Bab 4

1995 Words
Pada dasarnya, tidak akan ada satu manusia pun yang bisa mengetahui ke depannya seperti apa. Akan tetapi satu hal yang kupercayai pasti akan terjadi. Itu adalah sifat dari kaum kaya yang sok berkuasa. Selama harta dan kekuasaan masih berada di tangan mereka, maka mereka tak akan pernah berubah. Itulah yang kupikirkan saat itu. Aku tak tahu entah itu efek dari kebencianku pada mereka atau memang murni pemikiranku. Intinya, setiap kali aku melihat rumah-rumah besar ataupun para manusia berdasi yang tampil dengan keangkuhannya itu, aku selalu teringat pada kematian ibuku yang kemudian berujung pada rasa kesal karena melihat mereka. Tapi kau tahu? Seberat apapun penderitaan yang kualami di dalam kehidupan ini, sekalipun aku tak pernah ada niatan untuk mati. Aku masih bisa berpikir jernih. Masih ada orang yang mengharapkan kehadiranku di muka bumi ini. Bapak, Salsa, Kak Soni, dan juga yang lain. Mereka semua masih mengharapkan hadirku. Dan jika aku memilih untuk mati, maka itu sama saja aku akan menambah penderitaan mereka. Aku juga tahu di luar sana masih banyak orang yang posisinya lebih sulit daripada aku. Bersyukur aku masih punya tempat tinggal, pakaian dan juga bisa makan. Akan tetapi mungkin ada satu dua orang di luar sana yang tidak punya ketiganya itu. Lalu, apa alasanku untuk menyerah pada kehidupan? "Nama Lo Daniel, ya?" Kala itu di warung kopi, seseorang bertanya kepadaku. Dia adalah rekan kerjaku. "Iya, Mas. Saya pegawai baru di sini," jawabku. "Oh. Kenalin, gue Firman," ucap lelaki itu sambil menyodorkan tangannya ke arahku. Aku pun menyalaminya. "Daniel," ucapku kemudian. "Iya, salam kenal," katanya. Itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Firman, seorang lelaki yang tak lain dan tidak bukan adalah rekan kerjaku. Saat itu, katanya dia baru lulus SMA. Perbedaan usia di antara kami pun lumayan jauh, sekitar lima tahunan. Dia terkesan ramah dan bisa berteman dengan siapa saja. Baik dan lumayan ganteng. Di hari-hari berikutnya, Firman semakin menunjukkan kebaikannya kepadaku. Tidak, bahkan kepada semua orang. Aku yang awalnya masih memanggil dia "Mas" akhirnya beralih dengan memanggilnya dengan kata "Lo". Bukannya apa-apa. Itu juga sesuai dengan permintaannya. Katanya biar lebih akrab. "Lo masih sekolah kenapa mau kerja, Niel?" tanyanya suatu hari. "Kalau gue gak kerja, gue gak akan bisa melanjutkan sekolah gue. Lalu, keluarga gue juga mau makan apa sehati-harinya? Gue gak mungkin cuma diam menunggu kematian," jawabku kala itu. "Memangnya bapak Lo ke mana?" tanya Firman antusias. "Bapak gue sakit-sakitan. Gue gak tega ngebiarin dia kerja dalam kondisinya yang seperti itu," jawabku. "Kalau ibu Lo?" tanya Firman lagi. Aku ingat betul tentang perasaanku waktu Firman menanyakan tentang ibuku yang sudah meninggal. Rasa kehilangan yang benar-benar menyakitkan. Rasa itu seolah muncul lagi di dalam hatiku yang bahkan sampai hampir membuatku meneteskan air mata. Aku masih tidak bisa mengikhlaskan kepergian ibuku, setidaknya sampai aku bisa membalaskan dendam pada orang yang telah membunuhnya. "Ibu gue.... Ibu gue sudah meninggal. Gue tinggal bersama bapak dan adik perempuan gue. Adik gue masih kecil, masih SMP," jawabku kala itu. Mungkin menurut Firman, saat itu aku nampak sangat bersedih. "Sorry, Bro. Gue gak bermaksud buat Lo sedih," ucapnya. "Tidak apa-apa," jawabku. Semenjak adanya Firman, aku seperti menemukan tempat untuk berbagi keluh kesah. Dia sudah seperti sahabat terbaikku walaupun umur kami berselisih lima tahun. Kalau kupikir-pikir, dirinya mirip dengan Kak Soni. Cuma bedanya, Firman seperti seorang sahabat, dan Kak Soni lebih cenderung ke seorang kakak yang ingin selalu melindungi aku. Itulah. Di balik dunia yang kejam ini, nyatanya masih menyimpan orang-orang baik yang siap untuk mendengarkan keluh kesah kita. Tapi masalahnya, orang seperti itu cuma ada satu dari 100 orang yang hidup di dunia ini. Kebanyakan adalah orang-orang sok hebat yang bisanya cuma menindas. Sungguh aku sangat berterima kasih kepadanya karena telah memberikan kebaikan lebih kepadaku. Dari awal bahkan aku sudah berjanji bahwa suatu saat, aku pasti akan membalas kebaikannya itu. Seorang manusia yang baik patut untuk selalu diingat kebaikannya. Oh ya, perlu kalian tahu. Tentang dunia pertemananku, saat SMP aku masih mempunyai teman, meski tidak terlalu dekat. Akan tetapi, ketika waktu itu tiba, semuanya pun berubah. Dalam kehidupan sekolahanku tak ada lagi yang namanya teman. Adanya cuma para manusia sialan yang jika aku boleh jujur, aku lebih suka kalau mereka mati mengenaskan tepat di depan mataku. Dalam arti, bukan aku yang menyebabkan mereka mati. Kau tahu? Semenjak aku masuk di SMA yang kuanggap sebagai neraka duniaku itu, banyak sekali penderitaan yang telah aku rasakan. Bagiku tidak guru ataupun murid sama saja di sekolahan itu. Semuanya adalah para manusia hebat. Hebat dalam merendahkan orang sepertiku. Di tempat itu, mereka yang katanya teman, adalah orang yang paling sering membuatku terluka. Pembullyan yang mereka lakukan kepadaku, sungguh sangat menyiksa batinku. Dan yang membuatku semakin kesal adalah ketika terkadang mereka berlindung di balik kata "canda" setiap kali mereka selesai melakukan pembullyan. Apanya yang canda? Menurut kalian, setelah mereka menciptakan luka yang teramat dalam di hatiku, pantaskah itu disebut canda? Tentu tidak, kan? Kalau saja bukan karena keinginan ibuku agar aku bisa sekolah di sekolahan itu, mungkin aku sudah memutuskan untuk pindah sekolah. Aku tak ingin membuat ibuku bersedih di alam sana kalau tahu anak sulungnya ini telah mengecewakannya. Ibuku pernah bilang begini ke aku waktu dulu, yang mungkin kata-katanya akan sedikit kuubah karena aku agak lupa. Tapi kupastikan intinya sama. "Tidak ada yang sempurna dari makhluk yang bernama manusia, Daniel. Karena itu, jika kamu disakiti, jangan balas menyakiti. Balaslah dengan kebaikan. Dengan begitu seseorang itu akan sadar akan kesalahannya padamu suatu saat nanti. Menyakiti dibalas menyakiti, itu sama saja dengan menciptakan perpecahan abadi, Daniel," ucap ibuku kala itu. Entah dalam rangka apa, aku lupa. Itulah satu nasihat dari ibu yang paling sulit aku jalankan. Setiap kali ada yang menyakitiku, rasa sakit hati itu selalu saja muncul, dan kemudian timbul niat untuk membalas dendam. Aku tak sepandai ibu dalam mengatur rasa. Aku tak sepandai ibu dalam bersabar. Aku juga tak sepandai ibu dalam upaya terus mengalah. Jujur saja. Aku ini emosian, tak bisa bersabar dan juga selalu ingin membalas dendam. Sudah terlalu banyak kebencian yang ada di dalam diriku sehingga membuatku ingin sekali membalas dendam. Aku ingin menceritakan sesuatu tentang kehidupan masa-masa SMA ku yang penuh dengan rasa sakit, penderitaan dan juga ketidak adilan. SMA Sakti Buana. SMA paling terkenal di Kota Jakarta. Sebuah sekolahan yang lebih dikhususkan bagi para anak orang kaya. Berbeda dengan aku yang bisa masuk ke sana lewat jalur beasiswa. Namun jangan salah anggap. Sekolahan hebat semacam itu, nyatanya malah melahirkan banyak sekali murid tidak bermoral yang sangat membuatku kesal. Mereka dengan bangganya membicarakan harta yang kenyataannya bukanlah harta miliknya, melainkan harta milik orang tuanya. Dalam berteman pun mereka selalu pilih-pilih. Semua berdasarkan pada tingkatan orang tua masing-masing. Ya, aku tahu memang tidak semuanya begitu, tapi kebanyakannya seperti itu. Jika boleh jujur, aku benci sekolahan itu. Tidak, maksudku aku benci murid-muridnya. Aku yang sudah membenci orang-orang kaya, malah tiap harinya dihadapkan oleh mereka. Aku tak tahu apa itu harus kusebut kesialan atau apa, karena pada dasarnya, aku memang sangat membenci kaum mereka. Akan tetapi, di sisi lain aku juga merasa bahagia karena telah bisa membuat harapan ibuku menjadi nyata. Itulah satu-satunya hal yang aku syukuri ketika bisa bersekolah di sekolahan itu. "Lihat dia! Bisa-bisanya dia sekolah di sekolahan ini. Emangnya kuat bayarnya?" Itu adalah kejadian beberapa hari setelah masa orientasi siswa dilaksanakan. Jujur aku belum mengenal nama mereka waktu itu, tapi aku bisa mengenal wajahnya. Saat itu, yang ada di dalam pikiranku hanyalah, di manapun aku berada, aku akan selalu diremehkan oleh para manusia seperti mereka itu. Tangan sudah mengepal menahan rasa kesal, tapi kuurungkan niatku itu setelah aku mengingat sesuatu. Ya, sesuatu itu adalah tentang konsekuensi jika aku menyakiti kaum mereka. Hukum memang tidak adil. Aku diam, bukan berarti pecundang yang takut untuk melakukan perlawanan, melainkan diam karena aku tidak ingin menambah masalah. Lagipula, waktu itu posisiku adalah sebagai siswa baru. Ditambah lagi dengan cara masuknya aku ke sekolahan itu yang karena beasiswa, alias selama tiga tahun sekolah di sana, biayanya sudah ditanggung. Maka dari itu, tidak mungkin jika aku harus menciptakan kegaduhan. Biarlah mereka berbuat dan berbicara sesuka hatinya. Kemarahan tentunya selalu ada di dalam diriku, karena biar bagaimanapun juga, aku tetaplah seorang manusia. Sang manusia tidak akan pernah bisa membohongi dirinya sendiri. Mungkin di mata sebagian orang aku nampak sebagai orang yang super sabar, tapi biar kusangkal anggapan itu. Kau tahu? Sejatinya aku benar-benar emosi setiap kali mendapat hinaan dan semacamnya dari orang lain. Hanya saja aku sadar akan posisiku. Aku melawan, pastinya akan berakhir dengan kekalahan. Di mata sebagian orang pula, aku akan dianggap sebagai seorang pecundang dan penakut karena diamku itu. Tidak masalah, aku hargai pernyataannya. Akan tetapi, aku juga ingin menyangkalnya. Tidak semua orang yang berani melawan adalah sang pemberani. Bisa saja dia adalah si bodoh yang hanya ingin terlihat berani, padahal sejatinya sifatnya sangat bertentangan dengan itu. Dan tidak semua orang yang diam itu adalah pecundang. Karena bisa jadi, orang itu adalah sang pemberani yang sedang berkamuflase. "Katanya dia masuk ke sini karena beasiswa, ya?" Kembali kudengar percakapan mereka kala itu. Aku bertingkah seolah tak memperdulikan mereka. "Apa iya? Orang kampungan kayak gitu? Sepandai apa dia?" ucap yang lain. "Nggak tahu deh. Pakai jimat kali, tuh." "Bisa jadi, sih." "Pantesan dia berani sekolah di sini. Gratis, sih." "Ya, ya. Betul. Kalau bayar, ya bisa jual rumah dan tanah, dia. Itupun kalau punya. Atau bisa saja jual diri ke nenek-nenek," ucap seseorang saat itu. Sungguh itu adalah hinaan yang benar-benar membuatku kesal. Sebisa mungkin kucoba menahan perasaan marah di hatiku waktu itu. Aku memilih untuk berjalan dan berlalu pergi dari tempat mereka. Menyebalkan! Satu kata yang pantas kuberikan pada sekolahan dan orang-orang di dalam sekolahan itu. Tak tahu mengapa, aku merasa seolah-olah di mata mereka, aku ini tidak punya harga diri sama sekali. Terkadang aku juga bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa yang salah dari diri ini? Apa mungkin karena aku terlahir dari keluarga yang miskin, sehingga mereka dengan seenaknya merendahkan aku? Aku tak tahu. Aku butuh jawabannya tapi tidak ada yang berniat untuk memberikan jawabannya ke aku. Teman? Apa itu teman. Di sekolahan biadab itu, tak satupun yang bisa kusebut teman. Arti pertemanan yang sudah kukenal ketika aku masih duduk di bangku taman kanak-kanak, SD dan bahkan juga SMP hilang seketika setelah aku berada di bangku SMA. Di kelasku, ada lelaki culun dengan kacamata minusnya yang super penakut. Namanya Boby, aku hanya mengenal namanya tapi juga tidak bisa berteman dengannya. Ya, bahkan lelaki culun sepertinya pun tak mau berteman denganku. Ah, tidak. Kurasa dirinya mendapatkan ancaman dari seseorang untuk tidak mendekatiku. Dikarenakan sifatnya yang penakut, maka ia pun menurutinya. Nasibnya memang masih lebih beruntung dibanding aku. Meskipun culun dan penakut, ia masih punya teman yang bisa diajak bicara maupun bermain, sedangkan aku, dari banyaknya orang-orang di dalam kelasku, atau bahkan di sekolahanku, tak satupun dari mereka yang menganggap ataupun kuanggap teman. Kenyataan yang seperti itulah yang kemudian memunculkan suatu sikap yang sangat sulit untuk kuubah ke depannya, yaitu sikap tidak peduli dengan mereka. Aku ingat kata-kata ajaib dari Kak Soni waktu dirinya belum masuk penjara. Waktu itu dia pernah bilang kepadaku bahwa.... "Saat kamu merasa mereka tidak pernah memperdulikan kamu, ubah saja seolah-olah kamulah yang tidak memperdulikan mereka." Memang sebenarnya bukan cuma kalimat itu yang Kak Soni ucapkan, tapi intinya adalah itu. Entah kenapa aku bisa mengingatnya sampai sejauh ini. Kata-katanya di masa lalu ternyata bisa kupergunakan di masa depan. Tapi setelah itu, waktuku bersama dia harus rela hilang di kala dia dijebloskan ke penjara. Sakit sekali rasanya saat aku tahu bahwa orang yang sudah kuanggap sebagai kakakku itu dimasukkan ke dalam jeruji besi. Seorang kakak yang selalu menemaniku di kala sepiku. Seorang kakak yang selalu menasehati aku di saat berbuat salah, dan seorang kakak yang selalu menenangkan aku ketika aku menangis. Setelah dia terbebas dari penjara nanti, dia akan melihat adik kecilnya sudah tumbuh dewasa, dan mungkin, rasanya dengan yang dulu tak kan lagi sama. Semua ini adalah ulah dari orang-orang kaya yang terlalu mendewakan tahta dan hartanya. Aku tidak dendam. Aku cuma butuh keadilan. Kapankah negeriku akan menerapkan hukum yang adil? Sebuah hukum yang tak memandang tentang dari kaum mana seseorang itu berasal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD