Bab 1
Tiga tahun sebelumnya.
Seorang perempuan tengah sibuk di depan laptop seraya mengejarkan deadline pekerjaannya yang harus selesai malam ini, sehingga ia melupakan seorang pria yang merupakan kekasihnya sedang duduk di sebuah kafe sembari menunggu kedatangannya yang sudah satu jam tak kunjung tiba, ditelepon tidak aktif, dichat juga centang satu, padahal mereka sudah sepakat untuk merayakan hari jadi mereka yang ke enam di sebuah kafe, dan sekaligus malam ini laki-laki itu ingin melamarnya sebagai istri, mereka sudah sama-sama dewasa, dan hubungan mereka juga sudah cukup lama, keduanya sudah sama-sama mapan untuk menjalin rumah tangga, tidak ada alasan lagi untuk menunda pernikahan.
Tidak ada cara lain, akhirnya laki-laki itu menghubungi teman dekat kekasihnya di kantor, siapa tahu ia bisa memberikan informasi tentang perempuan itu.
“Halo, Yan, ada apa? Tumben telepon.” Suara Marsha terdengar di seberang sana.
“Di mana? Lagi sama Freya nggak?” tanya laki-laki yang bernama Bian itu.
Marsha di seberang sana mengernyitkan keningnya, seperti mengingat sesuatu. “Ah, sori, Yan, tadi aku diminta sama Freya buat kabarin kamu tapi lupa, malam ini dia lembur, dan dia nggak bisa hubungin kamu langsung karena lagi riweuh sama pekerjaan kantor, deadline-nya malam ini juga.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Bian langsung memutuskan ponselnya secara sepihak, setidaknya Freya menghubunginya kalau tidak bisa datang, jangan membuatnya menunggu seperti ini, enam tahun mereka pacaran selalu seperti ini, Freya bisa dengan mudah melupakan janji yang telah mereka buat, lalu minta maaf, dan ulangi terus, seperti itu saja. Sebenarnya bukan hanya Freya yang sibuk, tetapi juga Bian, hanya saja Freya adalah karyawan swasta yang jam kerjanya memang lebih panjang daripada dosen. Dosen hanya datang ke kampus saat ada jam mengajar dan pulang ketika selesai, lemburnya hanya ketika memeriksa ujian atau tugas dari mahasiswanya. Semua yang telah Bian persiapkan dengan matang hancur sia-sia.
Bian pun keluar dari kafe itu meninggalakn kue dengan lilin angka 6 di atas meja, dan sialnya setiap kali Freya melakukan kesalahan tidak ada sedikitpun keinginan Bian meninggalkan Freya, bahkan kata putus pun tidak pernah terlontar dari bibirnya, itu semua karena ia ingat perjuangannya untuk mendapatkan Freya tidak mudah, saat itu mereka satu kampus, dan kebetulan mereka sesama anggota BEM, dan Bian tertarik dengan Freya yang pintar, cantik, dan aktif, ia harus bersaing dengan banyak laki-laki yang saat itu menginginkan Freya menjadi kekasihnya, setiap kali perasaan marah dan kesal muncul ia langsung teringat akan hal itu, dan lagipula hubungan mereka sudah berlangsung lama, ujung dari hubungan ini harus pernikahan bukan perpisahan.
Kini mobil Bian sudah terparkir di basement apartemennya Freya, ia langsung ke lantai 26, ia memang tahu password apartemen kekasihnya itu karena tidak ada lagi privasi antara mereka, walaupun mereka sudah pacaran lama tetapi mereka pacaran sehat, tidak ada kontak fisik lebih dari pelukan, sesekali berciuman, dan tidak melakukan yang luar batas.
Apartemen ini minimalis dan sangat rapi, di balik kesibukannya yang padat Freya memang selalu membersihkan ruangan-ruangan di sini, bisa sebelum berangkat ke kantor atau saat malam setelah dari kantor, tetapi tak jarang kalau Bian berbaik hati untuk membersihkan apartemen ini kalau sedang tidak terurus.
Pria itu langsung ke dapur, malam ini ia akan memasak untuk dirinya dan Freya, walaupun tidak jadi merayakan anniversary di kafe, di sini pun bisa, walau tidak ada lagi kue.
Tiga puluh menit kemudian Freya pun masuk ke apartemen itu, dan dia speechless melihat makanan sudah tertata rapi di atas meja, siapa lagi pelakunya kalau bukan Bian.
“Sayang, udah pulang? Kamu mandi dulu, setelah itu kita makan ya.”
Freya pun mengangguk, segera ia langsung ke kamarnya untuk mandi dan mengganti pakaiannya, setelah selesai ia langsung ke meja makan. Freya menatap Bian dengan perasaan bersalah, selalu seperti ini ketika Freya melakukan kesalahan, Bian tidak pernah marah atau setidaknya menampakkan raut kecewa atau kesal, ia selalu bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
“Bi, sorry tadi aku lembur banget di kantor, kamu tahu kan aku lagi kejar banget biar naik jabatan, buat pegang hape aja nggak sempat, hape aku juga tadi lowbat, aku udah minta tolong Marsha buat hubungin kamu, dia udah kasih tahu, kan? Kamu nggak marah?” Freya tidak sejahat itu, ia menghargai pasangannya, merasa bersalah kalau dia melakukan kesalahan, tetapi ia belum bisa memprioritaskan Bian sebagai yang utama.
Bian mengangguk dengan senyuman tipis. “No, problem, aku ngerti, lebih baik sekarang kita makan, ngobrolnya lanjut nanti.” Mereka pun langsung makan dalam keadaan hening, sesekali diiringi obrolan ringan untuk mencairkan suasana.
Setelah selesai makan Bian langsung mengeluarkan sebuah kotak beludru yang berwarna merah dari dalam saku celananya, di dalam kotak itu berisi cincin berlian yang berkilau. “Happy anniversary yang ke 6, Sayang, will you marry me?”
Jujur Freya harus bahagia, sedih, atau senng yang jelas sekarang Freya tidak tahu harus seperti apa, di satu sisi ia senang karena Bian melakukan hal di luar ekspektasinya, di sisi lain ia merasa belum siap menjadi istri, punya anak, mengurus rumah tangga, sebelum menikah saja ia sering melakukan kesalahan ke pasangan apalagi setelah menikah nanti, ia takut akan menjadi istri dan ibu yang buruk.
Freya mengembuskan napasnya pelan. “Bi, aku belum siap, aku belum siap jadi istri, jadi ibu, aku takut bakal jadi wanita yang buruk nantinya.”
Bian meletakkan kotak itu di atas meja, lalu ia menatap Freya dengan intens, ada sebuah pengharapan yang terpancar dari sorot mata Bian, ia ingin segera menghalalkan hubungan mereka. “Ya, kita udah lama, 6 tahun bukan waktu yang singkat, kita udah jalanin suka duka bareng, banyak rintangan dan perjuangan yang udah kita lewati, dan sekarang saatnya kita untuk melangkah ke jenjang yang serius. Kamu dan aku udah sama-sama mapan, sama-sama dewasa, aku yakin setelah kita menikah nanti kita akan menjadi keluarga yang bahagia. Aku bisa terima apa pun kekurangan kamu, aku nggak akan menuntut apa-apa, kamu masih boleh kerja, kumpul sama teman-teman kamu, aku nggak akan membatasi ruang gerak kamu, yang penting kamu tahu batasan. Kita jalanin hubungan selama ini karena serius, kan?”
Freya sayang sama Bian, tapi untuk menikah ia belum memikirkan sama sekali. Seakan hal itu belum ada dalam wistlist seorang Freya. “Bi ... “
Bian langsung meyela ucapannya. “Kamu sayang aku kan? Kamu serius sama hubungan kita kan?”
Freya mengangguk. “Iya, tapi aku belum siap, kita masih 24 tahun, masih sangat muda, Bi. Perjalanan kita masih panjang, aku masih bisa mendapatkan karir yang lebih baik, mungkin kamu bisa mengambil program doktor, jadi profesor atau apa pun itu, jadi kenapa kita harus buru-buru menikah, Bi?”
“24 tahun itu sudah cukup untuk menikah. Kita masih bisa kayak gini, melakukan apa pun yang kita inginkan selama dalam batas wajar, aku atau kamu nggak menuntut satu sama lain, aku Cuma mau hubungan kita sah di mata agama dan hukum, dan kita jalani pernikahan seperti yang kita inginkan sejak dulu.” Bian masih terus berharap agar Freya mau menjadi istrinya sesegera mungkin, sebenarnya hal ini sudah ia pikirkan sejak dulu, dan ini saat yang tepat saat mereka merayakan anniversary yang ke 6. Bian kembali bertanya. “So, will you marry me?”
Freya tampak berpikir sejenak, tak lama kemudian ia berkata. “Yes.”
***