“Jadi? Kau sudah menemukan cara membuat portal dengan koordinat yang tepat? Makanya kau bisa membawa kami kesini?” tanya Vian dengan menatap Driad serius.
“Iyaa.. dari dulu juga kaya gitu. Kalian kemana aja?” Driad berbicara dengan ketus.
“Santai aja kali Dri..” ujar Selvi.
“Bukan... setau aku kalau dalam keadaan bertingkat begini portal nggak akan bisa nemukan titik yang pas.”
“Oh itu.. Aku pergi meninggalkan kalian dan langsung datang ke hotel ini. Membeli kamar beberapa malam baru buka portal dari kamar ke tempat kalian yang masih pingsan,” jelas Driad.
“Oh begitu...”
Mereka berempat sedang berada di meja makan bagian dapur hotel. Hotel yang dipilih oleh Driad bukan hotel biasa, ia memilih hotel yang tingkatnya paling tinggi dengan pelayanan terbaik. Itu semua karena ia membawa tiga orang yang menurutnya cukup beban.
“Oh iya, kalian jangan ada yang keluar lewat pintu kamar ya, pokoknya jangan keluar dari kamar ini. Kalau mau keluar kalian bisa pasang portal aja,” perintah Driad.
“Tapi kenapa begitu?” tanya William yang masih kurang paham.
“Karena aku waktu membeli kamar ini hanya seorang diri, jika kalian tiba-tiba keluar tanpa masuk dari pintu utama hotel, itu akan memperkeruh suasana. Terlebih lagi jika mereka mengecek kamera pengawas,”
“Tapi kan bisa kita manipulasi?” ucap Selvi.
“Masalahnya jika kita manipulasi itu makin akan membuat keadaan semakin sulit,” jawab Driad.
“Bentar deh, dari kemarin sepertinya kau terlalu membela bangsa manusia. Apa kau benar-benar sosok Cordict?” tanya Vian merasakan kejanggalan dengan Driad.
“Masalahnya bukan itu, kita hanya berempat. Kita tidak akan sanggup melawan mereka semua jika ketahuan, itu sebabnya kita tidak boleh terlalu menonjolkan diri. Kalaupun kita menghipnotis mereka semua, itu semakin akan membuang energi kita. Dan malah merugikan diri sendiri,”
“Oh baiklah, aku paham.” Vian menganggukkan kepalanya dan melanjutkan makannya.
Mereka bangsa Cordict sudah seratus persen berperilaku seperti manusia, bahkan sampai kebiasaan makan mereka pun berubah. Sekarang mereka makan dengan elegan menggunakan sendok dan garpu. Tidak lupa dengan tata cara dan etika makan yang benar-benar menyerupai manusia seratus persen.
***
Archel melepaskan tangannya dan sebuah anak panah melesat melewati udara yang sedang sepi itu sehingga akhitnya menancap pada sebuah papan sasaran dengan tepat di tengah-tengahnya. Walaupun dunia sekarang ini sangat modern dan mencapai puncak eranya teknologi, tetapi tentang alat pesenjataan dan perang manusia, tetap saja semuanya sama seperti dahulu. Beberapa perubahan pun hanya terjadi pada modifikasi senjata saja.
“Apa kau masih belum pandai menggunakan peralatan perang? Aku heran, padahal kau sering membedah tubuh manusia, tetapi kau bahkan tidak dapat menggunakan pisau perang untuk melawan seseorang.” Archel melirik Delvin yang berada di sampingnya dan sedang berusaha fokus untuk melesatkan anak panahnya.
“Tidak bisakah kau diam? Aku sedang fokus untuk melesatkan anak panah ini,” ucap Delvin. Ia terlihat sedikit kesusahan memegang busur panahnya, ia menarik busur panahnya dan mendekatkan matanya ke dekat anak panah yang sekarang sudah ditariknya. Ia memperkirakan ketepatan saat ia melepaskan tangannya. Setelah ia merasaa yakin bahwa bidikannya akan tepat, Delvin melepaskan tangannya dan anah panah tersebut melesat dengan cepat menancap pada papan sasaran.
“Hahahaha... Sepertinya kau masih harus banyak belajar lagi Vin,” ucap Archel dan menepuk-nepuk bahu temannya itu saat melihat bidikannya hanya mengenai bangian atas papan sasaran.
“Sepertinya aku emang tidak berbakat melakukan pertempuran seperti itu. Sudah kubilang kan? Aku hanya dapat mengobati saja,” keluh Delvin dan menatap tidak senang Archel yang selalu memaksanya untuk bisa bertempur.
“Setidaknya kau harus dapat menggunakan pisau untuk membunuh seseorang Vin... Kita tidak tau apa yang akan terjadi kedepannya, meskipun kau mampu mengobati, kau tetap harus pandai untuk menyerang.” Archel berujar dan mulai kembali menarik tali busur panahnya bersamaan dengan anak panah miliknya. Beberapa detik kemudian ia melepaskan busur panahnya dan melesat tepat mengenai titik tengah dari papan sasaran.
Delvin yang melihat kemampuan dan bakat sempurna Archel itu tentu saja terpana, ia sangat takjub dengan teman yang ada di sampingnya itu. Hanya saja ia tidak dapat mengikuti dan melangkah bersamanya, Delvin merasa ia tidak memiliki bakat serba bisa seperti Archel.
“Aku tidak paham dengan bakatmu itu, bagaimana bisa kau seperti bisa melakukan segalanya?”
“Semuanya karena aku selalu melakukan suatu hal dengan niat dan tertantang. Tidak lupa aku juga selalu merasa senang melakukan hal baru sampai hal itu menjadi bagian dari diriku sendiri,” jawab Archel dengasenyum tipisnya.
“Tapi meskipun begitu, ada beberapa efek samping yang membuat hidupmu suram ketika terus melakukannya dan mengejar kesempurnaan. Sebaiknya kau jangan ikut mencobanya, karena rasa aneh yang selalu menggorotiku itu membuat hasratku ingin mati sangat tinggi,” lanjut Archel dan menghembuskan napasnya secara perlahan.
“Aku paham dengan apa yang kau maksud, karena Lia juga sering berkata begitu tentangmu. Ia berkata bahwa kau sebenarnya mudah untuk menemukan kebahagiaan, tetapi hatimu sering tidak tenang akan banyak hal,” ujar Delvin.
“Benarkah?” Archel tersenyum, “Sepertinya dia banyak mengerti tentang banyak hal.”
“Ya seperti itulah, tetapi aku sedikit heran dengan sifatnya yang sangat labil itu. Bukankah seharusnya orang seperti dia memiliki sikap yang komimen?”
“Asal kau tau, di dunia ini. Kelemahanlah yang sebenarnya menjadi kekuatan utama.” Perkataan Archel itu membuat Delvin mengernyitkan dahinya. Matanya yang bewarna Ruby itu melirik Archel dengan pandangan menyelidiki.
“Seperti biasanya, perkataanmu sangat sulit dipahami.” Delvin mengacak-acak rambut silvernya itu. Ia paling benci dibuat untuk berpikir, karena kapasitas otaknya hanya untuk menghapal dan langsung bertindak, bukan otak yang cocok untuk berpikir rumit.
“Sudahlah... Sekarang, apa kau mau melihat makhluk itu?” tanya Archel dan meletakkan busur panahnya. Ia berjalan ke sebuah kulkas yang ada pada ruang latihan itu. Ia membuka kulkas itu dengan menempelkan tangannya pada kotak kecil bewarna hitam. Kulkas terbuka dan disana ada berbagai makanan ringan hingga minuman dengan lengkap. Tentu saja Archel memilih soda yang sangat menyegarkan bagi mulut dan lehernya.
“Sepertinya aku sudah siap, tapi kau tahan aku yah untuk tidak memotong bagian-bagian tubuhnya terlalu banyak.” Delvin khawatir ia akan mengacaukan rencana mereka nanti.
Archel hanya mengangguk dan tersenyum setelah meneguk sodanya sampai habis, “Tentu saja, kau sepertinya kurang mempercayaiku.”
“Kalau aku tidak percaya padamu, aku tidak akan masuk Hexaint.” Delvin melirik Archel dan pergi dari ruang latihan itu dengan membawa dua kaleng soda yang sudah diambilnya lebih dahulu dari Archel.
“Sepertinya akan menarik,” ucap Archel dan mengikuti Delvin yang sudah keluar lebih dahulu darinya.