Bab 6. Situasi Yang Berbeda

1280 Words
"Lepas!" PLAAKKK!! Camelia mendaratkan tamparan keras di pipi Dean yang mulai bersikap kurang ajar kepadanya. Pria itu hampir saja menyentuh b****g dibalik rok mininya dan mendaratkan bibir di lehernya. "Oh, ayolah! Hanya sedikit!" ucap pria itu sambil mengusap pipinya yang terasa panas. "Jangan kurang ajar! Aku tidak seperti yang kau pikirkan!" Camelia mengarahkan ujung telunjuknya pada pria itu. "Benarkah?" Dean sedikit menyeringai. Dada Camelia tampak naik turun dengan cepat karena menahan amarah yang memuncak. "Ada apa ini?" Lina segera muncul tak lama kemudian. "Artismu ini sombong sekali, padahal aku hanya ...." "Dia kurang ajar! Dia menyentuhku tanpa izin dan memperlakukan aku dengan tidak sopan!" Camelia mendahului apa yang akan Dean ucapkan. "Itu hanya sentuhan biasa, tidak perlu berlebihan!" tukas Dean sambil tertawa. "Sentuhan biasa katamu?" Wajah Camelia berubah merah padam. "Ya, sama seperti yang lainnya," ujar pria itu, setengah mengejek. "Maksudmu?" "Hey, bukankah ini sudah biasa untukmu? Atau karena aku bukan pejabat seperti orang partai itu yang ...." Lagi-lagi telapak tangan Camelia mendarat di pipi pria itu untuk yang kedua kalinya yang menghentikan kalimat yang akan dia ucapkan. "Kau mau ku hajar ya?" Dean kemudian bereaksi, dan dia pun melayangkan tamparan pada wajah Camelia sehingga perempuan itu terhuyung ke samping dan hampir terjatuh jika tak ada Lina yang segera menngkapnya. "Hey, hentikan!" Perempuan berkacamata itu berteriak. "Kau yang hentikan dia, bodoh! Susah-susah aku mengundangnya kemari tapi dia seperti ini kepadaku? Kau tidak mendidiknya ya?" Dean berteriak. Kemudian dia pun menyeret Lina. "Pergi kalian dari sini! Dan jangan lagi datang ke pesta ku. Kalian sudah aku blacklist! Dasar pel**ur!" katanya yang mengisyaratkan kepada para penjaga untuk menyingkirkan mereka. *** "Apa semua orang benar-benar sudah tahu, Lin?" Camelia menyeka sudut matanya yang basah, lalu melirik kepada managernya. "Soal apa?" "Rumor itu." Dia menatap lampu-lampu kota yang mereka lewati pada hampir tengah malam itu. "Mereka hanya menduga-duga." "Tapi hinaannya terasa sampai sini." Camelia menekan dadanya sendiri. "Jangan terlalu dianggap, pura-pura saja tidak mendengar. Kau tahu, modal utama seorang selebriti itu adalah masa bodoh dengan berita apa pun. Maaf, mungkin seharusnya kita tidak pergi ke tempat seperti itu lagi. Tadinya aku kira itu bagus untuk membangun koneksi lagi dengan yang lain karena sepertinya kau memang sudah kekurangan pamor." Camelia memejamkan matanya dengan erat. Dia tak percaya bisa mengalami hal seperti ini, padahal dulu hanya pernah mendengarnya ada kejadian serupa di kalangan artis. Tetapi saat ini dirinya mengalami, dan rasanya begitu sulit. Dulu sekali dia adalah salah satu artis sinetron dengan bayaran tertinggi di Indonesia. Harga kontraknya untuk sebuah iklan saja berada di atas artis-astis seuisianya, dan taruf endors permukaan satu jenis produknya mencapai ratusan juta untuk setiap periode. Dan tak ada benda yang tak laku jika dia sudah menggunakannya. Seorang artis yang karirnya hampir meredup pun kembali bersinar setelah berkolaborasi dengannya. Tapi kini semuanya sirna. Cerita indah tentang seorang bintang seolah hanya dongeng belaka yang didengar dari mulut ke mulut dan menjadi bualan belaka. Segala hal merosot hampir ke dasar bahkan rekasinya dengan rekan sesama artis. Yang sebagian dari mereka tiba-tiba saja seperti tak mengenalnya. Sungguh mudah segala hal berbalik. Puncak popularitas yang dikecapnya dengan nikmat kini bagai mimpi di siang bolong yang tampak sulit untuk kembali diraih. Siklus kehidupan dan seleksi alam benar-benar terjadi kepadanya. Camelia bangkit begitu mobil berhenti di depan apartemennya. Dan tanpa banyak bicara Lina keluar kemudian membukakan pintu mobil untuknya. Lalu dengan langkah gontai dia masuk menuju lift yang segera melesat ke unitnya di lantai 8. *** Hari masih terlalu pagi ketika Junno keluar dari unitnya. Namun pria itu tak bisa hanya tinggal diam, seperti halnya ketika berada di dalam penjara atau di kamp pelatihan. Bangun sangat pagi kemudian beraktifitas untuk melatih tubuhnha agar tetap bugar meski dirinya sudah tak lagi bertugas di militer. Apalagi kini status pengangguran yang tersemat padanya pasca keluar dari penjara sekitar dua minggu yang lalu membuatnya tak memiliki banyak kegiatan. Bekerja dia belum berminat tetapi merasa jenuh juga. Apalagi jika hanya tinggal di rumah susun yang tidak terlalu besar dengan penghuni yang bermacam-macam. Tetapi rutinitas paginya sejenak mengalihkan perhatian karena dia bisa mengingat apa saja yang dilakukannya selama menjadi anggota sebuah pasukan elit. Dan lapangan di belakang bangunan tempatnya tinggal menjadi area yang cukup untuknya menghabiskan waktu pagi, dengan berlari mengelilingi tempat itu seperti biasanya. "Mas Junnoooo?" Teriakan seorang perempuan sedikit menginterupsi kegiatannya, namun tak Junno hiraukan. "Mas Junno, selamat pagi!" panggilnya lagi ketika pria itu melintas di bawah jendelanya. "Mas Juuuuunnn!" Semakin lama suaranya terdengar semakin genit, dan Junno semakin mengacuhkannya. "Maaasss?" "Diam!" Junno sedikit menggeram, namun membuat perempuan yang tinggal di lantai kedua bangunan tersebut menutup mulutnya. Junno lantas melanjutkan kegiatannya hingga akhirnya sesuatu hal terjadi. Ketika seseorang menjatuhkan seember air dari lantai tiga dan mengenai dirinya. Junno tertegun kemudian mendongak ke atas, dan dia melihat seorang ibu-ibu yang terdiam sambil menutup mulutnya dengan tangan. Junno memicingkan mata seperti seorang sniper yang tengah membidik sasaran. Dia menghitung ada berapa jendela di tempat itu, kemudian memperhitungkan jumlah unit yang ada. Kemudian mengira-ngira di unit yang mana perempuan itu berada. Lalu setelah mendapatkan hasilnya dia bergegas masuk ke dalam bangunan dengan perasaan gusar. "Keluar!" Pria itu menggedor pintu salah satu unit di lantai tidmga yang dia perkirakan adalah tempat tinggal si pelaku pelemparan air. "Aku hitung sampai tiga, jika tidak keluar juga pintu ini akan ku dobrak." Belum ada yang merespon. "Hey, aku serius!" teriaknya lagi yang menggedor pintu lebih keras. "Satu." Junno berhenti menggedor. "Dua." Dia mundur dua langkah, bersamaan dengan keluarnya beberapa penghuni di dekat unit tersebut. "Tiga!" katanya yang memasang kuda-kuda dan bersiap menendang ketika terdengar suara kunci dibuka dari dalam. Lalu seseorang menarik pintu perlahan dan kepala kecilnya menyembul dari celah yang terbuka sedikit. "Maaf, Om." Seorang anak perempuan muncul dengan takut-takut. Mencoba menyunggungkan senyum meski dirinya merasa ngeri setelah mendengar teriakn dari luar tempat tinggalnya. "Siapa yang melakukannya?" tanya Junno yang menurunkan kakinya. "Umm ... maaf, Om. Itu nggak sengaja." Anak perempuan itu menjawab lagi. "Siapa yang melakukannya?" Namun Junno mengulang pertanyaan, yang membuat gadis kecil itu terhenyak. Kemudian pintu terbuka perlahan dan sosok perempuan dewasa muncul di belakangnya. "Maaf, Pak. Saya tidak sengaja." katanya dengan suara bergetar. Junno menyipitkan mata seraya memperhatikan ke dalam ruangan. "Saya kira di bawah tidak ada orang, Pak." ucap perempuan itu lagi. Beberapa orang tampak mendekat dan mereka mengantisipasi keadaan yang mungkin akan memburuk. Namun tak ada pergerakan sama sekali dari Junno selain menatap perempuan itu dan anaknya secara bergantian. Q Junno maju dua langkah hingga dja hampir mencapai pintu itu sambil menatap perempuan tersebut dengan manik kelamnya yang tampak menusuk. "Ampun, Pak! Maafkan saya, itu tidak sengaja!" Perempuan itu hampir histeris. "Lain kali jangan membuang apa pun ke bawah sembarangan. Atau itu akan mengenai ku lagi. Jika itu terjadi, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi," ucap Junno dengan suara menggeram. Dan dia kembali membuka mulutnya untuk berbicara ketika ponselnya berbunyi, dan Adam yang menelpon. "Ya?" Junno segera menjawabnya. "Bertemu di Sky nanti malam?" "Ada hal penting? Tawaranmu masih aku pertimbangkan, tapi tidak sekarang." Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari target di depan. "Hanya reuni saja." "Curiga kau akan melakukan yang aneh-aneh. Hati-hati, kau sudah punya istri." "Tidak, hanya merencanakan sesuatu. Rama juga ikut." Junno terdiam. "Bagaimana?" tanya Adam dari seberang. "Lihat saja nanti, aku ada urusan." "Urusan apa? Kau kan pengangguran?" terdengar Adam tertawa. "Melenyapkan pengacau." Dia kembali mrnajamkan pandangan kepada perempuan yang mengkeret di depannya. "Pengacau apa?" "Hanya serangga pengganggu." katanya yang mundur dua langkah kemudian memutar tubuh. Dia melenggang meninggalkan tempat itu sambil melepaskan kaos oblongnya yang basah karena terkena air bekas cucian yang perempuan itu jatuhkan hingga mengenai hampir seluruh tubuhnya. Dan hal tersebut membuat semua orang yang berada di sana terhenyak ketika melihat bagian atas tubuh pria itu yang basah dan dipenuhi bekas luka yang kentara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD