Bab 15

1995 Words
Ya, terserah saja apa maunya mereka. Aku tidak peduli. Biarkan saja sampah ini menjalani jalan hidupnya sendiri. Biarkan saja si pecundang yang mereka maksud ini tumbuh menjadi lelaki kuat yang tak pernah mereka ketahui tentang seberapa besar kekuatannya. Biarkan pula si penakut ini tetap memakai topeng penakutnya agar dari pandangan mata orang lain tentang keberaniannya tidak terlihat. Biar, biar saja semua yang mereka lihat adalah kepalsuan belaka. Untuk bisa mengetahui tentang siapa aku yang sebenarnya, butuh kedekatan lebih, baru bisa mengetahuinya. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah seorang lelaki miskin yang kebetulan sedang membenci para kaum kaya. Karena itu kuputuskan untuk menyimpan dulu seluruh kebencian yang ada dan bisa kukesalkan bagai bom nuklir pada suatu saat nanti ke orang yang tepat. Pemikiran anak remaja. Ya, itulah pemikiranku waktu remaja dulu. Tak pernah terlepas dari kebencian, dan juga balas dendam. Padahal sudah banyak orang yang memperingatkan aku supaya berhenti melakukannya. Bahkan bapakku, adikku dan juga Kak Soni. Tapi, mereka bertiga pun tak mampu menghentikan kebencian yang sudah terlanjur ada pada diriku. "Wah, gambarnya bagus, Kak." Adikku memuji lukisanku yang hampir saja jadi. Lukisan wajah Pak Gunawan, dengan waktu pengerjaannya yang terbilang sangat sedikit. Akan tetapi pada hari itu akhirnya aku benar-benar bisa menyelesaikannya. Itu adalah karena tekad dan niat yang kuat. Aku pun sebenarnya tidak menyangka bahwa dalam waktu yang sangat terbatas itu aku bisa menyelesaikan semuanya dengan sangat baik. Bahkan hasil dari kerja kerasku pun dipuji oleh adikku sendiri. "Hahaha.... Ya iyalah. Kakak gitu, lho," ucapku sombong. "Hilih. Sombong," kata adikku. Aku hanya tertawa kecil. "Coba aja yang digambar itu wajahku, pasti tambah bagus. Kan aku cantik," kata adikku lagi. Aku pun tertawa lagi. "Kakak kenapa sih, ketawa mulu?" tanyanya. "Ha? Enggak. Lucu aja kamu bilang gitu," jawabku. "Apanya yang lucu?" tanya si gadis kecil itu. "Kalau kakak ngelukis wajah kamu, yang ada kakak jadi ketiduran karena bosen lihat wajah kamu," kataku. "Huuhhh. Kakak nyebelin," ucapnya. Sumpah, dia lucu sekali. Aku terdiam sejenak, tapi masih dalam keadaan tertawa kecil. Memang benar sih, apa yang dia katakan. Aku memanglah manusia menyebalkan untuknya. Kurasa, Shela juga merasakan hal sama seperti apa yang adikku rasakan dari aku. Shela juga merasa bahwa aku sangatlah menyebalkan. Sebelumnya, maaf jika aku belum menceritakan kembali kisahku dengan Shela. Karena jujur, aku sendiri pun bingung tentang bagian mana yang ingin aku ceritakan. Tapi nanti aku pasti akan menceritakannya kembali. Tentang si gadis iblis berwajah bidadari itu. Tentang segala kisah tentangnya yang tak pernah bisa aku lupakan. Dirinya, pesonanya, keras kepalanya, keanehannya, dan yang lainnya. "Oh ya, kakak boleh minta tolong, gak?" tanyaku ke adikku. "Enggak," jawabnya tegas sambil melipatkan tangannya di depan d**a seraya membuang muka dariku. Itulah dirinya ketika sedang merajuk. "Dik, jangan marah dong. Kakak kan cuma bercanda," ucapku tenang. "Bodoamat. Gak peduli," katanya masih berada di posisi yang sama. "Ah, ya udah deh. Kalau marah terus nanti gak kakak beliin arum manis lagi," ancamku. Dia langsung menoleh ke arahku. Aku tentunya tahu bahwa adikku sangat menyukai makanan permen kapas itu. Karena itu pula dia pasti takut dengan ancaman yang kuberikan kepadanya. Baginya, hidup tanpa makan permen kapas atau yang biasa disebut dengan arum manis itu, seolah-olah hidupnya kurang lengkap. Ya, makanan manis itu terasa seperti bagian pelengkap hidupnya. "Ya udah. Mau minta tolong apa?" tanyanya. Aku tak langsung menjawab, melainkan tertawa kecil terlebih dahulu. Semudah itukah membujuk adikku yang sedang merajuk? "Apa kok? Malah ketawa. Dasar gak jelas," kata adikku. "Hah, iya. Kakak minta tolong ke kamu. Tolong nanti kamu bungkusin ini pakai kertas kado. Kamu bisa, kan?" ucapku. "Ya kalau bungkusin kertasnya kayak gini ya mudah lah, Kak. Tapi masa kertas dibungkus kertas?" katanya. "Ya nanti kakak taruh ke bingkai dulu kalau udah jadi. Terus nanti kamu bungkus bingkainya pakai kertas kado," ucapku. "Soalnya kakak nanti kan mau kerja. Takut besok gak keburu bungkusnya. Kamu tolong bungkusin, ya," lanjutku. "Hufff.... Merepotkan aku aja kakak nih. Iya, iya. Nanti aku bungkus," kata adikku. Aku tertawa kecil. "Pinter. Itu baru adik Kak Daniel," ucapku sambil mencubit pipinya hingga dia merasa kesakitan. "Aduhh! Kakak!" Lagi-lagi, kutanggapi kekesalannya itu dengan tawa kecilku. Entahlah, dari pandanganku, dia nampak sangat lucu. Apa mungkin waktu di sekolahan pandangan teman-temannya terhadapnya juga sama sepertiku? Apa mungkin dia malah mengalami nasib yang sama sepertiku? Ah, entahlah. Aku tidak tahu kalau soal itu. Sedikit dari sifatnya mencontoh dari aku. Dia selalu tertutup jika ada masalah yang mengganjal hatinya. Ia selalu tidak ingin orang lain juga ikut merasakan sakit yang ia rasakan itu. *** Kau tahu? Adikku sungguh-sungguh menuruti permintaanku. Saat aku pulang kerja pada jam yang sudah terbilang cukup larut, aku melihat benda kotak yang terbungkus rapi oleh kertas kado di atas meja sana. Ya, rapi sekali. Adikku memang pandai dalam hal membungkus hadiah. Sebenarnya aku sangat ingin mengucapkan terima kasih ku padanya saat itu juga, akan tetapi aku tahu kalau dia sudah tertidur di kamarnya. Kutengok saja dia yang sedang tertidur itu dengan cara membuka pintu kamarnya sedikit. Aku tersenyum karenanya. Dan saat itulah aku berpikir untuk hari esok saja aku mengucapkan ucapan terima kasih itu. Rasa lelah sudah biasa aku rasakan. Tubuh sudah terasa remuk, seakan-akan tak ada tulang. Pada hari itu, hari di mana menurutku adalah hari yang penuh dengan perjuangan. Aku harus bekerja di toko buku, lalu pulang sebentar dan menyelesaikan hadiah untuk ulang tahun Pak Gunawan, lalu berangkat bekerja lagi di warung kopi sampai larut malam. Itu sungguh sangat melelahkan. Kalaulah anak dari golongan si kaya merasakannya, walau cuma sehari saja, mungkin sudah ratusan atau bahkan ribuan kata keluhan yang sudah mereka ucapkan. Atau bisa jadi juga mereka akan langsung menyerah karena keadaan. Aku masuk ke dalam kamar adikku untuk melihat dia yang sedang tidur itu lebih dekat. Sebagai bentuk kecil dari tanda terima kasih ku, kuselimuti dirinya dengan selimut yang entah sengaja tidak ia pakai atau apa. Aku tersenyum singkat melihatnya. Kurasa dia juga lelah, sama sepertiku. Aku tahu tugasnya di rumah pasti juga sangat banyak. Ditambah lagi dengan dia yang harus belajar dan juga melaksanakan tugas yang aku berikan. Ya, dia pasti sangat lelah. Dan percayalah! Meski Salsa di mataku juga sangat cantik dan imut, sebagai seorang kakak, meski cuma ada aku dan dia yang sedang tertidur yang berada di kamar itu, aku tidak sedikitpun mempunyai pemikiran yang buruk. Maksudku, di saat seorang lelaki melihat gadis secantik itu sedang tertidur, pastilah di pikirannya akan muncul sesuatu yang aneh-aneh. Namun aku tidak. Karena biar bagaimanapun juga, dia adalah adikku. Rasa sayang dan cintaku ke dia bukanlah tentang perasaan sayang dan cinta pada umumnya. Mungkin kau tidak akan mengerti. Di saat seorang lelaki mempunyai adik perempuan, terlebih adik perempuannya itu sangat cantik, yang ada di pikiran lelaki itu adalah cuma tentang keinginan untuk melindunginya saja. Secantik apapun seorang adik perempuan, selama ia tetap berstatus sebagai adik, maka sang kakak tidak akan pernah macam-macam ke dia. Ya aku tahu, mungkin tidak semuanya seperti aku, tapi kebanyakan adalah seperti itu. "Terima kasih. Kakak janji suatu saat nanti akan membuat kehidupan kamu menjadi lebih baik lagi," ucapku waktu itu. Kuacak-acak rambutnya pelan, setelah itu segera aku keluar dari kamarnya dan juga menutup pintu kamarnya. Jujur saja, aku tidak bisa menampakkan sepenuhnya tentang rasa sayangku kepada adikku. Yang dia lihat selama ini hanyalah sebagian kecil dari rasa sayangku saja. Mungkin dia pun juga sama sepertiku. Dia tidak bisa menampakkan rasa sayangnya sepenuhnya kepadaku. Karena pada dasarnya, sifatku dan dia juga hampir sama. Esoknya, aku bersiap pergi ke sekolah. Dengan kado hadiah ulang tahun yang sudah aku persiapkan untuk guruku, Pak Gunawan. Aku tentunya tak tahu apa Pak Gunawan akan senang atau tidak di saat menerima kado dariku itu. Aku juga tidak tahu tentang bagaimana tanggapan teman-teman sekelasku atas kado yang akan aku berikan kepada Pak Gunawan nantinya. "Sa, terima kasih lho, sudah bantuin kakak bungkus ini," ucapku ke Salsa sambil menunjukkan kado yang kubawa. "Jangan berterimakasih dulu. Kakak masih punya utang sama aku," katanya. "Utang apa?" "Lah, tiba-tiba jadi pikun. Ya utang itu, lah. Kakak harus beliin aku permen kapas," ucapnya. "Ooo.... Itu? Gampang. Mau berapa banyak?" tanyaku. "Hmmm.... Berapa, ya?" Dia nampak sedang berpikir. "Satu truk aja, gimana?" ucapnya kemudian. "Iya. Nanti kakak beliin. Jangan cuma satu truk. Sekalian aja 100 truk atau 1000 truk sekalian," ucapku. Dia malah tertawa kecil. "Hehehe ... Emang kakak punya duit?" tanyanya. "Ngremehin. Ya, enggak lah," jawabku. Dia tertawa lagi. Realistis saja, memang aku tidak punya uang banyak, yang bisa mendatangkan permen kapas sampai bertruk-truk. Heh, bahkan untuk hidup sehari-hari saja masih sangat susah, apalagi untuk yang demikian itu. Tapi, hari itu selalu aku ingat untuk selamanya. Salsa sudah berperan banyak atas pemberian hadiah kenang-kenangan untuk Pak Gunawan di hari ulang tahun dia. Aku berpikir, itu pasti akan menjadi hadiah yang sangat berharga untuk dia. Meski sederhana, cuma bermodalkan coretan-coretan kecil dari benda yang bernama pensil, serta hapusan-hapusan kecil dari penghapus yang harganya tak begitu mahal. Tapi, aku yakin hadiah itu bisa menjadi hadiah yang sangat berharga. "Eh, lo ngasih hadiah apa ke Pak Gun?" "Ada deh. Rahasia." "Halah, tinggal bilang aja susah." "Namanya juga rahasia. Nanti kalau gue bilang ke Lo ya nggak jadi rahasia." "Yang pasti hadiah yang gue berikan ini barang yang mahal." "Oh. Sama lah kalau itu. Gue pastinya juga beli barang yang mahal buat hadiah ulang tahun Pak Gunawan." Sebuah hal yang kubenci membuat indra pendengaranku terasa terganggu. Pasalnya dua orang itu sedang membicarakan hal-hal menyebalkan yang ada kaitannya dengan kesombongan. Bukan aku iri pada mereka yang bisa membeli barang-barang yang mahal sebagai sebuah hadiah. Aku malah kasihan ke mereka. Mereka bisa membeli barang-barang mahal, tapi tidak dengan usaha mereka sendiri. Masih mengandalkan duit pemberian orang tua, ya, pastinya itulah yang membuat mereka bisa membeli barang-barang mahal. Tapi mereka malah sesombong itu. Mereka dengan bangganya membicarakan akan hal itu di depan satu sama lain. Pamer, angkuh, dan meninggi-ninggikan derajat diri sendiri. Sungguh aku sangat muak dengan semua itu. Rasanya aku ingin sekali langsung merespon setiap ucapan sombong mereka, tapi hal itu tidak bisa aku lakukan. Masih aku maklumi jika kesombongan ataupun pamer itu mereka lakukan atas dasar candaan. Tapi yang kulihat dan kudengar dari mereka adalah tentang keseriusan. Ya, tidak ada unsur canda sedikitpun dari mereka yang pamer hartanya itu. Itulah yang membuatku muak dan itu jugalah salah satu alasan kenapa aku benci terhadap kaum mereka. Kesombongan. Kesombongan itu telah membuat mereka lupa diri. Hingga menjadikan mereka manusia yang merasa mempunyai kedudukan paling tinggi di antara manusia lainnya. Merendahkan, ingin selalu dihormati tapi tidak mau menghormati. Hal itu sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Setidaknya, itulah yang aku pikirkan waktu itu. Bahkan seorang remaja berusia 16 tahun pun sudah bisa merasakan akan hal semacam itu. "Woi, woi. Pagi-pagi udah ribut soal kado." Saat itu, seseorang tiba-tiba masuk kelas dan ikut berbaur dengan yang lain. Seseorang yang kumaksud tak lain dan tidak bukan adalah si Randy. Dia masuk kelas dengan begitu percaya dirinya. Setalah itu, diletakkannya tas yang ia cangklong dan segera duduk di bangkunya. "Kado Lo mana?" "Kado gue? Ada tuh di tas," jawab Randy. "Ngasih hadiah apaan Lo?" "Masih nanya? Bukannya gue udah bilang ratusan kali kalau gue mau ngasih hadiah buat si pistol itu dengan pistol," kata Randy. "Cih, gue serius." "Lo pikir gue bercanda?" ucap Randy. "Sebentar," ucapnya kemudian. Ia kemudian membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari dalam sana. Sebuah kertas kado, dan juga sebuah benda yang akan sulit dipercaya oleh semua mata yang melihatnya. "Lah, Lo beneran ngasih pistol? Belum dibungkus pula." "Hahaha. Kan gue udah bilang kalau gue mau ngasih pistol. Ya meski cuma pistol mainan. Karena yang beneran kan gak mungkin juga. Soal bungkus membungkus, itu gampang. Nanti juga bisa," jawab Randy panjang lebar. Itulah keanehan dari seorang manusia bernama Randy. Dia ternyata tidak main-main dengan ucapannya. Sesuatu yang dianggap oleh orang lain sebagai canda ternyata adalah sebuah keseriusan baginya. Dia benar-benar membelikan pistol untuk Pak Gunawan. Dalam arti adalah pistol mainan. Sungguh aku sendiri pun tak menyangka hal itu bisa terjadi. Dan sampai saat ini pun selalu kuingat kejadian waktu itu sebagai sejarah kejadian lucu yang pernah aku lihat sepanjang hidupku. Randy, sang pemberi hadiah berupa pistol mainan untuk Pak Gunawan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD