Bab 17

1989 Words
Tapi asal dia tahu. Aku cemburu ketika melihatnya berduaan dengan Pasha. Dia memang bukan siapa-siapa aku, tapi rasa cemburu itu adalah rasa yang datang dengan sendirinya. Mana mungkin aku bisa mencegahnya. Bahkan, cemburuku kubawa sampai waktu malam hari di saat aku sedang bekerja di warung kopi. Saat itu yang aku ingat Firman sedang menanyaiku tentang Shela. "Oi, pacar Lo gak ke sini?" tanya Firman. "Pacar gue? Siapa?" tanyaku balik. "Itu. Si Shela. Yang cantik itu lah. Siapa lagi?" ucap Firman. "Udah berapa kali gue bilang, dia bukan pacar gue," ucapku. Entah mengapa muncul perasaan tidak suka di saat nama Shela disebut oleh Firman. "Hadeh, Niel. Lo kapan sih mau mengakui pacar Lo sendiri? Harusnya Lo bersyukur punya dia. Dia cantik, baik pula. Apa kurangnya sih dia buat Lo?" kata Firman. Aku diam. "Emang ke mana dia? Kok gak ke sini?" tanyanya kemudian. "Gak tahu. Ke rumah cowoknya mungkin," jawabku. "Lah. Cowoknya kan Lo," kata Firman. Aku diam lagi. Setelah itu kami pun saling diam. Tidak ada yang membuka percakapan baik aku maupun dia. Hingga beberapa saat kemudian, dia pun mulai membuka suara. "Ah, gue tahu sekarang. Lo ada masalah ya, sama Shela?" tanyanya. "Nggak," jawabku. "Gak usah bohong Lo! Gue tahu. Pasti di antara lo berdua sedang ada masalah. Mungkin Lo cemburu karena Shela sedang Deket dengan cowok lain," tebaknya. Dan harus kuakui bahwa tebakannya itu sangatlah benar. Maka karena itulah aku menanggapinya dengan diamku. Ingin bilang tidak, berarti aku akan membohongi diriku sendiri dan tentunya juga dia. Tapi jika aku bilang iya, aku gengsi. "Hahaha.... Bener kan dugaan gue? Daniel, Daniel. Denger, ya. Kalau emang dugaan gue itu bener, Lo tidak seharusnya bersikap kayak gitu. Lo harusnya cari tahu dulu tentang kebenarannya. Apakah Shela benar-benar ada hubungan yang spesial dengan cowok itu atau semuanya cuma pemikiran Lo yang salah aja. Lagipula gue yakin kalau Shela orangnya tidak seperti itu. Gue percaya dia itu tipe cewek yang setia. Nggak mungkin kalau dia selingkuh," kata Firman panjang lebar. Yah. Mungkin aku saja yang terlalu terbawa perasaan. Kala itu kubenarkan apa yang Firman katakan. Perempuan seperti Shela bukanlah orang yang mudah untuk jatuh cinta. Selalu begitu. Meski tidak ada untungnya buat Firman, dia selalu saja menjadi penasihat yang bijak atas hubunganku dengan Shela. Tak peduli jikalaupun dirinya sendiri belum punya pasangan, yang penting ia bisa melihat rekan kerja yang sudah dianggapnya sebagai sahabat dan juga adik ini bisa menemukan cinta sejatinya. Jika ada kata yang mau kuucapkan ke dia, aku cuma ingin mengucapkan terimakasih. Terimakasih atas segalanya. Segala kebaikan yang belum tentu bisa aku lakukan juga kepadanya. *** Jakarta yang dulu tak jauh beda dari yang sekarang. Tentu saja. Aku bukanlah manusia yang hidup pada masa penjajahan. Bukan pula manusia yang hidup di tahun di mana gedung-gedung dan perumahan belum dibangun secara megah-megahan. Aku juga bukanlah manusia yang hidup di masa suasana jalanan kota metropolitan masih belum semacet sekarang. Aku tetaplah manusia yang hidup di era baru. Ya, dari aku bayi sampai saat ini, mungkin bisa dibilang zamanku hidup adalah sebuah era baru, era modern. Ah, entahlah. Aku juga tak tahu apa anggapanku itu betul atau salah. Tapi sepertinya sewaktu aku masih bayi, zaman itu masihlah belum masuk ke era modern. Namun, meski Jakarta yang sekarang tidak jauh beda dari yang dulu, bukan berarti tidak ada perbedaan. Sekarang taman itu sudah tidak ada. Ya, taman yang dulu itu. Sebuah taman yang menjadi saksi bisu sejarah kebersamaanku dengan adikku dan juga Shela. Sekarang, di area itu sudah dibangun sebuah gedung besar yang ketika melihatnya, aku selalu ingin merobohkannya. Dulu, keindahan dari sang senja bisa aku lihat dari taman itu. Jati diriku juga seakan terbentuk di sana. Aku selalu melihat betapa kerasnya perjuangan para pedagang yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dari situ jugalah aku termotivasi untuk berjuang lebih keras lagi agar bisa mewujudkan semua mimpi dan cita-cita. "Para pedagang itu orang-orang yang hebat," ucapku kala itu. "Hebat gimana, Kak?" tanya adikku. "Kakak juga gak tahu. Asal bicara saja. Hahaha," jawabku. "Lah." Terhitung sudah banyak sekali aku mengunjungi taman penuh kenangan itu. Terlebih lagi bersama adikku. Aku sangat ingat saat-saat ada berita tentang rencana pembangunan sebuah gedung di sana. Kala itu, adikku bahkan sampai menangis, seakan tak ikhlas kalau sampai hal itu benar-benar terjadi. Namun, baik aku maupun dia juga tak bisa mencegah rencana itu. Aku ini siapa? Adikku juga siapa? Mana mungkin kami bisa mencegah rencana pembangunan itu. Rasa sakit yang adikku rasakan pun juga aku rasakan. Saat itu dia pasti sangat sedih. Sebuah taman yang penuh dengan sejarah baginya harus lenyap dan tergantikan oleh sebuah gedung yang menyebalkan di matanya. Aku pun begitu. Walau bagaimanapun juga, bagiku tempat itu telah menyimpan sejarah yang luar biasa selama aku hidup. "Aku gak mau kalau taman itu sampai hilang, Kak." Dia merengek seperti anak kecil saat itu. Padahal soal umur, ia terbilang sudah besar. "Kakak juga gak mau. Tapi kita bisa apa, Sa?" "Kenapa sih harus dibangun gedung? Apa hebatnya bangunan seperti itu? Malah menjadi sarang hantu saja." Dia berbicara dengan penuh emosi. "Seharusnya biarkan saja tempat itu menjadi taman. Biarkan saja selamanya seperti itu. Kayak nggak ada tempat lain aja buat membangun gedung." "Mereka enak, karena keinginan mereka bisa terpenuhi, tapi kita, juga para pedagang yang selama ini menggunakan taman itu sebagai tempat berdagang, pasti akan sedih." Waktu itu aku tidak mampu berkata-kata lagi. Semua ucapan yang keluar dari mulut Salsa adalah berisi emosi. Ya, ia benar-benar sudah termakan oleh emosinya sendiri. Wajar sih, bagaimana mungkin ada orang yang masih bisa baik-baik saja ketika kenangan indahnya akan dihilangkan oleh orang lain. Oh iya. Tentang rencana pembangunan gedung di taman penuh kenangan itu, kalau tidak salah terjadi sewaktu liburan semester genap. Saat itu aku akan naik ke kelas 12, sedangkan Salsa akan memasuki jenjang baru yang dinamakan jenjang SMA. Semua kenangan telah melekat di dalam memorinya, dan di saat itu pula suatu hal dengan mudahnya menghilangkan kenangan itu. Dari yang awalnya berbentuk taman, akan diubah menjadi bentuk gedung tinggi. Semua itu sungguh memuakkan. Ketidak sukaan yang kami rasakan kala itu hanya menjadi sebuah perasaan yang tak bisa kami nampakkan. Protes? Protes ke siapa? Itu bukan tanah kami. Maksudku, itu bukan tanah yang menjadi hak milik kami. Baik aku maupun adikku hanya mempunyai kenangan saja di tempat itu tanpa mempunyai kepemilikan atasnya. Hanya saja, aku merasa tidak terima pada keputusan untuk membangun sebuah gedung di taman itu. Tempat di mana untuk pertama kalinya kuperkenalkan dunia luar ke adikku, saat itu harus hilang. Tempat di mana aku bisa mengetahui tentang jajanan yang paling disukai adikku, kala itu juga harus rela kulepaskan. Mungkin bukan hanya aku dan adikku saja yang sedih dan merasa tidak terima, akan tetapi juga para pedagang yang terbiasa mangkal di sana. Dari situlah metropolitanku berkembang. Dengan mengorbankan banyak sekali kenangan dari orang lain. Jakartaku tumbuh dari tangisan kesedihan akibat hilangnya tempat kenangan yang dimiliki oleh seseorang. Terlahir dari setiap tetesan darah dan keringat para pahlawan, dan tumbuh dari setiap tetes air mata yang mengalir dari banyaknya manusia. Heh, seolah-olah, semua tentang kehidupan kota ini adalah tentang kesedihan. Aku benci mengakuinya, tapi sepertinya itu memang benar. Ah, lupakan saja kejadian itu. Bahkan jika rasa tidak terima itu tetap aku pertahankan sekalipun, tetap saja tamanku tak akan pernah bisa kembali lagi. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Gelas sudah terlanjur pecah. Realita sudah terlanjur terjadi. Lalu apa? Jawabannya adalah hanya tinggal mengenangnya dan ikhlas dengan semua yang telah terjadi. Kukembalikan kisah ini ke kisah yang semestinya aku ceritakan. Banyak hal yang telah aku lalui. Banyak hal pula yang telah aku ketahui dari Shela. Tentang dia yang berduaan dengan Pasha di hari itu, aku mencoba untuk berpikir positif saja. Berpikir bahwa itu hanyalah sebagai bentuk pertemanan mereka saja. Aku juga tak semestinya cemburu, karena Shela pun bukan siapa-siapa aku. Di hari-hari berikutnya, kudapati dirinya yang semakin gencar dalam usaha untuk mendapatkan hatiku. Tapi di setiap hal itu, selalu kuiringi dengan sebuah sikap bodoh yang aku tujukan ke dia. Kalau kupikir-pikir, aku pun tak mengerti kenapa sikap itu selalu saja muncul dari dalam diriku. Kau tahu? Jika boleh mengaku, aku senang ketika ia selalu ingin dekat denganku. Akan tetapi sikapku seakan tak menyetujui perasaanku itu. Sebuah sikap yang berlawanan dari perasaanku pun muncul dan aku tujukan ke dia. Mungkin Shela pun merasa sakit akibat perlakuanku. Tapi entah juga, aku tak bisa membaca isi hatinya. Meski begitu, aku juga sering sekali menolongnya. Ya, jangan salah! Seburuk apapun sikap yang aku nampakkan ke dia, aku tetap memberikan pertolongan untuknya ketika dia berada dalam masalah. Bukannya membicarakan kebaikanku atau apa. Aku tidak bermaksud untuk itu. Aku hanya ingin semuanya tahu bahwa Shela pernah aku pinjami jaket di kala dia kedinginan. Shela sudah menceritakan kejadian itu, jadi tidak perlu lagi aku ceritakan. Dia juga pernah aku tolong sewaktu ban motornya bocor. Tak lupa pula aku menunjukkan kepedulianku kepadanya lewat kata-kata nasihat agar dia bisa berubah menjadi perempuan yang sebenar-benarnya perempuan. Senyumannya itu, sebuah senyuman yang rasanya tak pernah hilang dari wajahnya. Sekali lagi, tak pernah hilang, atau bahkan tidak akan pernah hilang. Dalam keadaan apapun, meski sikapku ke dia sangatlah buruk, dia tetap menampakkan senyum itu seolah-olah tak sedikitpun merasa aku sakiti. Dan sialnya, di saat hal itu sudah berlalu, aku sendiri yang malah menyesal karena telah melakukannya. Lalu di hari esoknya aku melakukan hal yang sama lagi. Sungguh bodoh sekali aku waktu itu. "Woi!" Suatu ketika, waktu di sekolah, sesuatu terjadi padaku. Dito, salah satu teman sekelasku menghampiri aku yang sedang duduk di bangku dengan tatapannya yang penuh dengan amarah. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya waktu itu. Seingatku, aku tak melakukan kesalahan sedikitpun kepadanya. Dia menggebrak meja yang ada di depanku dengan kasarnya. Aku diam saja, mencoba untuk tetap tenang. Kupandang dirinya yang sedang marah dengan tatapan biasaku. Aku tak bertanya, karena aku memang malas melakukannya. Kutahu pertanyaanku pasti malah membuat emosinya semakin menjadi-jadi. Karena itulah aku memutuskan untuk diam. "Bisa sadar diri sedikit gak Lo?!" tanyanya ngegas kala itu. Dan dari pertanyaannya itu aku tak mengerti apa yang dimaksudnya. Masih diam dan memandangnya tajam. Mungkin hanya itu yang bisa aku lakukan. Tak sedikitpun aku berniat untuk membalas ucapannya. Kalaupun harus dituntaskan dengan cara berantem saat itu juga, aku siap. Namun amarahnya harus terhenti karena suara bel masuk. Aku belum mendapat jawaban atas amarahnya itu. Di saat yang demikian aku pun menganggapnya biasa. Karena memang begitulah kelakuan orang-orang di kelasku kepadaku. Dan hal itu terjadi di saat hanya ada aku dan Dito saja di dalam kelas. Kukira semuanya akan berakhir karena suara bel tanda masuk berbunyi. Namun ternyata dugaanku salah. Pada saat pulang sekolah, Dito dan kedua temannya yang tidak ingin kusebutkan namanya tiba-tiba menarikku secara paksa. Suara Dito yang penuh amarah turut menghiasi kejadian itu. "Ikut gue, sialan!" Aku dibawanya ke belakang sekolah. Lebih tepatnya di suatu area yang penuh dengan tumpukan sampah. Di sanalah aku mengetahui alasan dia melakukan hal itu adalah karena dia menganggap bahwa aku sudah mencoba mendekati Ara yang merupakan cewek incarannya kala itu. Padahal aku tidak pernah melakukannya. Pastilah ada seseorang yang telah menyebarkan berita bohong itu ke Dito. Namun aku tahu, meski aku menjelaskannya ke Dito kala itu, tetap saja dia tidak akan percaya. Kejadian kala itu sudah pernah diceritakan oleh Shela di buku, "Daniel Mahendra (Semua Tentang Kita)". Ya, hampir semuanya sudah ada di sana. Tugasku tinggal menceritakan sesuatu yang belum ada di sana. Dari konflikku dengan Dito yang berujung pada pertarungan ku dengan dia dan kedua temannya itulah aku akhirnya mulai menyadari bahwa Shela adalah sosok manusia yang benar-benar tulus mencintaiku. Sesuatu yang ia lakukan kala itu telah membuka hatiku. Anak orang kaya seperti dia mau membantuku untuk mencari kalung yang dibuang Dito ke tumpukan sampah yang pada akhirnya dia juga lah yang menemukannya. Aku sangat berterima kasih padanya. Jika saja aku punya banyak uang dan ia mau menerimanya, mungkin aku akan memberikan sebagian atau bahkan tiga perempat dari uangku itu sebagai bentuk rasa terima kasihku ke dia. Karena apa? Karena ia telah menemukan kalung yang sangat berharga bagiku. Sebuah kalung yang bisa mengingatkan aku pada ibuku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD