Jonathan membuka kedua matanya. Ia merasa tubuhnya sangat berat. Ia lalu memiringkan wajahnya untuk menatap sosok yang saat ini tengah memeluknya dengan sangat erat.
Jonathan memijit pelipisnya, kepalanya terasa sangat pusing. Ia samar-samar bisa mengingat kejadian semalam, dimana dirinya mengajak Dina untuk minum wine di apartemennya.
Jonathan menyingkirkan tangan Dina yang berada di atas perutnya. Ia lalu beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.
Apa yang sudah gue lakuin? Kenapa Dina bisa tidur di ranjang gue? Kenapa gue gak ingat apa yang semalam gue lakuin sama Dina?
Arghhhh! sialan kamu, Din!
Jonathan mengepalkan tangannya dan memukulkannya ke dinding kamar mandi.
Kepalanya masih terasa sangat pusing. Ia bahkan tak bisa mengingat apa yang terjadi dengan dirinya semalam. Tapi, melihat kondisi Dina, Jonathan bisa menerka apa yang terjadi semalam.
“Lo emang udah gila, Jo! Lo terlalu bodoh! Apa yang ada di otak lo sebenarnya, hah!”
Jonathan mengumpat pada pantulannya wajahnya sendiri dari balik cermin yang ada di depannya. Mengacak-acak rambutnya dengan sangat kasar.
“Bisa gila gue kalau kayak gini terus. Mendingan gue mandi terus cabut dari sini.”
Jonathan mulai menyalakan shower untuk membersihkan dirinya. Setelah selesai membersihkan diri, Jonathan melangkah keluar dari kamar mandi. Ia melihat Dina masih terlelap dalam tidurnya.
Jonathan mengambil pakaian dari dalam lemari, setelah itu memakainya. Ia menatap jam di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi.
Jonathan mengambil ponsel dan kunci mobilnya dari atas lemari kecil yang ada di dekat ranjang.
Setelah itu ia melangkah keluar dari kamarnya tanpa menatap ke arah Dina yang masih tertidur lelap di atas ranjangnya.
“Lebih baik gue pergi. Gue gak ingin berada disini sama Dina.”
Jonathan melangkah keluar dari apartemennya tanpa membangunkan Dina terlebih dahulu. Membiarkan wanita yang telah menemani malamnya seorang diri di apartemennya.
Mungkin dia pria tak beradap, tapi sakit hati yang Jonathan rasakan lebih dari apa yang Dina rasakan saat ini.
Itulah yang dipikirkan Jonathan saat ini. Apalagi saat mengingat pengkhianatan yang Dina lakukan, semakin membuat darah Jonathan mendidih saat itu juga.
Pintu lift terbuka, Jonathan melangkah keluar dari lift. Ia lalu melangkah menuju mobilnya dan masuk ke dalam mobil.
Ponsel Jonathan tiba-tiba berbunyi saat ia mau melajukan mobilnya. Dengan sangat malas, Jonathan menjawab panggilan itu.
“Hem.” Hanya deheman yang keluar dari mulut Jonathan saat panggilan itu mulai tersambung.
“Sayang, kamu dimana? Kenapa kamu gak bangunin aku.”
Saat Dina membuka kedua matanya, ia tak lagi melihat kekasihnya yang semalam tidur sambil memeluknya.
Bahkan semalaman memberinya kenyamanan dalam pelukan Jonathan, hingga membuat tidurnya menjadi sangat nyenyak.
“Sorry, aku ada urusan penting. Kamu bisa pergi dari apartemen aku kapanpun kamu mau. Nanti aku hubungi lagi. Sorry, aku gak bisa bicara panjang lebar.”
Tanpa pikir panjang, Jonathan lalu mengakhiri panggilan itu, ia bahkan tidak peduli dengan teriakan Dina yang memekakkan telinganya.
“Lo mau marah sama gue, gue mah gak peduli.” Jonathan lalu mulai melajukan mobilnya keluar dari basement.
Jonathan ingin mengistirahatkan tubuhnya, ia memilih untuk pulang ke rumahnya.
Setelah sampai di rumahnya, Jonathan keluar dari mobil. Ia melihat papa nya yang baru saja keluar dari rumah.
“Papa kok jam segini sudah pulang?” tanyanya penasaran.
“Ada berkas yang tertinggal. Oya, Jo. Ada yang ingin Papa bicarakan sama kamu. Nanti malam menginap lah di rumah,” ucap Barack lalu masuk ke dalam mobil.
Supir pribadi Barack mulai melajukan mobil keluar dari halaman rumah Jonathan.
“Apa yang ingin Papa bicarakan sama gue? Papa gak akan nyuruh gue nikahkan?”
Jonathan seketika bergidik ngeri, “baru juga belum lama lulus kuliah, udah diminta nikah aja. Ogah, gue masih mau bebas.”
Jonathan lalu melangkah menuju pintu utama, membuka pintu itu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia langsung menuju tangga dan menaiki anak tangga itu satu persatu untuk menuju kamarnya. Ia ingin melanjutkan tidurnya.
Sudah 6 bulan ini, Jonathan memilih untuk tinggal di apartemen, karena ia ingin bebas. Ia tidak ingin hidup dalam aturan mamanya yang melarangnya untuk melakukan apapun yang ia inginkan.
Jonathan merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran king size. Kasur ternyaman yang selalu ditidurinya selama lebih dari 19 tahun.
Ia mulai menempati kamar itu saat usianya menginjak 6 tahun. Sejak itu, ia terbiasa tidur sendirian di kamar itu, tanpa ditemani oleh kedua orang tuanya.
Baru 15 menit, Jonathan memejamkan kedua matanya. Ia mendengar suara ketukan pintu kamarnya.
“Siapa?” tanyanya dengan kedua mata yang masih terpejam.
“Mama. Apa Mama boleh masuk?”
“Masuk aja, Ma. Gak dikunci juga pintunya.”
Jonathan membuka kedua matanya, ia lalu mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di sandaran ranjang.
Pintu terbuka dengan perlahan, memperlihatkan sosok wanita paruh baya—yang tak lain adalah mamanya Jonathan.
Meskipun usianya sudah tak lagi muda. Tapi wajahnya masih terlihat awet muda. Tentu saja karena mama nya Jonathan rajin perawatan di salon.
Holang kaya. Apa aja serba gampang. Asal keluar duit, semua rebes pokoknya.
“Ada apa, Ma? Apa ada yang ingin Mama bicarakan sama Jo?”
Nita mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, ia tatap wajah tampan putra satu-satunya yang sudah jarang pulang ke rumahnya.
“Mama kira kamu sudah lupa jalan pulang,” sindirnya.
Jonathan hanya menghela nafas, “Mama mau nyindir, Jo nie,” cebik nya.
Nita tersenyum, “Sayang. Kamu ini anak Mama satu-satunya. Tapi, kenapa kamu lebih memilih untuk tinggal di apartemen daripada tinggal disini sama Mama dan Papa?”
“Karena Jo gak ingin dikekang,” ceplosnya tanpa pikir panjang. Tidak peduli dengan siapa ia bicara sekarang.
“Memangnya apa yang udah Mama lakuin ke kamu? apa Mama pernah melarang kamu melakukan apa yang kamu mau?” tanya Nita sambil mengernyitkan dahinya.
“Jo capek, Ma. Jo ingin istirahat. Jo juga udah besar. Jo hanya ingin belajar mandiri, itu aja.”
Nita hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Jonathan.
“Sayang. Bagaimana hubunganmu sama Dina? Kenapa sekarang kamu jarang bawa dia ke rumah?”
“Baik, Ma. Dina lagi sibuk dengan urusannya. Lain kali, Jo akan ajak Dina kesini.”
Nita menganggukkan kepalanya, “malam ini kamu akan menginap disini ‘kan?”
Jonathan menganggukkan kepalanya, “biarkan Jo tidur sekarang. Jo capek, Ma,” pintanya.
Nita mengangguk, lalu mengusap lengan putranya, “ya sudah, tidurlah. Mama gak akan mengganggumu lagi,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
Jonathan melihat mamanya yang sudah melangkah keluar dari kamarnya. Ia lalu kembali merebahkan tubuhnya, kedua matanya masih sangat mengantuk. Ia bahkan tidak merasakan lapar sama sekali.
Setelah selesai makan malam, Barack mengajak Jonathan untuk berbicara empat mata di ruang kerjanya. Mereka duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Duduk bersandingan malahan.
“Apa yang ingin Papa bicarakan dengan Jo?” tanya Jonathan penasaran.
“Jo. Papa ini sudah tua. Sekarang kamu sudah menyelesaikan pendidikan kamu. Papa ingin kamu menggantikan posisi Papa. Papa ingin kamu mengurus perusahaan mulai dari sekarang.”
Jonathan mengernyitkan dahinya, “maksud Papa. Jo menggantikan posisi Papa sebagai CEO di perusahaan, gitu?”
Barack menganggukkan kepalanya, “sudah saatnya Papa untuk pensiun, Jo. Sekarang perusahaan Papa serahkan sama kamu. Kamu harus mulai belajar mengurus perusahaan mulai dari sekarang.”
“Tapi, Pa. Jo belum siap.”
“Siap gak siap. Perusahaan itu akan tetap kamu yang urus, karena kamu anak Papa satu-satunya. Memangnya siapa lagi yang akan Papa berikan tanggung jawab, kalau bukan kamu.”
Jonathan menghela nafas, “apa Jo bisa, Pa? Jo gak yakin dengan kemampuan Jo sendiri.”
Barack menepuk bahu Jonathan, “Papa yakin kamu bisa. Apalagi kamu sudah menyelesaikan pendidikan S2 kamu. Hanya kamu harapan Papa dan Mama. Papa sangat berharap sama kamu.”
Jonathan terdiam. Ia tau, jika saatnya akan tiba untuk dirinya meneruskan perusahaan keluarganya.
Tapi, Jonathan merasa ini terlalu cepat. Apalagi usianya baru menginjak 25 tahun. Ia juga masih ingin bersenang-senang dengan teman-temannya.
Bukannya malah pusing mikirin kerjaan kantor yang mungkin akan sangat menumpuk. Tentunya akan membuat kepalanya pusing tujuh keliling.
“Jo. Usia kamu memang masih muda. Dulu Papa mulai merintis perusahaan itu saat Papa berusia 26 tahun. Tapi, Papa yakin, kamu pasti bisa mengemban semua tanggung jawab itu.”
Mau tidak mau Jonathan akhirnya menganggukkan kepalanya.
“Akan Jo coba, Pa. Semoga Jo bisa membuat Papa dan Mama bangga,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
Barack menepuk bahu putranya, “ini baru anak Papa. Em... o ya, bagaimana hubunganmu dengan Dina? Baik-baik aja ‘kan?”
“Baik, Pa. Hubungan kami baik-baik saja kok. Papa gak usah cemas.”
Terdengar suara pintu diketuk.
“Masuk,” sahut Barack dari dalam ruangan itu.
Pintu mulai terbuka dengan perlahan. Sosok istrinya kini muncul dari balik pintu itu.
“Ada apa, Ma?” tanya Barack pada istrinya.
“Ada Dina di luar. Dia mencari Jonathan. Sepertinya ada hal penting yang ingin Dina bicarakan sama kamu, Sayang,” ucap Nita sambil menatap putranya.
“Bilang aja Jo gak ada, Ma,” ucap Jonathan malas.
“Lho... kenapa? bukankah kamu bilang hubungan kalian baik-baik saja tadi?” tanya Nita sambil mengernyitkan dahinya.
“Iya. Tapi, Jo lagi malas ketemu sama Dina. Jo capek, ingin tidur cepat,” ucap Jonathan mencari alasan yang akan membuat mamanya percaya dengan ucapannya.
Barack menggelengkan kepalanya, “temui Dina. Kasihan dia. Apalagi Dina ‘kan anak sahabat Papa,” ucapnya sambil menepuk bahu Jonathan.
Jonathan menghela nafas. Ia lalu menganggukkan kelapanya, lalu beranjak dari duduknya dan melangkah keluar dari ruang kerja papa nya. Berniat untuk menemui sang kekasih yang sudah tega mengkhianatinya.
Dina melihat Jonathan melangkah ke arahnya. Ia lalu beranjak dari duduknya, melangkah menghampiri Jonathan, lalu memeluknya dengan erat.
“Apa kamu sengaja ingin menghindar dariku?” tanyanya setelah melepas pelukannya.
Jonathan memilih untuk mendudukkan tubuhnya di sofa.
“Ini udah malam, Din. Kenapa kamu datang ke rumah aku?”
Dina mendudukkan tubuhnya di samping Jonathan, bergelayut manja di lengannya.
“Aku mau mengajak kamu berlibur. Kamu mau gak?”
Jonathan menggelengkan kepalanya, “sorry. Aku gak bisa. Mulai besok aku sudah mulai kerja, menggantikan Papa di perusahaan.”
“Wah... selamat ya. Aku bangga sama kamu,” ucap Dina lalu mengecup pipi Jonathan.
“Aku belum melakukan apa-apa. Apa yang kamu banggakan dari aku?”
Dina menyandarkan kepalanya di bahu Jonathan.
“Karena kamu akan meneruskan usaha keluarga kamu,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya.
“Bukannya kamu juga akan meneruskan usaha keluarga kamu? karena kamu anak tertua.”
Dina menghela nafas panjang, “apa kamu lupa, Jo, kalau aku ini hanya anak angkat? Tentu saja yang lebih berhak adalah anak kandung Mama dan Papa.”
“Tapi kan kamu juga berhak. Selain itu, kamu bilang sama aku kalau adik kamu itu selama ini tinggal di luar negeri?”
“Iya. Tapi ‘kan suatu saat dia pasti akan kembali kesini, karena kedua orang tuanya ada disini.”
Jonathan dulu sangat simpati dengan kondisi Dina. Apalagi saat Dina menceritakan tentang dirinya yang ternyata bukan anak kandung dari kedua orang tuanya yang dia panggil mama dan papa.
Jonathan juga menanyakan itu kepada kedua orang tuanya, tentang siapa itu Dina.
Jonathan tidak menyangka, jika kedua orang tuanya juga tau tentang Dina yang ternyata anak angkat dari sahabatnya—yang tak lain ayah angkat Dina.
Jonathan mengecup puncak kepala Dina, ia juga masih mempunyai simpati kepada kekasihnya itu.
“Aku akan mengantarmu pulang. Aku gak enak sama Mama dan Papa. Ini udah malam, Din.”
Dina memiringkan kepalanya, menatap wajah tampan kekasihnya.
“Aku mau menginap di apartemen kamu lagi. Boleh, ya?”
“Aku malam ini akan menginap di sini. Lebih baik kamu pulang, tante dan om pasti sangat mencemaskanmu.”
Dina menganggukkan kepalanya sambil mengerucutkan bibirnya.
“Jo,” panggilnya lirih.
“Hem.”
“Apa kamu masih berhubungan dengan Jenny?”
Jonathan mengernyitkan dahinya, “kenapa kamu tiba-tiba bertanya soal itu?”
“Apa kamu bisa kembali menjadi Jonathan yang dulu lagi? aku gak ingin seperti ini terus,” ucap Dina sambil menundukkan wajahnya.
Aku menjadi seperti ini juga gara-gara kamu, Din. Apa kamu gak sadar itu?
Jonathan beranjak dari duduknya, “aku akan mengantarmu pulang.”
Dina menarik tangan Jonathan saat dia ingin melangkahkan kakinya, “apa kamu masih cinta sama aku, Jo?”
“Din. Kita pernah membahas ini sebelumnya. Jadi, aku gak mau membahasnya lagi.”
“Sakit, Jo. Hati aku sakit saat melihat kamu memacari sahabat-sahabat aku.” Dina mencoba untuk menahan air mata yang sudah memenuhi kedua sudut matanya.
Kamu yang memulai semua ini, Din. Bukan hanya kamu yang sakit hati. Tapi, apa yang aku rasakan lebih sakit dari yang kamu rasakan. Cintaku yang tulus telah kamu khianati. Kepercayaanku telah kamu hancurkan dalam sekejap.
Jonathan menghela nafas, ia lalu duduk bersimpuh di depan Dina.
“Aku masih sayang sama kamu. Jadi, kamu gak perlu takut kehilangan aku.”
“Aku gak mau kehilangan kamu, Jo. Aku cinta sama kamu. Aku benar-benar mencintaimu. Hanya kamu yang aku cintai. Bahkan rasa sayangku ke kamu melebihi rasa sayangku kepada kedua orang tuaku.”
Jonathan menghapus air mata yang membasahi kedua pipi Dina.
“Aku tau itu, jadi, berhentilah menangis,” pintanya dengan tersenyum.
Dina menganggukkan kepalanya.
Tapi, cinta kamu itu palsu, Din. Kalau kamu memang cinta sama aku, kamu gak akan pernah mengkhianati ku dengan sahabatku. Selama ini aku percaya sama kamu, tapi kamu malah mengkhianati kepercayaan aku. Jika, orang yang kamu jadikan selingkuhan itu bukan Dava, mungkin aku akan memaafkan kamu, meskipun akan sakit rasanya.
Tapi, dia adalah Dava, temanku sejak kecil. Orang yang paling aku sayangi dan aku percayai setelah kedua orang tuaku. Jadi, maafkan aku, jika pembalasanku lebih kejam dari apa yang kamu lakukan.