Jakarta
Entah itu namanya keberuntungan atau apa, nasib baik May tidak pulang lewat jalur darat, yang pastinya akan membuat dia sangat kelelahan, mengingat usia kandungannya yang masih sangat rawan. Datin Rose masih berbaik hati, menerbangkan May dari Bandara Udara Internasional Kuching sampai ke Jakarta.
May seperti orang bingung saat menginjakkan kakinya di kota Jakarta. Kota besar yang masih sangat asing baginya, karena May berasal dari kota Semarang. Tapi inilah kota yang May tuju, karena May tidak mungkin berani bertatap muka dengan kedua orang tuanya. May bertekad untuk menemui Kakak kandungnya, yang menetap di Jakarta.
May menghampiri sebuah taxi yang terparkir di depan Bandara. May sedikit membungkuk, berbicara dengan seorang sopir taxi yang berada di dalam taxinya. “Maaf, Pak. Tolong antarkan saya ke alamat ini.” May menyebutkan alamat yang ingin dia kunjungi saat ini.
Si sopir teresenyum ramah. “Baiklah, silahkan masuk!” ucap si sopir.
May segera masuk ke dalam taxi, duduk di jok belakang, air matanya kembali meleleh, demi apapun … dia tidak pernah rela untuk kehilangan pria sebaik dan selembut Lee, May begitu merindukan semua tentang Lee. May tau, jika surat yang dia tulis untul Lee, pasti akan membuat Lee membencinya seumur hidup. Tapi May bisa apa, semua dia lakukan demi calon janinnya.
“Semua Mama lakukan demi kamu Sayang …” lirih May, mengusap lembut perut ratanya.
Tidak terasa, taxi yang May tumpangi berhenti tepat di sebuah rumah mewah berlantai dua. May turun dari dalam taxi, berjalan kearah pintu gerbang setelah dia membayar taxi.
Entah kebetulan ataupun apa, pintu terbuka dari dalam, sebuah mobil warna putih berhenti tepat di depan May. Pintu mobil terbuka, menampilkan sosok wanita cantik yang tidak asing untuk May.
“May!” Si wanita berhambur memeluk May.
“Mbak Riana!” seru May, membalas pelukkan hangat kakak perempuannya.
“Kamu kemana aja? Mama terus nyariin kamu.” Air mata Riana sudah tidak mampu terbendung lagi. Dia begitu merindukan saudara perempuan satu-satunya.
“Ceritanya panjang, Kak … May hamil …” lirih May.
Riana terkejut, mengurai pelukkannya pada tubuh May. Matanya menatap tajam May. “Nggak mungkin! Adik Mbak nggak mungkin seperti ini … ayo ikut Mbak!” Riana menarik tangan May, membawa May masuk ke dalam mobilnya.
May hanya menurut, ketika Riana menarik tangannya. “Barang-barang aku, Mbak …”
“Biarkan saja! biar Satpam yang urus!” Riana benar-benar marah dengan kenyataan yang dia dapati tentang May.
May hanya diam ketika Riana melajukan mobilnya dengan kecepatan cepat. Menit kemudian, Riana menghentikan mobilnya di sebuah tempat yang cukup sepi. Riana memukul setir mobilnya, menoleh kearah May dengan tatapan penuh amarah.
“Semuanya tidak seperti dugaan Mbak … May sudah menikah …” lirih May.
“Menikah … di mana suami kamu? kenapa kamu membawa koper segala!” bentak Riana.
May tertunduk, air matanya kembali meleleh. “Aku baru saja bercerai …”
“Jangan bohong! di agama kita tidak dibenarkan menceraikan seorang istri dalam keadaan hamil!” bentak Riana.
“Mbak … aku mohon, aku tidak ingin stress karena masalah ini, aku tidak ingin terjadi sesuatu dengan janinku, aku mohon …”
“Gugurkan anak itu!” perintah Riana.
May menggeleng, bukan kata-kata seperti itu yang ingin dia dengar dari kakaknya. “Enggak! kamu bukan Mbakku! Aku rela menandatangani surat cerai itu demi janin ini! aku rela kehilangan segalanya demi dia!” May mengusap perutnya. “Di mana hati nurani Mbak sebagai seorang Ibu? Apa Mbak rela, jika seseorang ingin menghabisi darah daging Mbak!” bentak May. Melepas seat belt yang dia pakai.
Riana menahan tangan May yang hendak keluar dari mobilnya. “Dia hanya akan menjadi aib di keluarga kita … Papa pasti akan melakukannya juga …”
May mengibaskan tangan Riana. “Aku datang ke Mbak, karena aku pikir Mbak tidak seperti Papa … tapi aku salah!” May keluar dari mobil Riana. Kini dia benar-benar merasa sendiri.
May harus kembali lagi ke tempat Riana untuk mengambil barang-barangnya. Riana hanya terdiam di dalam mobilnya, memandangi May yang pergi dari tempat itu dengan sebuah taxi yang kebetulan melintas di daerah tersebut.
***
May benar-benar kembali lagi ke tempat Riana untuk mengambil barang-barangnya. Untung dia menerima sejumlah uang yang Datin Rose berikan kepadanya. Biarlah May di bilang matre, tapi May memang membutuhkan uang itu untuk mengatasi keadaan darurat seperti saat ini. Kemungkinan yang akan terjadi itu banyak. Demi calon buah hatinya, May rela melalukan apapun.
“May! Tunggu!” seru Riana yang sudah kembali lagi untuk menyusul May. Riana berlari ke arah May, mencekal lengan May yang hendak pergi dari kediamannya.
“Lepaskan aku, Mbak! aku menolak perintah Mbak,” ucap May.
Riana memeluk May. “Mbak akan bantu kamu, Mbak akan bantu kamu sembunyikan anak ini dari keluarga kita …” lirih Riana, memeluk erat May. Bagaimana mungkin, Riana tega membiarkan adiknya yang masih sangat belia hidup terlunta-lunta di luar sana. Sedangkan mereka bukan dari keluarga sembarangan.
Mereka berasal dari keluarga berada seorang pembisnis sukses asal kota Semarang. Tapi May lebih memilih kabur dari rumah karena cara pemikiran Papanya yang sangat kolot dan terkesan diktator. May lebih memilih kehidupan yang sederhana, tapi dia merasa bebas dan bahagia.
“Apa Mbak serius?”
Riana mengangguk. “Ya … Mbak akan bicarakan ini dengan Mas Taufik nanti. Dia pasti setuju.”
May membalas pelukkan Riana. “Terima kasih banyak, Mbak. Demi Tuhan, anak ini bukan sebuah aib, dia anak yang aku dapatkan dari hubungan halal.”
Riana mengangguk, mengusap lembut kepala May. “Mbak percaya …”
***
Lima Tahun Kemudian …
“Mama …!” Seorang bocah kecil tampan berlari ke arah May.
“Sayang … hati-hati, nanti kamu terjatuh.” May menyambut bocah itu dengan penuh kasih, bocah tampan yang akan selalu mengingatkannya dengan sosok Lee. Karena wajah mereka begitu mirip.
“Mama kerja lagi,” ucap si bocah dengan sangat polosnya.
“Iya, Mama harus kerja. Nanti siapa yang bayar sekolah Thomas?” Inilah May, selalu memberi pengertian untuk putranya, saat si putra merajuk karena tidak rela May bekerja seharian.
Thomas manyun, memonyongkan bibirnya. Dan ini benar-benar membuat May sangat gemas. May mencium gemas pipi gembul Thomas. Menggelitik Thomas sampai bocah tampan itu minta ampun.
“Mama lepas! geli! Hahaha ...!” seru Thomas.
“Janji dulu jangan ngambek, nanti Mama belikan mainan.” May terus menggelitik tubuh gembul Thomas.
“Iya! Thom janji!” seru Thomas.
May melepaskan Thomas, mencubit gemas pipi gembul Thomas. “Nah, gitu dong! Anak Mama nggak boleh rewel, sekolah yang pinter … biar kelak bisa jadi orang sukses. Oke!”
“Oke, Mama!” jawab Thomas.
May memeluk erat Thomas, dia benar-benar bahagia memiliki seorang Thomas dalam hidupnya. Bocah itu baru berusia empat tahun, tapi Thomas sudah belajar di sebuah Taman Kanak-Kanak. Thomas bocah yang sangat cerdas dan mandiri. May benar-benar beruntung, berkat bantuan Riana juga, dia bisa melanjutkan pendidikannya, hingga memperoleh pekerjaan yang cukup bergengsi di sebuah perusahaan milik temannya Taufik Wijaya, suami dari Riana.
Tidak hanya itu, Riana juga memberikan sebuah rumah minimalis untuk May tempati bersama Putra dan seorang baby sister yang merawat Thomas sejak dia masih bayi. May tetap memutuskan hidup menyendiri, meskipun banyak pria yang berusaha mendekatinya, karena cinta May hanya untuk Lee. Riana benar-benar menepati janjinya, menyembunyikan May dan anaknya dari keluarga besar mereka. Bahkan dia terpaksa berbohong jika salah satu anggota keluarganya bertemu dengan Thomas. Riana akan mengatakan, jika Thomas putra dari sahabatnya.
Hari ini May harus buru-buru berangkat ke kantor karena ada perubahan kepemilikan pada perusahaan tempat dia bekerja. Si pemilik dulu terpaksa harus menjual perusahaanya yang memang hampir gulung tikar ke sebuah perusahaan asing.
May membopong Thomas, berjalan menuju ruang makan. “Mbak! tolong suapin Thomas dulu, nanti sekalian antar Thomas ke sekolahnya. Hari ini aku harus berangkat awal!” seru May.
Si Mbak bergegas mendekati May. “Baik, Bu.”
May kembali mencium pipi gembul Thomas, mendudukan bocah tampan itu pada sebuah kursi. “Sayang … jangan nakal! Mama berangkat dulu,” ucap May.
“Thom mau sama Bunda!” rengek Thomas.
“Iya, nanti Mama kasih tau Bundanya.” May yang memang sudah keburu, bergegas meninggalkan kediamannya, mengendarai mobilnya menuju ke perusahaan tempat dia bekerja.
***
May berjalan tergesa-gesa memasuki sebuah gedung pencakar langit tempat dia bekerja sekarang. Posisi dia di perusahaan ini cukup bergengsi, sebagai sekertaris pribadi sang CEO. Itulah sebabnya, May bisa membeli sebuah mobil dari gaji yang dia kumpulkan.
“May!” panggil seorang wanita dari arah belakang.
May menoleh. “Serly! Tumben lo bisa berangkat pagi,” ucap May.
“Iyalah … gue takut juga sama Pak Boss baru keles!” Serly menggandeng lengan May.
“Gue apalagi, gimana kalau dia galak, terus banyak maunya … ngebayanginnya aja, gue ngeri!” ucap May.
Suasana tiba-tiba berubah ricuh, semua mata tertuju kearah pintu masuk perusahaan, segerombolan pria berbadan tegap dengan pakaian serba hitam, berjalan memasuki pintu, mereka sangat yakin, jika pemilik baru perusahaan itu telah sampai. Sepertinya dia orang yang sangat penting, mengingat banyaknya pengawal yang mengawalnya.
May terus melihat segerombolan orang-orang yang memasuki perusahaan tempat dia bekerja. Betapa terkejutnya May, saat matanya tertuju pada satu sosok pria. Seluruh badan May mendadak lemas, May masih ingat betul sosok pria tampan yang berjalan menuju sebuah lift khusus petinggi, pria itu melewati May begitu saja, seolah tidak pernah mengenal sosok May …