"Kalau lo pengen iket perasaan, iket dulu orangnya, baru hatinya. Soalnya, kata orang cinta itu datang karena terbiasa."
-Davino Muhammad Faishal-
Hari ini, hujan datang lebih awal. Kota Bandung jadi terasa lebih dingin dari biasanya. Ini merupakan Moment yang sangat pas untuk kembali menarik selimut dan melanjutkan tidur. Tapi, tidak dengan Davi, cowok itu sudah nangkring di depan kelas. Bersandar pada pintu kelas sambil memperhatikan hujan. Ia tersenyum, seolah hujan telah mengingatkannya pada satu kisah di masa lalu.
Lewat hujan, semuanya terasa berbekas. Entah lo inget atau enggak, tapi yang jelas ... hujan bawa gue kembali nginget lo. Saat ini, dan mungkin buat beberapa waktu kedepan. Bisa jadi, sampe pergantian musim berikutnya datang. Lucu ya? Padahal semua udah jadi potongan kenangan ... gumam Davi dalam hati.
Lamunan nya terhenti ketika sebuah map melayang di depan wajahnya. "Kenapa? Ngerasa deja vu?" tanya Gilang sambil menurunkan map tersebut.
Davi tersenyum kecil. "Dikit."
"Nih surat yang lo minta. Udah selesai gue ketik." Gilang menyerahkan map itu pada Davi. Pagi dini hari tadi, Davi menelepon Gilang dan menyuruh cowok berdarah sunda — manado itu membuatkannya sebuah surat. Untunglah Gilang termasuk tipe cowok kelelawar, yang siang molor dan malam melek. Apalagi kalau bukan bermain game online? Dan Davi, sepertinya harus banyak bersyukur mempunyai teman seperti Gilang dan juga Reno. Karena keduanya pun tidak jauh beda dan selalu siap sedia.
"Kalau lo terus-terusan nyimpen memori lama, kapan lo bisa buat memori baru?" Gilang menepuk bahu Davi. Seolah memberi kesadaran pada cowok itu kalau life must go on.
"Lebih baik dilepas. Daripada lo nyesel dan kehilangan semua di akhir," pesannya menatap Davi serius lalu melangkah memasuki kelas.
Davi terdiam. Perkataan Gilang barusan adalah sebuah kebenaran dalam pengertiannya juga. Ia sadar akan semua yang terjadi padanya. Hal ini memang sangat berisiko. Siapa pun bisa tersakiti hanya dengan satu ungkapan saja. Bertanya pada diri sendiri pun percuma, karena hati dan pikiran lebih sering berjalan tidak seirama.
Untuk saat ini, Davi tidak ingin memikirkannya. Biar lah semua berjalan dengan apa adanya dan terus mengarah pada masa selanjutnya. Menoleh ke belakang, cukup untuk sekedar mengingat bahwa pernah ada kisah yang terukir walau tidak sampai tahap sempurna.
Ditatapnya kembali hujan yang mulai reda. Menyisakan tetesan demi tetesan yang turun dari sela-sela genting. Davi menghela napasnya dalam, apa yang terjadi saat ini adalah sesuatu yang tidak dimengerti olehnya. Tapi, satu yang jelas; Takdir.
Sepertinya, pergantian musim kali ini membawa dampak kurang baik untuk kebanyakan orang. Pasalnya, banyak yang terserang flu mendadak termasuk Naya. Niat tidak akan masuk sekolah pun, diurungkannya karena ada ulangan harian dan tidak ada susulan.
"Haaacchhiim!" Entah lah itu sudah bersin ke berapa Naya pagi ini. Hujan yang turun pagi-pagi, seolah membuat penyakitnya semakin menjadi. Ranita yang baru saja sampai langsung disuguhkan oleh tumpukan tisu di atas mejanya.
"Nay, lo sakit?" tanyanya cemas.
"Gue gak pa— hacchiiimmmm."
"Kemaren gak sengaja ujan-ujanan."
"Mau gue pesenin air anget sama obat?" tawarnya.
"Boleh deh."
Ranita kembali berdiri dan berjalan keluar kelas menuju kantin. Tapi, diujung koridor kelas, tepat di bawah tangga, sosok si tampan tinggi dan tegap muncul, dan hampir bertabrakan dengannya. Siapa lagi kalau bukan si presiden sekolah.
"Ma—maaf, Kak Davi. Saya gak sengaja. Lagi buru-buru soalnya," kata Ranita jujur.
Seperti biasa, Davi pasti selalu menaikkan satu alisnya. Tanda ia bertanya, 'kenapa?' dan sepertinya semua siswa sudah tahu hal itu.
"Itu, Kak ... Naya bersin-bersin terus, dia sakit gara-gara kemarin kehujanan. Jadi, saya mau pesenin air anget sama obat. Biar rada mendingan," ungkap Ranita akhirnya.
Maafin gue yang terpaksa bilang sama Kak Davi, Nay. Sorry, sorry banget. Abis gak sengaja ketemu gini. Lagian Kak Davi udah kayak jelangkung aja deh ... tiba-tiba nongol, gumamnya dalam hati.
"Gak usah. Lo balik ke kelas aja temenin Naya. Biar obat sama air anget gue yang ambil," ujarnya kemudian nyelonong begitu saja ke arah kantin.
Ranita hanya bisa menghela nafasnya pelan. Ia pun berbalik dan berjalan kembali ke kelas. Menurut sepupunya, Davi itu enggak pernah baik sama orang, cuek bebek malah. Tapi, Ranita malah merasakan yang sebaliknya. Cowok itu ... walau terkesan semaunya sendiri, entah kenapa terlihat ada sisi baik yang khusus di tujukan untuk sahabatnya. Sepupunya juga bilang jika Davi tidak pernah dekat dengan makhluk berjenis cewek, tapi tiba-tiba saja cowok nomor wahid di sekolah itu menemui Naya di hari Masa Orientasi Pramuka. Dan setelahnya, mereka terlibat dengan pertemuan-pertemuan yang bahkan dibuat oleh Davi sendiri. Lagi-lagi, Ranita menghela nafasnya. Ia hanya berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Lho? Kok balik lagi, Ran? Lupa gak bawa dompet?" tanya Naya saat melihat Ranita kembali memasuki kelas tanpa membawa apa pun.
"Eh itu? Bukan, bukan masalah dompet. Tapi ...." Ranita bingung bagaimana mengatakannya pada Naya.
"Tapi apa? Kantinnya belum buka, ya?"
"Jam segini mah kantin udah buka kali, Nay."
"Terus ap— haaacchiimm, dong?" Naya mengeluarkan tissue terakhir yang dipunyanya.
"Duhh nyiksa banget sih," keluhnya. Dibereskannya tisu-tisu itu kemudian memasukkannya pada tong sampah.
"Lagian, lo tuh kenapa sekolah, sih? Kan bisa titip sakit ke gue," ujar Ranita saat Naya kembali.
"Niat awalnya sih gitu, tapi minggu kemarin bu Siti kan bilang, hari ini ada ulangan dan gak ada susulan. Kalau gue gak masuk ... nilai gue wassalam Ran," jelas Naya.
Tak berselang lama, Davi datang membawa nampan berisi bubur ayam dan air hangat diikuti oleh Reno di belakangnya.
"Ran?" panggil Davi pelan.
"Iya, Kak." Ranita seolah paham apa yang dimaksud oleh Davi. Ia pun bangkit dari duduknya dan melenggang pergi.
"Selalu aja seenaknya," gerutu Naya pelan.
"Gue kan emang seenaknya," timpal Davi sambil tersenyum lalu duduk di samping Naya.
"Bagus deh kalau nyadar."
Lagi lagi Davi hanya tersenyum. Reno yang mengikuti Davi, duduk manis di meja samping sambil memainkan mobile legend yang sedang booming saat ini.
"Nih makan dulu. Lo belum sarapan, kan? Abis itu minum obatnya," Davi mengeluarkan obat flu dari saku seragamnya.
"Enggak lapar," ujar Naya. Pandangannya masih terfokus pada papan tulis di hadapannya.
"Gue enggak tanya lo lapar atau enggak, Nay. Yang jelas lo kudu makan, biar cepet sembuh."
"Gue enggak— haaachiim!" Hidung Naya semakin merah dan ia terlihat sangat tidak nyaman dengan hal itu.
"Oke, gue enggak akan maksa. Gue ke sini juga cuman mau nyampein sesuatu," ungkap Davi kemudian.
"Apa?"
"Ren, mapnya." Reno langsung menghentikan aktivitasnya dan mengambil map tersebut lalu memberikannya pada Davi.
Davi menghembuskan nafasnya berat. "Ini surat perjanjian antara lo sama gue. Gue mutusin buat akhirin semuanya. Dengan lo tandatangan di sini." Davi menunjuk kolom yang di bawahnya tertera nama Naya.
"Semuanya selesai," lanjutnya.
Naya memutar kepalanya menatap Davi sambil menyipitkan matanya. "Kak Davi enggak lagi bercanda, kan?"
"Nggak. Gue serius," timpal Davi dengan wajah meyakinkan. Ia menyodorkan sebuah pulpen ke hadapan Naya.
"Kalau lo setuju, lo bisa tanda tangan. Tapi kalau lo nggak setuju, juga enggak papa sih," ujarnya lagi.
"Alasannya?"
"Kok Nanya sama gue? Bukannya dari awal lo yang pengen bebas?"
"Kok kesannya jadi kayak gue keluar dari penjara, ya?" dumel Naya pelan.
Davi terkekeh geli. "Yah anggap aja begitu. Jadi, gimana? Lo mau tanda tangan? Gue nggak bisa kasih waktu lama. 30 detik dari sekarang."
"Apa?"
"Satu ... dua ... tiga ...." Davi tidak melanjutkan hitungannya ketika Naya langsung mengambil pulpen itu dan menandatangani surat tersebut.
Davi tersenyum puas, bahkan sangat puas. Reno yang sempat melirik sekilas pun ikut tersenyum simpul.
"Thank you. Nih, Ren. Jaga baik-baik mapnya." Reno langsung mengambil map tersebut. Ia turun dari atas meja.
"Dav, gue balik duluan. Tugas gue udah selesai, kan?"
"Udah-udah."
"Sip." Lalu, Reno pun melenggang pergi keluar kelas.
"Kok Kak Davi masih di sini? Urusan kita kan udah selesai."
Davi menarik bubur ayam yang tidak tersentuh sama sekali sejak tadi. "Gue suapin," ucapnya singkat.
"Kan udah di haaachhimm ... bilang saya nggak lapar. Haachiim."
"Nih." Davi mengeluarkan sebuah tisu dari saku celananya.
"Nggak usah, Kak. Saya masih ada tisu, kok," tolak Naya bohong. Padahal tisu terakhirnya sudah ia buang beberapa saat yang lalu.
"Simpen aja. Gue bukan cowok setengah cewek yang suka simpen begituan di saku celana."
Ya Kak Davi kan emang pantesnya setengah setan setengah malaikat, gerutu Naya dalam hati.
Bel tanda jam pelajaran pertama dimulai pun berbunyi. Davi menoleh ke arah belakang, di mana Ranita berada.
"Ran, sini," panggil Davi pelan.
Ranita langsung berdiri menghampiri Davi bak seorang karyawan saat menghadap bos. "Iya, kak?"
"Bawa ini ke kelas gue. Kasihin ke Reno atau gilang. Kalau mereka enggak mau, lo balikin aja lagi ke kantin. Ok?"
"Oh, Ok, Kak." Ranita langsung meletakkan bubur itu kembali ke nampan dan membawanya sesuai perintah Davi.
"Kok masih di sini? Kan udah bel," protes Naya lagi.
"Gue males di kelas sendiri. Pengen cari suasana baru."
Tiba-tiba, seorang guru dengan perawakan mungil dan cantik memasuki kelas. Suara gaduh pun berubah menjadi hening seketika. "Selamat pagi anak-anak. Hari ini sesuai janji ib— Lho? kamu anak baru, ya? Sini perkenalkan nama mu dulu," ujar Bu Siti. Davi bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan kelas. Berdiri tak jauh dari Bu Siti.
"Perkenalkan, nama saya Davino Muhammad Faishal, panggil aja Davi. Sa—"
"Tunggu-tunggu, siapa nama kamu?" sela Bu Siti.
"Davi, Bu."
Seketika Bu Siti seolah teringat pada sesuatu. Nama Davi seperti tidak asing lagi di telinganya."Kamu, Davi anak kelas 12 Ipa 1, kan?"
"Iya, Bu."
"Lho, ngapain ka—" Kalimatnya terhenti ketika dari arah pintu datang Pak Tantio.
"Permisi Bu Siti, maaf mengganggu waktu mengajarnya. Saya ke sini mau menjemput anak didik saya, Bu," ungkapnya.
Bu Siti mengerutkan alisnya bingung. Ia memang guru baru di sekolah ini. Jadi wajar kalau dirinya belum hafal semua murid di sini termasuk Davi, walaupun hampir semua guru selalu menggosipkannya di ruang guru.
"Davi, Bu." Pak Tantio memperjelas maksud dan tujuannya.
"Oh iya-iya, Pak. Silakan."
"Kamu tuh, ya. Bukannya masuk, malah nyasar di sini," ucap Pak Tantio mencubit lengan atas Davi.
"Aw ... Bapak mah kebiasaan. Kalau nyubit saya enggak pake perasaan," gumam Davi pelan.
"Kamu sendiri kalau bikin ulah juga enggak pernah pake perasaan," timpal Pak Tantio.
"Kalau pake perasaan, entar baper Pak," ujar Davi santai dengan wajah tanpa dosanya.
Seketika suara cekikikan muncul dari para siswi perempuan. Jarang-jarang mereka melihat tontonan seperti ini.
"Sudah-sudah. Ngelantur aja kamu. Ayo kembali ke kelas."
"Bentar dulu dong Pak," protes Davi.
"Apa lagi?"
"Saya boleh ajak Naya ke kelas enggak, Pak? Daripada di sini, kasihan duduk sendirian. Kan kalau di kelas, bisa duduk samping saya, Pak," ucap Davi tersenyum lebar.
"Enggak!"
"Yah Bapak mah gak asik, Nih."
"Davi!"
"Pak Tantio."
"Kamu mau Bapak copot jabatan ketua bantaranya? Ketua pelaksana kemahnya? Hm?" ancamnya.
"Yah, kok main ancam-ancaman sih, Pak?"
"Anak kayak kamu itu harus di ancam, biar jera." Kali ini Pak Tantio menjewer kuping Davi.
"Aduhh, Pak ... hobi banget sih jewer kuping saya. Sakit lho, Pak."
"Kamu juga doyan banget bikin bapak naik darah, tahu?"
"Udah ayo kembali ke kelas," lanjutnya.
"I—iya deh, Pak. Bu, saya pamit dulu, ya. Maaf udah bikin waktu ngajar Ibu keganggu. Kapan-kapan, saya boleh kan main ke rumah ibu? Saya bosen Bu di ajar sama yang udah profesor semua. Sekali-kali boleh dong belajar sama guru yang cantik dan manis kayak Ibu," ucap Davi membuat pipi Bu Siti merah merona.
Dengan tanpa perasaan, Pak Tantio memukul bahu Davi. "Kamu tuh, pagi-pagi udah gombalin guru baru! Gak sopan!"
"Aduh Pak ... bisa-bisa saya masuk rumah sakit gini caranya sih."
"Lebay!"
"Nay, gue balik ke kelas dulu, ya. Jangan kangen, Ok?" Davi mengedipkan satu matanya. Naya hanya memutar bola matanya malas. Tanda ia tidak peduli.
"Bu, titip Naya, ya."
"DAVINO!!!"
"I—iya, Pak iya," ucap Davi pasrah. Ia berbalik dan melenggang pergi. Setelah Davi pergi, Ranita muncul dari pintu dan langsung menghampiri mejanya.
"Duh, lo tuh kemana aja, sih?" bisik Naya.
"Ih pokoknya gue kesel banget banget banget! Tau gak? Masa ya, gue di tahan sama kak Reno, kak Gilang. Gak boleh keluar dari kelas. Untung aja ada pak Tantio. Kalau enggak ada, entah gimana nasib gue sekarang," paparnya.
"Serius, Ran?"
"Dua rius malah."
"Anak-anak, seperti janji ibu minggu lalu, hari ini kita akan ulangan harian. Siapkan alat tulis dan kertas kalian. Ibu akan membagikan soalnya. Jangan ada yang nyontek. Paham?"
"Paham, Bu."
~oOo~
Naya memperlambat langkahnya saat melihat sebuah motor hitam terparkir di depan halte sekolahnya. Ia pun mendekati motor yang terpampang tanpa pengendara itu.
"Lho, ini kan motornya Eza. Ezanya kemana?" tanya Naya celingukan.
"Dasar Eza, motor malah diparkir sembarangan. Kalau ada yang nyuri baru tahu rasa," dumel Naya.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang. Refleks, Naya pun menoleh. "Eza ...."
"Lo dari mana?" sambungnya.
"Abis beli minum di warung sana," tunjuk Eza pada sebuah warung kecil yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Oh ... lain kali jangan parkir motor sembarangan. Bahaya. Lo juga yang rugi entar kalau ada yang bawa."
Eza tersenyum. "Enggak papa kalau cuman motor yang dibawa orang. Asal jangan lo aja," ucapnya enteng.
"Hah? Maksudnya?"
"Nggak ada maksud. Yuk, pulang?" Eza menaiki motornya lalu menyodorkan helm pada Naya.
"Ha? Lo ke sini mau jemput gu— haachhimm!"
"Eh? Lo kenapa, Nay? Sakit?" tanya Eza khawatir.
"Enggak papa, kok. Cuman flu doang. Kemaren ujan-ujanan pas pulang dari minimarket."
"Udah minum obat?"
"Belum."
"Ya udah, sebelum pulang kita makan dulu. Abis itu ke apotek beli obat biar lo cepet sembuh. Ok? Gue enggak mau liat lo sakit," ucapnya tulus sambil mengusap pipi Naya.
Naya tersenyum. Entah kenapa ucapan Eza dan perlakuan singkatnya seperti sihir ajaib untuk Naya. Dan itu malah menimbulkan gejolak aneh yang enggak pernah dia rasakan sebelumnya. Sangat berbeda ketika yang melakukannya adalah Davi. Sedikit pun Naya tidak merasakan hal apa pun. Padahal, akhir-akhir ini cowok itu selalu memberinya simpati. Dengan cepat, Naya menepis semua hal tentang cowok itu. Ia segera memakai helmnya dan menaiki motor Eza.
Ponsel Naya berbunyi tepat saat ia akan bersiap-siap untuk tidur. Naya mengambil ponsel yang tergeletak di meja kecil di samping tempat tidurnya dan langsung mengerutkan kening saat melihat nama Davi memanggil di layar ponselnya.
"Ngapain sih telepon jam segini? Ganggu orang mau tidur aja," dumel Naya. Ia pun menggeser icon telepon berwarna hijau tersebut.
"Hai," ucap Davi seberang.
"Kenapa?"
"Cuman mau ngucapin good night doang. Enggak boleh?"
Naya kembali mengerutkan alisnya. Kak Davi kenapa, sih? Kok sikapnya akhir-akhir ini bikin gue merinding, ya? batinnya.
"Kenapa?" Naya kembali mengulang pertanyaannya.
"Ck! Gue pikir lo udah tahu."
"Hah? Tahu ap—haachiiim," Lagi-lagi bersinnya kambuh.
"Udah minum obat belum?"
"Eh? Udah, kok."
"Syukur deh. Semoga cepet sembuh. Gue gak mau lo sakit."
"Iya."
"Ya udah lo istirahat, ya. Good Night. Jangan lupa baca pesan dari gue, ya. Sampai ketemu besok." telepon pun langsung terputus.
Naya mengecek ponselnya, dan benar. Ada satu pesan dari Davi. Ia ingin langsung menghapusnya tapi juga penasaran. Apa isi dari pesan tersebut sampai-sampai Davi harus meneleponnya. Ternyata, Davi mengirimnya sebuah gambar. Saat Naya men-klik gambar tersebut, ia sangat terkejut karena itu adalah isi dari surat perjanjian yang tadi pagi di tanda tanganinya. Dan bodohnya ia tidak membacanya terlebih dahulu.

"DAVINO MUHAMMAD FAISHAL!!!" teriak Naya refleks.
Di tempat lain, Davino tersenyum membayangkan reaksi Naya setelah membaca pesan darinya.
"Semuanya bakal dimulai besok," gumamnya diiringi senyum misterius.