BAB 12

1506 Words
BAB 12 Nuria menghela napas kasar. Terdengar suara cekcok dari dalam kamarnya, tetapi perlahan menjadi samar seiring dengan bantingan daun pintu. Nuria mematung. Sebetulnya penasaran, tetapi dia lebih memilih diam dan menunggu Juragan Arga kembali. Cukup lama Nuria berdiam sendirian. Duduk mematung menatap cokelat panas yang sudah tak lagi berasap, tetapi suaminya belum juga kembali. Akhirnya, Nuria memutuskan untuk masuk ke kamar ketika azan isya berkumandang. Juragan Arga entah di mana. Empat rakaat Nuria tunaikan dengan khusyuk. Dia bermunajat, berserah diri pada takdir dan kehidupan yang tak seindah impian. Berharap ibunya segera pulang dan dia bisa memeluknya untuk menumpahkan tangisan. Walaupun dia tak tahu, ibunya akan pulang kapan. Dulu dia berkata bahwa kontrak kerjanya hanya 2 tahun. Sudah 3 tahun berlalu, ibu Nuria belum pulang juga. Pintu kamar didorong dari luar. Nuria yang baru saja selesai melipat mukena menoleh, entah kenapa sedikit berharap Juragan Arga datang. Meskipun takut, tetapi hanya dia satu-satunya orang yang Nuria kenal di rumah ini. Sayangnya, perkiraan Nuria salah, yang datang hanyalah seorang perempuan paruh baya yang Juragan Arga menyebutnya Bi Lala tadi. “Malam, Nyonya. Ini, saya bawakan air dan buah. Barangkali Nyonya ingin camilan,” tukasnya, seraya menyimpan semua itu di atas nakas. “Makasih, Bibi.” Nuria mengangguk sopan pada perempuan itu. Bi Lala tersenyum, lalu memutar tubuhnya untuk meninggalkan ruangan. “Bibi, tunggu!” Panggilan Nuria membuat langkah Bi Lala terhenti. “Ya, Nyonya?” Bi Lala menoleh dan tersenyum ramah. “Hmm …. Boleh tanya sesuatu?” Nuria yang dipenuhi rasa penasaran, akhirnya angkat bicara. “Tanya terkait apa, Nyonya?” Bi Lala menatap. Wajahnya yang tadi santai, tampak berubah tegang. “Yang tinggal di sini siapa saja, ya, Bibi? Bukan hanya kita, ‘kan, ada orang lain juga?” Nuria memancing dengan kalimat yang tak lugas. Dia masih penasaran dengan suara bayi, perempuan yang berteriak dan seorang perempuan yang tadi marah-marah. “Iya bukan hanya kita, ada Juragan Arga dan keluarganya. Saya permisi, Nyonya. Kalau butuh apa-apa, Nyonya hubungi saya di extention 101 saja,” tukasnya, alakadarnya. Lalu memangkas obrolan dan berpamitan. Nuria hanya tercenung. Dia mencoba menghargai batasan yang mungkin diberikan suaminya pada para ART yang ada di sana. Rasa lelah akhirnya membuat Nuria memutuskan untuk tidur cepat. Terlalu lama jika harus menunggu Juragan Arga datang. Dimatikannya lampu utama yang terang benderang, lalu dia menyalakan lampu tidur yang temaram. Mata Nuria menatap langit-langit kamar yang tampak samar, mendapati semua bayangan masa lalu yang kembali berlarian. Dirinya tak menyangka jika kini berada di sini, di rumah megah yang mana tak semua orang bisa masuk ke dalamnya. Dulu, almarhum ayahnya konon pernah menjadi salah satu pekerja Juragan Arga, sebelum meninggal karena kecelakaan. Tak ada yang paham betul kenapa ayahnya bisa meninggal. Hanya saja, setelah desas-desus tentang istri Juragan Arga menghilang, tak berapa lama dari itu, Haidar berpulang. Jasadnya diantarkan sudah rapi dan sudah selesai dimandikan. Tak ada yang boleh membukanya lagi, entah apa yang terjadi sebetulnya. Waktu itu, Nuria belum paham, masih terlalu kecil juga untuk bertanya pada perempuan yang hanya mampu meraung dan bersimbah dengan tangisan. *** “Bapak! Kenapa jadi seperti ini, Pak?!” Ibu meraung dengan tangan gemetar menahan sesak. “Bapak! Bangun, Pak!” Nuria kecil berlari memburu lelaki yang sudah terbungkus kain kafan itu. Namun, para tetangga menghalangi. Katanya, air mata tak boleh jatuh pada jasad. Akhirnya, Ibu dan Nuria hanya saling memeluk dan menangis pilu. Sejak saat itu, Ibu membenci keluarga Juragan Arga. Ibu selalu menganggap jika lelaki itu penyebab meninggalnya Bapak. Karenanya, meskipun ditawari pekerjaan, Ibu menolak. Dia lebih memilih menjadi TKW dan ingin menyekolahkan Nuria hingga dia sukes. Nuria dan Ibu bersimpuh pada tanah merah yang baru saja selesai mengantarkan Bapak ke dalam peristirahatan. Ibu menyeka air matanya yang luruh, lalu menggenggam tangannya. “Nur, ibu mau kamu jadi orang sukses! Ibu akan pergi jadi TKW dan mengumpulkan uang untuk biaya sekolah kamu. Tinggalah di rumah Paman Nursam dan Bibi Lela. Bapak ... sudah gak ada. Kita harus kuat! Belajar yang benar, ya? Ibu mau, kamu lulus dengan nilai baik dan bisa kuliah. Kamu harus sukes!” *** Terngiang amanat Ibu di pusara yang masih basah, membuat Nuria terisak sambil menatap langit-langit kamar. Dia sudah menghancurkan mimpi sang ibu. Semua pengorbanan jarak dan waktu di antara mereka, rencana masa depan yang indah, rupanya kalah oleh takdir. Dirinya justru menikah muda dengan orang yang dibenci oleh ibunya. Niatannya untuk tidur, akhirnya tertunda. Nuria lagi-lagi terisak dan meringkuk. Guling yang dipeluknya menjadi basah terkena air mata. Hatinya pedih dan sakit. Rasa bersalah pada sang ibu yang membuatnya pun sulit untuk berkata ikhlas menerima pernikahan ini. Andai dia bisa mencari keberadaan ibunya, andai dia bisa menghubunginya, pasti Nuria akan memiliki sedikit kekuatan. Namun, dalam usianya yang belia, Nuria benar-benar merasa sendirian. Nuria pun akhirnya lelap di sisa isaknya. Guling sudah basah. Waktu sudah bergulir larut. Malam pertama yang dia khawatirkan pun rupanya tak terjadi apa-apa. Malam merambat cepat, Nuria mengerjap ketika samar terdengar azan subuh berkumandang. Kedua netranya memindai ruangan yang terasa asing. Dirinya lupa jika sudah tak berada di kediaman Paman Nursam. Nuria beringsut bangkit, diliriknya tempat tidur yang luas itu. Kondisinya masih sama seperti ketika hendak tidur tadi. Suaminya tak menemaninya tidur malam ini. Entah di mana dia. Gegas Nuria mengambil handuk, lalu ke kamar mandi. Dirinya memutar kran untuk membersihkan diri. Pendingin ruangan yang sejuk dan air dingin yang mengguyur tubuh, membuatnya menggigil. Ia segera mengenakan handuk dan berganti pakaian. Nuria memilih kamar mandi sebagai tempat mengganti pakaian paling aman. Ketika Nuria keluar, lampu utama sudah menyala. Dia menatap lelaki dengan punggung lebar itu tengah tepekur di sofa. Wajahnya tampak lelah. Juragan Arga menoleh, tampak Nuria keluar dengan sedikit menggigil. “Memangnya kamu mandi air dingin, Istriku?” tanyanya. “Iya, Bang.” Nuria mengangguk seraya berjalan untuk mengambil perlengkapan salat. “Kenapa water heater-nya gak dinyalakan?” Juragan Arga menatap wajah manis yang tampak segar itu. “Ma-maaf, saya gak paham itu, Bang.” Nuria menjawab sejujurnya. Dia sekilas menoleh pada suaminya yang menggeleng kepala. “Maaf, Abang lupa ngasih tahu kamu. Sini!” tukasnya seraya bangkit. Nuria menatap Juragan Arga dengan