Gilang, Reno, dan 17 anggota bantara lainnya sedang sibuk membahas tentang kemah yang akan dilaksanakan bulan depan. Sang ketua bantara alias Davino, seperti biasa selalu telat datang dengan banyak alasan. Meskipun begitu, bukan berarti dia menjadi ketua yang tidak bertanggungjawab. Bahkan, bisa dibilang angkatan tahun ini adalah angkatan Bantara terbaik.
Bagi Davi, pramuka sudah seperti hidupnya. Ia sangat menyukai pramuka sejak SD. Katanya, pramuka itu mengajarkan segalanya, tentang tolong menolong sesama manusia, tentang bagaimana menjadi manusia yang bertanggungjawab dan mandiri, belajar mencintai alam, dan masih banyak faedah lainnya.
"Sorry gue telat," ujar Davi santai sambil memasuki ruangan. Berjalan ke arah singgasananya. Semua anggota hanya menoleh sesaat lalu kembali ke fokus utama. Mereka sudah lebih dari memaklumi kebiasaan ketuanya yang satu itu.
"Jadi, gimana? Udah di tentuin panitianya?"
"Udah. Nih daftarnya, baca sendiri aja," jawab Cesi, sekretaris bantara yang tomboy dan terkenal ketus. Itu pula yang menjadi sebab kenapa Davi memilih Cesi. Karena kedua sifat yang menonjol itulah yang Davi yakini tidak akan mengganggu kerja samanya dalam berorganisasi. Tidak seperti cewek kebanyakan yang pada saat itu mendaftar pramuka hanya karena Davi ada di dalamnya. Apalagi ketika ia dipilih sebagai ketua.
Ia juga sangat pemilih ketika menentukan siapa saja yang akan dijadikan sebagai anggotanya. Yang benar-benar mencintai pramuka dan dijamin tidak akan membuat masalah nantinya.
Davi meraih catatan kecil itu lalu membacanya sekilas. "Oke. Jadi, ketua pelaksananya gue, wakil Bimo, sekretaris elu, Si, bendaraha Oka, dan sisanya para Divisi. Sip gue accept."
"Oh iya, kemarin pak Tantio bilang supaya minggu ini kita udah harus siapin semuanya. Waktu kita enggak banyak. Jadi,gue harap kita bisa bekerja sama seperti biasa," lanjut Davi yang langsung diangguki oleh semua anggotanya.
"Lang, persiapan pasukan 21 sama Tri Satya, gimana? Udah sampe mana?"
"Udah sampe perekapan, sih. Rencananya siang ini mulai latihan," jawab Gilang.
Davi mengangguk. "Bagus. Yang kebagian ngelatih, gue percayain semuanya sama kalian. Jangan sampai ada kesalahan pas hari H. Semuanya harus sempurna tapi inget cukup 1-2 jam aja sekali latihan. Gue juga bakal ikut ngelatih kalau gak bentrok sama tugas lain," jelas Davi.
"Dav, kita juga udah harus latian buat Dasa Darma. Mau mulai kapan?"
Davi seolah berpikir. "Kita latihan setelah selesai ngelatih. Jadi, buat minggu ini sampai satu bulan kedepan gue harap gak ada yang keberatan kalau pulangnya selalu sore. Buat yang cewek, nggak usah khawatir. Ada Gilang sama Reno yang bakal ngiringin pulang," kelas Davi.
"Nah, ini Dav, soal konsumsi gimana? Apa mau kayak tahun kemarin aja?" tanya Lana. Yap, dia juga ternyata jadi bagian dari bantara.
"Ck! Jangan deh. Anak pramuka itu diajar mandiri. Masa ia bahan makanan aja kita yang nyiapin. Suruh mereka bawa sendiri dari rumah, tapi tetep bahannya apa aja, kita yang list, gimana?"
"Bagus tuh," timpal Lana.
"Eh tapi Elo aja deh yang ngedatanya. Cewek kan jago masalah begituan. Gue terima jadi."
"Ok. Tapi lo dilarang protes tentang bahan makanan apa aja yang gue tentuin."
"Tergantung. Kalau isinya junk food semua, elu yang gue tendang dari keanggotaan," ancamnya masih dengan wajah yang tenang.
Lana terkekeh. "s****n lo. Lagian yang maksa gue gabung juga kan, elo. Lupa apa gimana?" sindir Lana.
Davi hanya tertawa pelan dan memilih untuk tidak menanggapi ucapan Lana. Karena jika sampai ditanggapi, pasti ujung-ujungnya malah lempar-lemparan alat tulis saking tidak ada yang mau mengalah. Suasana seperti itu sudah biasa di kalangan para anggota Bantara. Dari situ pula mereka tahu jika ternyata ada sisi lain Davi yang hangat dan menyenangkan. Ada tawa lepas yang tidak pernah di tampilkannya di hadapan semua orang. Davi seolah menjadi dirinya sendiri. Meskipun begitu, mereka tidak pernah mengatakan apa yang mereka tahu pada yang bukan anggota pramuka. Davi memang tidak pernah memperingatkan, tapi mereka seolah sadar diri. Cowok itu sudah memilih mereka, yang artinya percaya sepenuhnya dan tidak akan mengkhianati atau melakukan apa pun yang nantinya akan menjadi masalah dalam organisasi. Tahu mana yang sifatnya privasi dan bukan.
Dalam hal ini, mereka juga belajar menjadi anggota yang setia. Dan hanya merekalah, segelintir orang yang secara dekat tahu bagaimana sifat Davi yang sebenarnya. Terlepas dari kelakuannya yang tidak jarang membuat onar, ketus, menyebalkan, s***s, dan sederet penilaian lainnya yang melekat dalam diri Davi. Memang. tidak ada yang tahu alasan kenapa Davi bisa seperti itu kecuali kedua sahabatnya dan Lana.
Bahkan, Lana yang notabenenya adalah sepupu Davi pun, yang tahu hanya teman sekelas dan anggota organisasi. Untuk bagian ini Davi melarang keras untuk menyebarkan info tersebut karena beberapa alasan yang lagi-lagi sifatnya rahasia.
Istirahat kali ini, Naya menarik kedua sahabatnya untuk berbelok ke perpustakaan. Sebisa mungkin ia akan menghindari Davi. Pertama karena ia masih sangat kesal karena Surat Perjanjian Perasaan yang full pemaksaan. Kedua, karena tadi pagi diam-diam ternyata cowok tersebut mengobrol dengan sang mama. Menurut adiknya, Davi berbicara serius dengan mamanya. Namun, saat ditanya membicarakan apa, Nata memilih bungkam walaupun sudah di sogok dengan 2 porsi mie ramen dan tiket bioskop. Sepertinya Davi sudah lebih dulu menyogok adiknya dengan sesuatu yang lebih menggiurkan. Bertanya langsung pada mamanya pun, Naya gengsi luar biasa. Takut dibilang ingin tau banget gitu ...
Jadi, demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Naya sebisa mungkin menghindari cowok tersebut.
"Nay, kita ngapain sih ke perpus? Gue kan laper," protes Ranita.
"Tau, Nih. Perut gue udah keroncongan minta diisi," Novitri ikut memprotes.
"Duhh kalian berdua tuh gak usah bawel dulu, Napa? Kan masih ada istirahat kedua. Lo berdua temenin gue di sini aja, ya. Baca apa kek, gitu ...." ucap Naya. Matanya masih fokus mengawasi pintu perpustakaan.
"Lo kenapa sih, Nay? Ngehindarin kak Davi? Katanya udah bebas kemarin," ujar Ranita.
"Gue juga ngiranya gitu, Ran. Tapi ...."
"Tapi apaan?"
"Kita cari tempat duduk dulu, deh. Gue takutnya kak Davi lewat terus liat gue di sini. Bisa berabe urusannya."
Mereka pun menghampiri tempat duduk yang ada di pojok ruangan. Tempat yang dijamin nyaman dan Davi tidak mungkin bisa menemukannya.
"Jadi apaan?" bisik Ranita. Karena peraturan sekolah adalah tidak boleh berisik saat di perpustakaan, jadi mau tidak mau, mereka harus berbicara dengan pelan dan dalam intonasi setenang mungkin agar tidak mengganggu pengunjung perpustakaan lainnya.
Naya pun mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. "Nih, lo liat sendiri aja, deh. Males gue ... bawaannya mual pengen muntah."
Ranita yang penasaran langsung meraih ponsel Naya. Dibacanya tulisan itu sampai habis ke tanda tangan-tanda tangannya. Keduanya menatap Naya dengan tatapan seolah bertanya. 'Ini beneran kak Davi yang buat? Terus ini serius tanda tangan lo?'
"Jadi, surat perjanjian yang kemarin itu, ternyata surat perjanjian perasaan paksaan tau gak, sih?! Dan bodohnya gue enggak baca dulu, langsung aja tanda tangan," papar Naya. Berkali-kali ia merutuki keoonannya itu.
"Ya elo sih ... udah tahu kak Davi tuh seenaknya, malah percaya begitu aja," ucap Novitri.
"Ya ... ya abis kak Davi ngomongnya ngeyakinin banget, sih. Pake diwaktu segala lagi. Gimana gue nggak percaya coba," dumel Naya.
"Lagian, kalau dipikir-pikir ... yang namanya surat perjanjian itu kan adanya di awal Nay, bukan di akhir," seru Ranita.
"Iya, sih ... terus, gue harus gimana dong?"
"Gimana-gimana? Orang lo udah tanda tangan begitu. Ya jalani aja," timpal Ranita.
"Apa? Maksud lo gue mau gak mau harus terima jadi pacarnya kak Davi, gitu? Ih nggak mauu. Pokoknya gue enggak mau," rengek Naya. Ia sama sekali nggak bisa bayangin gimana rasanya.
"Lagian, menurut gue enggak buruk juga pacaran sama kak Davi, Nay. Malah keberuntungan tahu, gak. Di saat hampir semua cewek sekolah ini ngejar-ngejar kak Davi, elo malah sebaliknya," ujar Ranita.
"Dan ya, percuma juga Nay lo ngelak atau berusaha menghindar dari kenyataan yang jelas-jelas lo ikut andil di dalamnya. Kak Davi tuh pegang kartu as lo, lupa?" Mendengar penuturan Novitri, seketika ingatannya melayang pada foto yang masih berada ditangan Davi.
"Kenapa, sih masa SMA gue apes banget? Kenapa tuh foto harus jatoh? Dan kenapa juga yang nemuin harus manusia berhati iblis macem kak Davi? Coba aja kalau bukan kak Davi, pasti enggak bakal kayak gini kejadiannya," keluh Naya.
"Lo pengen tau kenapa? Takdir!" timpal seseorang. Ketiganya menoleh dan mendapati Davi yang entah sejak kapan sudah bersandar di tiang samping rak buku. Tangannya dilipat di atas d**a, ciri khas dari seorang Davino yang lain.
Ya Allah ... Sebenarnya engkau ciptakan Kak Davi dari manusia jenis apa, sih? Kok, perasaan dimana-mana ada. Heran deh! gumam Naya dalam hati.
Davi menghampiri Naya dan kedua sahabatnya. Tanpa basa basi lagi, ia menarik kursi dan duduk berhadapan langsung dengan Naya.
"Ran, Nov, lapar gak?" tanya Davi. Matanya menatap lurus pada objek di depannya.
"Eh? Lapar, Kak."
"Heem, lapar. Banget malah," timpal Novitri.
Mendengar ucapan tidak setia kawan itu, rasanya Naya ingin melempar kedua sahabatnya keluar dari galaksi Bima sakti.
Bukannya bilang enggak lapar, ini malah sebaliknya. Kalian sahabat gue atau bukan, sih? dumel Naya dalam hati.
"Ke kantin, gih. Terserah makan apa aja yang kalian pengen. Gue yang bayar."
Mata Novitri dan Ranita refleks berbinar. Ini benar-benar rezeki nomplok buat mereka. Ternyata, punya temen pacar presiden sekolah ada faedahnya juga. Bisa makan gratis tis tis tis ...
"Serius, Kak?" Ranita memastikan. Dengan cepat Davi mengangguk.
"Kalau gitu kita ke kantin duluan ya, Nay. Bye ..." Ranita bangkit dari duduknya disusul oleh Novitri.
"Baik-baik ya sama pacar baru. Awas lho jangan di jutekin," goda Novitri terkekeh geli. Davi tersenyum kecil menanggapinya.
"Giliran disogok makan aja, pada kabur. Temen bukan, sih?" gerutu Naya lagi. Davi bisa mendengarnya dengan jelas tapi memilih untuk mengabaikannya. Ia memajukan kursinya. Ditatapnya cewek di hadapannya saat ini. "Lo enggak lapar?" tanya Davi pelan.
"Nggak. Liat kak Davi tuh entah kenapa bikin selera makan saya hilang," timpal Naya.
Davi tersenyum. "Gitu? Emang semenyebalkan itu ya, gue dimata lo?"
"Menurut kak Davi?" Naya memberanikan diri menatap mata hitam milik psikopat di hadapannya.
"Kata penghuni sekolah ini sih, gue emang nyebelin. Tapi rata-rata, mereka lebih suka bilang kalau gue ganteng."
Naya memicingkan matanya. "Gangguan tenggorokan?"
"Akuin aja lagi, kalau gue emang ganteng," ujar Davi tersenyum tipis dan menghiraukan ucapan Naya.
"Terserah apa kata Kak Davi, deh." Naya bangkit dari duduknya dan berniat pergi. Tapi, Davi lebih dulu bertindak dan menghalangi jalan Naya.
"Mau kak Davi tuh apa, sih? Kenapa hobi banget gangguin saya?" tanya Naya dengan intonasi yang agak tinggi.
Bukannya memperingatkan, semua penghuni perpustakaan yang mendengar, khususnya yang ada di sekitar Naya dan Davi, malah tertarik ingin tahu kelanjutan dari drama yang Davi buat akhir-akhir ini. Posisi mereka memang sedikit jauh dari meja penjaga perpustakaan, selain itu sepertinya Bu Rina juga tidak mendengarnya akibat earphone yang bertengger di kedua telinganya. Guru yang merangkap sebagai penjaga perpustakaan itu memang terkenal gaul dan up to date soal sosial media.
Davi memajukan langkahnya, membuat Naya mundur perlahan hingga sepatunya menyentuh tembok. "Lo masih ingat sama foto yang semalam gue kirim, kan?" tanyanya sambil mengurung Naya dengan kedua tangannya.
Naya benar-benar tidak nyaman ada dalam keadaan seperti ini. Apalagi jarak antara dirinya dengan Davi begitu dekat. "Kenapa Kak Davi selalu aja seenaknya?" tanya Naya tegas. Entah dari mana ia mendapatkan keberanian tersebut.
"Karena gue terlahir emang buat milikin semua yang gue mau," timpal Davi dingin. Mata itu, tiba-tiba berubah jadi redup dan beku.
"Kenapa harus saya?" intonasi Naya mulai berubah rendah.
"Karena lo itu pilihan."
"Ma—maksudnya?"
Davi menghembuskan nafasnya pelan. "Gue pikir foto semalam udah lebih dari cukup buat bikin lo ngerti apa maksudnya. Jadi, bersikaplah sesuai isi perjanjian itu kalau lo pengen gue bersikap baik sama lo. Gue ingetin sekali lagi, jangan protes, ngebantah, ngeluh, dan ngelakuin hal-hal yang mancing kemarahan gue," papar Davi.
Untuk pertama kalinya, Naya benar-benar takut dengan tatapan Davi. Ada perubahan drastis dalam cara cowok itu menatapnya. Bahkan, ia bisa merasakan perubahan nada suara Davi. Setegas apa pun ucapannya, belum pernah rasanya sedingin ini.
"Pulang sekolah, temenin gue ngelatih pasukan 21," lanjutnya, menatap mata coklat Naya lekat sebelum kemudian berbalik dan melenggang pergi.
Sepanjang perjalanan dari koridor kelas Naya hingga ruang pramuka, Davi tak henti-hentinya menggenggam tangan Naya. Ini kedua kalinya, tangannya digenggam seperti ini oleh Davi. Jika dulu, yang melihat hanya lah segelintir orang, maka hari ini, hampir seluruh penghuni sekolah SMA PERTIWI. Davi terlihat begitu cuek seolah tidak peduli dengan tatapan mereka. Berbeda dengan Naya yang dari awal rasanya sudah panas dingin. Tatapan-tatapan itu seakan kembali memperingatkan Naya untuk tidak melangkah lebih jauh bersama Davi. Seketika, ia ingat akan perkataan sahabat SMP-nya setahun yang lalu.
'Kalau mereka natap lo dengan tatapan sinis dan mencela, itu tandanya mereka syirik karena gak bisa sampe ada di tahap lo sekarang. Senyumin aja. Anggap kalau lo menikmati peran lo sebagai tokoh utama.'
Awalnya agak sedikit ragu, tapi muka-muka menyebalkan seperti mereka membuat tingkat keyakinannya bertambah, meyakinkan Naya kalau sesekali mereka memang harus dikasih perlawanan. Naya mencoba mengangkat kepalanya. Menatap satu-satu tiap pasang mata yang melihatnya dan tersenyum jahat penuh kemenangan. Seolah mengatakan pada mereka bahwa 'Mulai sekarang, enggak usah so' cari perhatian dan sok centil depan Davi, deh. Dia udah jadi milik gue. Inget, milik gue.'
Hal itu membuat beberapa dari mereka kesal kuadrat. Tapi, ada juga yang sadar dan cepat-cepat mengganti topik pembicaraan dengan hal yang lebih berfaedah daripada dosa bertambah karena tanpa sadar mendoakan Naya dan Davi yang enggak-enggak. Mendoakan kapan mereka pisah contohnya.
Ya, kabar beberapa waktu yang lalu tentang gambar yang ditempel oleh Reno dan Gilang, memang langsung melekat dalam otak mereka. Captions yang mengatakan bahwa Davi dan Naya adalah new couple, sepertinya mereka save baik-baik dalam ingatan mereka. Dan itu seolah menjadi fakta yang mematahkan hati mereka berkali-kali acapkali melihat Naya dan Davi bersama.
"Jangan kemana-mana, Ok? Tunggu di sini. Gue mau sholat jum'at berjamaah dulu," kata Davi sambil melepaskan genggamannya pada jemari tangan Naya.
"Lan, gue titip Naya ya," ucapnya pada Lana yang kebetulan ada di ruangan tersebut.
"Oke-oke. pulangnya bawain burger super keju ya," timpal Lana iseng seperti biasa.
"Penyakitan lu kebanyakan makan makanan siap saji," cela Davi.
"Biarin weh atuh. Protes aja. Situ siapa?"
"Ye, nih anak dibilangin ngeyel mulu. Lagian, gue gak sholat jum'at di luar. Mau sholat di mushola sekolah aja. Kalau lo emang mau, delivery gih. Entar gue yang bayar."
"Serius? Oke deh. Lo tuh emang ya, ketua bantara paling the best pokoknya. Ngomong-ngomong, boleh pesen dua porsi, gak?"
"Sakarep weh," jawab Davi enteng. Lebih tepatnya malas.
Refleks, Davi mengelus lembut rambut Naya. "Gue jum'atan dulu. Kalau si Lana gak memperlakukan lo dengan baik, bilang aja. Biar gue pecat jadi anggota bantara," lanjutnya.
"Eh eh apaan tuh kok bawa-bawa nama gue? Tenang aja kali Dav,
elah ... Kan lo tahu gue bukan keluarga atau sodara sepupunya teroris. Jadi lo santai aja, Ok?"
Naya terkekeh geli melihat ekspresi Lana yang kelewat lucu itu. Selain lucu, ia juga terlihat baik dan cantik. Apalagi sepertinya Lana juga lumayan dekat dengan Davi.
Kenapa rasanya aneh, ya? batin Naya.
Setelah Davi menghilang di tikungan koridor, Naya membuka sepatunya dan memasuki ruangan tersebut.
"Hai, Nay. Kenalin gue Lana," ucap cewek itu ramah.
Naya kembali tersenyum. "Naya, Kak," ungkap Naya sambil menjabat lengan Lana.
"Gimana pacaran sama Davi? Enak? Dia protektif banget, ya? Banyakin sabar Nay kalau pacaran sama Davi, mah. Dia emang anaknya semaunya. Tapi, lo gak perlu khawatir ya, Davi bakal memperlakukan lo dengan baik dan yang pasti, dia bakal jaga lo," celoteh Lana.
"Kak?"
"Eh? Kenapa? Gue terlalu cerewet, ya?"
"Ah bukan, bukan itu, kok. Tapi ... Kak Lana bisa bantuin saya, gak?" tanya Naya ragu.
"Ck! Nggak usah pake bahasa formal gitu. Lo gue aja biar makin akrab. Bantuan apa?"
"Bantuin saya lepas dari kak Davi. Saya— eh maksudnya, Gue liat kak Lana lumayan deket sama kak Davi, jadi ... bisa kali ya kalau Kakak ngomong baik-baik sama kak Davi buat lepasin gue? Please ...." mohonnya penuh harap.
Lana memperhatikan Naya lekat. Bukan tidak ingin membantu, hanya saja dalam kasus ini Davi pemegang penuh permainan. Hanya dia yang bisa memutuskan harus lanjut atau berhenti. Sebenarnya, Lana ingin memberitahu Naya, mengingat cewek itu juga sepertinya sudah sangat frustasi menghadapi Davi. Belum lagi jika pada akhirnya Naya mengetahui yang sebenarnya. Tapi ini murni bukan urusannya dan Davi sudah memperingatkannya dari awal untuk tidak ikut campur. Lana hanya bisa berdoa semoga Davi tidak benar-benar melakukan hal tersebut.
Cewek ini emang beda. Tapi, gimana pun juga Davi udah keterlaluan, batinnya.
"Lo tahu gak? Kalau pada dasarnya, setiap orang itu punya sisi yang berbeda. Lo nilai Davi cuman dari tampilannya aja, kan? Wajar. Karena Davi emang terkenal seenaknya dan semaunya sendiri. Tapi, lo belum liat sisi dia yang lain, Nay. Dan buat tahu soal itu, lo harus coba nerima dia hadir di hidup lo. Dia enggak seburuk itu kok, Nay. Percaya deh sama gue. Terima dia, maka lo bakal nemuin sisi lain Davi yang enggak pernah dia tunjukin di hadapan banyak orang. Coba main-main ke sini, nimbrung sama kita-kita, mungkin sedikit banyak bisa ngubah penilaian lo tentang Davi," paparnya panjang lebar.
"Kenapa harus gue?" tanya Naya lesu.
"Karena lo itu pilihan."
Pilihan? Kenapa jawaban Kak Lana sama kayak jawaban kak Davi? Maksudnya apa, sih?
"Nggak usah nerka, Nay. Lo cukup rasain aja," celetuk Lana seolah tahu apa yang ada dalam otak Naya.
Naya menghembuskan nafasnya pasrah. Lana sekalipun tidak bisa membantunya. Andai Doraemon adanya di Indonesia, dan andai anak yang beruntung itu adalah dirinya bukan Nobita, Naya pasti akan meminta Doraemon mengeluarkan alat yang bisa menyingkirkan Davi, atau setidaknya membuat cowok itu hilang ingatan untuk selamanya.
Davi memarkirkan motornya di halaman rumah Naya. Cepat-cepat Naya turun, mencopot helm, agar secepatnya juga Davi pergi dari hadapannya. Tapi, bukannya pergi, cowok itu ikut membuka helm dan turun dari motornya.
"Gue mau mampir bentar boleh, kan?" ucap Davi seolah tahu apa yang sedang Naya pikirkan.
"Ta—tapi, Kak? Rencananya saya mau pergi sore ini," timpal Naya jujur. Sore ini, ia memang ada janji dengan Eza. Semalam cowok itu meminta Naya untuk menemaninya latihan sepeda.
"Lo mau pergi, pergi aja. Lagian, gue ada urusan bukan sama lo. Tapi, sama nyokap lo," ujar Davi membuat Naya speechless seketika.
Davi berjalan melewati Naya, menghampiri pintu lalu memencet bel bak tamu pada umumnya. Tak berselang lama, pintu pun terbuka, menampilkan adiknya, Nata.
"Eh ada kakak Ganteng ... baru pulang, Kak?"
Davi tersenyum ramah. "He'eh. Sorry ya kesorean."
"Enggak papa, kok."
"Tapi, pesenan Nata enggak lupa dibeliin kan, Kak?" bisiknya.
"Tenang ... gue gak lupa." Davi membuka tasnya, mengeluarkan sebuah kotak, dan memberikannya pada Nata.
"Pantes tadi pagi gue sogok gak mempan. Lawannya coklat mahal begitu," dumel Naya kesal.
"Kenapa? Lo mau gue beliin juga?"
Naya menatap Davi dengan tatapan kesal setengah jengah. "Enggak! Makasih," timpalnya ketus lalu melangkah masuk lebih dulu.
"Mampir dulu yuk, Kak? Mama baru selesai bikin kue, lho."
"Boleh."
"Ma ... Ada Kakak ganteng Nih," ujar Nata setengah berteriak sambil memasuki rumah disusul oleh Davi yang mengekor di belakangnya.
"Kakak ganteng siapa sih, Nat— Eh ada Nak Davi ... duhh maaf banget ya ini penampilan Tante masih berantakan. Baru selesai bikin kue soalnya," katanya.
Davi mencium tangan wanita di hadapannya dengan sopan. "enggak papa, Tan. Lagian saya cuman sebentar, kok."
"Lho, kenapa?"
"Udah sore, Tan. Besok pagi aja saya ke sini lagi jemput Naya berangkat bareng. Boleh kan, Tan?"
"Boleh. Asal hati-hati di jalannya, ya. Jangan ngebut. Jagain anak tante, ya."
"Pasti, Tan." Davi kembali mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya.
"Oh ya, ini ... sebagai permintaan maaf saya karena udah bikin Naya pulang kesorean, Tan. Tadi habis briefing dulu buat persiapan kemah bulan depan sama ngelatih pasukan 21," jelasnya sambil menyodorkan plastic bag lengkap dengan brand ternama.
Mama Naya tersenyum. "Wah makasih lho ya, sampe si bawain kue segala. Tante paham, kok. Jadi ketua emang nggak mudah."
Davi mengangguk mengiyakan. Pagi tadi, ia memang berniat untuk mengajak Naya berangkat bersama, tapi si Gilang s****n tiba-tiba meneleponnya untuk rapat dadakan. Mau tak mau, ia membatalkan niatnya dan hanya meminta izin pada Mamanya Naya untuk pulang bersama.
"Kalau gitu, Saya pamit ya, Tan. Udah sore," ucapnya kemudian bangkit dari duduknya.
"Padahal, tante masih pengen ngobrol-ngobrol dulu lho ...."
Davi tersenyum. "Lain kali saya mampir lagi, Tan."
"Ya sudah hati-hati di jalan, ya."
"Pasti, Tan. Assalamu'alaikum ...."
"Waalaikumsalam." Mama Naya mengantar Davi hingga ke depan pintu.
"Hati-hati, Dav ...," pesannya lagi. Davi mengangguk pelan. Motornya pun langsung melesat pergi meninggalkan rumah Naya.