Bab 14

2001 Words
Sebenarnya, aku pun tahu bahwa tidak semua dari teman sekelasku bersikap sejahat itu kepadaku. Ada beberapa dari mereka yang tentunya mempunyai rasa simpati terhadapku. Hanya saja, mereka tidak berani menampakkannya. Contoh saja malam harinya setelah kejadian aku yang diusir dari kelas dan disuruh pulang oleh lelaki sialan itu. Malam itu, terdapat notifikasi pesan dari nomor yang tidak kukenal. Kira-kira isi pesannya seperti ini : "Soal yang di kelas tadi, nggak usah dipikirin. Mereka emang kayak gitu, jadi dimaklumi saja. Maaf juga gue gak pernah bisa membantu lo. Oh ya, tentang rencana perayaan ulang tahun Pak Gunawan, kita sudah sepakat untuk memberikan sebuah hadiah untuk dia. Apapun itu, yang penting bisa berkesan untuk Pak Gun. Tidak perlu mahal. lo pasti gak ingin melewatkan untuk ngasih hadiah ke Pak Gun, kan? Biar bagaimanapun juga, gue tahu dia adalah guru yang spesial buat lo. Mungkin udah sih, itu aja. Sekali lagi maaf kalau gue gak pernah bisa bantu lo." Demikianlah isi pesan yang aku baca. Aku tak pernah tahu, siapa sosok dari sang pemilik nomor tidak dikenal itu. Intinya, nomor yang sama sudah beberapa kali mengirimiku pesan penyemangat dan permintaan maaf. Entah siapa sang pengirimnya, aku tidak tahu. Aku hanya bisa menduga bahwa seseorang itu adalah April, salah satu teman sekelasku. Kenapa aku mempunyai pemikiran seperti itu? Karena setiap kali aku dibully dan dia menyaksikannya secara langsung, tatapannya ke aku itu seperti orang yang dipenuhi dengan rasa simpati. Ingin menolong, tapi tak berani melakukannya. Dia juga gadis yang lumayan cantik, dengan hijab yang menutupi rambutnya. Dia anak yang baik, juga lahir dari keluarga yang kaya raya. Sekalipun dia tidak pernah meremehkanku, apalagi membullyku. Tapi tentang pengirim pesan itu, sungguh aku belum bisa memastikannya. Aku sudah sering membalas pesannya dan bertanya tentang siapa dia, tapi setiap kali aku melakukannya, pesanku hanya dibaca atau bahkan biasanya cuma centang dua atau biasanya pula malah centang satu. Aku juga beberapa kali menelepon ke nomor itu, tapi kau tahu apa yang terjadi? Nomor itu seakan sudah tidak aktif lagi. Namun, setelah itu, tepatnya beberapa hari kemudian, nomor yang sama kembali mengirimi aku pesan. Aku kembali meneleponnya, hal yang sama pun kembali terjadi. Demikianlah misteri dari nomor tidak dikenal itu. Pikirku kala itu, siapapun sang pengirim yang telah mengirimi aku pesan, aku sangat berterima kasih atas simpatinya. Aku akan selalu mengingatnya sebagai orang baik yang peduli terhadap nasib orang yang tertindas. Dan aku saat itu juga sempat berjanji untuk tidak akan pernah melupakan simpatinya itu dan jika diberi kesempatan, suatu saat aku akan membalasnya dengan kebaikan yang lebih besar lagi. Dan tentang misteri si pengirim pesan misterius yang tak pernah mencantumkan nama ataupun fotonya itu, aku tidak pernah menceritakannya kepada siapapun, bahkan kepada bapak, kepada Salsa, Firman ataupun Kak Soni pun tidak. Aku merahasiakannya sendiri. Sang hati cuma bisa meyakini bahwa sang pengirim itu adalah si April. Karena kalau Shela, itu tidak mungkin. Kenapa? Shela bukanlah teman sekelasku. Meski dia sangat perhatian ke aku, dia tidak mungkin bisa tahu sejauh itu tentang kelasku dan para penghuninya. Meski begitu, aku pun tidak pernah ada pemikiran kalau alasan April perhatian ke aku karena ia jatuh cinta ke aku. Heh, pikiran itu sama sekali tidak pernah muncul dalam benakku. Satu-satunya pemikiran yang ada tentang alasannya adalah karena ia bersimpati ke aku. Itu saja, tidak lebih. Tentang ulang tahun Pak Gunawan, aku pun benar-benar ingin memberikan sesuatu yang berharga untuk dia. Seperti kata sang pengirim pesan misterius itu, aku tidak perlu memberikan hadiah yang bernilai jual mahal. Cukup yang sederhana, tapi sangat berkesan untuknya. Dan pada hari di mana aku mendapatkan pesan misterius itu pula, aku mulai memikirkan tentang hadiah apa yang akan kuberikan kepada Pak Gunawan atau yang seringkali dijuluki sebagai "gundul menawan" atau juga "pistol". Terserah apa nanti tanggapan orang-orang terhadap hadiah yang akan aku berikan. Aku akan mencoba untuk tetap tidak peduli. Pemberianku adalah urusanku. Mereka tidak berhak ikut campur dalam urusan itu. "Sa, kamu sudah bangun?" Aku bertanya pada adikku yang sedari tadi tidur. Si gadis kecil itu masih mengucek-ucek matanya. Ia tak langsung menjawab pertanyaanku. Mungkin nyawanya masih belum terkumpul sepenuhnya. "Emmm ... Iya, Kak," jawabnya. "Sini, kakak mau nanya sesuatu," ucapku kala itu. "Nanya apa sih, Kak?" tanyanya. "Ya makanya sini!" Dia pun menuruti perintahku dan duduk di kursi kayu ruang tamu tepat di sebelah kursi yang aku duduki. Kala itu sepertinya bapak sedang memberi makan ayam-ayam peliharaannya, kalau nggak salah. "Ada apa, Kak?" tanyanya padaku. "Kamu pernah memberikan hadiah pada seseorang?" tanyaku. "Hadiah? Enggak," jawabnya. "Beneran gak pernah?" tanyaku memastikan. "Iya Kak, nggak pernah. Lagian kalau aku pernah memberi orang lain hadiah kakak kan pastinya juga tahu," ucapnya. "Emangnya kakak mau ngasih hadiah ke siapa, sih? Ah, jangan-jangan ke pacarnya, ya? Cieee.... Udah punya pacar," tebaknya kemudian. Raut wajah itu, selain lucu ternyata juga mengesalkan. "Jangan sok tahu! Buat guru kakak. Besok lusa dia ulang tahun. Kakak harus ngasih hadiah buat dia. Pendapatmu hadiah apa ya, yang pantas untuk kakak berikan?" tanyaku. Bukannya apa-apa. Biar bagaimanapun, harus aku akui bahwa aku ini tidak terlalu mengerti tentang hadiah-hadiahan. Apalagi aku ini adalah seorang lelaki. Tujuanku bertanya pada adikku adalah karena dia seorang perempuan. Biasanya seorang perempuan lebih mengetahui tentang hal yang demikian itu. "Bentar! Guru kakak laki-laki atau perempuan?" tanyanya. "Laki-laki," jawabku. "Emmm." Dia pun mulai sibuk dengan pikirannya, mungkin. Beberapa saat kemudian, ia belum menjawab dan masih sibuk dengan pikirannya seraya bertingkah layaknya dia sedang berpikir keras. Aku diam, tak mau mengganggu ia yang mungkin memang benar-benar sedang berpikir kala itu. "Ah, aku tahu," katanya kemudian. "Apa?" tanyaku. "Bagaimana jika kakak kasih mobil aja buat guru kakak itu. Atau kalau nggak ya rumah, tanah, uang 1 milyar, atau apalah gitu. Pasti dia akan sangat senang," jawab adikku. Segera ku memasang wajah malasku. Sarannya benar-benar sangat tidak berguna. "Ya. Sekalian nanti kamu juga kakak hadiahkan ke guru kakak itu. Mau?" tanyaku. "Ihhh. Nggak. Kakak kok gitu. Jahat," katanya. "Bodoamat. Makanya kalau ditanya serius itu jawab juga dengan serius. Kamu malah bercanda," ucapku. "Hehehe ... Ya gimana, Kak. Aku juga bingung. Aku gak pernah ngasih hadiah ke orang lain," ucap adikku. "Ya udah. Aku pikirin dulu lagi," ucapnya lagi. Aku menunggu lagi. Mungkin, kunci utama untuk permasalahan yang satu itu adalah saran dari adikku. Aku benar-benar harus menyerah kalau soal hadiah menghadiahi. Memberikan hadiah bukanlah tipe seorang Daniel Mahendra. Dan saat itu aku dipaksa oleh keadaan untuk melakukan hal yang demikian. "Ah, gini aja, Kak," ucap adikku. "Gimana? Jangan yang nggak masuk akal lagi," tanya sekaligus pintaku. "Gini Kak. Kakak kan jago tuh dalam hal lukis melukis. Nah, bagaimana jika kakak berikan hadiah lukisan wajah guru kakak itu saja untuk hadiah ulang tahun guru kakak," ucap adikku. "Masalahnya, hari ulang tahunnya adalah besok lusa. Melukis tentunya butuh waktu yang lama, Dik. Dan tentunya juga akan sangat sulit," ucapku. "Nah, itulah. Sejatinya nanti, hadiah yang akan kakak berikan bukanlah tentang lukisan itu, melainkan usaha keras kakak untuk membuat lukisan itu dan menghadiahkannya untuknya. Itulah hadiah yang sebenar-benarnya." "Jadi, tidak peduli entah cuma dua hari, satu hari atau bahkan cuma satu jam, kakak harus berjuang untuk bisa menghadiahkan benda itu," lanjut adikku. Sungguh bijak sekali si gadis kecil yang tak lain adalah adikku itu. Sifatnya memang terbilang masih seperti anak kecil, akan tetapi tentang pemikirannya, aku akui sungguh sangat dewasa. Oh ya, tentang hal lukis melukis, aku memang pandai dalam bidang itu. Entahlah, mungkin bawaan dari lahir. Kelak suatu saat nanti pun aku akhirnya mengetahui bahwa ternyata ada lagi orang yang pandai melukis sepertiku. Seorang anak perempuan yang tak lain dan tidak bukan adalah sahabat seorang Shelania Putri Artasyah, yaitu Icha. "Kamu memang gadis yang pandai. Baiklah, kakak terima saran dari kamu. Kakak akan mencoba melukis wajah guru kakak itu walau waktunya cuma kurang dari dua hari," ucapku. "Emm.... Bagus, Kak. Semangat," kata adikku. Kurang dari dua hari. Ya, bahkan bisa dibilang cuma sehari. Belum lagi menaruh gambaran itu di bingkai. Belum lagi bungkusnya. Ya, saat itu aku benar-benar mengerjakan semua itu dalam waktu yang sangat singkat. Tepat sesaat setelah aku mendapatkan saran yang cukup menarik dari adikku, aku pun bergegas untuk menggambar wajah Pak Gunawan. Dan kau tahu? Bukan cuma masalah waktu dan kesulitan dalam menggambar saja yang menjadi rintangan dan tantangannya. Tapi, aku terhalang juga oleh sebuah hal lain, yaitu tentang foto Pak Gunawan. Ya, kala itu aku bingung bagaimana dan di mana aku harus mendapatkan foto Pak Gunawan. Karena tentu untuk menggambar wajahnya pun butuh untuk melihat foto aslinya. Kucari akun sosial media Pak Gunawan, tapi ternyata tidak ada foto wajahnya yang jelas. Yang ada cuma foto full body yang wajahnya tak terlihat jelas oleh mata. Tentu hal itupun benar-benar menyulitkan aku untuk menggambarnya. Rintangan yang demikian itu lumayan memakan waktuku. Waktu yang cuma sehari harus direnggut oleh hal semacam itu. Namun, akhirnya aku ingat bahwa di kalender ada foto yang jelas menampakkan wajah dari guru-guru, termasuk juga Pak Gunawan. Segera kucari kalenderku dan mencari-cari foto Pak Gunawan. Dan ternyata memang ada. Itulah perjuangan pertama yang aku lakukan untuk memberikan sebuah hadiah yang berkesan untuk Pak Gunawan. Sekali lagi, biar bagaimanapun juga, Pak Gunawan adalah guru yang menurutku paling baik. Pak Gunawan jugalah guru yang paling dekat denganku. Ya meski juga ada guru-guru lain yang baik, seperti halnya Bu Maya, Bu Mirna dan lain-lain. Tapi yang paling kuanggap terbaik adalah Pak Gunawan. Gundul menawan, entah siapa yang pertama kali memberikan julukan itu ke Pak Gunawan. Itu sungguh keterlaluan, tapi parahnya aku malah merasa geli hati jika mendengarnya. Lalu, si pistol. Julukan yang kutahu pertama kalinya diberikan oleh si Randy. Itu juga sangat keterlaluan. Namun entah kenapa pula aku juga merasa geli hati. Entah karena Randy yang cenderung lebih tak memperdulikan aku dibanding harus membullyku atau apa. Tapi, julukan yang diberikan olehnya ke Pak Gun berhasil membuatku geli hati. Biasanya, apapun yang dilakukan oleh orang yang menjahati aku, selucu apapun tingkah maupun ucapannya, aku tetap sangat sulit untuk tersenyum karenanya, apalagi sampai tertawa. "Bagaimana? Apa kalian sudah siap dengan hadiah kalian masing-masing?" tanya si Ryan kepada semuanya. "Tentu saja. Gue udah siap. Tinggal memberikannya saja besok," jawab Mega. "Gue juga udah siap," ucap Randy ikut-ikutan. "Emang Lo kasih hadiah apa ke Pak Gun?" Kali ini Dito yang bertanya. "Kan gue udah bilang kalau gue mau ngasih hadiah pistol," jawab Randy. "Lah, Lo beneran?" "Gue mana pernah bohong. Sesuai nama si Gun, the gun, ya gue kasih pistol," kata Randy. "Kau memang murid yang sangat sopan, Bro." Randy, itulah dia. Jika boleh kuakui, aku tidak pernah membencinya. Jika boleh kuakui lagi, dia adalah orang yang paling lucu di kelas. Ya meski ketidak sopanan selalu menyertainya. Dia tak pernah membullyku. Ya, satu kali pun tak pernah. Di saat banyak orang mencoba membullyku, dia lebih memilih untuk diam, atau bahkan juga pergi. Dia lebih suka tidak ikut campur dalam masalah pembullyan itu. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi dia sudah cukup baik ke aku hanya dengan menghindari untuk ikut dalam membullyku. Mungkin bisa dibilang, hanya April dan Randy lah orang yang bisa mengerti perasaanku. Itu yang kutahu. Mungkin ada lagi, tapi tidak aku ketahui. Hari itu, aku mendapatkan sindiran keras lagi. Masih tentang seputar hadiah yang akan aku berikan kepada Pak Gunawan. Barang murah, barang bekas, sampah. Kata-kata itu terasa menusuk hatiku. Akan tetapi aku ingat bahwa aku harus tidak memperdulikan mereka. Ya, itu saja kuncinya. Di saat aku tidak memperdulikan, mungkin aku bisa terbebas dari masalah yang tidak aku inginkan. Tapi, walau bagaimanapun juga, aku tetaplah seorang manusia. Sosok makhluk yang dibekali dengan sesuatu yang disebut dengan emosi. Sebesar apapun tekadku untuk tidak peduli dengan semua ucapan dan tingkah mereka, rasa sakit hati dan ingin membalas itu tetaplah ada. Mungkin di mata orang lain, responku terhadap semua hinaan itu hanyalah diam dan biasa saja. Mungkin ada juga yang menatapku sebagai seorang pecundang yang bisanya cuma berdiam diri ketika diperlakukan semena-mena, atau pula penakut yang selalu menurut. Terkadang aku juga bingung. Kenapa mereka tak pernah sadar pada kejahatan mereka? Kenapa pula mereka masih tetap berani untuk membullyku, padahal di beberapa momen aku pernah menghajar habis-habisan orang yang membullyku. Apa itu belum cukup untuk membuat mereka jera? Kau tahu? Nyatanya memang tidak cukup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD