakinkan dirinya sendiri. Dia tidak berani bercerita pada sahabat atau orang tuanya tentang ini. Dia akan malu sendiri karena salah mengalisis sesmenja *** Di tempat berbeda, untuk pertama kalinya Agatha pulang lebih awal dari biasanya. Padahal jarum jam baru menunjukkan angka delapan, tapi gadis tomboy itu sudah pulang dari tongkrongannya. Sesuatu yang jarang terjadi karena Agatha biasanya pergi hingga larut malam. "Tumben pulang cepat? Basanya jam 12 malam, itu pun masuk lewat jendela." Agatha langsung menoleh ke ke sumber suara dan terkejut melihat abangnya di sana. Dia mengedarkan pendangannya kearah lain, berharap kalimat Arga tidak di dengar oleh Alvi, atau motornya akan dalam bahaya. "Abang!" pekik Agatha, berlari menghampiri abangnya. Dia adalah Arga Vernando, anak paling tua di rumah ini. Laki-laki itu sangat jarang berada di rumah setelah tunangan dengan seorang gadis cantik cukup dewasa. Di usia 25 tahun itu, dia sudah menjabat sebagai CEO di perusahaan Anggara Group milik Alvi, sementara Alvi menjabat sebagai CEO di Adhitama Group. Arga langsung merentangkan tangannya, bersiap menangkap tubuh Agatha yang mengira merindukan dirinya. Tapi, apa yang di pikirkan Arga salah besar, Agatha bukanlah Alatha yang hobi bermanja-manja pada siapapun. Agatha cukup berbeda dengan perempuan pada umunya. Jangan harap gadis seperti Agatha akan luluh hanya dengan kata gombalan. Gadis cantik tanpa polesan make up itu, pernah membuat kakak kelasnya masuk rumah sakit karena berani menyatakan cintanya di tengah lapangan. "Ayo peluk!" pinta Arga masih dengan posisi yang sama. "Dih, ngarep." Agatha langsung melengos begitu saja meninggalkan Arga seorang diri. "Atha!" "Nama gue Agha bang, bukan Atha!" sahut Agatha sebelum menghilang di balik pintu lift. "Kamu nggak kangen sama Abang? Abang habis ini pulang loh ke apartemen!" "Pulang aja Bang, Agha nggak peduli!" Tepat setelah menyahut, pintu lift tertutup. Benda besi persegi panjang itu membawa Agatha ke lantai dua dimana kamarnya berada. Jika kalian tau sejarah kenapa ada lift di rumahnya, kalian pasti tidak bisa membayangkan, bagaimana posesifnya tuan rumah pada istrinya. Agatha menghembuskan nafas panjang setelah berada di pintu kamarnya, baru saja membuka pintu kamar, dia di kejutkan dengan keberadaan Alatha di kamarnya. "Alha, lo gila? Ngapain berantakin kamar gue? Keluar cepat!" usir Agatha. Inilah salah satu alasannya kenapa dia tidak ingin pulang lebih cepat kerumah. Abang dan Adiknya selalu membuat darahnya mendidih tiba-tiba. "Santai aja dong, kak," cemberut Alatha. Agatha tak mendengarkan, dia langsung menarik salah satu tangan Alatha hingga gadis itu terjatuh dari ranjang "Kak Aga!" pekik Alatha kesakitan. "Gini banget punya kakak pemegang sabuk hitam, kasar banget jadi cewek. Alha kesini kan cuma mau curhat," gerutu gadis mengemaskan itu, berdiri dan kembali tiduran di ranjang Agatha. Entahlah, mereka mempunyai kamar masing-masing, tetapi Alatha lebih suka di kamar kakaknya. "Mau curhat apa?" tanya Agatha. Walau dia sering kesal pada Alatha, bukan berarti dia tidak peduli. Agatha akan selalu menjadi pendengar yang baik untuk adiknya yang satu ini. Tanpa malu, Agatha membuka bajunya di depan Alatha, hingga memperlihatkan pakaian dalam saja, mengambil piyama dan memakainya, setelah itu ikut tengkurap di samping Alatha. "Nggak uaah pamer body," cibir Alatha. "Mau curhat apa? Tugas lo belum selesai, tapi besok di kumpul?" "Bukan." "Terus?" "Aku nggak mau nikah." Mata Agatha langsung membulat. Apa yang dia katakan, adiknya selalu saja mengambil keputusan tanpa berpikir lebih dulu. "Kok Diam?" protes Alatha. "Lah, terus gue mau bilang apa?" "Kak Aga kan cantik, kita kembar, gimana kalau kak Aga aja yang nikah," ucap Alatha tanpa berpikir dan sedikit egois. "Aku nggak mau nikah sama cowok yang nggak aku suka Kak, apa lagi ini cowoknya tua, beda 10 tahun." "Terus kalau gue nggak papa gitu? Enak banget lo! Sana tanggung jawab sendiri, ngomong sama Daddy, kalau lo nggak mau nikah. Gue kan udah peringetin dari awal, tapi lo malah iya-iya aja," omel Agatha. "Di ajak fitting gaun pengantin, beli cincin, tes apa saja sebagai calon istri polisi mau-mau aja. Kenapa baru sekarang nolaknya? La, besok udah hari H, kesannya lo sengaja permaluin dua keluarga." Mata Alatha berkaca-kaca, sedih karena Agatha mengomelinya, dia curhat pada kakanya berharap mendapat pembelaan. "Pacar Alha tadi ngajak balikan, jadi Alha udah nggak mau nikah sama pak Agler, dia tua nggak setampan pacar Alha," lirih Alatha mulai sesegukan. "Makanya jangan suka ngambil keputusan tanpa berpikir. Dahlah, gue mau tidur." Agatha menggulingkan tubuhnya menjadi telentang, menutup mata dengan lengan berada di atas kepala. Seiring berjalannya waktu, tangisan Alatha semakin menjadi di sampingnya, dia menoleh sekilas untuk mengintip, apa adiknya benar-benar memangis atau sedang melakulan drama. "Maafin Alha kak, Alha salah. Tapi Alha beneran nggak mau nikah, Alha takut sama pak Agler." Cukup, Agatha paling tidak bisa melihat atau mendengar adiknya menangis. Pernah sekali saat SMA, ada orang yang membuat Alatha menangis, besoknya Agatha datang menyamar sebagai Alatha hanya untuk memberi pelajaran. Peraturan dalam hidupnya. Hanya dia yang boleh membut adiknya menangis tidak untuk orang lain. Jika ada yang berani, maka siap-siaplah berhadapan dengannya. Gadis itu bangun dari tidurnya, menarik tangan Alatha sedikit lembut. "Ayo! Gue temenin lo ketemu Mommy sama Daddy, ngomong yang jujur sama mereka, orang tua kita pasti ngerti." "Aku takut sama Daddy Kak." "Gue bantu jelasin, sekarang hapus air mata lo kita ke kemar Mommy." Alatha masih tampak mengekor di belakang Agatha hingga keduanya sampai di depan kamar orang tuanya. Agatha pun langsung mengetuk pintu dengan perlahan. "Mommy udah tidur? Aga mau ngomong sesuatu, penting banget, ini tugas negara Mommy!" ucap Agatha yang sebenarnya tak enak membangunkan kedua orang tuanya. Tak berapa lama tanpa jawaban, akhirnya pintu terbuka, menampilkan rambut acak-acakan Alana. "Kenapa Nak?" "Anak kesayangan Mommy nangis-nangis di kamar Aga, katanya nggak mau nikah." Alana mengernyit bingung, dia menatap Alatha yang sedang menunduk, walau dia tahu betul bagaimana sikap putrinya, tapi tak ada di pikirannya sedikipun kalau Alatha akan berubah pikiran malam sebelum hari H. Pernikahan bukanlah sebuah permainan, apa lagi mereka sudah mengundang banyak tamu. "Masuk Sayang, kita bicara sama Daddy," ucap Alana lembut, tak ingin membuat putrinya semakin takut. "Daddy ada yang nyariin ini." "Prinses kembarnya Daddy tumben akur? Kenapa sayang?" "Alatha nggak mau nikah besok," lirih Alatha semakin erat mengenggam tangan kakaknya. "Apa tadi, Daddy nggak salah dengar?" tanya Alvi memastikan. "Alha nggak mau nikah Daddy. Maaf," sesal Alatha. Alvi terdiam, menatap Alatha sangat lama. "Kamu serius, Nak?" tanya Alvi "Iya Daddy," sahut Alatha di sertai anggukan kepala. Alvi mendesah pasrah. "Kalau itu kemauan putri Daddy, kita batalin pernikahan. Pernikahan hanya sekali seumur hidup, dan Daddy nggak mau anak-anak Daddy salah dalam melangkah." "Tapi bagaimana dengan keluarga Pak Andre? Mereka pasti akan kecewa. Kita sendiri yang menerima lamarannya dan tiba-tiba membatalkan begitu saja? Oke, Aku enggak masalah kalau nama keluarga besar Adhitama dan Anggara akan menjadi sorotan nanti karena ini, tapi bagaimana dengan mereka Aa? Apa lagi Agler, dia polisi." Alvi memijit pelipisnya, tak tahu harus melakukan apa lagi. Dia tahu membatalkan pernikahan sangatlah beresiko, tapi memaksa putrinya menikah juga dia tidak tega. "Aa bakal bicara sama pak Andre dia akan mengerti, kalau perlu Aa akan bermohon sama dia, tentang reputasi, Aa yang akan membungkam semua media."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD