Selama di perjalanan tidak ada yang membuka suara sama sekali. Kedua insan yang sedang dilanda kekecewaan dalam hati mereka masing-masing, sama-sama diam tak ingin membuka suara. Sudah hampir dua puluh menit perjalanan, tapi mereka tak kunjung sampai. Shara pun tidak tau kemana Arian akan membawanya, tapi enggan untuk bertanya.
Sepuluh menit kemudian mobil Arian berhenti di sebuah pekarangan rumah besar yang terbilang mewah. Shara memperhatikan rumah itu kemudian menoleh pada Arian, "Mas ini rumah siapa?" Tanya Shara.
"Turun!" Bukannya menjawab Arian malah memerintah Shara turun.
"Tapi Mas, ini rumah siapa?" Shara masih enggan untuk turun dari mobil.
"Kubilang turun, jangan sampai aku melemparmu dari sini Shara." geram Arian dengan wajah dinginnya, membuat Shara bergidik ketakutan. Masih dilanda kebingungan, mau tidak mau Shara keluar dari mobil. Begitu Shara keluar, mobil Arian berbalik arah, dan tanpa mengatakan apa-apa Arian melajukan mobilnya dari pekarangan itu. Meninggalkan Shara yang terpaku melihat mobil Arian menghilang di pagar rumah yang menjulang tinggi.
"Kenapa Mas Arian meninggalkanku di sini, rumah siapa ini?" bingung Shara seraya memperhatikan rumah mewah berlantai dua di hadapannya itu.
"Nona Shara...?" Shara tersentak ketika seseorang menghampirinya datang dari arah taman di samping rumah mewah itu.
"Eh, iya..?"
Seorang perempuan kira-kira berumur empat puluh tahun berdiri di depannya.
"Silahkan masuk Nona." ucap wanita itu mempersilahkan Shara masuk ke rumah.
"Tunggu. Memangnya rumah ini rumah siapa?" Bingung Shara.
"Tuan Arian tidak memberitahu Anda?"
"Maksudnya?"
"Rumah ini adalah milik Tuan Arian dan Nona. Kata Tuan Arian, Nona Shara akan tinggal di sini." jelas perempuan itu. "Kenalkan Nona, saya Ina asisten rumah tangga yang akan melayani Nona selama di rumah ini."
Shara mengangguk paham, kini dia mengerti kenapa Arian membawanya kemari. Pria itu memang tidak berniat membawanya bulan madu, itu artinya dia akan tinggal di rumah ini sampai bulan madu sandiwara mereka selesai.
Shara memasuki rumah mewah itu dengan diikuti Ina di belakangnya. "Nona, Tuan Arian berpesan agar Nona tidak keluar rumah selama dua minggu ini." ujar Ina begitu sampai di dalam rumah.
"Iya, aku mengerti." Shara mengangguk.
"Baiklah Nona, saya ke belakang dulu." pamit Ina.
Setelah Ina pergi Shara menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Menghela nafas lelah, mencoba menenangkan diri akan apa yang telah dilaluinya selama satu bulan ini. Entah kapan semua ini berakhir, Shara tidak tau. Ingin sekali rasanya Shara lari dari semua ini, seperti arahan pikiran dan logikanya. Tetapi dalam hati kecilnya seolah enggan untuk mengikuti logika dan pikirannya.
Untuk itu Shara mencoba bertahan. Jika kelak dia sudah tidak tahan lagi dan Arian belum juga berubah, maka dia akan mengambil keputusannya sendiri.
"Ya Tuhan apa yang harus kulakukan agar Mas Arian percaya padaku? Tolong buka hati Mas Arian ya Tuhan. Aku mencintai Mas Arian lebih dari diriku, aku sangat menyayangi Mas Arian." Shara menengadahkan kepalanya, menatap langit-langit rumah itu dengan perasaan gundah. Pandangan sendu wanita itu mewakilkan semua kekalutan hatinya yang rapuh.
Air matanya mengalir tanpa diminta, hingga membasahi wajah cantiknya. Campuran perasaan seolah membolak-balikkan dunia wanita itu. Hatinya berkecamuk antara rasa rindu, kekecewaan serta sakit hati yang tak terperi.
"Aku merindukanmu Mas." lirihnya. Shara meluapkan rasa sakit dalam dada hingga akhirnya terjatuh dalam alam bawah sadarnya.
Shara terbangun ketika sebuah tangan mengguncang tubuhnya, ternyata hari sudah sore, semburat merah di kaki langit menyeruak masuk melalui jendela kaca. Shara mengerjapkan manik matanya beberapa kali. "Mbak Ina?" sapanya.
Ina tersenyum, "Sudah sore Nona, Nona melewatkan makan siang." ucap Ina.
"Tidak papa, lagipula aku belum terlalu lapar kok." jawab Shara tersenyum.
"Tapi itu tidak baik untuk kesehatan Nona. Saya sudah memasak tadi Non, mau diantar kemari atau makan di meja makan?"
"Di meja makan saja Mbak." jawab Shara sembari merapikan dresnya yang tersingkap akibat tidur tadi. Ina melihat majikannya itu penuh tanya, "Apa Non Shara habis menangis?" batinnya karena melihat mata Shara terlihat sembab.
Setelah menghabiskan makan sorenya, sekalian untuk malam juga, Shara segera pergi ke kamarnya yang ada di lantai dua. Matanya terasa berat, ingin tidur lagi sepertinya tidur siangnya belum cukup untuk memulihkan kepenatannya. Tapi sebelum itu Shara masih menyempatkan diri untuk membersihkan tubuhnya.
Shara tidak yakin Arian akan pulang malam ini, mengingat bagaimana sifat pria itu. Dan benar saja ketika pagi hari menyapa, Shara tidak menemukan Arian di rumah itu. Arian benar-benar tidak pulang. Shara hanya bisa menghela nafasnya, berusaha untuk kuat dan sabar menghadapi semua ini.
Pov Shara
Sudah seminggu sejak aku tinggal di rumah mewah ini, Mas Arian belum pulang juga. Bahkan Mas Arian tidak memberiku kamar sama sekali. Kesedihan kembali meliputi perasaanku. Berbagai pertanyaan muncul dalam benakku, kemana perginya Mas Arian, bersama siapa, kenapa tidak memberiku kabar sama sekali. Namun satu hal yang paling aku takutkan adalah munculnya orang ketiga dalam rumah tangga kami.
Meski Mas Arian bukanlah tipikal lelaki buaya, tidak menghilangkan kemungkinan Mas Arian akan tergoda dengan wanita lain. Apa lagi sekarang rumah tangga kami dalam kondisi rumit, membuatku semakin cemas.
Seminggu ini kujalani tanpa semangat. Sesekali aku akan membantu Mbak Ina memasak di dapur. Untung saja Mbak Ina termasuk orang yang banyak bicara dan humoris membuatku selalu tertawa dibuatnya. Walau kutau banyak pertanyaan dalam hati wanita itu setiap melihatku menangis diam-diam, dia tidak mau bertanya dan malah melontarkan lelucon yang membuatnya sedikit terhibur.
Drrt... drrt...
Terdengar bunyi getaran ponselku yang kuletak di atas meja di kamarku. Mama Nisa menelpon. Seketika aku menjadi gugup, bingung akan mengatakan apa nanti. Akhirnya aku memilih mengabaikan saja. Kuletakkan kembali ponselku di tempat semula, namun beberapa saat kemudian, ponselku kembali bergetar. Mama Nisa menelpon lagi, aku tidak sampai hati jika harus mengabaikan lagi.
"Halo Mah?" Sapaku.
"Halo Shara, kenapa lama sekali ngangkatnya?" tanya Mama di sebrang sana.
"Ah itu Mah, tadi ponselku aku tinggal di kam... Eh maksudku ponselku aku silent." Jawabku dengan gugup, hampir saja aku keceplosan ingin mengatakan sedang memasak tadi. Mama terdengar menggumam paham.
"Suami kamu mana Sayang, dari tadi dihubungi nggak diangkat-angkat?"
"Eh, anu... Mas Arian... anu Mah..." Aduh mati aku, aku harus jawab apa. "Mas Arian lagi mandi Mah, kayaknya ponselnya lagi lowbatt tuh."
"Ohh, ya sudah. Nanti kalau Arian sudah selasai mandi suruh telpon balik ya. Mama mau ngomong."
"I iya Mah." jawab ku gugup. Untung Mama percaya.
"Gimana sayang bulan madunya, kamu senang kan di sana?" tanya Mama tiba-tiba. Aku harus jawab apa lagi.
TBC