Wajah Freya tampak sekali sedang banyak pikiran, lebih tepatnya ia kepikiran atas ucapan mertuanya bahwa ia bukan istri dan menantu yang baik, kalau dipikir-pikir selama tiga tahun pernikahan ia belum pernah memberikan apa-apa untuk Bian, selalu Bian yang memberikannya kejutan-kejutan kecil. Freya terlalu sibuk sama dunianya sendiri sampai lupa sama sama duna Bian. Sekarang pikiran Freya justru dipenuhi oleh masalah rumah tangganya, bukan masalah pekerjaan lagi. Perdebatannya dengan Lastri kemarin menayadarkan banyak hal untuk Freya, kayak ia harus jadi istri yang baik untuk Bian, memberikannya keturunan dan melakukan banyak hal bersama, dirinya terlalu sibuk sama banyak hal sampai lupa akan hal-hal sekecil itu. Marsha yang melihat Freya tidak fokus dengan layar laptop di depannya, langsung menarik kursi dan duduk di sebelah Freya, tidak biasanya penggila kerja seperti dia di jam kerja malah banyak melamun daripada melakukan sesuatu.
Marsha langsung menyenggol lengan Freya, dan membuyarkan dari lamunannya. “Ada apa? Gue dari tadi perhatiin lo kayak banyak masalah banget, masalah mertua lo lagi?” tanya Marsha secara bertubi-tubi, ini bukan hal yang baru buat Marsha karena dari dulu mereka adalah tempat curhat masing-masing.
Freya menoleh ke arah Freya lalu mengangguk. “Kemarin gue debat gitu sama mertua gue, terus dia bilang banyak hal tentang keburukan gue jadi istrinya Bian, dia bilang gue bukan istri dan menantu yang baik, dia bilang gue egois, dan masih banyak kata-kata dia yang buat gue tertampar. Gue sayang sama Bian, tapi gue belum bisa jadiin Bian itu prioritas gue, lo tahu sendiri kan kalau pekerjaan ini penting banget buat gue, lo yang jadi saksi gimana perjuangan gue buat ada di posisi sekarang, Sha. Dan kalau gue harus ngelepas ini semua demi buat berbakti sama Bian itu adalah hal yang berat banget buat gue. Gue mesti apa? Gue juga enggak mau terus-terusan terlihat buruk di mata mertua gue. Walau gue orangnya cuek sama perkataan yang menyakitkan tapi namanya manusia tetap kepikiran, kan? Apalagi sekarang mertua gue tinggal di rumah gue.”
Marsha mengerti tentang Freya, ia tahu untuk mencapai di posisi sekarang ia dapatin bukan dengan mudah, Freya hanya belum siap masuk ke dunia baru dan terima dirinya sekarang sudah menjadi seorang istri yang artinya tanggung jawab dia bukan sama dirinya sendiri, setiap orang tua pasti ingin anaknya mendapatkan yang terbaik, begitu dengan ibunya Bian pasti ingin anaknya mendapatkan istri yang baik yang memperlakukan anaknya dengan baik. “Gue netral, Fre, gue enggak ada di pihak lo ataupun di pihak ibu mertua lo, Cuma gue bakal bilang sesuai dengan pandangan gue. Gue punya abang, dan dia udah nikah, dulu nyokap gue selektif banget dalam memilih menantu, dia enggak mau kalau anaknya jadi enggak terurus atau enggak bahagia setelah nikah, kata nyokap gue nikah itu bukan cinta aja yang dibutuhkan, itu sama sekali bukan jaminan kebahagiaan, dan sejak saat itu gue paham, enggak ada satu pun ibu di dunia ini yang mau anaknya mendapatkan pasangan yang salah, gue enggak bilang lo salah, lo Cuma bukan versi terbaik dari mertua lo, even kita jadi ibu nih, saat anak kita tumbuh dewasa pasti kita bakal nasehati dia untuk jadi pasangan yang baik dari segi apa pun, kan? Gue yakin lo itu istri dan menantu yang biak, Fre, Cuma mertua lo harus lebih ngerti aja sama keadaan lo, selama ini lo sama Bian enggak pernah berantem juga, kan? Jadi kalian aman-aman aja kok.”
Marsha ini walaupun belum nikah tapi pemikirannya sangat terbuka dan dewasa. Freya jadi merasa beruntung memiliki teman seperti Marsha, bukan hanya pendengar yang baik, tetapi juga pemberi solusi yang bisaksana. “Sha, menurut lo dalam sebuah pernikahan itu anak penting enggak sih?” Sebenarnya itu pertanyaan yang enggak butuh jawaban, karena tanpa kita bertanya pun kita sudah tahu jawabannya.
“Menurut gue penting ya, karena kita butuh keturunan biar enggak sampai di situ aja yang mewarisi gen kita, ibarat kata, kita kerja banting tulang buat siapa sih? Ya, jawabannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik buat keturunan kita, buat keluarga kita. Ya, memang mendapatkan anak bisa dari mana aja, dari adopsi contohnya, tapi itu bakal beda banget rasanya, karena enggak ada darah kita yang mengalir ke dia, kita enggak ngerasain hamil dan melahirkannya, dan kalau kita udah ngerasain fase hamil, melahirkan, membesarkan anak kandung pasti rasanya jauh lebih membahagiakan, walaupun gue belum coba, tapi gue yakin seperti itu, dan gue juga yakin kalau lo memiliki pendapat yang sama kayak gue.”
Freya merasa sangat egois selama 3 tahun ini karena tidak bisa menjaga kandungannya dengan baik sampai akhirnya 3 kali keguguran, mungkin untuk selanjutnya ini kalau dia positif hamil lagi, ia harus menjaga dengan baik, enggak diforsir dengan kegiatan yang padat, Freya akan mengurangi aktivitasnya yang membahayakan janin. “Kayaknya gue harus program hamil deh, Sha, salah satu pemicu yang buat mertua enggak suka sama gue ya karena gue 3 tahun ini 3 kali keguguran karena gue enggak bisa menjaga anak gue dengan baik, mungkin gue butuh cuti beberapa hari buat liburan bareng Bian, hitung-hitung program hamil.”
Marsha yang mendengar hal itu merasa sangat senang, selama ini dia enggak pernah memaksa Freya untuk segera hamil, tapi Marsha terus memberikan wejangan-wejangan agar pikiran dan hati Freya terbuka seperti tadi. “Ahhhh, gue senang dengarnya, semoga Tuhan segera kasih lo kepercayaan buat jadi ibu ya, biar mertua lo juga senang.”
“Makasih, Sha, lo emang terbaik banget.”
Tak lama kemudian muncul atasan yang berdeham cukup keras, ia memberikan teguran kepada dua bawahannya itu yang mengobrol di jam kerja, padahal belum waktunya jam makan siang. “Ehem, mau dikasih surat peringatan karena ngobrol di jam kerja. Marsha kembali ke tempat kamu, jangan rumpi. Kamu juga, Freya, kerja.”
Marsha langsung kembali ke kubikelnya dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda dan Freya pun demikian langsung kembali mengerjakan sesuatu di laptopnya.
***
Kabar bunuh diri ibunya Laura sedang heboh di fakultasnya Laura, karena ada salah seorang mahasiswi yang membeberkannya, ia mengetahui hal tersebut dari orang tuanya, karena orang tuanya adalah pemilik perusahaan tempat mamanya Laura bekerja. Mau tidak mau, Bian juga ikut mendengar kabar itu saat ia berjalan melewati koridor.
“Iya, kasihan banget si Laura, sekarang udah sebatang kara banget, bokapnya udah meninggal beberapa tahun yang lalu, ibunya meninggal bunuh diri kemarin, terus abangnya juga enggak benar, apalagi itu si Laura enggak punya teman, lebih tepatnya dia terlalu menutup diri dan membatasi orang-orang buat dekat sama dia. Sekarang aja dia enggak masuk kuliah, mungkin masih berkabung.”
Bian yang mendengar hal itu hatinya mencelos, ia tidak tahu kalau Laura mempunyai hidup yang struggle seperti itu, rasanya ia ingin bertemu dengan Laura dan menjadi temannya bekeluh kesah, walaupun hubungan mereka hanya sebatas dosen dan mahasiswa tetapi Bian ingin sekali melindungi gadis itu.
Hari ini jadwal mengajar Bian telah usai, ia langsung ke parkiran dan menjalankan mobilnya ke pusat perbelanjaan tempat ia bertemu dengan Laura kemarin tetapi saat ia sampai di sana, tidak menemukan Laura, mungkin hari ini dia tidak ke sini. Bian pun segera merogoh ponselnya dari saku celana dan menelepon Laura tetapi nomornya tidak aktif. Bian semakin khawatir takut terjadi apa-apa dengan Laura, lalu ia mencari akun media sosial atas nama Laura tetapi tidak ada satupun yang milik mahasiswanya itu, sebenarnya Laura enggak punya media sosial atau nama akunnya yang dibedain? Entahlah, Bian juga tidak paham.
Kemudian Bian pun langsung mengitari kota Jakarta, siapa tahu ia bisa bertemu dengan Laura walaupun kemungkinannya kecil karena Jakarta tidak selebar daun kelor. Langit pun sudah hampir gelap, dan berjam-jam Bian mengitari kota tetapi belum menemukan sosok yang dicarinya. Saat Bian hendak pulang ke rumah dan ia melewati sebuah jembatan, ia merasa dejavu dengan motor yang terparkir, dan sesosok siluet yang berdiri di jembatan sambil menatap ke bawah. Benar itu Laura, dan Bian pun langsung memarkirkan mobilnya, lalu turun dan menghampiri Laura.
“Bosan hidup, hm?”
Mendengar suara yang mendekat, Laura pun menoleh dan mendapati sesosok dosennya yang kin berdiri di sebelahnya. “Enggak, Cuma pengin di sini aja.”
“Enggak takut diculik?”
Laura terkekeh pelan. “Penculiknya juga milih-milih, Pak, kalau mau culik orang, enggak mungkin yang kayak saya.”
“Tadi kenapa kamu enggak masuk? Ada kuliah saya loh.”
Laura mengendikkan bahunya. “Belum minat buat ke kampus, akun media sosial udah saya non aktifkan juga, banyak anak kampus yang DM nanya soal mama saya yang bunuh diri, untungnya saya udah ganti nomor jadi mereka enggak bisa hubungi saya lewat sms atau telepon.”
Bian tidak ingin bertanya perihal ibunya yang meninggal bunuh diri karena Laura punya privasi sendiri. “Terus karena kamu hindari hal itu jadi berdiri di sini kayak orang enggak punya semangat hidup?”
“Emang lagi enggak semangat hidup, dari tadi muter buat cari rumah baru tapi belum ketemu, ya udah istirahat di sini dulu.”
Bian mengernyit. “Jadi sekarang kamu tinggal di mana?”
“Hotel, sampai nemu rumah yang harganya pas sesuai di rekening saya aja.”
Bian tampak mengingat sesuatu. “Mau rumah ya? di kompleks saya ada yang jual rumah, kebetulan pemiliknya udah pindah ke luar negeri, kayaknya enggak dijual mahal juga, mau saya antarin ke sana?”
“Dekat sama rumah Bapak?”
Bian mengangguk. “Iya tetangga.”
Laura tampak menimangnya, ia tidak mau kalau harus tetanggaan sama dosennya ini, tetapi kesempatan ini juga tidak bisa ia sia-siakan. “Asal Bapak bisa merahasiakan dari siapa pun, terutama dari abang saya kemarin.”
“Kalau itu beres. Jadi mau?”
Laura mengangguk. “Boleh.”
“Oke sekarang kita ke sana ya, kamu ikuti mobil saya dari belakang.”
“Hm, Pak...” Laura pun mempertanyakan pertanyaan yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. “Bapak di kampus keliatan killer dan tegas, tapi kenapa di luar bapak pribadi yang beda? Dan satu lagi, kenapa Bapak begitu peduli sama saya, padahal saya Cuma mahasiswinya Bapak yang sering dapat hukuman.”
“Saya bisa menempatkan diri saya ketika berada di suatu tempat, dan saya hanya memperlakukan kamu selayaknya manusia, kalau ada orang lain yang membutuhkan bantuan juga saya akan melakukan hal yang sama.”
“Terima kasih, Pak, setelah ayah saya meninggal saya kehilangan sosok laki-laki yang selalu ada untuk saya. Kehadiran Bapak, membuat saya mempunyai semangat baru karena masih ada yang peduli sama saya di dunia ini.”
Bian mengangguk dan tersenyum tipis, kemudian ia pun langsung mengajak Laura ke rumah yang dijual itu, setelah membahas harganya dan Laura merasa cocok dan besok akan segera pengurusan balik nama serifikat dan penandatanganan jual beli, sebelum pulang ke hotel, Bian mengajak dulu Laura ke rumahnya untuk makan malam. Berbuat baik kepada anak yatim piatu itu adalah pahalanya berlimpah, anggap saja sekarang Bian sedang memanen pahala untuk bekalnya di akhirat.
Awalnya Laura menolak, tetai Bian bilang kalau rezeki itu tidak boleh ditolak, kebetulan di meja makan rumah Bian juga sudah banyak makanan karena dimasak oleh Bian.
“Laura, Bu, mahasiswinya Pak Bian.” Laura memperkenalkan dirinya di hadapan Lastri.
Lastri tersenyum. “Lastri, ibunya Bian. Ayo langsung aja dimakan.”
“Laura bakal jadi tetangga baru kita, Bu, baru aja tadi abis ngobrol sama pemilik rumah sebelah dan udah oke, tinggal urus aja besok.”
Lastri mengangguk. “Orang tua kamu ke mana, kok kamu yang datang?”
Laura menggeleng. “Enggak ada, Bu, ayah saya udah meninggal beberapa tahun yang lalu, dan ibu saya baru aja kemarin meninggal.”
“Duh, maaf ya Ibu enggak tahu, kamu bisa kok ke sini kalau butuh apa-apa.” Sebenarnya Lastri adalah pribadi yang ramah, hanya kepada Freya saja ia terlihat judes.
Laura mengangguk. “Iya, terima kasih, Bu.”
“Ayo, makan dulu, ngobrolnya nanti, kasihan makanannya kalau keburu dingin,” ucap Bian.
Lastri teringat Freya yang belum pulang. “Istri kamu lembur lagi, Yan?”
Bian mengangguk. “Kalau lebih dari jam 7 dia belum pulang, biasanya lembur, Bu, kita makan aja duluan, enggak usah nungguin.”
“Ya sudah, makan yang banyak ya, Laura. Jangan malu-malu.”
Laura mengangguk, ia merasakan kehangatan di tengah keluarga ini, kehangatan yang selama ini tidak pernah ia rasakan lagi.
Ma, Pa, doakan Laura di sini agar tetap kuat menjalani hidup dan dipertemukan dengan orang-orang baik.