Kebencian

2169 Words
Jonathan akhirnya mengantar Dina pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan menuju rumah Dina. Lengan Jonathan terus di rangkul oleh Dina. Dina seolah-olah begitu takut kehilangan Jonathan. “Din, lepasin tangan aku. Kalau kayak gini, aku gak bisa nyetir. Kamu gak mau ‘kan sampai terjadi sesuatu yang gak kita inginkan?” Dina akhirnya melepas rangkulan tangannya dari lengan Jonathan. “Kenapa tadi pagi kamu gak bangunin aku? apa kamu memang sengaja ngelakuin itu?” tanyanya penasaran. “Aku hanya gak tega ngebangun nin kamu. Aku lihat tidur kamu sangat nyenyak. Aku pikir kamu masih betah tidur, jadi aku biarkan kamu untuk melanjutkan tidurmu,” ucap Jonathan berbohong. Sepertinya kamu memang sangat pandai berbohong, Jo. Namanya juga buaya darat. Pasti ada begitu banyak omong kosong dan alasan untuk menggaet mangsa-mangsanya. “Tidur aku semalam memang sangat nyenyak. Apalagi saat kamu memelukku semalam. Rasanya begitu nyaman. Sudah lama kamu gak meluk aku kayak semalam,” ucap Dina dengan menepiskan senyumannya. Jonathan hanya diam. Setiap Dina membicarakan soal masa lalu mereka, membuat Jonathan merasa muak dan emosi. Tapi, ia mencoba untuk menahan diri kali ini. Tak mungkin juga Jonathan meluapkan emosinya kepada Dina begitu saja. Bukannya masalah dengan Dina selesai, tapi malah semakin tambah runyam. Belum lagi reaksi yang akan Dina tunjukkan padanya, saat ia membeberkan perselingkuhan Dina dengan Dava. Jonathan menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Dina. Ia lalu membuka pintu mobil dan melangkah keluar dari mobil tanpa bicara sepatah katapun. Bahkan ia tak membukakan pintu mobil untuk Dina, hingga Dina dengan terpaksa membuka pintu mobil itu sendiri, lalu melangkah keluar dari mobil. Tapi Dina tidak terlalu mengambil pusing dengan sikap dingin yang Jonathan tunjukkan padanya. Bagi Dina, Jonathan masih mau bersamanya dan menemaninya, itu semua lebih dari cukup untuk saat ini. “Sayang, mau mampir bentar gak? Mama sering nanyain kamu lho. Aku sampai bingung mau jawab apa lagi untuk mencari alasan agar Mama percaya dengan ucapan aku.” Jonathan menatap jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Ia lalu menggelengkan kepalanya. “Lain kali aja. Udah malam juga. Aku gak enak sama keluarga kamu. Lebih baik aku pulang aja,” tolaknya. “Sekali ini aja, Jo. Mungkin dengan begitu Mama dan Papa akan merasa sangat senang. Mereka gak akan bertanya lagi tentang kenapa kamu gak datang lagi ke rumah ini. Padahal yang kedua orang tua aku tau, hubungan kita masih baik-baik saja.” Jonathan bisa melihat kesedihan di mata kedua Dina. Tatapan Dina itulah yang membuat Jonathan kadang sulit untuk mengambil keputusan dalam hidupnya. Jonathan dan Dina mengalihkan tatapan mereka saat melihat ada sebuah mobil masuk ke halaman rumah, dan berhenti tepat di samping mobil Jonathan. Atha dan Desy keluar dari mobil, mereka terkejut melihat Jonathan—yang mereka ketahui sebagai kekasih putrinya itu. “Lho... ada Jonathan juga disini. Kok gak disuruh masuk, Sayang,” ucap Desy lalu melangkah mendekati Dina dan Jonathan. “Iya, kenapa gak disuruh masuk, Sayang? Di luar dingin.” Atha ikut berbicara. Jonathan mencium tangan kedua orang tua Dina. “Dina udah nyuruh Jo masuk, Ma, Pa. Tapi dia nya yang gak mau. Katanya gak enak sama Mama dan Papa,” ucap Dina sambil menatap ke arah Jonathan. “Ayo masuk. Udah lama kamu gak main ke rumah ini, Jo,” ajak Desy. Jonathan menganggukkan kepalanya. Ia merasa tidak enak hati untuk menolak ajakan kedua orang tua Dina. Apalagi kedua orang tua Dina adalah sahabat kedua orang tuanya. Mereka juga sangat baik kepada Jonathan selama ini. Desy dan Atha meninggalkan Dina dan Jonathan berdua di ruang tamu, karena mereka harus membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu, mereka kembali menemui putrinya dan Jonathan. Jonathan tengah meneguk kopi yang dibuat oleh asisten rumah tangga Dina. Jonathan mencoba mengingat, kapan terakhir kalinya dirinya menginjakkan kakinya di rumah itu. Ya, satu hari sebelum malam naas itu terjadi. “Jo, selamat ya atas kelulusan kamu. Tante dan Om baru bisa memberikan ucapan sekarang, karena selama ini kamu juga jarang main ke rumah ini lagi,” ucap Desy dengan senyuman di wajahnya. “Terima kasih Tante, Om. Jo minta maaf karena Jo jarang main ke sini lagi.” Jonathan menepiskan senyumannya. Ia merasa tak enak hati dengan kedua orang tua Dina yang selama ini memang sangat baik padanya. “Hubungan kalian baik-baik saja ‘kan?” tanya Atha yang sudah mulai curiga karena Jonathan sudah lama tidak mengunjungi putrinya di rumah. Jonathan menganggukkan kepalanya, “baik kok, Om. Iya ‘kan, Sayang?” tanyanya sambil melirik ke arah Dina. Dina merangkul lengan Jonathan, ia sengaja melakukan itu agar kedua orang tuanya percaya dengan apa yang Jonathan katakan. Bagaimanapun ia tidak ingin sampai kedua orang tuanya tau tentang masalah yang sedang mereka hadapi akhir-akhir ini. Bahkan Dina sendiri tak tau, apa penyebab Jonathan bisa berubah sikap padanya. Sudah tak se-perhatian dan seromantis dulu lagi. Ia seakan kehilangan sosok Jonathan yang dulu sangat memujanya dan selalu mengutamakan dirinya ketimbang diri Jonathan sendiri. “Dina dan Jonathan baik-baik aja kok, Pa. Jonathan malah tambah perhatian sama Dina. Akhir-akhir ini Jonathan memang sedang sibuk, karena dia sebentar lagi akan menggantikan papa nya untuk mengurus perusahaannya. Iya ‘kan, Sayang?” tanya Dina sambil menatap Jonathan. Jonathan hanya mampu mengiyakan apa yang Dina katakan. Anggap saja itu alasan agar kedua orang tua Dina tidak banyak bertanya lagi padanya, karena ia sendiri bingung harus mencari alasan apalagi agar kedua orang tua Dina percaya padanya lagi. Atha dan Desy memberikan selamat kepada Jonathan. Barack memang pernah memberitahu Atha, jika dia ingin pensiun dini dan menyerahkan perusahaannya kepada anak semata wayangnya. Tapi, ia tidak menyangka akan secepat ini. “Jadi, apa yang papa kamu katakan waktu itu benar. Om kira papa kamu hanya bercanda,” ucap Atha masih tidak percaya, teman seperjuangannya akan berhenti mengurus perusahaannya dan memilih untuk bersantai di rumah. Menikmati masa tuanya. “Iya, Om. Baru tadi Papa membicarakannya dengan Jonathan. Sebenarnya, Jonathan belum begitu siap untuk mengurus perusahaan, apalagi Jonathan ‘kan belum lama lulus kuliah. Jonathan juga belum paham soal bisnis. Apalagi harus memikul tanggung jawab sebesar itu,” ucap Jonathan dengan menepiskan senyumannya. “Papa kamu dulu juga sama seperti kamu. Dia juga tidak terlalu paham soal bisnis, tapi dia tidak pernah menyerah. Papa kamu ingin memberikan kehidupan yang layak untuk keluarganya. Kamu pasti sudah tau, jika dulu papa kamu dan Om memulai usaha ini dari nol. Keluarga kami bukanlah berasal dari keluarga kaya. Tapi kami berusaha semampu kami untuk menjadi layak dan dipandang oleh masyarakat.” Atha sedikit bercerita tentang masa lalunya dan masa lalu sahabatnya yang tak lain ayah Jonathan. “Saat Dina memperkenalkan kamu sama kami, Om dan Tante sangat bahagia. Om sudah mengenal kedua orang tua kamu dengan sangat baik. Kamu pasti juga tak jauh beda dengan papa kamu,” lanjut Atha. Jonathan hanya menepiskan senyumannya mendengar celotehan papa Dina. Dulu, ia memang menganggap hubungannya dengan Dina adalah anugerah terindah, karena ia bisa mendapatkan kekasih secantik Dina yang waktu itu adalah idola kampusnya. Begitu banyak cowok di kampusnya yang ingin menjadi kekasih Dina. Tapi, Jonathan merasa sangat beruntung waktu itu, saat Dina ternyata memiliki perasaan yang sama dengannya. Tapi, setelah Jonathan mengetahui perselingkuhan Dina dengan Dava. Ia justru berpikir, jika hubungannya dengan Dina bagikan duri dalam hatinya yang setiap waktu menusuk hatinya saat ia mengingat tentang pengkhianatan yang Dina lakukan. Desy mendengar suara dering ponselnya yang beberapa waktu lalu ia letakkan di atas meja. Ia lalu mengambil ponselnya, melihat siapa yang menghubunginya malam-malam. Di layar ponselnya tertera nama Tuan Putriku. “Siapa Ma?” tanya Atha penasaran. “Diva. Mama angkat telepon dulu ya,” pamit Desy lalu beranjak dari duduknya, melangkah menjauh. Jonathan menatap jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. “Om. Jonathan pamit pulang ya. Sudah malam juga. Om dan Tante pasti juga sangat lelah,” pamitnya. Atha menganggukkan kepalanya, “salam untuk mama dan papa kamu,” ucapnya. Jonathan menganggukkan kepalanya, ia lalu beranjak dari duduknya, mencium punggung tangan papa Dina. “Salam untuk Tante ya, Om. Maaf, Jonathan gak bisa lama-lama. Lain kali, Jonathan akan main kesini lagi,” ucapnya. “Nanti Om akan sampaikan pesan kamu. Kamu hati-hati di jalan.” Jonathan menganggukkan kepalanya. Dina mengantar Jonathan sampai di depan pintu. “Jo! Tunggu!” Dina melangkah mendekati Jonathan, berdiri tepat di depan Jonathan, sedikit mejinjitkan tubuhnya, mengecup kilas bibir kekasihnya. “Selamat malam,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. “Hem, aku balik dulu.” Jonathan melangkah menuju mobil, ia bahkan tak membalas kecupan Dina, meskipun hanya kecupan di kening. Ia lalu masuk ke dalam mobil. Melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbang rumah Dina. Dina menghela nafas, “aku gak tau apa yang membuat kamu berubah, Jo. Tapi, aku gak akan pernah menyerah untuk membuat kamu kembali menjadi Jonathan yang dulu lagi. Jonathan yang hanya cinta dengan Dina—si bunga kampus.” Dina membalikkan tubuhnya, melangkah menuju pintu dan masuk ke dalam rumah. Tak lupa di menutup pintu rumah dan menguncinya kembali. Saat Dina melewati ruang tengah, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua orang tua angkatnya. Ia memilih untuk berdiri menempel di dinding, mendengarkan pembicaraan kedua orang tua angkatnya. Atha mengusap punggung istrinya yang saat ini tengah terisak. “Mama sudah. Biarkan Diva menentukan jalan hidupnya sendiri.” Desy semakin terisak. Sudah 4 tahun ia tidak tinggal bersama dengan anak yang dengan sekuat tenaga dilahirkannya, karena Diva memilih untuk kuliah keluar negeri. Diva menolak saat mamanya memintanya untuk pulang dan melanjutkan S2 nya di Jakarta. Desy tau apa alasan putrinya mengambil keputusan itu. Tapi, semua itu bukan salah Diva, tapi Diva yang harus menanggung semua kesalahannya. Andai Desy dan Atha memberitahu Dina tentang kebenaran siapa dirinya, maka semua ini tidak akan terjadi. Keluarganya tidak akan hancur seperti sekarang ini. “Pa. Apa Papa sama sekali gak rindu dengan anak kita? 4 tahun Pa. 4 tahun Diva tinggal di negeri orang tanpa mau kembali lagi ke rumah ini. Dan sekarang... Diva menolak saat Mama menyuruhnya untuk pulang, dan kuliah di Jakarta,” ucap Desy disela isak tangisnya. Desy menundukkan wajahnya, “apa salah Diva, Pa? kenapa dia harus berkorban untuk kebahagiaan rumah ini? Diva adalah anak kita, Pa. Tapi, kita malah memperlakukan Diva seperti anak tiri,” lanjutnya. Atha menarik istrinya ke dalam pelukannya. “Papa yakin, setelah Diva menyelesaikan S2 nya, dia akan kembali lagi ke rumah ini. Diva juga gak mungkin akan tinggal di Amerika selamanya. Rumahnya disini, kedua orang tuanya juga ada disini. Diva itu anak yang baik, dia gak akan mungkin melupakan keluarganya begitu saja,” ucapnya lalu melepaskan pelukannya. Dina yang mendengar percakapan kedua orang tua angkatnya, mengepalkan kedua tangannya. Ia lalu bergegas pergi dari tempat itu, menuju tangga, menaikinya satu persatu, masuk ke dalam kamarnya. Membanting pintu kamarnya dengan sangat keras untuk meluapkan emosinya. Dina tak suka saat kedua orang tuanya membicarakan soal Diva di rumah itu. Selama ini ia sudah sangat bahagia, saat Diva memutuskan untuk sekolah di luar negeri. Dina bahkan berharap, Diva tak akan pernah kembali ke rumah itu lagi untuk selama-lamanya. “Diva! Diva! Diva! Selalu aja Diva! Mama gak pernah peduli sama aku. Yang Mama pikirkan hanya Diva!” Dina lalu melangkah menuju lemari kecil di dekat ranjangnya. Ia lalu mengambil pigura dimana di dalam pigura itu terpasang foto dirinya dan Diva saat masih kecil. “Aku benci kamu, Diva! Benci! Aku gak akan biarkan kamu kembali merebut kasih sayang Mama dan Papa! Gak akan!” teriaknya sambil membanting pigura itu sampai hancur berkeping-keping. Dina lalu mengambil foto dirinya dan Diva, merobeknya menjadi kecil-kecil lalu membuangnya ke tong sampah. “Aku tau, suatu saat nanti kamu akan tetap kembali ke rumah ini. Tapi, aku akan membuat hidupmu seperti di neraka di rumah ini,” geramnya. Sakit hati yang Dina rasakan saat mengetahui kenyataan tentang jati dirinya yang sebenarnya, telah merubah kepribadian Dina. Dina yang awalnya sangat menyayangi Diva—adiknya, kini berubah menjadi membenci adiknya itu. Saat ulang tahun Dina yang ke 17 tahun, Dina tidak sengaja mendengar pembicaraan Diva dengan kedua orang tuanya. Dimana Diva menanyakan soal berkas yang tidak sengaja ditemukan tergeletak di lantai. Dimana berkas itu adalah berkas adopsi Dina—kakaknya. Hati Dina hancur berkeping-keping, saat mendengar jika dirinya diadopsi dari panti asuhan saat masih berusia 1 tahun. Sejak saat itu, Dina berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak akan membiarkan hidup Diva bahagia. Tak akan ia biarkan, Diva mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya. Perubahan sikap Dina lah yang membuat Diva memutuskan untuk kuliah ke Amerika, menjauh dari keluarga yang sangat disayanginya, hanya untuk membuat kakaknya bahagia. Diva begitu tulus menyayangi Dina dan menganggapnya sebagai kakak kandungnya, bukan kakak angkatnya. Tapi, hati Dina sudah di penuhi oleh kebencian, hingga ia tak melihat kasih sayang Diva yang begitu tulus padanya. Keputusan Diva untuk kuliah ke Amerika, membuat Dina sedikit tenang, karena dengan begitu kasih sayang kedua orang tuanya hanya ditujukan untuknya seorang. Dina bahkan tak peduli dengan kesedihan kedua orang tua angkatnya saat melepas kepergian Diva yang saat itu memilih untuk melanjutkan pendidikannya ke Amerika. Bagi dirinya, menguasai kasih sayang kedua orang tuanya adalah hal yang paling penting, meskipun ia harus menyingkirkan Diva dari rumah itu dan hidupnya untuk selama-lamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD