Bab 11

1996 Words
Saat Firman menegurku, saat itulah aku baru sadar akan apa yang aku lakukan. Aku langsung menghentikan pelototan tajamku dan menggantinya dengan tatapan biasa. Aku hampir salah tingkah karena hal itu. Untungnya aku masih bisa menahannya. Di dalam hati aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Ada apa dengan diri ini? Ada apa dengan perasaannya? Ada apa dengan hati ini? Apa memang ini adalah bentuk dari rasa cemburu? Tapi, kenapa aku harus cemburu? Sebenarnya, siapa itu Shelania? Kenapa bisa dia membuatku merasa tertarik kepadanya? Sungguh sangat banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benakku. Masih seputar tentang Shelania. Aku benar-benar tidak bisa memungkirinya. Ini perasaan yang nyata datang dari diriku sendiri. Tanpa adanya paksaan ataupun semacamnya. Dulu, ada juga seorang perempuan cantik yang hampir membuatku jatuh cinta kepadanya. Namun pada akhirnya, hanya dalam waktu yang tak sampai 10 menit dirinya langsung membuatku kehilangan rasa ketertarikan itu. Monic namanya, panjangnya adalah Monica Listiana. Jika harus mengingatnya, aku merasa seolah-olah seluruh kebaikan yang ia berikan terhapus dengan begitu mudahnya oleh sebuah kesalahan fatal yang ia lakukan. Sebuah kesalahan yang benar-benar tak akan pernah bisa aku lupakan walaupun bisa memaafkannya. Itulah yang disebut dengan karena nila setitik rusak s**u sebelanga. Aneh juga menurutku. Dia saat itu sedang bersamaku, akan tetapi ia melakukan tindakan yang sangat aku benci tepat di depan mataku. Sebelumnya sudah pernah aku jelaskan tentang tindakan apa yang ia lakukan. Akan lebih baik jika tidak aku ceritakan lagi. Intinya, entah karena lupa bahwa aku ada bersamanya atau apa, sehingga membuat dirinya dengan tanpa ragunya melakukan sesuatu itu. Sekarang aku sudah memaafkannya. Ah, tidak. Dari dulu aku memang sudah memaafkannya. Akan tetapi kejadian itu tidak pernah bisa aku hilangkan dari ingatan. Sudah cukup bahasnya si Monic, atau Monica ataupun Listiana. Entah bagaimana kamu akan memanggilnya, terserah. "Oke, oke. Gue aja yang nganterin pesenan mereka." Setelah aku melotot dan Firman menegurku, dia segera berucap lagi seperti itu. "Iya. Udah sana," kataku. Dan saat itu dia benar-benar mengantarkan pesanan Shela dan Icha. Kulihat dirinya yang sibuk bercengkerama dengan mereka. Lama sekali hal itu terjadi. Aku juga tak tahu apa yang sedang ia bicarakan. Mungkin saja Firman sedang menggoda salah satu dari mereka. Dan lagi, ada sebuah perasaan tidak suka yang tercipta di dalam hatiku. Sebuah perasaan yang kuyakini adalah cemburu. Kuperhatikan mereka dari jauh. Dengan iringan perasaan yang tak bisa aku jelaskan. Hingga pada akhirnya si Firman pun berjalan menuju ke arahku lagi. Tak ingin kutanyai dia tentang kenapa lama sekali dalam mengantarkan pesanan. Tidak, saat itu aku sungguh-sungguh tidak menanyainya. Pikirku, tanpa aku tanyai pun dia pasti akan bercerita dengan sendirinya. Karena aku sudah tahu watak dia bagaimana. Benar saja. Asumsiku dibenarkan dengan dia yang baru saja datang dan langsung membuka pembicaraan. "Ternyata pacar Lo lucu juga, ya. Hahahaha," katanya sambil tertawa kala itu. "Pacar gue?" tanyaku. "Iya. Masa gue kasih tahu password wifinya malah dikira ngebaperin dia," katanya. Aku tertawa kecil. "Lagian password-nya juga aneh," ucapku. "Iya juga, sih. Bikin orang salah paham," kata Firman. "Hmmm ... Terus Lo gimana?" tanyaku. Entah kenapa saat itu aku jadi penasaran. "Ya gue sekalian baperin dia beneran, lah," jawab Firman dengan entengnya. "Cih." "Maksudnya yang satunya. Bukan yang cewek Lo," kata Firman mencoba menjelaskan. "Cewek gue siapa sih?" tanyaku saat itu. "Lah. Masih nanya lagi. Ya cewek itu, lah," ucapnya sambil menunjuk melalui isyarat mata. "Dia cuma temen," sangkalku. "Temen tapi demen?" "Terserah Lo, dah. Pusing gue," ucapku. Dia tertawa. Itulah awal pertama Shela tahu bahwa aku bekerja di sebuah warung kopi. Muncul pikiran buruk di benakku kala itu. Aku khawatir jika Shela juga akan menganggapku rendah akibat tahu bahwa aku ini hanyalah seorang pekerja di sebuah warung kopi. Namun nyatanya, ke depannya nanti apa yang aku khawatirkan tidak terbukti. Shela bukan orang yang seperti itu. Demikian juga Icha. Dan di malam itu, aku bahkan sampai mengantarkan mereka berdua pulang ke rumah. Waktu itu posisiku belum punya motor, namun Firman dengan baik hatinya rela meminjamkan motor kepadaku untuk mengantarkan kedua gadis cantik itu pulang. Bahkan dia juga yang memaksa untuk aku mengantarkan mereka. Desakan itu membuatku tak dapat menolaknya. Di sisi lain juga aku mengkhawatirkan keselamatan mereka jika pulang berdua saja. Walau bagaimanapun juga, mereka adalah dua perempuan yang cantik. Akan sangat berbahaya jika berkeliaran di dunia luar tanpa adanya seorang laki-laki yang melindunginya. Di malam itu pula lah aku harus dibuat takjub dengan sebuah rumah yang menjadi tujuan bagi mereka. Kukira itu adalah rumah milik Shela, akan tetapi setelahnya Shela menjelaskan bahwa itu adalah rumah milik Icha, sahabatnya itu. Aku benar-benar takjub pada bangunan besar dan mewah itu. Namun setelahnya, ada perasaan aneh yang kembali muncul dalam benakku. Ya, itu adalah tentang memoriku yang kembali mengingat tentang kematian ibuku. Rumah mewah seperti itu adalah simbol dari kehancuran keluargaku. Ibuku meninggal gara-gara bekerja di rumah seperti itu. Itulah mengapa hatiku terasa seperti teriris setiap kali aku melihat rumah besar dan mewah. Ya, itulah untuk pertama kalinya aku mengantarkan seorang perempuan bernama Shelania Putri Artasyah untuk pulang ke rumah. Akan tetapi, bukan rumah dia yang dituju, melainkan rumah sahabatnya. *** Berbicara tentang rumah besar dan mewah, sebenarnya aku sering sekali datang ke rumah si pembunuh itu. Setiap kali aku pergi ke sana, aku selalu membawa harapan yang besar supaya di pemilik datang lagi ke rumahnya. Akan tetapi harapanku selalu saja gagal. Setiap kali aku pergi ke sana, hanya rumah tak berpenghuni lah yang kulihat. Hingga suatu saat, ketika aku datang lagi ke sana, aku melihat ada sebuah mobil di halaman rumahnya. Pintu rumah itu juga terbuka dengan sempurna. "Apa dia kembali?" tanyaku pada diri sendiri waktu itu. "Heh, okelah. Ibu, aku akan membalaskan dendam ini." Sebuah pisau tajam yang kumasukkan di dalam kantong celanaku saat itu. Ya, jangan kaget. Bisa dibilang, cita-citaku adalah ingin menjadi seorang pembunuh. Dalam arti pembunuh bagi si manusia sialan itu. Nyawa harus dibayar nyawa, pikirku. Aku memang bodoh. Aku akui itu. Sepertinya, godaan dari makhluk tak kasat mata memang telah membuatku lupa arah. Aku bahkan tak punya sedikitpun pemikiran bahwa jika aku membunuh orang itu, maka aku bisa saja masuk ke dalam penjara. "Woi, keluar!" teriakku waktu itu saat berada di depan rumahnya. Ya biar bagaimanapun juga, meski di umurku yang masih terbilang sangat muda, aku tetap tidak akan mau menjadi seorang pecundang. Jikalaupun harus membunuh orang itu, aku tidak mau membunuhnya dalam diam. Dan aku juga ingin mendengar jawabannya dulu atas pertanyaan yang akan aku berikan. Saat itu pikirku, jika sampai dia tidak menjawab seperti apa yang aku harapkan, aku pasti akan langsung menyerangnya menggunakan pisau yang aku kantongi itu sampai dia benar-benar mati. Setelah itu terserah apa yang akan terjadi. Entah aku akan dipenjara atau bahkan dihukum mati sekalipun aku tidak peduli. "Keluar kau pembunuh!" teriakku lagi waktu itu. Tanganku sudah aku masukkan ke dalam kantongku. Bersiap untuk mengambil pisau dan menyerang lelaki itu. Jika kuingat-ingat, itu adalah kebodohan luar biasa yang pernah aku lakukan. Di usiaku yang masih sangat muda, aku bahkan sudah punya niatan untuk membunuh nyawa seseorang. Ingat baik-baik! Nyawa orang, bukan nyawa binatang. Kebencian dan dendam itu telah membuatku kehilangan akal sehatku. Hal itu membuatku tak bisa berpikir lebih jauh lagi. Hanya satu yang kuinginkan, dan itu seakan telah menjadi sebuah alasan kenapa aku tetap bertahan hidup di muka bumi ini. Sebuah keinginan besar untuk membalas nyawa dengan nyawa. Nyawa ibuku terlalu berharga untuk dihilangkan. Aku bahkan juga belum tahu apakah jika aku menghilangkan nyawa sang pembunuhnya, aku bisa puas atau tidak. Semua kebencian itu aku keluarkan pada hari itu. Sebuah teriakan keras yang pastinya akan membuat siapapun yang mendengarnya merasa tertarik dengan sang peneriak. Dan benar saja, waktu itu, beberapa saat setelah aku berteriak, seseorang keluar dari rumah besar itu dengan menampakkan raut wajah yang kesal. Akan tetapi, aku tidak mengenal seseorang itu. Dia memang lelaki paruh baya, sama seperti majikan ibuku yang juga merupakan pembunuh ibuku itu. Namun dia bukan si pembunuh itu. Lebih tepatnya aku tidak pernah mengenalnya. Ah, jangankan mengenal. Mungkin hari itu adalah untuk pertama kalinya aku melihat wajahnya. Lelaki itu berjalan pelan ke arahku dengan raut wajah penuh amarahnya. Tangan yang sudah memegang pisau di dalam kantong sedari tadi pun aku keluarkan. Dia bukan targetku, tak mungkin jika aku menyakitinya, apalagi kalau sampai membunuhnya. "Ada apa teriak-teriak di rumah orang? Gak ada sopan santun," katanya waktu itu. Mendengar dia yang bertanya dengan nada kesal, aku pun berusaha untuk menurunkan emosiku. Sekali lagi, dia bukan musuhku. Maka dari itu aku tidak boleh berbuat yang tidak baik ke dia. "Bapak ini siapa?" tanyaku kala itu. "Ditanya malah balik nanya. Saya pemilik baru rumah ini. Kamu siapa datang-datang malah teriak-teriak?" jawab sekaligus tanyanya. "Pemilik baru?" tanyaku. "Iya. Kamu siapa?" tanyanya balik dengan nada yang tidak enak. "Sebelumnya, maaf. Kedatangan saya ke sini untuk mencari si pemilik lama rumah ini. Kalau bapak tahu dia di mana, tolong beritahu saya." "Dia sudah menjual rumah ini ke saya. Setelah itu saya gak tahu dia ke mana," jawabnya. "Apa bapak tahu alamat rumah yang menjual rumah ini?" tanyaku lagi. "Tidak," jawabnya masih sangat ketus. Dan begitulah akhirnya. Ternyata rumah itu telah dijual. Rencanaku untuk menghabisi nyawa lelaki itu pun terpaksa harus gagal karena hal itu. Aku pulang dalam keadaan kecewa. Namun, juga harus aku syukuri. Kalau saja hari itu aku sudah membunuh si lelaki pembunuh ibuku, mungkin saja sekarang ini aku sudah tidak bisa menulis kisah ini. Aku tandai rumahnya, demikian juga wajah orangnya. Selalu muncul gambaran-gambaran wajah lelaki itu di dalam ingatanku. Dan setiap kali gambaran itu muncul, aku jadi kesal dengan sendirinya. Aku tahu bapak dan adikku juga sangat sedih saat ditinggal ibu pergi untuk selama-lamanya, akan tetapi mereka tidak sedendam aku. Mereka mungkin cuma membenci si pembunuhnya, tapi tidak dengan adanya keinginan untuk membalas dendam. Pernah suatu saat, aku dinasihati oleh bapakku tentang kebencian dan keinginan untuk balas dendamku itu. "Daniel, kamu tahu, bapak juga sangat sedih ketika tahu ibu kamu meninggal. Bapak juga sedih di saat melihat luka-luka yang diderita ibumu akibat dianiaya oleh majikannya. Tapi, bapak tidak dendam ke majikan ibumu itu. Bapak cuma ingin dia dihukum seadil-adilnya," kata bapakku kala itu. "Aku tidak dendam. Aku cuma mencari keadilan. Nyawa harus dibayar nyawa, Pak." "Kalau kamu melakukannya, kamu yang akan dihukum, Daniel," ucap bapakku. Tentu dengan suara batuk ciri khasnya. "Aku tidak peduli, Pak. Jikalaupun harus dihukum, yang penting pembunuh itu bisa merasakan bagaimana sakitnya kematian," ucapku kala itu. "Kamu mungkin nggak peduli pada diri kamu sendiri, tapi orang-orang yang menyayangimu akan merasa sangat sedih kalau sampai kehilangan kamu." Deg! Saat itu kuingat jantungku terasa berhenti berdetak. Hatiku membenarkan apa yang diucapkan oleh bapak, tapi keinginanku sudah terlanjur besar untuk dihilangkan. Meski begitu, apa yang dikatakan oleh bapak juga selalu kujadikan pedoman di dalam hidupku. "Iya Pak, aku mengerti." "Jika kamu mengerti, makanya jangan mendendam lagi. Kasihan adik kamu. Kasihan juga bapak. Biarkan saja ia mendapatkan karma dari apa yang ia perbuat," kata bapak. Aku diam mengiyakan meski dalam hati masih sangat besar tentang tujuan balas dendam itu. Aku tidak ingin membantah bapakku, yang sudah menjadi satu-satunya orang tua yang tersisa. Tapi, biar bagaimanapun juga dendam itu tidak bisa hilang dengan mudah. Meski kata-kata dari seorang yang kupanggil bapak itu telah berhasil sedikit menyadarkan aku, aku tetap berpegang teguh pada kebencian itu. Sebenarnya bukan cuma bapak yang pernah memperingatkan aku untuk menghilangkan kebencian yang ada pada diriku. Salsa, adikku, juga pernah melakukan hal yang sama seperti apa yang bapak lakukan. Pada saat itu aku sedang melihat foto ibuku. Entah karena mengingat kematiannya atau apa, saat itu emosiku mendadak muncul. Kupukul meja di depanku dengan begitu kerasnya, dan sialnya hal yang demikian itu tanpa kusadari diketahui oleh adikku. "Kak," ucapnya lirih. Aku ingat, dia menyapaku dengan nada yang berbeda dari biasanya. Maksudku, dia seperti agak ketakutan ketika melihat diriku waktu itu. Di saat aku menyadari bahwa ada adikku, aku pun sebisa mungkin menyudahi rasa kesalku itu. Kuganti raut wajah kesal itu dengan raut wajah biasa. "Iya, Sa," jawabku. "Kakak benci banget ya, sama orang yang udah membunuh ibu?" tanyanya lembut. Aku diam saja waktu itu. Kupandangi wajahnya yang polos. Entah kenapa, selalu muncul rasa kasihan ketika melihat raut wajahnya yang seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD