Bab 10

1277 Words
"Maaf, gue-" "Apa gue, gue? Orang kayak lo sok-sokan bilang lo gue," katanya. "Minuman gue tumpah. Lo bisa ganti, gak?" tanyanya kala itu. Aku diam dan terus memandangnya. Jujur saja, melihat ada seorang gadis yang bicaranya seperti itu, aku jadi sangat ingin membungkam mulutnya. Tapi, biar bagaimanapun juga aku tahu bahwa dia itu perempuan. Aku tidak bisa bertindak kasar kepada seorang makhluk bernama perempuan. Aku bukan pecundang yang beraninya melawan perempuan. Saat itu kupikir diam adalah cara terbaik untuk membuat masalah itu cepat selesai. Pasalnya, mau seperti apapun aku menjelaskannya, dia tetap tidak akan percaya pada apa yang keluar dari mulutku. Dan anehnya, sembari mendengar setiap ejekan yang ia tujukan kepadaku, pikiranku langsung mengarah pada seorang gadis cantik bernama Shelania. Sekilas terlintas di pikiranku agar dia segera hadir di sana, akan tetapi segera kubuang jauh-jauh pikiranku itu. Lelaki apa yang bisanya cuma mengharapkan bantuan seorang perempuan. Posisiku benar-benar serba salah saat itu. Aku mau melawan, tapi dia perempuan. Aku diam, tapi dia sudah benar-benar keterlaluan. Dia membuatku terhina di depan banyak pasang mata yang melihatnya. Namun pada akhirnya pula aku cuma diam mendengar kata-katanya, dan setelahnya dia pergi dengan sendirinya. Dan ternyata, Shelania memang tidak datang ke tempat itu. Aku berpikir, andai dia beneran datang, bisa jadi akan ada perkelahian antara dia dan si perempuan itu. Bisa jadi pula dia akan mengirim si perempuan itu ke rumah sakit. Seperti apa yang pernah ia lakukan sebelumnya. Oh ya, perempuan yang kumaksud itu bernama Dilla. Dia, si gadis berambut pendek yang cantiknya tak seberapa. Sudah kuketahui betapa sombongnya dirinya. Dia memang anak orang kaya. Orang tuanya adalah pemilik toko roti yang sangat terkenal di kota Jakarta. Selebihnya aku tidak tahu tentang dirinya. Setelah kepergiannya, hanya kepalan tangan yang tak mampu kuhantamkan lah yang terlihat pada diriku. Kau tahu? Luka akibat dihina itu jauh lebih sakit daripada luka akibat pukulan ataupun semacamnya. Luka itu terus membekas di dalam hati dan mungkin tak akan pernah bisa menghilang. Bisa dibilang konsepnya sama seperti ketika aku mengingat kata-kata ajaib yang keluar dari mulut bapakku. Luka itu hanya bisa hilang karena dua hal, hilang ingatan dan juga kematian. Bahkan ketika aku sudah memaafkannya sekalipun. Gadis itu, di saat itu aku sudah berjanji akan mengingat wajahnya selalu. Aku akan mengingat wajahnya itu sebagai wajah orang yang telah mempermalukan aku. Dan mungkin suatu saat nanti aku akan membalasnya. Jangan lupa kalau aku ini pendendam. Ah, tidak. Mungkin lebih tepatnya, sang pencari keadilan dan sang pembenci ketidak adilan. Rasa sakit yang tak pernah berakhir. Setiap kali satu kejadian buruk tercipta dan berakhir, datang lagi kejadian demi kejadian buruk lain. Aku selalu menahan setiap kali hal buruk itu datang. Lama kelamaan, mentalku sudah semakin kuat. Emosiku juga sudah bisa lebih aku tahan. Ketidakpedulian, ya, cuma itu yang bisa aku lakukan. Banyak sekali hal buruk yang terjadi padaku. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari. Di sekolahan neraka itu aku telah menjadi murid paling terhina di mata murid lainnya walaupun posisiku di sana seharusnya adalah seorang murid yang pandai. Kalau saja aku menceritakan semua hal buruk itu, mungkin akan butuh ratusan ribu kata untuk menyelesaikannya. Tidak akan ada habisnya kalau aku menceritakan hal itu. Dia, si gadis bernama Shelania itu entah kenapa seperti mengejar-ngejar aku. Aku tak pernah tahu maksud dia yang sebenarnya itu apa. Apa yang ia cari dariku, aku benar-benar tidak mengetahuinya. Dia tentu disukai oleh banyak sekali lelaki. Ya, aku pernah melihatnya digoda saat dirinya sedang berada di kantin. Akan tetapi, saat itu juga aku melihat tentang betapa kejamnya si iblis berwajah bidadari itu. Kata-kata yang ia lontarkan kepada sang penggoda sungguh sangat menusuk. Satu hal yang aku kagumi. Meski kata-katanya sangat menusuk, tapi tidak ada satupun dari kata-katanya itu yang masuk dalam kategori kata-k********r atau kotor. Memang, semenjak hari pertama aku bertemu dengan dia, aku jadi lebih memperhatikannya. Tentang dia, aku jadi ingat pada saat pertama kalinya dia berkunjung ke warung kopi tempatku bekerja. Waktu itu, tepatnya pada malam hari yang sunyi. Entah memang sengaja datang ke sana atau kebetulan saja. Ia bersama temannya yang nantinya aku kenal dengan nama Icha datang ke warung kopi tempatku bekerja. Jelas pada saat itu aku terkejut. Bagaimana mungkin ada dua bidadari yang mau mampir di sebuah tempat yang disebut warung kopi? Itu jelas bukan tempat bagi para perempuan secantik mereka. Harusnya, tempat nongkrong mereka adalah di cafe-cafe, bukan di warung kopi seperti itu. Dan untuk teman Shela yang bernama Icha itu, hal pertama yang aku lihat dari dia adalah dia itu gadis yang sombong. Dia seperti para manusia lain yang terlalu bangga akan kekayaan keluarganya. Dia bahkan seperti tidak pernah ingin mengenal diriku. Jelas itu sangat berbeda dengan Shela. Akan tetapi, nantinya ternyata aku salah menilainya. Tentang itu, akan kuceritakan nanti saja. Karena pada dasarnya, sebuah cerita ada bagiannya masing-masing. "Wih, keren lo punya pacar secantik itu," kata Firman kala itu sambil membuatkan pesanan mereka berdua. "Bukan pacar gue," jawabku. "Ah, masih nggak mau ngaku juga. Kok lo bisa sih dapetin cewek cantik kayak dia?" ucap Firman lagi. "Dibilangin bukan pacar gue. Gue mana peduli soal pacar-pacaran," kataku. "Halah, saat gue lihat dari tatapan matanya tadi, tatapan itu jelas menandakan bahwa dia mencintai lo. Dan tatapan mata lo juga sama ke dia. Itu tandanya lo berdua saling mencintai," ucap Firman tetap pada pendiriannya. "Terserah lo dah," kataku mengalah. "Sumpah, hebat lo. Gue yang setua ini aja belum punya pacar," ucap Firman. "Makanya nyari," balasku. "Hmmm .... Kira-kira, temen pacar lo itu mau gak ya, sama gue?" tanyanya. Yang ia maksud dengan teman pacarku itu adalah Icha. Ya, Icha. Si gadis yang katanya Shela adalah gadis blasteran Indo-Prancis. "Mau lah," jawabku. "Apa iya beneran mau?" tanya Firman. "Iya, mau. Mau muntah kalau lihat wajah lo terus," jawabku kejam. "Cih. Sialan lo!" umpatnya. Aku tertawa kecil. Selepas itu kami pun melanjutkan aktivitas membuat kopi lagi. Tak butuh waktu lama dan akhirnya kami bisa menyelesaikannya. "Nih, lo anterin ke tempat pacar lo dan temennya itu!" perintah Firman ke aku. "Kenapa harus gue?" tanyaku. "Karena salah satu di antara mereka adalah pacar lo," jawab Firman. "Hufff ...." Adalah suatu hal yang berat untukku harus bertatapan langsung dengan Shela waktu itu. Aku tak bisa membuat hatiku merasakan rasa suka yang semakin besar kepada orang yang terlahir dari kaum yang kubenci. Aku takut jika rasa suka itu malah akan melalaikan tujuanku untuk tetap kuat hidup di dunia penuh penderitaan ini. Ya, itulah alasan kenapa aku tidak mau selalu dekat dengan Shela. Tak peduli secantik apapun dia, selama dia datang dari golongan yang satu itu, aku tidak bisa menerimanya dengan mudah. "Lo katanya mau deketin temannya dia. Nah, ini kesempatan buat lo bisa dekat sama dia. Mana tahu lo langsung diterima dan akhirnya jadian," ucapku. "Pikirkan lagi, Bro. Lo setua ini masih belum dapet pasangan. Lo mau terus-terusan kayak gini?" lanjutku. "Hmmm.... Bener juga lo. Kalau gue yang nganterin, gue bisa sekalian cari kesempatan buat deketin dia," katanya. Entah dia memang bodoh atau memang sengaja terlihat bodoh. "Iya lah," kataku. "Kalaupun gue gak bisa dapetin si cewek dingin itu, paling tidak gue bisa dapetin cewek lo itu, lah. Cantiknya juga sama pula," katanya. Dan entah kenapa saat dia berucap seperti itu, seolah-olah ada suatu rasa cemburu di dalam hatiku. Shela bukanlah siapa-siapa ku, tapi mendengar ada orang yang menyukai Shela, itu membuatku jadi merasa tersaingi. Padahal aku sendiri pun tak ingin jatuh cinta kepadanya. Ah, entahlah. Saat itu aku benar-benar ragu akan rasaku. Tanpa kusadari aku memberikan pelototan tajam ke arah Firman. Sumpah, aku tidak sadar akan hal itu. Hingga pada akhirnya, ketika Firman menegurku, barulah saat itu aku sadar dengan apa yang aku lakukan. "Ya jangan melotot gitu juga kali, Niel. Gue cuma bercanda. Gue gak akan rebut pacar lo dari lo, kok," katanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD