Tiga Tahun setelahnya
Setelah tiga tahun menikah sudah tiga kali Freya dilarikan kerumah sakit karena keguguran. Ya, wanita itu memiliki rahim yang lumayan lemah, sehingga saat hamil muda kandungannya harus dijaga ekstra, tetapi bukan Freya namanya kalau tidak aktif, ia adalah tipe wanita pekerja keras, tidak bisa berdiam diri, apalagi saat ini jabatannya di kantor sudah lumayan tinggi dan tanggung jawabnya juga semakin gede, taip weekend saja ia masih harus kerja, sehingga tubuhnya terlalu diforsir dan akhirnya keguguran lagi dan lagi. Sudah berkali-kali Bian meminta istrinya agar jangan terlalu lelah karena ia juga ingin memiliki bayi, ingin dipanggil ayah oleh anak kandungnya, pernikahan mereka sudah tiga tahun tapi belum ada tangisan bayi yang terdengar. Bian sudah rindu akan hal itu.
Setelah dari rumah sakit, mereka langsung pulang ke rumah. Selama tiga tahun ini penikahan mereka baik-baik saja, walau keduanya sama-sama sibuk, lebih tepatnya, Freya yang lebih sibuk dari Bian, tetapi Bian memaklumi karena istrinya adalah wanita karir. Di rumah lebih sering Bian yang memasak untuk jasa membersihkan rumah, menyuci, dan lain sebagainya mereka menyewa asisten rumah tangga kecuali masak lebih baik dikerjakan sendiri kecuali kalau benar-benar tidak sempat. Bian masih menjadi pria yang selalu mengalah dan tidak mempermasalahkan kesalahan istri selama itu masih dalam batas wajar.
“Ya, kan aku udah berapa kali bilang sama kamu jaga kandungan kamu, jaga anak kita, ini udah ketiga kalinya kamu keguguran loh, kata dokter juga kalau kandungan kamu itu lemah, aku nggak mau kita gagal lagi.” Bian mengacak rambutnya frustasi, untuk hal lain ia masih bisa terlihat baik-baik saja tetapi untuk hal ini ia sudah stres, dirinya benar-benar menginginkan seorang anak, pernikahan tanpa anak itu rasanya tidak lengkap, banyak orang di luar sana yang menginginkan anak dan melakukan segala macam cara untuk mendapatkannya bahkan rela keluar uang ratusan juta rupiah, sedangkan Freya dikasih kepercayaan oleh Tuhan tanpa harus program hamil tapi malah tidak dijaga dengan baik. “Freya, dan kita akan nunggu lama lagi untuk kamu hamil, kenapa kamu nggak pernah dengarin aku?”
Berbeda halnya dengan Freya, ia justru santai, kalau pun belum punya anak ya sudah, karena dengan adanya anak atau tidak pernikahan mereka masih akan tetap jalan, dan kehidupan Freya masih baik-baik saja, anak bukan patokan kelangsungan hidup seseorang. “Gini, Bi, anak itu bukan segalanya buat aku, kalau dikasih ya syukur, kalau diambil cepat sama Tuhan ya bukan masalah. Memangnya kamu bakal ninggalin aku karena aku belum bisa memberikan kamu keturunan. Apa patokan pernikahan itu selalu anak, anak, dan anak. Kamu menikahi aku karena kamu ingin menghabiskan sisa hidup kamu bersama aku kan, bukan semata-mata karena anak? Kalau memang tujuan kamu menikah untuk anak, berarti niat kamu udah salah, dan sejak awal lebih baik kita nggak usah menikah. Banyak cara mendapatkan anak, misalnya kita bisa adopsi anak dari panti asuhan, atau lain sebagainya. Kan dari awal aku udah bilang, aku ggak mau pernikahan kita mengubah hidup aku. Siapa dulu yang maksa-maksa buat nikah cepat? Sekarang nyesel? Istri baru keguguran bukannya disayang malah dimarah-marahin.”
Bukan seperti itu, Bian sama sekali tidak menyesal menikahi Freya, justru ia bahagia karena akhirnya bisa menjalani rumah tangga dengan wanita yang ia cintai, mungkin Bian harus lebih sabar untuk mendapatkan anak, ia yakin suatu saat nanti, mereka pasti akan diberikan amanah untuk membesarkan anak-anak yang lucu. Bian langsung memeluk istrinya. “Maaf, Sayang, aku bukannya marah-marah, Cuma aku ... Ya sudah jangan dibahas lagi. Maafin aku kalau buat kamu nggak nyaman karena selalu memabhas bayi, sekarang kita fokus aja sama apa yang ada sekarang, untuk masalah anak pasti akan tiba pada waktunya.” Bian mencium kening istrinya. “Sekarang kamu istirahat ya, aku mau mandi sebentar.”
Selalu seperti ini kalau terjadi perdebatan pasti Bian yang selalu mengalah daripada ujungnya masalah akan panjang lebar, saat ia menjadikan Freya istrinya, berarti ia sudah siap dengan segala kekurangan dan kelebihan istrinya, berusaha menjadi kepala rumah tangga yang baik untuk istrinya dan bisa membibing istrinya dengan baik. Saat ia merasa lelah dengan ini semua, ia kembali teringat bagaimana dulu perjuangannya untuk mendapatkan Freya, sampai meminta wanita itu menjadi istrinya, sekarang adalah konsekueninya menerima apa pun yang ada dalam diri Freya, baik dan buruknya.
***
Aga hanya bisa menertawakan sahabatnya itu ketika diceritakan permasalahan dengan istrinya. Saat ini mereka lagi nongkrong di salah satu coffee shop yang ada di ibukota. Mereka sudah bersahabat dari bangku kuliah, jadi ia tahu bagaimana perjuangan Bian dalam mendapatkan Freya sampai akhirnya mereka menikah. Berbeda halnya dengan Bian, Aga termasuk tipe orang yang santai, sekarang ia meneruskan perusahan keluarganya di bidang properti dan bergonta-ganti wanita semaunya, berbeda dengan Bian yang lebih memikirkan masa depan dengan keluarga kecilnya. Bagi Aga, pernikahan bukanlah wish list utamanya, kalau menikah hanya untuk berhubungan intim atau sekadar untuk mendapatkan anak, jadi untuk apa menikah?
“Nggak usah ketawa lo, Ga, sebenarnya gue itu lagi frustasi karena bini gue orangnya keras, bohong kalau gue bilang nggak sedih istri gue keguguran tiga kali, gue sangat sedih. Tapi gue lebih sedih lagi ketika istri gue selalu menganggap kalau anak itu bukan hal yang utama dalam pernikahan, gue pengin punya keturunan, gue pengin dipanggil ayah, gue pengin kayak suami-suami lain yang bisa main sama anaknya. Tapi Freya malah nganggap itu bukan hal yang utama.” Bian hanya bisa curhat panjang lebar begini kepada Aga, karena saat ia berbicara seperti ini kepada Freya yang ada mereka akan berdebat lalu bertengkar, ini yang Bian tidak inginkan.
“Gini, Bro, lo jalani aja kehidupan lo kayak biasa, anggap lo sama Freya masih pacaran, jadi jangan terlalu dipikir stres masalah anak, gue percaya cepat atau lambat pasti Tuhan akan mempercayakan kalian jadi orang tua, tapi bukan sekarang. 6 tahun kalian pacaran bukan berarti lo ngerti semua tentang Freya dan juga sebaliknya, dan sekarang saatnya kalian saling mengenal jauh lebih dalam lagi. Kalian masih 27 tahun, belum tua-tua amat untuk belum memiliki anak, jadi santai aja, ikuti alurnya, jangan terlalu dituntut bini lo untuk bunting kalau dia memang belum siap.” Aga menepuk pundak Bian pelan. “Lo ingat kan lo yang maksa-maksa Freya buat nikah cepat, jadi jangan salahin dia karena belum bisa jadi bini yang terbaik buat lo, pelan-pelan lo tuntun dia, bicara dari hati ke hati, dia hanya butuh waktu, Yan, lo tahu sendiri dia wanita karir yang punya jabatan yang oke di kantor, dan ketika dia harus jadi istri, hamil, itu hal yang baru buat dia.”
Aga ini walaupun belum berumah tangga tapi pikirannya bijak sekali, tidak salah kalau Bian curhat ke sahabatnya. “Thanks, Bro, lo emang bisa diandalkan, jadi kapan lo mau nikah? Udah punya segalanya, cewek juga tinggal pilih, kenapa belum mikir ke hal yang serius?”
“Buru-buru nikah ntar kayak lo lagi, galau mulu,” kekeh Aga seraya menyeruput kopi di hadapannya.
“Sial.”
***