Bab 12

2000 Words
"Kakak benci, aku juga benci, Kak. Andai dia nggak menganiaya ibu, pasti ibu masih hidup sampai saat ini. Aku juga gak terima, Kak. Aku ingin dia dihukum seberat-beratnya," kata adikku saat itu. Aku masih diam. "Kalau boleh mengaku, aku juga ingin membalaskan dendam atas apa yang orang itu lakukan pada ibu. Tapi ...." Dia menggantung ucapannya. Aku tetap diam menunggu ia melanjutkan perkataannya. "Tapi kata guruku, dendam itu tidak baik, Kak. Balas dendam hanya akan memperkeruh keadaan. Mungkin saat dendam kakak terbalaskan nanti, akan timbul masalah baru lagi. Dan mungkin juga, orang-orang yang menyayangi si pembunuh ibu itu tidak terima dan akhirnya timbul keinginan untuk balas dendam ke kakak. Begitupun seterusnya. Makanya, aku harap kakak menghentikan dendam ini. Tak apa kalau ingin membenci, tapi jangan mendendam ya, Kak," ucap adikku kala itu. Aku nggak tahu, kenapa gadis seumuran dia bisa berbicara sebijak itu. Pemikirannya bahkan lebih jauh dari aku. Harus kuakui itu. Di saat dia memikirkan dampaknya, aku bahkan tidak peduli sama sekali akan hal itu. Bagiku, yang terpenting adalah tujuanku tercapai. Itu saja. Aku juga sebenarnya bingung, kenapa bisa ia mengetahui bahwa aku memendam dendam yang teramat besar kepada si manusia baju*gan itu? Padahal, aku tidak pernah membicarakan dendam itu dengannya. "Kakak jangan diam saja. Jawab aku, Kak," pintanya. "Kak, kakak tolong jangan ada dendam-dendaman lagi, ya. Aku tidak suka. Biarkan Allah saja yang membalasnya," lanjutnya. Aku pun tersenyum. Selepasnya, aku membelai rambut indahnya itu dengan penuh kasih sayang. Adikku yang hebat. Ternyata ia bisa menasihati kakaknya juga. Adikku yang pengertian. Ternyata ia memang sangat takut jika ada hal buruk yang terjadi padaku. Jujur, aku bangga punya adik sepertinya. Selain bapakku, jika ditanya tentang orang yang paling ingin aku lindungi dan aku bahagiakan, maka aku akan menjawab bahwa itu adalah adikku. Segala tentangnya adalah anugerah yang diberikan oleh sang pencipta kepadaku. Maka dari itu, aku ingin selalu membuatnya bahagia. Senyumnya adalah alasan kenapa aku tetap menjadi lelaki yang kuat. Tak kan kubiarkan senyum itu pudar, selamanya. Ya, selamanya aku akan selalu menjaga dan melindunginya. "Heh, anak kecil sok tahu banget, sih," ucapku lembut. "Ihhh, siapa yang anak kecil? Aku udah gede, tahu," kata adikku. "Oh ya?" "Iya lah. Lihat nih, tinggi, kan?" tanyanya sambil menyuruhku untuk melihat postur tubuhnya. Aku tersenyum, lalu berdiri tepat di depannya. Tujuanku cuma satu, yaitu membandingkan tinggi badanku dengannya. "Tinggi apaan? Pendek gini," ucapku seraya menempelkan tanganku ke puncak kepalanya. "Iiihh." Memang benar. Saat itu, tinggi badan adikku hanyalah sebatas leherku saja. Mungkin karena itu jugalah aku harus menyebutnya gadis yang imut. Dan dia pun bisa lupa pada apa yang telah ia katakan sebelumnya hanya karena tingkah usilku itu. Setelah itu, meski sudah mendapatkan nasihat dari sang adik, aku tetap menjadi lelaki yang penuh dendam dan kebencian. Sifat keras kepalaku benar-benar sulit untuk kuubah. Karena sifat itu, tak ada seorang pun yang bisa menghentikan tekadku. Bahkan bapak dan adikku sekalipun. Tapi wajar saja. Saat itu aku masihlah seorang remaja yang emosinya masih labil. Aku tak bisa atau bisa dibilang juga tak mau memikirkan apa yang nantinya akan terjadi jika aku melakukan suatu hal buruk seperti itu. Bapakku yang hebat dan adikku yang pengertian. Itulah dua manusia ajaib yang menjadi alasan utama kenapa aku masih tetap mau ada di bumi ini. Selain itu aku juga punya alasan yang lain. Apa itu? Tentu saja balas dendam. Kalau kamu mau tahu, jujur aku sangat merindukan suatu hal. Suatu hal yang disebut dengan canda tawa bersama teman-teman. Sudah sangat lama rasanya aku tak pernah mendapatkannya. Terakhir kalinya hal itu terjadi, mungkin pada saat aku masih kelas 1 sampai 2 SMP. Setelah itu, aku seakan kehilangan momen-momen itu. Kematian ibuku lah penyebabnya. Sejak hari itu, seorang Daniel Mahendra telah dikenal sebagai lelaki paling dingin sejagat raya. Ya, dulu aku memanglah lelaki yang lumayan ceria, akan tetapi setelah kematian ibuku, aku telah berubah menjadi lelaki yang sangat dingin dan tidak pedulian. Karena itu pulalah banyak dari teman-teman SMP ku yang lebih cenderung untuk menjauh dariku. Bukan karena mereka tak mau berteman denganku, tapi lebih tepatnya mereka merasa bahwa aku orangnya tidak asyik. Namun, hal buruk itu semakin bertambah buruk di bangku SMA. Sudah banyak sekali kuceritakan tentang kejahatan teman-teman sekelasku semasa SMA. Mereka benar-benar tidak punya hati. Mereka tak pernah mau mengerti perasaanku. Mereka sudah seperti iblis yang jika berbuat kesalahan, tak punya rasa berdosa sedikitpun. Shelania, si gadis iblis berwajah bidadari itulah satu-satunya orang yang bisa menghargai ku di tempat itu. Ia bahkan sering sekali mengunjungi aku ketika di luar sekolah. Maksudku, ketika sudah tidak jamnya untuk sekolah lagi. Entah disengaja atau tidak, dia juga berhasil mengetahui tempat kerjaku yang lain selain di warung kopi yang memang sudah ia ketahui. Sebuah tempat kerja yang berada di toko buku. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran gadis cantik itu. Gadis sesempurna dia kenapa mau mengejar-ngejar lelaki rendahan sepertiku. Itulah yang aku pikirkan waktu itu. Aku selalu berpikir negatif tentangnya. Pikirku mungkin saja ada maksud terselubung atas kebaikannya itu. Selalu saja begitu. Aku benar-benar tidak bisa dengan mudah menerima kebaikannya. Masalah Shelania bahkan sampai membuatku langsung bertanya ke pakarnya. Siapa lagi kalau bukan Kak Soni yang waktu itu masih berada di dalam penjara. Ya biar bagaimanapun juga, Kak Soni adalah orang yang lebih mengerti tentang cinta daripada aku. "Di sekolahanku, ada gadis aneh yang mengejar-ngejar aku. Namanya Shela. Menurut Kak Soni, bagaimana aku harus menyikapinya?" tanyaku kala itu. "Gadis aneh? Gila maksudnya?" tanyanya balik. "Cih. Ya enggak, lah." "Hmm ... Oke, oke. Kalau tidak gila, pasti dia gadis yang gak cantik, kan?" tebaknya lagi. Aku hampir tertawa karenanya. Pasalnya tebakannya itu sangat melenceng jauh. Bisa-bisanya dia menyebut Shela sebagai gadis yang gak cantik. Andai dia tahu tentangnya, mungkin ia pun akan langsung jatuh cinta. "Gak cantik? Tidak juga. Dia cantik, anak orang kaya pula," ucapku. "Anak orang kaya? Apa nggak salah?" tanyanya. "Iya. Nggak salah gimana?" "Apa jangan-jangan kamu aja yang terlalu percaya diri, merasa bahwa dia suka sama kamu?" tebaknya lagi. "Heh." "Kak Soni kan tahu sendiri bagaimana aku," ucapku. "Itu kamu yang dulu. Kamu yang masih bocah, yang belum paham apa-apa soal cinta. Sekarang, mana aku tahu soal kamu," katanya. Pikirku, benar juga apa yang dikatakan Kak Soni. Dia tak pernah melihat dunia luarku semenjak ia dipenjara. Tentang bagaimana aku, pastilah ia tak tahu secara pasti. Jeruji besi itu telah menghambat keinginannya untuk terus mengawasi aku. Terkadang aku juga kasihan kalau harus melihat ibu dan bapaknya Kak Soni yang kondisinya juga tak jauh beda dari keluargaku. Maksudku, sama-sama hancur. Keluargaku yang hancur karena perginya sang ibu untuk selamanya, dan keluarga Kak Soni yang hancur karena Kak Soni dipenjara. Namun, kurasa jika boleh adu nasib, keluargaku masih jauh lebih parah. Oh ya, keluarga Kak Soni juga tinggal tak jauh dari rumahku. Mereka adalah orang-orang yang baik. Seringkali aku berkunjung ke sana, karena biar bagaimanapun juga, mereka sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri. Mereka juga kerap meminjamkan motor mereka untuk aku buat sekolah ataupun pergi ke tempat kerja. Motor itu sebenarnya adalah milik Kak Soni. Berhubung aku masih belum punya motor pada saat itu, maka mereka pun meminjamkannya untukku. Sungguh keluarga yang sangat baik. Maka dari itu, selalu terucap dalam batinku untuk tidak akan pernah melupakan kebaikannya. Dan selalu terucap juga tentang aku yang suatu saat akan membalas semua kebaikan itu. Mereka adalah keluarga yang kurang berada, sama sepertiku. Anehnya malah orang-orang seperti itu yang mau menolong. Ke mana orang-orang yang katanya punya segalanya? Mereka bahkan tak ada yang mau menolongku waktu itu. Demikianlah seorang pembenci ini tumbuh. Menurutku, malah lebih bagus jika mereka tidak ada yang membantu. Itu akan lebih membuatku yakin untuk tetap membenci mereka. "Hufff ... Iya juga, sih." "Tapi sifatku nggak jauh beda dari yang dulu. Maksudku, aku tetaplah seorang lelaki yang sangat sulit untuk jatuh cinta. Aku juga orang yang tidak pedulian. Tapi, untuk yang satu ini, aku merasa bahwa Shela memang mencintaiku," ucapku. "Kalau dia cantik dan dia juga mencintai kamu, kenapa kamu ragu?" tanya Kak Soni. "Masalahnya, aku gak tahu alasan dia suka sama aku. Kakak tahu? Aku adalah orang yang dianggap paling rendah di sekolahan itu. Sementara Shela posisinya terbilang cukup tinggi. Bagaimana mungkin ia mencintai aku kalau tak ada maksud," kataku. "Daniel, Daniel. Satu hal yang harus kamu tahu. Cinta itu bisa datang secara tiba-tiba. Tanpa adanya maksud dan tujuan pun cinta itu bisa datang. Bahkan jikalaupun yang satunya ibarat bumi dan yang satunya ibarat langit," ucap Kak Soni. "Jadi, jika kamu juga suka sama dia, lebih baik kamu terima saja dia," lanjutnya. "Aku gak tahu, Kak. Umurku masih segini. Rasanya tak pantas untuk cinta-cintaan. Lalu...." Aku menggantung ucapanku. Kuingat betul waktu itu aku mengepalkan tangan kananku menahan kesal. "Lalu apa?" "Lalu ... Shela berasal dari kaum yang aku benci. Ibu meninggal karena kedzaliman salah satu manusia yang berasal dari kaum itu. Aku tidak bisa menerimanya. Sampai kapanpun juga aku tidak akan pernah melupakan kematian ibuku," ucapku kala itu. Mendadak situasinya pun jadi hening. Tak ada suara yang keluar baik dari mulutku maupun mulut Kak Soni. Kak Soni juga sepertinya mengerti perasaanku yang teringat akan kematian ibuku. "Menurut Kak Soni, aku harus gimana dalam menanggapinya? Di satu sisi aku ingin tetap meneruskan kebencianku ini, tapi di lain sisi aku merasa bersalah jika aku harus benci pada orang yang telah baik ke aku. Aku harus bagaimana, Kak?" tanyaku. "Hmmm ... Kalau aku punya pendapat, apa kamu akan menerimanya?" tanya Kak Soni balik. "Mungkin saja. Kalau bagus," jawabku. "Oke. Menurutku, hilangkan saja kebencian itu. Gak baik benci-bencian. Apalagi kalau orang yang kamu benci itu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang kamu hadapi," katanya. "Dan jika memang kamu juga suka ke dia, lebih baik kamu menunjukkannya. Ingat! Saat nanti gadis itu sudah kehilangan rasanya ke kamu karena kamu sia-siakan, kamu pasti akan sangat menyesal," ucapnya lagi. "Kamu bilang di umurmu yang segini belum pantas untuk cinta-cintaan, kan? Soal itu, sepertinya kamu memang benar. Tapi bukankah wajar kalau di umurmu yang segini kamu sudah tertarik ke lawan jenis? Ya, itu sih kalau menurut aku, Niel. Kamu harus menghilangkan kebencianmu demi cinta yang sudah menantimu," lanjutnya. Di hari itu, aku sudah mencatat bahwa tiga orang terpenting dalam hidupku semuanya telah menyuruh aku supaya menghilangkan kebencian dan dendam yang ada di dalam diriku. Aku tentu tak habis pikir akan semua itu. Mereka bisa dibilang adalah para manusia yang paling mengerti perasaanku, tapi faktanya mereka juga ingin aku mengakhiri semua kebencian itu. Aku berpikir. Apa yang salah dari orang yang mencari keadilan? Apa juga yang salah dari orang yang benci ketidak adilan? Satu hal tentang cinta. Pada hari itu Kak Soni telah memberikan sebuah pendapat yang selalu bisa aku ingat setiap saat. Dia memintaku untuk lebih menghargai Shela. Dia tidak ingin aku terlihat seolah-olah aku menjadi orang sombong yang tidak memperdulikan perasaan seorang gadis. Tapi, biar bagaimanapun juga, aku tetaplah aku. Di hari lain, ketika Shela untuk ke sekian kalinya mencoba mendekati aku, aku tetap saja bersikap acuh tak acuh. Namun, semakin banyak pertemuan antara aku dan Shela, semakin pula aku mulai menumbuhkan benih-benih kepedulianku kepadanya. Aku bahkan pernah menasihati dia ketika dia menganggap sekolah hanyalah sebuah permainan belaka. Sebuah hal yang terpaksa ia lakukan karena mengingat usianya yang memang masih harus bersekolah. Ya, saat itu aku benar-benar menasihatinya. Entah itu disebut kepedulian ku kepadanya atau mungkin rasa tidak suka yang kurasakan dari dia. Ah, kukira alasan yang kedua itu salah. Ada banyak murid yang sifatnya tidak aku suka. Bahkan yang seperti Shela pun ada. Akan tetapi, aku tidak pernah sedikitpun peduli terhadap mereka, apalagi sampai menasihatinya. Hanya khusus untuk seorang Shelania lah nasihat itu aku tujukan. Ya, cuma untuk dia. Tanpa kusadari, kepedulian dan perhatian ku kepadanya pun mulai tumbuh kala itu. Tak hanya itu. Aku juga pernah menolongnya di saat dirinya diganggu oleh seorang lelaki berseragam SMA lain pada waktu di jalan. Aku menolongnya dengan begitu mudah, tanpa harus melalui jalur kekerasan. Dan nyatanya, itu bisa berjalan dengan mulus hingga pada akhirnya Shela dapat lolos dari gangguan itu. Dan itulah aku. Jujur saja, aku adalah orang yang membenci kekerasan. Jika suatu masalah bisa diselesaikan dengan cara tanpa kekerasan, maka sebisa mungkin aku akan melakukan hal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD