Dua milyar bukan jumlah besar untuk jadi masalah, tapi kesalahan dan kebohongan yang dilakukan oleh kolega-kolega David, merupakan hal besar yang harus mereka pertanggung jawabkan.
David tidak semurah hati itu untuk memberi toleransi pada sebuah kesalahan.
Dalam ruangan yang cukup gelap dan cahaya minimal, suara sepatu pantofel hitam itu menggema. Pria yang memakainya berjalan sambil membuka kancing jasnya. Dia melepas satu per satu pakaian berwarna hitam itu dari lengannya, lalu dengan seenak hati melempar ke sembarang arah.
Pemilik potongan rambut ala paquito ditambah aksen petir di kedua sisi kepalanya itu tampak berhenti di tengah ruangan. Dia mendengkus, lalu menarik dasi yang sedang ia kenakan.
Para anggotanya hanya terdiam. Mereka tahu apa penyebab kekesalan sang bos, untuk itu mereka tidak ada yang berusaha menenangkan amarah pria tersebut. Jika mereka bersikukuh melakukannya, alih-alih si bos tambah tenang, yang ada mereka nanti menjadi pelampiasan amarah pimpinan mereka tersebut.
Sebuah dasi melayang, seorang pria dengan wajah yang tampak cupu melompat dan sigap menangkap dasi tersebut.
Langkah pantofel kembali diketuk, David menuju sebuah kursi dan duduk di sana.
"Siapa yang membocorkan informasi pengiriman barangku ke Vietnam? Apakah jalang itu yang melakukannya?" geram David sembari menggesekkan telunjuk dan ibu jarinya dengan gerakan memutar.
"Semua anggota La Diavolo angkat kaki dari Vietnam pada hari di mana penyelundupan kita diketahui. Sepertinya ada sisa-sisa anggota mereka yang menyebarkan informasi tentang itu!" Pria dengan dandanan rapi dan tampak paling cupu tersebut memberikan penjelasan.
David mendengar itu dan dia sudah tahu. Bibir tebal yang dihiasi kumis tipis di atasnya itu tersenyum miring. "Bukan masalah mereka menyebarkan informasi, yang jadi masalah, siapa dari kita yang telah membuat informasi ini diketahui orang lain!"
Seketika, tangan David yang masih dibalut kemeja putih itu langsung meraih dan menyergap kepala si cupu dengan cara menarik pucuk rambutnya.
"Tugasmu sekarang memeriksa semua anak buahku dan mencari tahu siapa dalang yang membocorkan informasi ini!" Suara bass David menggerung penuh ancaman di telinga bawahannya.
"Ba ... baik, Tuan!"
"Kau harus mencari sampai bisa menemukannya!" Setiap pria itu menekan kata-katanya, dia juga menambah tekanan di rambut yang dijambak olehnya. "Mengerti!"
Bawahan bermuka polos itu kini mengangguk sembari menahan nyeri. Meski akar rambutnya terasa seperti hampir lepas dari tempurung kepala, dia tetap berusaha untuk tidak meringis dan ingin terlihat tetap kuat.
"Mengerti kau?" kecam David sekali lagi.
Menelan ludah sekali, anggota Killer Wolf yang sedang dijambak oleh pimpinannya itu pun mengangguk. "Mengerti, Tuan!"
"Jika kau tidak bisa menemukannya, maka aku menganggap dirimu yang bertanggungjawab atas semuanya!" Remasan tangan David di kepala itu pun berkurang, sampai akhirnya dia benar-benar melepas rambut yang sedang ia jambak sembari membanting dengan penuh tenaga.
Si cupu itu tetap terpelanting, walau ia sudah berusaha menahan kakinya. Meski telah diperlakukan demikian, nyatanya dia tetap hormat dan tambah segan pada pimpinan klan mereka. Hal ini ditunjukkan dengan gerakan membungkuk sambil berjalan mundur di depan David.
"Yang di Vietnam, biar aku bereskan sekarang. Siapkan keberangkatan untukku!" titahnya dalam sekali perintah.
"Baik, Tuan!" Lagi-lagi, si cupu yang mengurus semua untuk David.
Saat pria dengan logo petir di kepalanya itu berdiri, tiba-tiba seseorang mengurungkan niatnya.
"Tuan, kepala pelayan ingin menghadap!" Salah seorang anak buah melapor.
"Hmmmm!" timpal David sambil menyilangkan kaki.
Seorang perempuan dengan seragam putih hitam berjalan dengan kepala tertunduk.
"Ada masalah dengan si jalang itu?" tanya David tanpa basa-basi. Karena dia sudah mengira jika pelayannya sampai datang kemari, pasti ada masalah berkaitan dengan Tiara.
"Dia mengaku sedang datang bulan, apakah Tuan David akan memeriksanya sendiri?" ucap sang pelayan.
Saking penuhnya kepala David dengan masalah tentang 'Barang-barangnya', sampai dia lupa jika malam ini dia berniat ingin menikmati Tiara dan menggempur perempuan itu hingga kesulitan berjalan.
"Ah, aku hampir lupa! Biarkan saja dulu, aku harus pergi malam ini!" jawab suara bass yang arogan tersebut.
"Haruskah saya memeriksanya?" Sang kepala pelayan masih saja bertanya.
Entah apa yang salah dari pertanyaan itu, yang jelas pria dengan lengan berurat kekar tersebut tiba-tiba berdiri mendekat pada sang pelayan dan dia meremas rambut hingga telinga perempuan itu dengan begitu kuat. Bahkan mungkin ada beberapa helai rambutnya yang terlepas.
"Jangan pernah sentuh milikku!" David tampak penuh amarah hanya karena satu pertanyaan dari pelayannya.
"Ba ... baik, Tuan David! Ma ... af! Maaf!" Pelayan itu telah menitikkan air mata. Dia baru saja menyadari betapa bodoh pertanyaan yang tadi ia lontarkan.
Meski kekesalan dan perasaan tersinggungnya belum benar-benar hilang, tapi David telah melepas cengkeraman tersebut.
Dia membenahi sedikit jasnya yang berantakan, lalu berjalan menjauh menuju ke arah pintu. Sebelum benar-benar keluar dari ruangan minim cahaya itu, David pun berkata, "Perlakukan dia dengan baik, sampai aku datang kembali kemari!"
**
Di atas ranjang berkasur merah dengan ukuran besar itu, Tiara masih meringkuk. Bajunya belum diganti, hanya tali yang mengikat tubuhnya telah terlepas.
Bukan hanya itu, Tiara tahu pasti jika 'Si Merah' datang dari sensasi yang mengalir hangat di area selatan sana. Hal itu membuat rok hitam Tiara ternoda. Beruntungnya, warna kasur ini memang sudah merah dari sananya, sehingga membuat warna dari 'kebocoran' itu tersamarkan.
Dia masih ingat bagaimana pelayan berseragam tadi mengancamnya.
"Jangan coba-coba untuk kabur dari tempat ini!"
Rasanya dia hanya ingin dibiarkan hidup saja untuk sekarang. Walau harus kelaparan dan kehujanan di luar sana, baginya lebih baik daripada masuk sarang serigala.
Dia pun menghabiskan waktu dengan menekuk lutut dan menundukkan kepala hingga masuk di antara kedua kakinya. Mengamati jari-jari yang dimainkan dengan memetik kuku-kukunya.
"Ini pembalut untukmu!" Sebuah benda berwarna merah jambu terlempar di depannya.
Sambil merangkak di atas kasur, Tiara mengambil 'Roti khusus perempuan' tersebut.
"Kami tidak peduli datang bulanmu itu sungguhan atau bukan! Tapi seminggu kemudian, Tuan David sendiri yang akan datang kemari!" ujar sang pelayan itu lagi.
Kemudian si kepala pelayan membuka pintu lebih lebar dan menunggu para anggotanya masuk.
"Kau bisa gunakan kamar mandi di sama, semua keperluanmu ada di ruangan itu." Dia menunjuk pada sebuah pintu yang menuju ke suatu ruangan.
Tiara mengangguk, dia memang sudah merasa lengket semua di tubuhnya. Mungkin mandi adalah solusi yang tepat.
"Ingat, kau tidak usah berpikir untuk kabur atau melarikan diri. Karena kau tidak akan berhasil!" ceramah pelayan itu lagi.
Tiara menggenggam pembalut di tangannya, dia sama sekali tak peduli perkataan kepala pelayan tersebut.
"Hei, kau dengar aku?"
"Iya ... aku mengerti," timpal Tiara dengan suara lirih.
"Kau jangan besar kepala dulu! Kami memperlakukanmu dengan baik, karena kau adalah wanita berikutnya untuk Tuan David! Jika sudah hilang keperawananmu, maka kau tidak ada spesialnya lagi seperti kami!"
Deg!
Mendadak jantung Tiara seakan berhenti berdetak mendengar hal itu! Termyata benar, dia datang kemari adalah untuk menyerahkan keperawanannya kepada seseorang bernama Tuan David.
Dia tiba-tiba merasa ketakutan setengah mati. Bulu kuduknya berdiri. Keringat dingin pun meluncur dari dahi. Lalu tubuhnya seakan mengejang membayangkan dirinya diperkosa oleh laki-laki.
Nama 'David' langsung menjadi sosok menyeramkan bagi Tiara.
"Memangnya siapa Tuan David?"