Bab 9

1724 Words
"Lo nggak mau dipandang lemah, tapi lo sendiri menempatkan diri lo di posisi yang bisa dipandang lemah oleh orang lain." Sepenggal kalimat yang pernah Shela ucapkan ke aku. Entah kenapa kata-katanya itu selalu terngiang-ngiang di benakku. Dia memang benar. Aku akui itu. Dengan sikapku dulu yang seperti itu, aku seolah-olah memposisikan diriku di posisi yang bisa dipandang lemah oleh orang lain. Tapi gadis itu tidak tahu alasannya. Gadis itu tidak tahu kenapa aku memposisikan diri di posisi itu. Seperti apapun kata-kata yang diucapkan oleh Shela. Seperti apapun juga perhatian yang ia nampakkan ke aku, aku tetaplah Daniel Mahendra yang tidak akan bisa percaya dengan mudah pada semua itu. Itulah aku. Waktu itu, jika ada daftar nama orang paling keras kepala, mungkin aku sudah masuk sebagai salah satunya. Dan mungkin juga menduduki peringkat yang paling atas. Menurutku, walaupun Shela sudah menunjukkan kebaikannya ke aku, tetap saja dirinya sama seperti kebanyakan orang kaya lainnya. Bagiku, benci tetaplah benci. Tidak peduli jikalaupun orang yang kubenci itu menarik di mataku. Shela, si gadis cantik yang benar-benar aku akui kecantikannya. Bahkan parasnya pun tak mampu meluluhkan kebencianku. Itu artinya perasaan benci dalam diriku pada saat itu benar-benar sudah sangat besar. Ibarat bom waktu, waktu yang tersisa hanya tinggal nol per sekian detik. Sudah tinggal menunggu waktunya untuk meledak saja. Aku tahu itu salah. Tapi apa boleh buat? Semua yang kulakukan bukanlah tanpa alasan. Mana mungkin ada orang yang bisa bersikap tetap tenang jika sudah berhadapan dengan musuhnya. Aku tahu, Shela tak ada hubungannya dengan si pembunuh ibuku, tapi posisinya sebagai anak orang kaya telah mengingatkan aku pada manusia b******k itu. Setiap kali melihat atau mendengar kata 'orang kaya', hanya kebencianlah hal pertama yang muncul di benakku. "Kak, aku boleh ngomong sesuatu?" "Ngomong apa, Sa?" tanyaku kala itu. "Sekarang, kakak udah SMA, terus aku juga sudah SMP. Aku ingin nanya. Kakak nanti pengen ngelanjutin kuliah?" tanya adikku. "Kuliah?" "Iya, Kak." "Doain aja, semoga kakak bisa kuliah," ucapku. Salsa dengan gaya polosnya hanya memandangku. Tatapannya khas tatapan gadis kelas 2 SMP. Polos sekali kelihatannya. "Kuliah pasti butuh biaya yang nggak sedikit, Kak." "Tapi aku ingin kakak meneruskan pendidikan sampai jenjang perkuliahan," kata adikku. "Iya. Kakak akan mewujudkan keinginan kamu," kataku. Bahkan saat itupun aku tak yakin bisa mewujudkannya atau tidak, karena aku hanya asal bicara saja. "Kalau aku berhenti sekolah saja gimana, Kak? Kan lumayan duit yang buat bayar sekolah aku kakak simpen buat modal kuliah nanti." "Berhenti sekolah? Nggak, kamu harus tetap sekolah," ucapku tegas. "Tapi, Kak, kalau aku tetap sekolah, kakak gak akan bisa nabung buat biaya kuliah nanti," kata adikku. "Kakak bilang sekali lagi. Kamu harus tetap sekolah. Jangan pernah lagi berpikiran untuk putus sekolah. Kamu harus sekolah setinggi-tingginya." "Buat apa sekolah tinggi-tinggi, Kak. Orang kecil seperti kita tidak akan bisa mendapatkan posisi yang tinggi di negara ini," kata adikku waktu itu. Sumpah, aku terperanjat ketika mendengar apa yang diucapkan oleh adikku. Gadis sekecil dia bahkan sudah mengerti tentang hal itu. Memang, pemikirannya pun hampir sama dengan pemikiranku. Tapi, sebagai seorang kakak yang baik, meskipun aku juga punya pemikiran seperti itu, aku tetap berusaha agar adikku tidak berpikiran seperti itu lagi. "Jangan ngomong gitu! Kamu tahu, alasan utama kenapa orang kecil kayak kita ini tidak bisa mendapatkan posisi yang tinggi di dalam negara ini, itu adalah karena pemikiran kita yang salah. Seperti apa yang kamu katakan itu. Kamu menganggap bahwa kamu tidak akan bisa mendapatkan posisi yang tinggi, maka ke depannya pun kami benar-benar tidak akan pernah bisa mendapatkannya. Bagaimana bisa kamu mendapatkannya sementara awalannya saja kamu sudah pesimis kayak gitu, Sa," ucapku panjang lebar. "Karena itu kamu harus tetap sekolah supaya nanti bisa mendapatkan gelar sarjana atau kalau perlu sampai dia atasnya sarjana. Biar nanti kamu bisa mendapatkan posisi yang tinggi di dalam negeri ini," lanjutku. "Hmm ... Tapi aku ...." Dia menggantung ucapannya. "Aku apa? Apa ada masalah dengan teman-temanmu di sekolah. Kami dibully? Diejek? Atau ada laki-laki yang tidak sopan sama kamu? Bilanglah! Jika memang begitu, kakak akan datengin ke sekolahan kamu nanti untuk memberi mereka pelajaran," ucapku. Dan memang, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Kalau memang benar ada orang yang berani membuat adikku merasakan luka, sementara adikku tidak bersalah, maka aku benar-benar akan bertindak sekalipun itu harus lewat jalur kekerasan. Bahkan jika harus disuruh datang ke sekolahannya pun akan aku lakukan. Karena bagiku, adikku adalah orang yang harus aku lindungi selalu. Tanggung jawabku begitu besar kepadanya. "Bukan, Kak." "Lalu?" "Aku ... Aku merasa kalau aku ini hanya beban dalam kehidupan kakak. Dengan aku putus sekolah, mungkin beban kakak akan sedikit berkurang," katanya. Betapa teririsnya hatiku di saat dia berkata seperti itu. Padahal tidak sedikitpun aku merasa terbebani meskipun harus membayar sekolah dia yang bisa terbilang lumayan mahal. Aku tidak pernah merasa bahwa dia adalah beban bagiku, akan tetapi dirinya yang merasa begitu. "Kamu kok ngomong gitu sih, Dik," kataku. Memang panggilanku ke dia itu suka berubah-ubah. Kadang langsung namanya, kadang juga dengan embel-embel "Dik". "Tapi benar kan, Kak, aku hanyalah beban. Sudah sebesar ini aku belum bisa membantu kakak dalam mencari uang," katanya. "Kamu masih kecil," ucapku. "Aku sudah besar, Kak. Sudah kelas 2 SMP," sangkalnya kala itu. "Kelas 2 SMP itu masih kecil. Belum wajib untuk nyari uang," ucapku. "Tapi kakak dulu juga kelas 2 SMP sudah kerja." "Karena waktu itu kakak sudah besar." "Ih, kan sama-sama kelas 2 SMP," kata adikku. "Beda." "Apa bedanya?" "Kakak ini laki-laki, dan kamu perempuan." "Memang kalau perempuan gak boleh kerja?" tanyanya ngeyel. Aku ingat betul tentang betapa ngeyelnya si gadis kecil itu supaya ia diperbolehkan untuk berhenti sekolah dan ingin bekerja saja. Ia tidak ingin membebani, katanya. "Salsa. Dengerin kakak! Jangan pernah berpikir untuk putus sekolah! Sekali lagi dan tolong dipahami. Jangan pernah berpikir untuk putus sekolah! Tentang kenapa kakak waktu seumuran kamu dulu sudah bisa bekerja, karena kakak ini seorang laki-laki. Kodrat laki-laki ya begini. Kamu perempuan. Mencari nafkah itu bukanlah kodrat perempuan. Lagipula, kamu ini masih mempunyai kakak dan bapak. Berbeda jika kamu cuma hidup sendirian. Pada saat itu kamu baru boleh bekerja," ucapku panjang lebar waktu itu. "Jalanmu masih panjang. Dan salah satu penyemangat utama untuk kakak bekerja adalah karena untuk biaya sekolahmu. Kalau kamu mau putus sekolah, berarti sama saja kamu sudah mematahkan semangat kakak. Kamu tega melakukan itu?" tanyaku kemudian. Ia diam sejenak, dan kemudian berucap. "Enggak," ucapnya lirih. "Nah, makanya itu. Kamu juga pasti akan membuat bapak kecewa kalau sampai putus sekolah. Dan kamu juga akan membuat ibu menangis di alam sana karena melihat anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikannya," ucapku. Salsa hanya diam sambil menundukkan kepalanya. Itulah aku, kalau kamu mau tahu. Terkadang aku adalah sosok penasihat yang baik, terlebih lagi untuk adikku. Aku akan melakukan yang terbaik untuk adik kecilku itu sekalipun harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri. Aku bersyukur karena punya adik seperti dia. Seorang adik yang bisa mengerti kondisi keluarga, seorang adik yang sangat perhatian kepada kakaknya dan juga keluarganya, dan juga seorang adik yang tidak ingin melihat kakaknya terbebani olehnya. Seperti itulah diriku ketika bersama adikku. Namun, itu masihlah ketika kami sedang melakukan perbincangan serius. Ada juga saat-saat di mana aku dikenal sebagai sosok orang paling jahil dan menyebalkan oleh adikku. Biar kuceritakan sedikit tentang kejahilanku kepada adikku. Aku pernah mencoret-coret wajah cantiknya menggunakan pulpen di saat dia sedang tertidur. Dan apa reaksi dia saat tahu wajahnya penuh dengan coretan pulpen? Ia menjerit-jerit heboh dan langsung menuduh bahwa aku lah yang melakukannya. Aku hanya tertawa, karena tuduhannya memang benar sambil menahan geli akan pukulan demi pukulan yang ia lancarkan ke aku. Aku juga pernah memasukkan batu besar ke dalam tas sekolahnya. Saat itu kuingat tepat ketika dia mencangklong tas sekolahnya, dia merasa sangat keberatan. Aku harus menahan tawa karenanya. Hingga entah karena merasa ada yang aneh atau apa, dia pun membuka tasnya dan menemukan batu besar itu. Lagi-lagi, orang pertama yang ia anggap sebagai tersangka adalah aku, dan aku tentunya langsung mengakuinya sembari tertawa kencang. Namun, pada saat itu pula aku diceramahi oleh bapakku agar tidak melakukan hal itu lagi. "Daniel, jangan keterlaluan kalau bercanda. Kasihan adik kamu. Kalau sampai dia membawa batu itu sampai di sekolahan, gimana?" kata bapakku kala itu. Aku hanya bisa mengucap, "iya Pak". Namun, semarah apapun bapakku, dia tidak pernah berlebihan dalam memarahi anak-anaknya. Bukan karena penyakit yang ia derita. Bahkan sebelum bapak terserang penyakit itupun dia tetaplah bapak yang sama. Maksudku, dia tidak pernah berlebihan dalam memberi pelajaran pada anak-anaknya. Di saat mungkin bapak-bapak lain akan membentak atau bahkan memukul ketika anaknya berbuat kesalahan, dia malah hanya memberikan nasihat demi nasihat bijak dengan nada suaranya yang bisa kugambarkan dingin sepertiku. Dan anehnya, setiap nasihat yang ia ucapkan, itu seperti melekat di dalam ingatanku. Dalam arti tak pernah bisa hilang kecuali dihilangkan oleh dua hal, yaitu lupa ingatan dan juga kematian. Ah iya, kembali lagi ke adikku. Demikianlah kejahilanku padanya. Sebenarnya masih banyak kejahilan lain yang aku lakukan, akan tetapi kurasa hal itu tidak perlu aku ceritakan. Hari-hariku yang kelam, penuh dengan penderitaan, rasa sakit dan hanya dihiasi dengan sedikit kebahagiaan. Namun, aku juga harus berterimakasih pada keadaan. Karena penderitaan yang aku alami, aku bisa tumbuh menjadi lelaki yang kuat, yang bisa mengurus hidupnya sendiri, bahkan juga keluarganya. Aku juga bisa tidak tumbuh menjadi lelaki yang manja, yang bisanya cuma menghabiskan duit orang tua saja. Seperti mereka, teman-teman sekelasku. Entah apa masalah mereka denganku sehingga dengan bangganya mereka selalu menjahati aku. Awal-awalnya hanya para laki-lakinya saja yang melakukan hal buruk ke aku, lama-kelamaan merembet ke anak perempuan. Pernah suatu ketika, seorang gadis yang bisa dibilang tidak terlalu cantik membuatku berada di posisi sangat terhina. Waktu itu kuingat permasalahannya sangat sederhana, dan bahkan tidak seharusnya diakhiri dengan hinaan dan cacian. Hari itu, di saat istirahat jam pertama. Aku berjalan entah mau ke mana. Dan saat itu kutahu posisi berjalanku berada di antara teman-teman sekelasku. Di belakangku ada dua lelaki yang merupakan teman sekelasku yang tak mau kusebutkan namanya. Lalu di depanku ada si gadis yang kumaksud sedang berjalan bersama satu temannya sambil membawa gelas plastik berisi minuman. Dan di situlah permasalahannya tercipta. Aku merasa seseorang telah mendorongku hingga pada akhirnya aku menabrak gadis itu sampai dia sekaligus minuman yang dibawanya jatuh. Sungguh hal itu tak ada unsur kesengajaannya sama sekali. Aku telah didorong oleh salah satu dari dua lelaki yang berjalan di belakangku itu. Tapi apa kau tahu apa yang setelahnya terjadi? Gadis itu dengan tanpa ragunya langsung berdiri tegap dan mulai marah-marah ke aku. "Heh, punya mata gak lo?!" tanyanya tak santai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD