Baru kemarin Freya keguguran, ia langsung masuk hari ini. Freya memang seperti itu, ia bukan orang yang bisa bersantai-santai di rumah tanpa melakukan apa pun dengan beralibi sakit, bahkan saat sakit pun ia lebih suka bekerja daripada rebahan, terkecuali kalau sakit yang berlebihan sampai tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Kerasnya kehidupan yang membuat ia seperti itu, ia terlahir dari keluarga sederhana yang menuntutnya untuk terus maju agar memberikan kehidupan yang lebih baik untuk adik-adik dan orang tuanya. Terlahir sebagai anak pertama membuatnya memikul beban berat, sejak duduk di bangku sekolah dasar ia sudah tahu tentang perjuangan menuntut ilmu hingga perguruan tinggi ia tidak main-main, untuk sampai di titik ini butuh usaha yang keras dan tidak mudah, makanya ia tidak bisa mengorbankan pekerjaannya untuk sesuatu yang belum pasti, lebih baik ia fokus sama apa yang ia jalani sekarang.
Marsha adalah rekan kerja yang sangat dekat dengannya saat masuk kerja, bahkan mereka bisa dibilang sahabat, sekarang posisi Marsha satu tingkat di bawah Freya karena memang wanita itu berhak mendapatkannya karena kerja keras yang tak kenal lelah selama ini. Hanya saja Marsha belum menikah, sedangkan Freya sudah. Terkadang Marsha heran dengan Freya, ia sudah beristri tapi kelakuannya masih sama seperti perempuan sebelum menikah, seperti tidak merasa ada tanggung jawab lebih, padahal jelas ia tahu menikah pasti tanggung jawabnya berbeda ketika masih belum ada yang diurus.
Saat ini keduanya sedang makan siang di warung makan depan kantor, warung makan yang selalu dipadati oleh karyawan yang sedang kelaparan di siang hari. “Fre, janin lo apa kabar?” Setelah terjadi keheningan beberapa saat, akhirnya Marsha berani menanyakan hal itu.
Setelah meneguk es tehnya, Freya langsung menjawab, “Baru aja kemarin keguguran,” jawabnya dengan santai, seperti tidak merasa sedih sedikit pun. Marsha juga bingung, sebenarnya hati Freya terbuat dari apa.
Marsha mengembuskan napasnya, lalu punggung bersandar di sandaran kursi. “Ini udah ke berapa kali lo keguguran, Fre?” Bukan hal yang mengejutkan untuk Marsha ketika dia mendapat kabar seperti itu, justru ini sudah kesekian kalinya, jadi rasa kagetnya sudah terbang entah ke mana.
“Tiga kali sama ini. Udah biasa kan? Ya, karena gue terlalu kelelahan, udah basi kan alasannya.”
Marsha hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahny Freya, baru kali ini ia melihat ada seorang wanita yang santai saja karena keguguran, padahal ini sudah terjadi berkali-kali. Di luaran sana ada banyak wanita yang ingin hamil, rela melakukan apa saja, sementara Freya dikasih kepercayaan tapi malah diabaikan. Sepertinya Freya harus lebih banyak lagi tentang caranya bersyukur. “Terus reaksi si Bian gimana?”
Freya mengendikkan bahu. “Marah kali, Cuma ya kemarin Cuma debat kecil doang sih, ujung-ujungnya dia yang minta maaf. Lo tahu sendiri lah Bian orang yang kayak gimana.”
Kalau Marsha jadi Freya, ia bersyukur banget punya suami sebaik Bian, tidak pernah menuntut apa-apa, pengertian, penyayang, selalu berlaku lembat, tidak ada kekerasan perkataan maupun perbuatan, seharusnya Freya bersyukur akan hal itu, setidaknya mau memberikan apa yang suaminya minta, setidaknya fokus ke anak sementara waktu, lupakan pekerjaan. “Fre, kurang baik apa Bian sama lo, baik banget, dia itu suami yang sempurna, lo kan udah jadi istri nih, seharusnya lo bisa memposisikan diri lo sebagai wanita yang beristri, kalau lo belum mau punya anak, belum bisa jaga janin lo dengan baik, seenggaknya lo ingat Bian, ada Bian yang tunggu kehadiran anak kalian. Gue yakin pasti Bian pengin banget punya anak, apalagi usia pernikahan kalian udah 3 tahun.”
Lama-lama Marsha bawel dan Freya tidak suka, yang pertama ini masalah rumah tangganya, sebagai orang yang asing posisinya sebagai teman tidak baik ikut campur terlalu dalam. Yang kedua urusannya dengan Bian, biarlah menjadi urusan pernikahan mereka, Marsha tidak perlu ikut campur yang berlebihan. “Sha, memangnya inti dari semua pernikahan itu anak? Nggak, kan? Walaupun gue udah keguguran tiga kali, bukan berarti gue nggak mau punya anak, gue mau, tapi kan ada saatnya, akan ada saatnya Tuhan memberikan kepercayaan buat gue jadi seorang ibu, Cuma gue enggak mau terlalu ambil pusing. Let it flow. Asal lo tahu, inti dari pernikahan itu adalah antara suami dan istri, jadi buat lo yang Cuma orang luar, posisikan diri sebagai teman, bukan orang yang terlalu mengerti keadaan rumah tangga gue gimana, gue tahu kalau gue itu istri, tanpa lo kasih tahu, gue juga tahu tugas-tugas istri, sebelum gue sama dia nikah itu udah bikin kesepakatan, tidak ada kekangan antara satu sama lain.” Freya melirik jam di pergelangan tangan kirinya. “Jam makan siang udah kelar, sekarang kita balik ke kantor.”
***
Saat di kampus ia terkenal dosen yang killer, tidak mntolerir keterlambatan dalam bentuk apa pun itu, apalagi tugas yang dikumpulkan lewat deadline 1 detik pun auto ditolak, berbeda saat di rumah ia termasuk pria yang hangat dan penuh kelembutan, sementara saat di kelas auranya begitu mencekam. Wajahnya memang ganteng, idaman kaum hawa tapi setelah melihat tatapan mereka langsug menunduk karena terlalu mematikan.
Jam mengajar Bian sudah dimulai lima menit lalu dan saat ia menyalakan laptopnya untuk memulai mengajar, tiba-tiba terdengar suara ketuk pintu, setelah muncul seorang mahasiswi yang Bian sudah hafal paling tidak disiplin, karena beberapa kali ia telat hadir dalam mata kuliahnya.
Gadis itu pun langsung masuk dan meminta maaf kepada Bian atas keterlambatannya. “Mohon maaf, Pak, saya terlambat karena macet.”
Bian melemparkan tatapan tajamnya. “Sudah tahu Jakarta itu macet, kenapa tidak berangkat lebih awal? Saya paling benci sama mahasiswa yang telat, dan ini bukan pertama kalinya kamu telat, Laura.”
Gadis yang bernama Laura itu hanya terdiam sembari menggerutu di dalam hatinya, ia menyesal karena asyik rebahan sambil menontol youtube jadi tidak lihat jam, ia merutuki dirinya yang teledor. Ia sudah pasrah akan dapat hukuman apa dari Bian kali ini, ketika ada yang telat, Bian selalu memberikan hukuman, tetapi hukumannya itu mengedukasi, bukan sembarang hukuman. “Tadi itu udah cepat berangkatnya, Pak, Cuma dari arah rumah saya nggak tahu siang ini macet banget, kan macetnya Jakarta nggak bisa diprediksi.”
Bukan Bian namanya kalau tidak memberikan sanksi. “Apa pun alasan kamu, kamu tetap dapat hukuman, Laura.”
“Jangan kejam-kejam, Pak, apalagi istri Bapak lagi hamil, biar tumbuh jadi anak yang baik jadi bapknya juga harus baik.” Mendengar kata anak membuat Bian jadi sensitif, tidak tahu saja kalau istrinya kemarin keguguran.
“Tahu dari mana kamu?”
Laura tampak mengingat sesuatu. “Kan beberapa waktu lalu Bapak update foto tespek dua garis biru di i********: story jadi pada lihat. Apalagi captionnya; istriku positif.”
Tolong ingatkan Bian untuk tidak memposting lagi hal demikian di sosial media.
“Kok jadi ngobrol, nanti hukumannya, rangkum semua materi dari awal pertemuan mata kuliah saya sampai hari ini, deadlinnya nanti malam jam 23.59. Kirim ke email, lewat sedetik saja ditolak, dan saya akan nambah hukuman kamu yang lebih berat. Paham?”
Laura menghela napas. “Pak, jang---“
“Protes = lebih berat.”
“Oke saya diam dan teriam dengan berat hati.”
“Yasudah sana duduk.”
Laura pun segera duduk ke salah satu kursi yang masih kosong dengan perasaan kesal.
***