Bab 6

1631 Words
"Tentunya gue gak akan bisa sekolah di situ kalau gak dapat beasiswa." "Wih. Hebat banget Lo, bisa dapat beasiswa," puji Firman. Aku tertawa kecil. "Kalau bukan karena ibu gue yang sangat ingin gue masuk di sekolahan itu, gue gak sudi sekolah di sana, walaupun gratis," ucapku. "Loh. Kenapa emangnya?" tanya Firman. "Banyak orang sombong di sana. Gue males banget," jawabku jujur. "Ah. Iya juga, ya. Itu kan sekolahan ternama. Pasti kebanyakan muridnya juga anak-anak pejabat." Saat itulah aku tahu, bahwa Firman pun dapat memahami sedikit dari apa yang aku rasakan. Memang kutahu kehidupan kami sama-sama keras. Kami berdua terlahir dari keluarga yang kurang berada, cuma jika dibandingkan, aku memang lebih parah dibandingkan dengan Firman. Itulah temanku, rekan kerjaku, seniorku, sekaligus juga kakak baru buatku. Ya walau bagaimanapun juga, umurnya jauh lebih tua daripada aku. Dia memang pantas jika harus kusebut kakak. Meski pemikiran kami tidak jauh beda. Aku senang karena ada orang baik yang hadir di kehidupanku. Dengan adanya dia, rasa kesepianku sedikit terobati. Aku memang punya teman, tapi tidak dengan teman dekat. Harus aku akui. Entah kenapa sangat sulit bagiku untuk mempunyai teman dekat. Seolah-olah, ada sebuah kesalahan di dalam diriku ini sehingga aku sulit untuk mendapatkannya, padahal aku sangat menginginkannya. Kenangan itu masih tersimpan jelas di dalam memoriku. Semua percakapan yang terjadi antara aku dan dia juga. Mungkin akan sedikit aku tambahi atau aku kurangi, tapi intinya adalah sama. Aku ingin menceritakan kisah romansa ku bersama si gadis cantik dan aneh yang belum bisa kusebutkan namanya. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin mengenalkan adik perempuanku terlebih dahulu. Pernah kuceritakan, bahwa dia adalah seorang gadis cantik yang umurnya selisih dua tahun denganku. Pastinya lebih tuaan aku, karena aku adalah kakaknya. Saat itu, saat aku kelas 10, atau bisa dibilang juga kelas 1 SMA, adikku juga sudah menginjak kelas 2 SMP. Dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang benar-benar gadis. Maksudku, dia sudah tidak seperti anak kecil lagi. Salsa namanya, dan dia sangat cantik. Meski sudah tumbuh menjadi gadis remaja, aku tetaplah seorang kakak yang akan selalu menganggapnya sebagai adik kecilku. Tugasku adalah untuk menjaga dan melindunginya sekaligus untuk selalu membuat dia senang. Aku juga akan menasihati dia ketika salah, memarahi dia sewajarnya dan tentunya juga akan berusaha untuk selalu membuat dia tersenyum. Dan satu lagi yang kuanggap sebagai tugas tambahan ku. Itu adalah aku harus berusaha untuk tetap bisa menyekolahkannya. Aku sadar, bapakku sudah tidak bisa seperti dulu lagi untuk menjadi tulang punggung keluarga. Bapak sudah sakit-sakitan, dan aku tentunya juga tak tega jika harus membiarkan dia bekerja. Maka dari itulah, sebagai anak pertama sekaligus sebagai anak laki-laki, aku harus menggantikan peran seorang bapak di dalam keluarga ini. Meskipun itu nantinya akan merenggut waktu yang seharusnya kupergunakan untuk main, layaknya anak muda pada umumnya. Tentang adikku, walau bagaimanapun juga, aku tahu bahwa dia tetaplah seorang perempuan. Rata-rata, seorang perempuan itu tak akan pernah bisa sekuat laki-laki. Adikku, di usianya yang masih sangat kecil, ia harus ditinggal oleh seorang ibu untuk selamanya. Ia tentu akan kekurangan kasih sayang dari seorang ibu. Maka dari itulah, tugasku sebagai seorang kakak adalah harus menggantikan kasih sayang dari ibu yang tak bisa ia rasakan lagi. Ya, meski aku tahu bahwa selamanya kasih sayang ibu tidak akan pernah bisa tergantikan. "Hei Dik, kenapa murung?" tanyaku kala itu. Kuingat betul bahwa saat itu adikku terlihat sangat murung. Entah karena apa, aku tidak tahu. Tapi aku mempunyai suatu pemikiran bahwa ia sedang jenuh karena selalu berada di rumah terus-terusan. Ia pasti ingin keluar rumah. Perlu diingat lagi bahwa adikku itu sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang pastinya ia ingin melihat tentang bagaimana dunia luar. "Gak apa-apa, Kak," jawab adikku kala itu sambil menebarkan senyum termanisnya ke aku. Kau tahu? Aku tentunya tidak akan percaya dengan jawabannya itu. Kenapa? Karena aku tahu bahwa sifat adikku itu ada miripnya denganku. Ia selalu tertutup pada hal yang ia sebut kesedihan. "Kamu bosan ya, di rumah terus?" "Nggak kok, Kak." "Kamu pasti pengen jalan-jalan kayak teman-teman kamu, kan?" tanyaku. Dia diam. Raut wajahnya itu membuatku yakin bahwa tebakanku memang benar. Mulutnya memang bisa membuat kesedihannya bisa tersembunyikan, tapi tidak tentang raut wajahnya. Meski tidak terlalu mahir dalam membaca mimik wajah, tapi kalau soal wajah adikku sendiri, aku pastinya akan mengerti. "Kalau begitu, nanti sore kakak akan mengajakmu jalan-jalan," ucapku kala itu. "Hah? Benarkah kah?" Dia terlihat sangat senang kala itu. Namun entah kenapa tiba-tiba raut wajahnya berubah lagi. Kesenangan itu hanya bertahan sejenak, sebelum raut wajah murung itu kembali menghiasi wajah cantik nan imutnya. "Tapi ... Bapak ...." Dia menggantung ucapannya. Ya, itulah satu-satunya hal yang sangat memberatkan adikku untuk ia bisa jalan-jalan keluar rumah. Ia sangat khawatir dengan bapak kalau harus ia tinggal. Aku senang ia bisa menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya, akan tetapi di sisi lain aku juga kasihan dengan dia karena ia tak bisa hidup layaknya gadis seumuran dia. "Tenang saja, bapak gak apa-apa, kok." Kala itu bapakku tiba-tiba ikut berbaur dengan kami. "Bapak," ucap kami berdua bersamaan. "Jangan terlalu khawatirin bapak. Bapak nggak apa-apa. Buktinya, saat kalian berdua sekolah, kan kalian ninggalin bapak sendirian. Gak terjadi apa-apa kan, sama bapak?" ucap bapak. Kami berdua diam. Mau membenarkan, tapi juga mau menyangkal. Menurutku sendiri, bukan tentang bapak yang kenapa-napa atau tidak kenapa-napa ketika kami tinggal, akan tetapi lebih kepada kekhawatiran kami yang berlebihan ketika meninggalkan bapak sendirian. Memang, seiring berjalannya waktu aku sudah tahu bahwa sakitnya bapak adalah karena ada masalah dengan paru-parunya. Yang kutahu, sakitnya itu memang bukan sakit yang terlalu berbahaya, akan tetapi aku tahu tentunya itu akan sangat menyakitkan jika harus dibuat kerja berat. "Daniel, kamu ajak jalan-jalan adikmu. Kasihan dia, selama ini gak pernah merasakan dunia luar," kata bapak sambil memegang pundakku. "Iya, Pak." Pada sore harinya pun akhirnya aku benar-benar keluar dari rumah bersama adikku. Waktu itu, aku belum punya kendaraan apapun. Jadi, dengan terpaksa aku dan adikku pun harus naik angkot untuk menuju tempat yang sudah aku rencanakan untuk didatangi tanpa diketahui oleh adikku. Aku melihat wajah adikku yang seakan tidak senang ketika sudah bisa keluar rumah. Aneh, entah apa yang ia pikirkan. Mungkin karena ia merasa bersalah karena harus meninggalkan bapak seorang diri di rumah. "Kenapa? Kok murung lagi?" tanyaku waktu berada di angkot. "Aku khawatir sama bapak, Kak," katanya. "Gak apa-apa. Biasanya kan kita juga ninggalin bapak sendirian, waktu kita sekolah," kataku. "Iya sih, Kak. Tapi setiap kali aku sekolah, aku juga merasa seperti ini, Kak," katanya. Ternyata benar apa yang aku pikirkan. Adikku dipenuhi dengan kekhawatiran kepada bapak. Sekalipun ia tahu bahwa nantinya bapak juga tidak akan kenapa-napa meski ia tinggal, tetap saja rasa khawatir itu masih tetap menghantui. "Tidak perlu khawatir. Bapak itu kuat. Bapak pasti bisa menjaga dirinya sendiri," ucapku kala itu. Bahkan jika harus mengaku, aku pun sebenarnya juga khawatir. Hanya saja aku ingin membuat adikku bisa menikmati jalan-jalannya saat itu tanpa adanya beban di dalam pikirannya. "Bapak telah menyuruh kita untuk pergi jalan-jalan. Bapak ingin kamu bersenang-senang. Jadi, jangan buat bapak kecewa. Kamu harus senang, jangan malah sedih kayak gini," ucapku lagi. "Iya, Kak," kata adikku sambil memaksa untuk tersenyum. Saat itu, aku tak pernah tahu apa tempat kesukaan adikku itu. Kubawa saja dirinya ke sebuah taman yang kutahu pada sore hari begitu sangat ramai pengunjung. Entah itu pedagang atau orang yang memang datang hanya untuk bermain-main saja. Kulihat wajah adikku yang menampakkan raut wajah kebahagiaannya. Tak kusangka bahwa hal sederhana seperti itupun sudah bisa membuatnya bahagia. Keramaian, mungkin itulah yang ia butuhkan. Ia bosan dengan kesepian, kesunyian ataupun semacamnya. Dengan berada di tempat yang ramai, ia akhirnya bisa menemukan bahagianya. "Kak," panggil adikku di saat kami berdua duduk di sebuah ayunan. "Iya." "Ini pertama kalinya aku bisa keluar rumah selain untuk bersekolah atau untuk hal-hal yang penting," kata adikku kala itu. Dan memang, kurasa itu adalah kali pertama dirinya keluar rumah untuk bermain-main. Dalam arti, semenjak ibu kami meninggal dunia. Kalau dulu waktu kecil, dia juga sudah sering keluar rumah, bermain dengan teman-teman seumurannya. "Iya, kakak tahu. Kamu suka?" tanyaku. "Iya," jawabnya sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali. Aku tersenyum. Aku benar-benar merasa mempunyai adik yang cantik dan pengertian. Kurasa, tugasku untuk menjaganya harus lebih ekstra lagi. Kenapa? Karena sepertinya, adikku itu adalah gadis yang sangat polos. Aku takut jika nantinya ada orang-orang yang akan melukainya, terutama para lelaki. Baik itu secara fisik ataupun mental. Seandainya memang iya, aku pasti akan memberi perhitungan kepada orang yang telah melakukan hal yang demikian itu kepada adikku. Tak akan kupedulikan tentang dari kaum mana ia berasal. Mau dia anak orang kaya, miskin, biasa saja, anak pejabat, anak sultan atau bahkan anak presiden sekalipun, kalau dia menyakiti adikku, akan kuberi perhitungan kepadanya. "Ada penjual es krim. Kamu mau?" tawarku kala itu. Ah, bisa dibilang pula itu kali pertamanya aku ingin membelikan adikku es krim. "Kakak ada duit?" tanyanya. Dia memang sungguh tahu keadaan. "Tenang aja. Ada," jawabku saat itu. Lagi-lagi, Salsa, adikku itu seakan menampakkan keraguannya. Aku tahu ia sangat menginginkan es krim, tapi aku juga tahu kalau dia tak ingin merepotkan aku. Padahal aku ini kakaknya sendiri. Tapi itulah dirinya. Jika boleh berpendapat, maka aku akan berpendapat bahwa orang yang nantinya akan menjadi suami adikku adalah orang yang paling beruntung sedunia. Kenapa aku bilang seperti itu? Karena adikku adalah gadis yang baik, pandai mengaji, pengertian, tahu keadaan dan pastinya juga cantik. Bagaimana mungkin ada lelaki yang tidak merasa beruntung ketika mendapatkan dirinya. "Nggak usah, Kak. Mending uangnya ditabung aja. Buat biaya kakak kuliah, nanti," jawabnya kala itu. Aku tersenyum singkat. "Heh, kalau cuma untuk beli es krim, itu tidak masalah. Jangan remehkan kakakmu ini. Untuk nanti biaya kuliah, kakak pasti bisa mendapatkan uang lagi," kataku. "Ayo, sekali-kali kakak beliin," lanjutku kala itu. "Beneran, kak?" tanya adikku dengan wajah polosnya. "Iya. Tapi nanti kamu ganti, ya," ucapku sambil menampakkan tawa kecil kala itu. "Hmmm ... Kakak ma, gitu." "Hahaha ... Bercanda. Enggak, lah. Kamu gak perlu ganti," ucapku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD