Bab 5

1357 Words
Hari-hari berikutnya aku sudah mulai mengenal orang-orang di dalam kelasku. Ingat! Cuma mengenal, bukan berteman. Aku cuma tahu nama mereka, tapi tidak dengan mengenalnya lebih dekat. Lebih tepatnya, mereka yang tidak mau kenal denganku, dan aku yang tidak peduli dengan semua itu. Ada satu orang di kelasku yang paling menjadi sorotan seisi kelas. Dia adalah lelaki bernama Ryan. Jiwa pemimpin yang ia miliki membuat dia disegani oleh banyak orang. Tak hanya itu, dia juga pintar, tampan dan anak dari seorang yang kaya raya. Jujur aku mengakui semua itu, tapi aku membenci sifatnya. Aku bukanlah pembenci, tapi dipaksa untuk membenci. Sejatinya aku benci para pembenci, tapi itu dulu, sebelum aku sendiri masuk dalam kategori itu. Tidak mungkin jika aku membenci diriku sendiri, sementara di luar sana sudah banyak yang membenciku. Pernah suatu ketika, salah satu temanku, sebut saja namanya Andi dengan terang-terangan di depanku menghina orang tuaku. Satu hal yang menjadi kesalahan terbesar dia. Dia boleh menghinaku dan aku akan tetap berusaha untuk diam, tapi saat dia menghina orang tuaku, kata 'memaafkan' hanyalah omong kosong bagiku. Dalam arti lain, aku tidak akan menerima alasan apapun. Waktu itu, mungkin adalah hari yang paling buruk buatku dan juga dia. Sebuah masalah besar muncul pada hari itu. "Woi miskin, minggir Lo! Nggak usah ngehalangin jalan gue!" ucapnya kala itu dengan nada suara yang sangat tidak mengenakkan. Aku tahu aku juga sedikit bersalah karena telah berdiri di depan pintu kelas, tapi seharusnya dia tidak semestinya menegurku dengan cara seperti itu. Aku masih bisa sabar, dan berusaha untuk menyingkir. "Jadi orang d*ngu banget sih, pasti orang tuanya juga d*ngu. Dasar keturunan orang-orang beg*!" ucapnya kemudian. Di saat itulah aku langsung hilang kesabaran. Bahkan seorang ustad pun pasti akan marah jika orang tua yang sangat ia sayangi dihina seperti itu, apalagi aku. "Apa Lo bilang?" tanyaku kala itu dengan nada dingin. Kedua tanganku juga sudah mengepal kuat. "Lo nggak denger? Ternyata selain d*ngu Lo juga tuli, ya? Gue bilang, Lo itu keturunan orang-orang d*ungu alias bodoh," jelasnya. Prokkk! Kuingat betapa emosinya aku saat itu sampai-sampai sebuah pukulan melayang begitu saja dan mendarat ke pipi Andi tanpa aku sadari. Dia tentu juga emosi dan membalas. Akhirnya pada saat itu, terjadilah pertarungan hebat antara aku dan dia. Banyak yang menonton tanpa berniat untuk meleraikan. Dan yang menonton, semuanya mendukung Andi, tanpa ada satupun yang mendukungku. Tapi walau tanpa dukungan, pada akhirnya aku lah pemenang dari pertarungan itu. Kami berdua saling mendapat luka, tapi dia lebih parah. Dia bahkan sudah tak sanggup untuk berdiri. Dan saat itulah, dengan napas yang terengah-engah aku langsung pergi meninggalkannya dan kerumunan. Terbuktilah tentang siapa sang pecundang dan siapa sang pemenang yang sebenarnya. Tapi, meski begitu aku tak pernah berbangga diri pada kemenangan yang sudah kucapai dalam pertarungan hari itu. Pasalnya, entah menang ataupun kalah untukku sama saja. Semuanya adalah buruk bagiku. Intinya, menang salah, kalah pun juga salah. Dan tak butuh waktu sehari, berita perkelahian ku dengan Andi sudah sampai ke telinga para guru. Waktu itu aku dan Andi dibawa ke ruang kepala sekolah untuk diintrogasi. Beruntungnya, setelah menjelaskan, kami tidak diberi sanksi apapun selain hanya disuruh untuk bermaaf-maafan dan tidak mengulanginya lagi. Mungkin itu karena faktor keluarga Andi yang tak cukup berpengaruh dalam masyarakat maupun sekolahan. Kalau saja masalahku itu adalah dengan Ryan, mungkin sekalipun aku yang benar, aku tetap akan disalahkan. Begitulah hukum yang sangat hebat di sekolahanku itu. Hari itu adalah hari yang buruk untukku. Secara tidak sengaja aku telah sedikit merusak citraku sebagai murid teladan karena perkelahian itu. Di satu sisi aku memang tidak pernah ingin melakukan hal yang demikian, tapi di sisi lain aku tetaplah sang manusia yang punya rasa emosi. Terlebih lagi Andi telah menghina orang tuaku. "Halah, dasar baperan. Gitu aja dimasukin hati." Seseorang berucap tanpa memandangku ketika aku sudah keluar dari ruang Pak Kepala Sekolah. "Biasalah. Merasa jadi jagoan. Mentang-mentang dianggap murid teladan," sahut yang satunya. Mereka itu, dua laki-laki yang juga merupakan teman sekelasku. Aku tak mau menyebutkan namanya. Kesal sekali rasanya jika aku ingat namanya. Mereka bilang aku baperan. Heh, andai mereka merasakan apa yang aku rasakan, aku pastikan mereka akan menarik kata-kata yang ditujukan kepadaku. Mereka tidak pernah tahu seperti apa rasanya dihina dan direndahkan serendah-rendahnya. Jika disuruh memilih, aku lebih memilih dipukuli oleh ribuan tangan daripada aku dan keluargaku harus dihina, dicaci maki dan direndahkan oleh banyak orang. Mungkin benar, luka fisik itu bisa sembuh seiring berjalannya waktu, akan tetapi luka di hati adalah satu-satunya luka yang tak akan pernah bisa sembuh. Sekalipun seseorang sudah memaafkan kesalahan orang lain, tetap saja ketika ia dilukai, itu akan tersimpan indah di dalam memorinya. Perasaanku hanya dianggap seperti lelucon oleh mereka. Tak apa, biarkan saja. Seperti kata Kak Soni, aku hanya harus tidak peduli. Terserah mereka mau melakukan apa, yang penting tidak sampai terlalu keterlaluan. Itulah kali pertamanya aku berani melawan orang yang merendahkan aku dan keluargaku dengan cara kekerasan. Nasib baik masih bersamaku saat itu. Tak ada hukuman apapun yang aku terima. Akan tetapi itu sudah sukses untuk membuat namaku sedikit jelek. Jujur setelah itu aku langsung menyesalinya. Berpikir tentang tidak sukanya teman-teman sekelasku kepadaku, aku tidak bisa menemukan alasannya. Maksudku, alasan yang sebenarnya. Yang kutahu, mereka hanyalah para manusia menyebalkan yang menciptakan pertemanan dengan memandang harkat dan martabat. Sementara orang seperti diriku, itu adalah tingkatan paling bawah yang artinya tidak ada yang bisa menjadi temanku. Aku hanyalah sampah di mata mereka, akan tetapi aku adalah berlian di mataku sendiri. Meski begitu, sekuat apapun mental yang kumiliki, kalau terus-terusan mendapat hal yang semacam itu, mentalku pun juga bisa melemah. Ibarat dunia sepakbola. Tidak ada kiper yang tak pernah kemasukan gol. Sehebat apapun seorang kiper, pasti dia pernah kebobolan ketika sang lawan terus memberikan tekanan terhadapnya. Begitupun dengan aku. Sehebat apapun aku menahan emosi, sehebat apapun aku dalam menjaga mentalku ini, tetap saja ada saatnya aku gagal melakukannya lagi di saat tekanan itu datang bertubi-tubi. Bahkan seorang kiper yang hebat pun masih bisa kebobolan, apalagi kiper pemula. Mungkin akan lebih parah. Ah, bukan mungkin lagi, tapi pasti. Pernahkah kau mendengar kata-kata yang berbunyi, "Sifatku tergantung pada dengan siapa aku saat itu." Pernahkah kau mendengar itu? Itulah cerminan dari diriku. Orang-orang menyebutku sebagai sampah dan tidak menganggap aku ada, serta menilaiku sebagai penakut dan pecundang. Maka dari itulah muncul sifat pendiam dan tidak peduliku. Itu terjadi ketika aku berada di sekolahan neraka itu. Bersama para iblis berwujud manusia yang sejatinya sangat ingin kuhancurkan satu persatu. Berbeda ketika aku berkumpul bersama teman-temanku di luar sekolahan. Jangan salah anggap! Jangan mengira aku sudah tidak punya teman, karena sejatinya aku masih mempunyai teman. Biarpun sedikit, tapi mereka jauh lebih berharga daripada ratusan orang yang berada di sekolahan itu. Contohnya saja rekan kerjaku, Firman. Bersama dia canda tawa menjadi nyata. Bukan hanya sekedar tawa palsu demi menguatkan hatiku, tapi sebuah tawa yang nyata dan benar adanya. "Lo sekarang sekolah di SMA terkenal itu, ya? SMA apa itu namanya? Ah, iya. SMA Sakti Wahana, ya?" tanyanya ke aku waktu berada di warung kopi. Anehnya hal kecil semacam itu dengan mudahnya bisa membuatku tertawa. Padahal jika dibandingkan dengan humor-humor orang-orang di kelasku, tingkat kelucuannya masih berada di bawahnya. Tapi aku malah bisa dibuat tertawa oleh kata-kata sederhananya itu. Ah, mungkin benar. Aku terlalu membenci orang-orang di kelasku itu sehingga seluruh humornya yang kudengar terdengar seperti sebuah hinaan bagiku. Maaf, aku menyebut mereka orang-orang, bukan teman-teman. Karena apa? Karena mereka memang bukanlah temanku. Mana ada teman yang bisanya cuma membully dan mencaci maki. Lalu ketika di hadapan para guru, pembullyannya itu katanya hanyalah sebuah canda dan semacamnya. Sungguh sebuah canda yang sangat lucu, sehingga bisa saja menghancurkan hidup seseorang. "Apaan woi, Sakti Wahana? Sakti Buana," ucapku membetulkan ucapannya. "Oh, salah ya? Hahaha," katanya kala itu. "Tapi bukannya buana itu dunia, ya. Kalau diartikan, SMA Sakti Buana berarti SMA Sakti dunia, dong? Kok gak jelas, ya," lanjutnya. "Hadeh. Terserah deh, terserah." Itulah sedikit keseruan yang tercipta di kala aku bersama dengan rekan kerjaku itu. Setiap harinya dia memang seperti itu ketika bercakap-cakap dengan aku. Diawali dengan canda, lalu masuk ke dalam percakapan serius, atau sebaliknya. "Kok Lo bisa masuk sekolahan itu? Bukannya biayanya pasti sangat mahal?" tanyanya kala itu. Dan dari raut wajahnya, nampak sekali dia sudah masuk dalam mode seriusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD