"Hari ini tidak ada jadwal pemotretan, shooting atau yang lainnya. Jadi kau bisa menggunakan waktumu untuk istirahat." Balasan dari Lina masuk di ponsel Camelia tak lama setelah perempuan itu mengirimkan pesan.
Dia kemudian memeriksa kalau-kalau ada pesan lainnya yang masuk, terutama dari nomor Bima yang semalam dihubungi namun tidak tersambung. Pesannya bahkan masih dengan tanda centang satu dan ini tidak biasanya.
Bima memang memiliki satu nomor khusus yang mungkin terpisah dari ponsel pribadinya, khusus untuk berkomunikasi dengan Camelia. Sebuah taktik yang rapi untuk menyembunyikan hubungan rahasia mereka yang jika terkuak ke publik makan akan mengakibatkan kehancuran yang signifikan bagi keduanya.
Camelia menjatuhkan ponselnya di belakang kepala, kemudian dia mengusap wajahnya yang pagi ini sakit dan terasa membengkak. Tampaknya, tamparan Dean di pesta semalam berakibat cukup fatal pada wajah bagian kirinya.
"Astaga!" Lalu dia bangkit dan turun dari tempat tidur.
Camelia meraih kembali ponselnya, kemudian menyalakan aplikasi kamera dan mengambil gambar wajahnya. Dan benar saja, pipi kirinya sedikit membengkak dan memerah.
"Aih ...." Perempuan itu meringis.
Tak lama kemudian dia bergegas ke dapur untuk mengambil es di lemari pendingin. Yang digunakannya untuk mengompres pipinya, setelah meminum obat penahan rasa sakit sebelumnya.
Lalu perhatiannya kembali beralih ketika ponselnya berdering, dan nomor Mutiara, adiknya lah yang memanggil.
"Ya Ra?" Camelia terpaksa menjawabnha meski dia sudah menduga dengan kemungkinan apa yang akan anak itu katakan.
"Kakak kok belum kirim uang lagi? Aku kan mau daftar kuliah, Kak." Benar saja memang itu yang adiknya katakan.
"Kamu ini, tidak tanya kabar tidak basa-basi. Main tanya soal kiriman uang saja?" Camelia memijit pelipisnya yang terasa nyeri.
"Ah, lama! Aku butuh uang untuk daftar ke kampus, Kak. Kemarin udah ngisi formulir sama segala macamnya. Dan hari ini harus bayar." ucap Mutiara tanpa basa-basi sama sekali.
"Minggu kemarin sudah Kakak kirim, Dek. Ibu tidak bilang?"
"15 juta mana cukup, Kak? Itu diambil bayar daftar ulangnya Kak Alif sama biaya kebutuhan rumah juga habis. Aku nggak kebagian."
"Astaga, Ra. 15 juta itu cukup banyak kalau penggunaannya benar. Lagian daftar ulangnya Alif berapa sih? Itu juga kebutuhan rumah bisa tidak beli hanya yang penting saja dulu?"
"Uang daftarnya Kak Alif tiga juga lima ratus, Kak. Belum buat bensin sama uang saku. Ada kali enam jutaan dikasih sama ibu. Kebutuhan rumah semuanya penting, Kak. Belum lagi listrik, air sama internet. Masa Kakak nggak ngerti sih?"
"Ya usahakan untuk berhemat, Ra. Kerjaan Kakak sudah tidak seperti dulu."
"Hemat gimana Kakak ini? Orang hidup kita aja di sini udah standar banget. Cuma rumah aja yang kelihatan gede, terus ini tiga mobil nggak perlu perawatan apa? Sayang kalau dibiatin gitu aja."
Camelia memejamkan mata sejenak.
"Pakai mobilnya satu saja bisa tidak? Alif yang antar kalau ibu atau kamu mau pergi, jadi uang bensin bisa dihemat. Terus listrik dan internet juga kalau bisa ...."
"Apaan? Nggak mungkin. Ogah banget kalau nebeng sama Kak Alif. Apa kata temen-temen aku?"
"Tidak usah mendengarkan orang lain, Ra. Masalahnya keadaan kita sedang tidak baik-baik saja. Kakak berat untuk menanggung hal sebanyak itu. Job sedang sepi sekarang ini."
"Alah, Kakaknya aja yang kurang usaha. Biasanya nggak begitu. Dulu mau apa-apa aku nggak harus sampai gini lho."
"Dulu keadaannya beda, Ra. Nah sekarang?"
"Ya usaha dong biar kayak dulu. Masa sih kita mau susah? Aku nggak mau!"
"Kita tidak susah, Ra. Hanya harus menurunkan standar hidup agar tidak terlalu menjadi beban."
"Kakak mai sebut aku, Kak Alif sama Ibu beban?" Mutiara terdengar gusar.
"Tidak, Ra. Bukan begitu. Maksud Kakak ...."
"Aku nggak mau denger alesan, pokoknya aku minta untuk daftar kuliah hari ini, dan nggak mau dicicil. Nanti aku kirim rinciannya kalau udah sampai kampus kalau Kakak nggak percaya."
"Kakak percaya kamu, Ra. Tapi masalahnya ...."
"Udah, aku mau berangkat. Begitu sampai kampus aku kirim rincian biayanya." Lalu sambungan pun terputus.
Camelia mengusap wajahnya dengan kasar. Rasa sakit yang timbul akibat pukulan Dean tidak berpengaruh, dan yang ada hanyalah sesak di d**a.
Dia kemudian merebahkan kepalanya pada sandaran sofa sambil merasakan sesak dan ngilu di hati. Seperti sebuah batu besar ditekan ke dadanya, yang membuatnya hampir sulit bernapas.
"Bu, bagaimana kalau jual satu mobil untuk biaya kuliahnya Tiara? Nanti kalau aku ada uang kita beli lagi." Dia kemudian mengirimkan pesan kepada Diana, ibunya. Yang segera menghubungi tak lama setelahnya.
Camelia menghela napas dalam-dalam, dan dia bersiap untuk menghadapi ujaran sang ibu yang dipastikan tidak akak setuju dengan idenya tersebut.
"Bu ...." Baru dia akan menyapanya, namun sang ibu sudah terlebih dulu bicara.
"Kamu pikir bisa semudah itu menjual mobil? Apalagi dengan harga yang pantas. Bila-bila nanti harganya malah anjlok. Lagipula memangnya kamu tega membiarkan adikmu menggunakan angkutan umum ke kampus sementara teman-temannya naik kendaraan?"
"Kan bisa Alif antar, atau Ibu biarkan Tiara menggunakan mobil ibu, jadi ...."
"Tidak mungkin! Alif sibuk, dan jangan sampai kuliahnya terganggu karena harus mengantar jemput Tiara, sementara Ibu juga tidak mungkin memberikan mobil Ibu untuk Tiara. Ibu juga butuh, Mel."
"Atau gantian saja, Bu. Kan bisa."
"Tidak, nanti Ibu kesusahan kalau ada acara dengan teman-teman."
Camelia mengagumkan mulutnya rapat-rapat.
"Usahakan lah, Mel. Untuk adikmu. Masa begini saja kamu tidak bisa?"
"Keadaannya yang memang sedang sulit, Bu. Aku mohon mengertilah."
"Itu tanggungjawabmu untuk mengurus adik-adikmu menggantikan Ibu, Mel. Selain kamu, lalu Ibu harus bergantung kepada siapa lagi? Ayahmu? Dia tidak akan pernah menoleh kepada kita. Apa kamu lupa?"
Kedua mata Camelia tiba-tiba saja manas dan buliran bening meluncur begitu saja saat mengingat pria yang diketahui sebagai ayahnya. Yang pergi meninggalkan mereka demi perempuan lain yang lebih muda dari ibunya.
"Ayolah, jangan patahkan harapan adikmu dengan menghambat nya untuk kuliah. Cukup kamu saja yang hanya sampai lulus SMA." ucap ibunya lagi yang seperti merobek batin Camelia sehingga mengalami luka yang cukup dalam. Sama seperti luka-luka yang sebelumnya.
"Aku tidak kuliah karena harus bekerja, Bu. Dan itu untuk kalian." Camelia mulai terisak.
"Itulah, makanya. Jangan sampai adik-adikmu mengalami apa yang kamu alami. Usahakan mereka agar bisa mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Agar hidup dan masa depan mereka lebih baik. Jadi tidak akan tergantung lagi padamu."
Camelia terdiam.
"Hanya ... sampai Mutiara, ya Bu?" katanya yang hampir menangis.
"Ya, sampai Mutiara lulus kuliah. Lalu setelahnya kamu bebas dari segala tanggung jawab, Mel."
"Benar ya, Bu? Aku sudah lelah." Mati-matian Camelia menahan tangis.
"Ya, Mel. Ibu janji setelah ini tidak akan menuntut apa pun lagi kepadamu."
Lalu percakapan pun berakhir, disusul pesan dari Mutiara yang mengirimkan rincian biaya pendaftaran kuliah dan segala macamnya. Yang jumlahnya cukup besar sehingga mungkin hanya akan menyisakan sedikit saja dari isi rekeningnya.
Camelia kembali memejamkan mata untuk menimang dan memikirkan apa yang dilakukannya adalah yang benar?
Padahal ketentuannya tidak seperti yang adiknya . p********n bisa dicicil setidaknya sampai tiga kali asalkan uang pendaftaran saja yang didahulukan.
Namun ucapan sang ibu terus terngiang-ngiang, dan bayangan sosok ayahnya yang meninggalkan mereka terus terbayang sehingga kembali menimbulkan amarah yang tidak tertahankan. Membuat Camelia tidak lagi bisa berpikir tenang.
Dia lantas mengirimkan sejumlah uang yang diminta sang adik untuk dibayarkan ke kampus. " Sudah, Ra. Kamu kuliah yang rajin ya? Tidak usah jadi mahasiswa terbaik, tapi buatlah agar usaha Kakak tidak sia-sia." Pesannya, kepada Mutiara yang hanya dibaca saja oleh gadis itu.
Lalu setelahnya dia menjatuhkan kepalanya di sandaran sofa, kemudian menangis sejadi-jadinya untuk melampiaskan segala perasaan yang berkecamuk di dalam d**a.
***
The Sky menjadi persinggahan Junno pada hampir malam itu. Dan dia langsung menemukan Adam yang berada di ujung ruangan, sudah bersama Rama dan Garin.
"Kalian sudah lama?" Dia lantas bertanya.
"Lumayan, sampai Garin sudah menghabiskan dua botol soda." Rama menjawab.
Ketiga pria itu tertawa.
"Jadi, kita punya proyek apa sehingga harus bertemu di sini? Tidak mungkin ada misi rahasia kan?" Junno duduk di kursinya lalu memulai percakapan.
"Tidak, hanya pertemuan biasa." Adam menjawab.
"Pertemuan biasa apanya? Aku curiga jika kau sudah mengajak berkumpul seperti ini." Junno meneguk minuman kaleng yang sudah tersedia di meja.
Adam, Rama dan juga Garin tampak saling pandang.
"Ayolah, jangan banyak basa-basi denganku. Waktuku tidak banyak sekarang ini." Katanya lagu yang menyalakan rokoknya.
"Memangnya kau ada urusan apa setelah ini?" Rama bertanya.
"Banyak sekali, salah satunya ya ... tidur." Junno dengan tanpa beban.
"Sialan!" Garin menendak kakinya di bawah meja, kemudian mereka sama-sama tertawa.
"Begini, Jun. Aku membutuhkan kalian." Adam meneruskan percakapan.
"Membutuhkan kami?" Junno menatap rekannya satu per satu.
"Ya."
"Membutuhkan kami untuk apa? Menggantikanmu menjalankan misi? Memangnya sesulit itunya karena aku tidak ada? Hahaha ...." Dia tertawa.
"Sombong sekali kau ini? Tidak tahu ya, akhir pekan kemarin aku menembak bos judi online Thailand yang melarikan diri? Itu lebih hebat dari pada kau menembak mafia di Merak." Garin bereaksi, membuat Junno memutar bola matanya.
"Serius, kawan! Aku sedang membutuhkan kalian. Rupanya perusahaan jasa keamanan ku kekurangan mentor. Sedangkan yang mendaftar malah lebih banyak dari perkiraan." Adam melerai perdebatan.
"Apa?" Tiga rekannya bereaksi bersamaan.
"Aku butuh pelatih, dan aku pikir aku butuh kalian yang melatih mereka," lanjut Adam.
"Kau bercanda!"
"Tidak. Tadinya aku kira bisa menanganinya sendiri, tapi ternyata ...."
Namun percakapan mereka terjadi ketika ada keributan di bagian belakang The Sky yang merupakan club eksklusif yang cukup terkenal di Jakarta.
"Ada apa itu?" Ke empat pria tersebut mengalihkan perhatian.
Tampak seorang perempuan dengan pakaian seksi tengah marah-marah di depan beberapa pria yang mereka kenali sebagai penjaga khusus area tersebut.
"Perempuan itu mabuk?" Junno memicingkan mata.
"Entahlah, sepertinya. Tapi masa baru jam sembilan sudah ada yang mabuk?" sahut Garin yang membuat ketiga rekannya tertawa.
"Tingkat stress orang itu beda-beda." Ujar Rama.
"Hey, sepertinya aku kenal wajahnya?" Adam berujar.
"Siapa? Kenalanmu?" Mereka menatap Adam penuh selidik.
"Aku tidak menyangka kau ada kenalan yang seperti ...."
"Camelia Abigail!" ucap Adam yang lebih menyipitkan mata pada kerumunan di mana perempuan seksi itu berteriak-teriak.
"Siapa?"
"Itu Camelia Abigail," ulang Adam.
"Idola istrimu itu?"
"Ya."
"Kau bercanda!"
"Tidak, itu benar dia!" Adam bersikukuh dengan penglihatannya.
"Tunggu, siapa yang sedang kalian bicarakan ini? Mengapa malah jadi ribut?" Kemudian Rama menyela setelah menyimak perdebatan dua rekannya.
"Camelia Abigail!" Adam dan Junno bersamaan, membuat Rama dan Garin tertegun.
"Camelia siapa?"