ragu. “Aku sudah wudu, Bang!” ucapnya seketika. Juragan Arga terkekeh, meskipun tak membuat guratan lelah di wajahnya menghilang. “Abang gak akan ngapa-ngapain. Mendekatlah!” pintanya dengan lembut. Nuria pun mendekat pada lelaki yang tengah berdiri di depan kamar mandi. Juragan Arga menjelaskan beberapa tombol yang ada di sana. Rupanya, salah satunya adalah tombol untuk water heater, lalu dia mengajak Nuria masuk ke kamar mandi. Ditunjukkannya cara mengatur tingkat hangat, panas atau dingin dari shower yang akan menghujani tubuh nanti. “Paham?” tanyanya menatap Nuria. “Paham, Bang,” jawab Nuria seraya mengangguk. “Mau coba sekarang?” Juragan Arga menatap dengan pandangan yang tampak redup. Nuria menggeleng cepat. “Aku sudah mandi, Bang.” “Oke, oke. Sore nanti kita coba, ya?” ucapnya datar. Sontak wajah Nuria terasa panas. Apa maksudnya ‘kita’ coba? Apakah ini kode kalau suaminya mengajak mandi berdua. Gadis itu menelan saliva, lalu gegas permisi. Sang suami meminta Nuria menyiapkan handuk dan pakaian ganti, dan memintanya menunggu untuk salat berjamaah. *** Dua rakaat akhirnya usai. Juragan Arga berdiri lalu merapikan perlengkapan salatnya. Begitupun Nuria. Ia duduk di depan meja rias seraya menyisir rambut sepinggangnya yang hitam bergelombang. Namun, tiba-tiba bayangan wajah lelaki yang berstatus jadi suaminya itu muncul dalam cermin besar yang ada di depannya. Dia mengecup pucuk kepala Nuria, lalu merengkuhnya dari belakang. “Maaf, semalam gak temani kamu tidur,” bisiknya. Wajah Nuria terasa panas, berada dalam jarak begitu dekat dengan lelaki yang masih asing membuat dirinya menjadi tak nyaman. “Hmm ... gak apa-apa, Bang.” Nuria menjawab kikuk. Bahkan, dia menyisir sambil menunduk ketika dalam cermin itu terlihat sorot mata tajam yang tengah memindai setiap garis wajahnya. “Nyisirnya sudah, ya?” Suara bariton itu berbisik seraya meraih sisir dari jemari Nuria. “T-tapi, Juragan!” Dalam keadaan gugup, Nuria masih kadang lupa panggilan untuk suaminya. “Temani aku tidur,” bisik Juragan Arga seraya menyimpan sisir ke depan meja rias. Kemudian, dia berjalan menuju pintu dan memeriksanya, sudah terkunci atau belum. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi, sebetulnya. Namun, itu tak mengurungkan niatnya untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang suami, yaitu memberikan nafkah batin untuk istrinya. Lampu utama pun kembali padam. Tangan kokoh itu menarik tubuh mungil Nuria dalam dekapannya. Terdengar doa-doa dilantunkan dan dibacakan di pucuk kepalanya. Nuria menelan saliva. Tubuhnya bergetar antara rasa takut bercampur perasaan aneh yang menjalar. Sentuhan demi sentuhan mambuat kesadarannya—yang tadinya waras—mendadak samar. “Jadilah ibu dari anak-anakku, Istriku …,” bisik lelaki yang mulai menarik Nuria ke atas pembaringan. Ayaaah, aku takut! batin Nuria menjerit ketika tangan kokoh itu menariknya. Air matanya mengalir begitu saja, membuat lelaki yang napasnya sudah tersengal itu menghentikan aktivitasnya. “Apa kamu belum siap, Istriku?” tanyanya dengan sorot mata mendamba. Nuria bergeming. Bukan jawaban yang keluar dari mulutnya, melainkan isakan yang berirama. Prang! Nuansa hangat nan tegang itu seketika buyar. Sebuah benda keras menghantam jendela dari luar. Pecahan kaca tampak berserakan di mana-mana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD