Bab 16

1999 Words
"Eh, apa tuh?" Di bawah kertas kado yang dibawa oleh Randy, ternyata ada sebuah kertas putih kecil yang entah apa fungsinya. Belum sempat semua orang menebak, Randy sudah memberitahukannya terlebih dahulu. "Oh, ini?" "Ini surat, buat si the gun," katanya. Ya, memang benar itu surat. Isinya adalah tentang permintaan maafnya jika ia hanya bisa memberikan hadiah pistol untuk Pak Gunawan. Katanya ia bingung mau ngasih hadiah apa. Katanya lagi, jika pistol mainan itu tidak bisa berguna bagi Pak Gunawan, setidaknya itu bisa berguna untuk anaknya. Oh ya, dia juga tak lupa menuliskan sesuatu yang sangat menakjubkan. Kira-kira beginilah tulisannya : "This the gun for Pak Gunawan." Dia yang buruk dalam bahasa Inggris dengan gayanya menuliskan tulisan Inggris di dalam surat itu. Aku tahu apa maksudnya. Ia cuma ingin menekankan kata "gun" untuk menyindir Pak Gunawan. Sungguh lucu sekali lelaki yang satu itu. Kalau ada yang bertanya tentang darimana aku tahu apa isi suratnya itu, jawabannya adalah karena salah satu dari teman sekelasku membacakan semuanya dengan nada suara yang lantang. Saat itu pula terjadi kehebohan yang luar biasa di dalam kelas. Tentang Randy yang memberikan hadiah pistol untuk ulang tahun Pak Gunawan, dan juga tentang surat aneh yang ia tulis itu. "Lo emang antara mau ngirit duit, gak niat ngasih hadiah atau emang sengaja mau ngasih hadiah gini, sih?" "Halah. Gak usah nanya mulu Lo. Mending bantu gue bungkusin ini," kata Randy. "Heh, sumpah deh Lo, aneh banget. Harta Lo itu banyak, Ran. Harusnya Lo kan bisa beli hadiah yang mahal-mahal. Malah Lo beli pistol mainan kayak gini." "Gue sih bodoamat. Yang penting gue ikutan ngasih hadiah. Gak peduli apa hadiah itu gue beli dengan harga yang mahal maupun murah," kata Randy. "Cih. Bilang aja Lo gak mau buang-buang duit!" "Gini, kawan. Lo tahu? Hadiah mahal-mahal belum tentu bisa membuat si the gun senang. Misal aja Lo kasih dia hadiah kulkas. Dia bukannya senang malah kerepotan, bingung nyari cara untuk membawa kulkas itu pulang. Belum lagi kalau kulkasnya udah di rumah, biaya listrik pun jadi bertambah. Dan secara tidak langsung kan Lo malah nambah beban hidupnya," kata Randy. "Itu baru Lo. Kalau yang lain juga ngasih hadiah begituan, misal mesin cuci, PS5, AC, TV dan lainnya, otomatis kan malah membuat beban hidup si the gun jadi makin bertambah. Hidup bukannya mikir besok mau makan apa, dia malah mikirnya besok bayar listriknya harus pakai apa," lanjut Randy. Sebuah penjelasan yang sangat jelas dari seorang Randy. Ucapannya memang benar meski agak sedikit berlebihan. Jujur aku suka cara pikirnya. Kutahu ia mempunyai alasan lain mengapa ia tidak ingin memberikan hadiah yang mahal ke Pak Gun, seperti apa yang teman-temannya berikan, tapi aku tidak tahu tentang alasan dia yang sebenarnya itu apa. Terkadang, seorang manusia yang humoris adalah orang yang paling sulit ditebak kata hatinya. Dan justru manusia seperti itulah yang paling bisa memahami perasaan orang lain sekalipun ia tidak terlalu mengenal orang itu. Dan aku bukanlah manusia yang humoris. Maksudku, aku tidak bisa menampakkan humorku di depan mereka. Lebih tepatnya tidak mau. Sifatku tergantung dari cara pandang seseorang kepadaku. Kalau mereka menganggapku sampah, kuturuti saja anggapannya itu. Kalau mereka menganggapku sesuatu yang sangat berharga, maka aku juga tidak akan pernah mau melepaskan diri dari anggapan itu. Semua tergantung mereka, tapi suatu saat nanti mungkin juga aku akan menampakkan sifat yang sebenar-benarnya ada di dalam diriku. Akan ada saat di mana aku tidak akan peduli lagi dengan semua anggapan yang orang lain berikan kepadaku. "Hadeh, ya nggak sampai segitunya juga kali arti dari memberi hadiah yang mahal itu." "Lalu apa?" tanya Randy. "Ya paling tidak, beliin makanan buat dia lah. Martabak, gitu contohnya." "The gun alergi martabak. Lagian mana ada pistol yang doyan martabak. Pistol doyannya kan peluru. Itu pun dimuntahkannya kembali," kata Randy. "Sialan! Omong di belakang doang Lo nih. Kalau di depan Pak Gun mana mungkin berani nyebut dia pakai nama kayak gitu." "Bukan nggak berani, tapi gue ini kan orangnya sangat sopan. Ya nggak mungkin lah gue manggil si the gun kayak gitu di depan orangnya langsung," ucap Randy. "Hahaha.... Terserah Lo lah, Ran. Dibilangin harusnya kasih hadiah yang mahal malah ngebantah mulu." "Ya, ya. Lain kali gue kasih hadiah yang mahal buat si the gun," kata Randy. "Apaan?" "Pistol beneran," jawab Randy. "Lah." "Kenapa? Katanya yang mahal. Pistol beneran kan mahal," ucap Randy. "Hmmm.... Ya, terserah Lo aja." "Yang penting lain kali kalau mau ngasih hadiah ke orang lain itu harus sesuatu yang benar-benar berguna untuk diam kalau bisa yang harganya mahal, enggak murah. Heh, sudah murah, murahan pula. Hahaha." Seketika itu kulihat Randy terdiam tak menanggapi lagi. Dia juga terlihat tidak suka dengan ucapan temannya itu. Ya, temannya. Aku tidak mau menyebutkan namanya. Biar beberapa saja yang akan aku sebutkan di dalam kisah ini. Ucapannya itu seakan sengaja ia tujukan kepadaku. Pasalnya secara tak sengaja aku sempat melihat lirikan matanya yang sekilas tertuju kepadaku. Ya, aku akui saja. Hadiah yang aku berikan memanglah murah, bahkan hampir tanpa mengeluarkan biaya. Akan tetapi lihat saja nanti, hadiah siapa yang akan bertahan paling lama. Hadiah siapa yang akan menjadi kenangan indah untuk orang yang menerimanya. Dan hadiah siapa pula yang sangat berkesan untuk sang penerima hadiah. Memang betul kata Randy bahwa hadiah yang mahal belum tentu bisa membuat Pak Gunawan senang. Dia memang kelihatannya seperti itu. Dia juga tidak begitu pandai dalam soal pelajaran. Akan tetapi pemikirannya jauh lebih keren daripada yang lainnya. *** Hari ulang tahun Pak Gunawan pun berlangsung dengan meriah. Banyak sekali hadiah yang ia terima dan ia merasa sangat senang. Kue ulang tahun juga tak lupa disajikan untuk simbol hari ulang tahunnya. Sungguh itu adalah sebuah momen yang sangat berkesan untuknya. Hadiahku pun juga ia terima dengan baik. Aku tak tahu apa sampai saat ini Pak Gun masih menyimpan hadiah itu atau tidak, tapi sepertinya dia masih menyimpannya. Ya, kuharap seperti itu. Karena itu adalah satu-satunya benda kenangan yang pernah aku berikan kepadanya. Dengan itu dirinya bisa mengingat tentang seorang murid teladan yang paling ia banggakan waktu itu. Murid itu bernama Daniel Mahendra yang tidak lain adalah diriku. Bahkan momen yang sangat spesial dan penuh dengan suasana menyenangkan pun juga pada akhirnya harus berakhir. Kemeriahan perayaan hari ulang tahun Pak Gunawan di hari itu, ujung-ujungnya pun dilanjut dengan suasana yang sama seperti biasa. Hari itu pun cuma bisa dikenang. Semuanya sudah terlewati, tak akan bisa diulang kembali. Aku kembali pada posisiku semula. Menjadi Daniel Mahendra sang manusia paling pendiam, dan juga tidak peduli terhadap apapun di kelas, kecuali pelajaran. Ucapan demi ucapan kesombongan yang hampir tiap hari aku dengar pun selalu aku hiraukan. Ingin mulut ini membuka suara untuk menyangkal setiap kata-kata yang terucap dari mulut orang-orang itu, tapi selalu kutahan agar tidak tercipta masalah yang baru. Aku tentunya tidak ingin namaku menjadi buruk di sekolahan itu. Sekali lagi, semua itu kulakukan demi mewujudkan impian ibuku yang berharap aku bisa masuk di sekolahan ternama itu dan menyelesaikannya hingga akhir. Maka aku pun harus berusaha untuk mewujudkan impian itu walaupun harus mengorbankan diri untuk selalu dibully dan dicaci maki. Apapun yang terjadi, aku tetaplah Daniel Mahendra. Seorang lelaki yang tidak akan mudah terpengaruh oleh kata-kata hinaan dari mereka. Jika mereka memang membenciku, aku tidak peduli. Aku bahkan tak tahu apa kesalahanku pada mereka sehingga mereka membenciku. Benci itu urusan mereka. Asal aku tidak pernah melakukan kesalahan, mana mungkin aku mau meminta maaf. Sekalipun rasa tidak suka mereka ke aku itu bertahan sampai hari kiamat, aku tetap tidak akan pernah peduli. Kau tahu? Beberapa orang yang sering menghinaku adalah datang dari kalangan perempuan. Seringkali aku mendapatkan hinaan dari mereka. Akan tetapi mungkin lain kali saja aku ceritakan. Aku tidak ingin kisahku seolah-olah dikenal sebagai kisah orang paling menderita di muka bumi ini. Sesekali aku juga ingin kembali menceritakan tentang dia. Ya, dia. Shelania Putri Artasyah. Seorang gadis cantik yang telah berhasil menarik perhatianku. Seorang gadis aneh yang mempunyai sikap tidak pedulian sama sepertiku. "Hadeh, Daniel mulu Lo." "Ya iyalah. Dia itu mengagumkan, tahu." Seringkali aku memperhatikan Shela dari kejauhan. Namun pada hari itu, hari di mana secara tidak sengaja aku melihatnya sedang berbincang-bincang dengan Icha yang tak lain adalah sahabatnya. Secara tak sengaja, dan dari jarak yang cukup dekat. Aku agak tersentak ketika mendengar ucapannya. Dia bilang kalau aku mengagumkan. Apanya yang mengagumkan? Pertanyaan itu seolah langsung muncul di hati terdalamku. Bagaimana tidak? Kebanyakan orang yang berada di sekolahan itu sering sekali meremehkan aku dan juga menganggap aku rendahan. Akan tetapi, gadis bernama Shelania itu malah mengungkapkan bahwa aku ini mengagumkan. Aku tak sedikitpun mempunyai pemikiran bahwa dia cuma ingin menyenangkan hatiku saja. Tidak sama sekali. Bagaimana mungkin dia mempunyai niatan seperti itu sedangkan posisi mendengarku saja adalah secara tidak sengaja dan tanpa diketahui olehnya. Ungkapannya itu pasti datang tulus dari hati terdalamnya. Dia benar-benar sedang mengagumi aku saat itu. Ya entah apa yang membuat dia kagum kepadaku, aku juga tidak tahu. Sayangnya, aku begitu bodoh saat itu. Harusnya aku terus-terusan menguping pembicaraan dia dengan Icha. Aku malah memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu setelah mendengar secara tidak sengaja tentang pengakuan dia yang mengagumi aku. Karena percakapan yang kudengar itu pula aku jadi mempunyai pemikiran bahwa Shela sering membicarakan tentangku. Hal itu dapat aku ketahui dari ucapan si Icha. Oh ya, hampir lupa. Tentang Icha, atau yang bernama lengkap Alicha Saraswati. Kelak akan aku ketahui dari Shela bahwa dia adalah si gadis blasteran Indo-Prancis. Dia yang pandangan awalnya ke aku sama seperti kebanyakan orang, nantinya akan beralih seperti cara pandang Shela kepadaku. Jujur saat itu aku tak mengerti apa-apa soal cinta. Aku tidak tahu tentang bagaimana caraku untuk menampakkan perasaanku pada Shela. Semuanya adalah soal keraguan. Ya, aku ragu sekali. Aku bahkan belum mengerti apa arti cinta. Cinta itu apa? Pacaran itu bagaimana? Apa yang harus dilakukan seseorang ketika berpacaran? Dan masih banyak pertanyaan yang kubuat sendiri tanpa aku ketahui jawabannya di masa-masa itu. Masa SMA. Masa yang katanya adalah pusat dari dunia percintaan. Di masa-masa itulah seseorang mulai mengenal cinta dengan sebenar-benarnya. Akan tetapi aku tidak. Banyak dari orang-orang di kelasku yang sudah berpacaran. Dan mungkin hampir semuanya. Sedangkan aku, rasa tertarik pada seorang gadis saja cuma aku rasakan ke Shela. Ah, tidak juga. Sewaktu masih SMP aku juga sempat tertarik kepada Monica. Hanya saja ada sebuah peristiwa yang menjadi penyebab tentang kenapa ketertarikan itu mendadak hilang. Aku bukan orang yang bisa tampil keren. Wajar saja kalau tidak ada gadis yang suka ke aku. Aku juga bukan orang yang terlahir dari golongan kaya raya. Wajar pula kalau para gadis mempertimbangkan terlebih dahulu untuk mau dekat denganku. Aku bahkan adalah seorang yang mempunyai sifat kaku, tidak pedulian dan tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Mana mungkin dengan sifatku yang seperti itu bisa membuat seorang gadis mau bertahan untuk suka denganku. Selain itu, apa mungkin manusia yang dianggap rendah sepertiku bisa membuat seorang gadis menyukaiku? Itulah aku waktu itu. Kisah cintaku seakan terhalang oleh banyak hal. Contohnya saja terhalang oleh rasa tidak percaya diri dan juga keraguanku atas sesuatu yang dinamakan cinta. Terlebih lagi, dalam hidupku juga tidak terlalu peduli tentang dunia percintaan. Ya, seolah-olah tujuan hidupku hanyalah untuk balas dendam. Itu saja. Sampai-sampai aku melupakan hal lain, termasuk cinta. Tidak ada cinta yang benar-benar nyata di usia yang terlalu muda. Dulu kupegang prinsip itu kuat-kuat. Istilah "cinta monyet" adalah gambaran dari dunia percintaan dalam usia yang segitu. Makanya itu aku tidak ingin terjerumus ke dalamnya. Namun perasaanku ke Shela juga tidak bisa aku pungkiri. Ya, mungkin aku sudah benar-benar jatuh cinta kepadanya kala itu. Ada hari di mana aku secara tidak sengaja melihat dia berduaan dengan seorang pria tampan di kantin. Pria itu bernama Pasha. Aku tak mengenal dia, hanya saja tahu tentangnya. Dia adalah lelaki yang sangat disegani oleh orang lain, bahkan juga kakak kelas. Seorang Ryan sekalipun juga segan terhadapnya. Aku tak tahu kenapa bisa dia bisa disegani sampai segitunya. Hal itu tentu berbanding terbalik denganku. Kala itu aku melihat Shela dan Pasha berduaan. Entah apa yang mereka perbincangkan. Lalu, Shela melihatku dan mengejarku. Dia menjelaskan tentang semuanya ke aku, tapi aku bersikap seolah-olah tidak peduli. Terserah siapa Pasha itu di dalam kehidupannya, aku bersikap seolah tak mau tahu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD