BAB 13

1810 Words
BAB 13 Juragan Arga menghela napas panjang. Kondisi ini sepertinya tak mendukung untuk meminta hak sekarang. Padahal, dirinya sudah menahan begitu lama, memendam semuanya semenjak kejadian itu menimpa pada Nilam—istrinya. Perlahan, Juragan Arga menjauhkan tubuhnya dari Nuria yang masih memejamkan mata seraya terisak. Ia menatap wajah gadis itu. Jemari kokohnya perlahan bergerak mengusap air mata yang menganak sungai pada kedua pipi istrinya. Kemudian, satu kecupan dia labuhkan lama pada dahi sang istri. Lagi, diusap air mata yang kembali membanjiri. “Jangan takut. Aku akan menunggu hingga kamu siap, Istriku,” bisiknya dengan suara parau. Dia meraih selimut lalu menariknya dan menutup tubuh indah yang ada di depan mata. Juragan Arga melirik ke arah jendela, tetapi dia tak memilih untuk membersihkan pecahan kaca itu. Dia lebih memilih beranjak ke kamar mandi untuk mendinginkan bara yang hampir saja mencapai puncak. Membasahi seluruh tubuhnya dengan guyuran air dingin shower. Cukup lama Juragan Arga di kamar mandi. Nuria pun sudah sedikit tenang dan sudah kembali berpakaian. Dia mengusap beberapa tanda merah yang tertinggal, lalu kembali menyeka air matanya. Rasa takut itu menjalar luar biasa. Diikatnya rambut yang berantakan, lalu Nuria beringsut Nuria mengambil nampan yang menjadi tatakan buah potong semalam. Ia menghampiri jendel, berjongkok untuk memunguti pecahan kaca yang berserak, entah perbuatan siapa. Pikiran Nuria tak focus. Dirinya masih merasakan gelayar aneh karena sentuhan Juragan Arga, sehingga sebuah pecahan kaca tanpa sengaja menggores jemarinya. “Aw!” pekik Nuria. Tiba-tiba ada tangan dingin yang menarik jemarinya. Juragan Arga memasukkan telunjuk penuh tetesan darah itu ke mulutnya. Dia membiarkan beberapa lama, membuat Nuria begitu gugup karena berada dalam jarak sedekat itu dengan suaminya. “Su-sudah, Juragan … eh, Bang.” Nuria menarik tangannya, tetapi sama sekali tak bergerak. Sampai lelaki itu menariknya sendiri, setelah dirasa enzim yang ada di dalam mulutnya mampu menghentikan sedikit aliran darah. “Biarkan saja pecahan kaca itu. Nanti Bi Lela yang membersihkannya. Abang gak mau kamu terluka lagi,” titah Juragan Arga seraya menarik tangan Nuria dan menyimpan nampan berisi pecahan kaca itu ke lantai begitu saja. Lalu, dirinya mendudukan istrinya pada sofa. “Duduklah,” titahnya. Juragan Arga ke kamar mandi lagi. Tak lama, ia keluar dan membawa sebuah plester dan kapas. Tubuhnya kembali berlabuh di samping Nuria dan menarik jemari lentiknya. Dipasangnya kapas dan plester itu hingga lukanya tertutup. “Makasih, Bang,” cicit Nuria. “Hm ... apa ada orang jahat di sini, Bang? Kenapa ada melempar kaca dengan batu?” Nuria bertanya untuk menghapus rasa penasaran. Dia menatap lelaki itu sekilas, lalu memalingkan wajah ketika pandangan tajamnya menusuk ke dalam kalbu. “Celia tak menyukai pernikahan kita. Rasa cemburunya begitu besar. Dia takut kasih sayang Abang berkurang untuknya,” jelas Juragan Arga pada akhirnyaa. “Sudahlah, jangan dipikirkan. Kita sarapan saja, ya? Abang akan mencoba atasi semuanya,” cetusnya datar. Nuria hanya bisa mengangguk, pasrah dengan perkataan suaminya. Juragan Arga bangkit, lalu mengambil gagang telepon yang ada di kamar untuk menghubungi Bi Lala. “Bawakan sarapan kami ke kamar!” Hanya satu kalimat itu. Lalu panggilan pun ditutup. Lelaki itu berjalan mendekati jendela dan menyibak tirai yang menghalangi cahaya matahari yang sudah mulai merambat naik. Juragan Arga membiarkan jendela terbuka dan mematikan pendingin ruangan. Ia juga membuka pintu balkon dan berjalan meninggalkan Nuria yang duduk terpaku. Nuria menatap punggung lebar itu. Ada perasaan bersalah di hatinya atas kejadian pagi ini. Hatinya dilemma, antara beranjak menghampiri atau lebih baik diam saja. Namun, nalurinya memilih untuk beringsut dan menghampiri tubuh tinggi yang tengah memandang ke luar dan memegang pagar pembatas. Nuria berdiri di samping Juragan Arga dan ikut memperhatikan deretan bunga-bunga kenanga yang tampak berderet di tepian pagar. Kenanga bercampur melati yang membuat aroma wangi menguar bercampur dengan cahaya pagi. “Bunga-bunga itu kesukaan mendiang istriku. Dia merawatnya setiap hari. Dia sangat menyukai bunga tersebut karena wanginya. Terkadang memetik sekeranjang dan menaburnya di atas tempat tidur kami.”Juragan Arga bercerita ketika mengetahui istri kecilnya sudah berdiri tak jauh darinya. Nuria menyimak dengan khusyuk. Banyak hal yang ingin ia ketahui tentang rumah ini, berharap dia akan mendapatkan semua jawaban itu segera. Namun, justru dirinya malah dibuat bingung lagi sekarang. Jika istrinya Juragan Arga sudah meninggal, lalu siapa perempuan yang menjerit-jerit histeris kemarin malam? “Apa kamu juga menyukai bunga?” Sebuah tanya terlempar untuk Nuria. Hening, butuh berpikir untuk menjawab. Nuria sendiri tak tahu apa yang sebenarnya dia sukai atau tidak. Selama dia hidup, tak pernah diberikan pilihan, semua harus dia terima tanpa banyak protes. Nuria menggeleng pelan seraya bergumam lirih. “Aku tak pernah diajarkan untuk memilih, Bang. Suka atau gak suka, aku harus menerima apa yang terjadi dalam hidupku.” Nuria menghela napas panjang. Entah kenapa, sudut matanya kembali menjatuhkan hujan. Ya, dia mengatakan sebuah kejujuran. Jangankan hal sederhana, hal yang begitu penting seperti pernikahan saja, dirinya hanya bisa menerima. Tak ada yang memberinya pilihan, tak ada yang bertanya padanya suka atau tidak. “Maaf.” Tanpa Nuria sangka lelaki itu mengucap maaf. Ia mengusap pucuk kepalanya sekilas. Derit pintu kamar yang terbuka membuat obrolan mereka terhenti. Bi Menih dating, membawakan dua piring nasi goreng dengan berbagai topping. Perut Nuria langsung berontak ketika mencium aroma wangi dan melihat berbagai campuran yang ada dalam piring nasi goreng yang dibawa Bi Menih. “Silakan, Tuan, Nyonya.” Bi Menih menyajikannya. Dia juga meletakkan dua cangkir teh hangat dan dua gelas air bening. Lalu, beranjak pergi meninggalkan balkon kamar. Juragan Arga mengajak Nuria untuk duduk. Seperti kemarin, dia menarikkan kursi untuk istrinya. Kemudian, mengambil tisu dan mengelap sendok dan garpu yang tertata di atas meja. Dia serahkan pada Nuria, lalu melakukan hal yang sama pada sendok dan garpu miliknya. Setitik rasa hangat muncul di tengah hati Nuria yang ketakutan. Ia merasa bahagia diberikan perhatian kecil oleh suaminya. Setiap suapan nasi goreng membuat lidah Nuria terasa dimanjakkan. Makanan itu terasa begitu nikmat. Berbeda sekali dengan sarapan paginya di rumah Paman Nursam dan Bi Lela. Terkadang hanya dengan ikan asin, kadang membuat nasi goreng hanya dengan bawang merah yang diiris, ditaburi sedikit penyedap rasa dan garam. Jangankan memakai topping beragam, memecahkan satu telur saja Nuria bisa kena teguran. “Kamu itu di sini cuma numpang, Nur! Harus pandai berhemat. Kan, bisa sarapan nasi saja. Telur itu mahal! Itu juga Bibi beli karena Nirina selalu minta dibuatkan telur mata sapi. Jadi, jangan lagi-lagi, ya. Kalau buat nasi goreng juga bisa gak pakai telur!” Tiba-tiba semua kalimat yang dilontarkan Bi Lela terngiang kembali di telinga Nuria. Ada yang basah di sudut matanya. Dia seka. Makanan ini terasa begitu mewah untuknya. “Masakannya gak enak?” tebak Juragan Arga yang menatap sekilas wajah manis yang berembun di depannya. “Enggak, Juragan. Eh, maksudnya … Bang. Makananya enak.” Nuria masih saja sering terlupa memanggil suaminya. “Lalu?” Satu kata yang diucapkan Juragan Arga seolah meminta penjelasan. “Aku gak pernah makan masakan seenak ini, Bang. Semenjak ayah berpulang dan ibu jadi TKW. Telur dadar adalah makanan paling istimewa buatku, Bang. Sementara di sini, nasi goreng saja bisa pakai daging, telur, bakso, sosis.” Nuria menjelaskan. Wajahnya polos dan tampak serius mengucapkan kata-katanya. Juragan Arga menggeleng. Ada seulas senyum tergambar di wajah tampannya. Istrinya memang belum dewasa. Topping makanan saja bisa membuatnya menangis haru seperti itu. Namun, dia tak tertawa, membiarkan Nuria larut dalam perasaan harunya. Satu tangan Juragan Arga kini terulur. Lagi meraih dagu Nuria dan mengangkatnya. Istrinya itu terlalu banyak menunduk setiap berduaan dengannya. “Kamu boleh meminta menu makanan yang lebih dari ini. Jadi, jangan samakan dengan keadaan rumah pamanmu, ya?” tukasnya seraya menatap Nuria dalam. Nuria menjadi gugup dan merasakan kesulitan menelan makanan. Jantungnya berdegup lebih cepat setiap tangan kekar itu menyentuhnya. Bayangan penghujung subuh tadi lagi-lagi berlarian, menciptakan rona merah pada wajahnya. “Kamu di sini adalah nyonya. Jadi mintalah apa yang kamu suka. Di rumah ini ada Bi Menih dan Bi Lala yang mengurusi menu makanan untuk semua orang. Kamu bisa minta menu berbeda pada mereka.” Nuria mengangguk ketika jemari itu sudah tak menempel pada dagunya. Senyum tipisnya terukir. Mendengar sebutan untuknya sontak membuat hatinya sedikit menghangat. Dia sekarang adalah nyonya. Ya, benar, dirinya sekarang adalah nyonya. “Ma-makasih, Bang.” Nuria berucap seraya mengulum senyum. Keduanya pun kembali saling diam. Padahal, Nuria berharap suaminya melanjutkan penjelasan tentang keluarganya. Setidaknya, dia tak merasa asing tinggal seatap dengan lelaki yang tak dia ketahui latar belakangnya. Namun, gagal, lelaki itu memilih diam hingga nasi goreng yang ada pada piring mereka tandas tak bersisa. “Hari ini, Abang pergi dulu, ada yang harus diurus. Kamu boleh berjalan-jalan di bawah atau ke taman belakang. Minta temani saja dengan Bi Menih dan Bi Lala.” Juragan Arga bertitah. “Iya, Bang.” Nuria tersenyum. “Apakah kamu mau menyiapkan pakaianku?” Juragan Arga menatap istri kecilnya. Nuria mendongak, lalu mengangguk ragu. “Ma-mau. Tapi ... saya gak tahu Abang mau pakai pakaian seperti apa?” ujarnya jujur. Juragan Arga tersenyum, manis dan berkharisma. Lalu, dia mengajak Nuria beranjak dan menuju kamar tidur mereka. Lelaki itu mengajak Nuria ke arah lemari, lalu memilih pakaian yang biasa dia kenakan ketika hendak keluar. Dia menunjukkan semuanya pada Nuria satu-satu, termasuk letak sepatu dan kaus kaki. Nuria pun mengangguk paham. *** Juragan Arga sudah rapi. Ia mengenakan kemeja berwarna abu-abu dengan celana panjang hitam. Dia sedikit memoles minyak rambut. Beberapa uban sudah bersaing dengan rambut sedikit ikalnya yang berwarna hitam. Tampilannya tampak gagah dan berkharisma. Setelah selsai berdandan, ia mengulurkan tangan pada Nuria. Gadis itu menciumnya. Seperti biasa, kecupan lama akan dihadiahkan pada kening Nuria, mengalirkan desir hangat yang menjalar ke dalam d**a. “Abang mungkin pulang malam atau gak pulang. Nanti kunci saja pintunya dari dalam. Abang bawa kunci sendiri.” Dia menyodorkan satu buah anak kunci pada Nuria. “Iya, Bang.” Nuria mengangguk pelan. “Kamu gak usah nganter Abang ke depan. Abang pergi, ya.” tukasnya seraya mengambil tas yang berisi berkas-berkas, sepertinya. Nuria hanya mengangguk, lalu mengantar suaminya hingga depan pintu kamar. Setelah itu, dia kembali ke dalam dan duduk terpaku sendirian. Namun, entah kenapa, hatinya ingin melihat punggung lebar itu menjauh. Dia pun berlari menuju balkon. Tanpa disangka, dia melihat satu orang gadis belia masuk ke mobil. Juragan Arga tampak mengusap pucuk kepala gadis—yang mungkin sebaya dengan Nuria itu—dengan lembut. Hati Nuria berdetak lebih cepat seketika. Apakah mungkin suaminya itu memang penyuka gadis-gadis belia sepertinya, lalu dijadikan istri? Nuria membekap mulutnya ketika tampak Juragan Arga mengecup kening gadis itu sebelum masuk ke mobil. Semua perlakuan istimewa itu ternyata bukan hanya untuknya. Suaminya juga memberikan hal yang sama pada perempuan lain, yang mungkin juga istri sirinya. Tak berapa lama, seorang perempuan berpakaian suster menggendong seorang anak kecil, lalu masuk juga. Mobil itu pun berlalu membawa Juragan Arga dan perempuan—entah siapa—menjauh, membuat hati Nuria merasakan denyutan yang tak menentu. Sakit, tetapi tak berdarah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD